dewan kesenian hulu sungai selatan

dewan kesenian hulu sungai selatan
logo

Tanah Airmata


Burhanuddin Soebely

TANAH AIR MATA

PEMBUKA

Panggung redup. Di tengah panggung terletak sebuah langgatan. Tak jauh dari langgatan itu duduk perempuan 1 dan seorang anak kecil. Perempuan 1 itu lagi menganyam bakul. Anak kecil tengah membaca buku. Suara anak kecil itu suara khas anak SD yang tengah membaca, polos, nyaris tanpa artikulasi.

ANAK KECIL
Ada sebuah negeri, tempat kebaikan dan kejahatan bisa dirakit menjadi suatu bentuk keselarasan. Ada sebuah negeri, tempat ketidakjujuran dipelihara bersama. Sungguh, ada sebuah negeri, tempat orang ketawa bersama seraya makan tanah makan aspal makan semen makan gunung makan hutan makan jembatan; sementara berjuta pengeras suara mengumandangkan pembangunan, kemakmuran dan kesejahteraan.

Terdengar suara tepukan tangan yang riuh.

PETINGGI
(Dari luar panggung) Saudara-saudara, kemakmuran dan kesejahteraan adalah dambaan kita bersama. Dan itu cuma bisa kita capai kalau kita melakukan pembangunan. Membangun, saudara-saudara, terus membangun. Kawasan di kaki gunung ini tidak akan lagi menjadi kawasan terpencil. Di sini akan segera menjadi kawasan wisata yang penuh dengan fantasi menarik, nostalgik, romantik, eksotik dan…erotik. Kita akan bangun jalan raya. Kita akan bangun rumah-rumah peristirahatan. Kita bangun tempat-tempat hiburan. Pokoknya, kawasan ini akan segera menjadi sebuah firdaus.

Tepukan tangan kembali bergema. Setelah itu sunyi beberapa ketika.

PEREMPUAN I
(Dalam nada keluh yang kemudian meningkat menjadi teriakan serak bercampur sedu) Duh, Ning Diwata, dari balik meja-meja berkilat, para petinggi merasa amat tahu apa yang kami perlukan. Mereka mengira kami kesepian di ceruk gunung. Mereka mengira kami terasing di tengah rimba. Maka mereka babat hutan-hutan. Mereka runtuhi gunung-gunung. Mereka bangun jalan raya. Mereka dirikan rimba beton. Lalu mereka tuntun kami ke dunia yang mereka beri nama kemajuan. Mereka tak tahu, ya, Ning Diwata, bahwa di tengah yang mereka sebut kemajuan itu kami justru merasa terasing dan merasa amat kesepian.

Sepi sejenak. Lalu perlahan masuk suara koor mendaraskan mamang/litani.

KOOR MAMANG
iiii…lah
nang manggaduh tihang aras mula jadi
nang manggaduh tihang aras mula ada
iiii…lah
turunan di gantang amas di gantang kaca
turunan di gantang intan di gantang sari

--------------------------------------- MUSIK : TANDIK BALIAN-------------------------------

Langgatan yang semula berada di lantai perlahan bergerak naik. Setelah langgatan sampai pada puncak, musik mendadak diam.

KOOR MAMANG
iiii…lah
langit baputar langit baguncang langit bacampin
tanah bargana bakumpang hati carincing gading
iiii…lah
baganti kulit baganti urat baganti daging
basamban darah batunggang angin

Di antara mamang tersebut orang-orang--lelaki, perempuan, dan anak-anak--masuk perlahan. Satu-dua perempuan itu menggendong bayi. Para lelaki membawa kain hitam.

ANAK 1
Kami bukanlah raja di bukit-bukit, bukan pula raja di hutan-hutan. Kami adalah anak-anak bukit, bocah-bocah hutan. Bentangan bukit berikut hutan-hutannya telah melahirkan, mengasuh, dan menghidupi kami.

ANAK 2
Gemercik air di pancur-pancur, suara-suara margasatwa, desir angin di daun-daun, gemerisik ranting-ranting, menjadi tembang kehidupan, indah berpadu dengan tembang nina bobo.

LELAKI 1
Tapi siapakah mereka yang menyesap sanginduyung, menebarkan bau bunga bau cendana di petanahan purba wadah semaian asa? Siapakah mereka yang merobeki rahim ibu bumi dan mengangkuti belulang moyang kami?

LELAKI 2
Duh, Ning Diwata, keganasan chain saw telah menciptakan musik rak-rak-gui. Mengalun dari waktu ke waktu. Bahkan dalam tidur pun musik itu terus mengumandang, bersabung dengan raung buldoser, erang eksavator, derak loader, gemuruh ribuan truk, menciptakan konser kecemasan dan pemandangan senja kala.

ANAK 1
Tuan-tuan, wahai, tuan-tuan, apalagi yang tersisa? Di mana lagi kami semaikan asa? Bukit-bukit tiada, hutan-hutan tiada, huma-huma tiada, kebun-kebun tiada. Tanah-tanah rekah mengalirkan nanah, pancur-pancur jelaga, sungai-sungai berbisa.

Terdengar lengking tangis bayi. Kain-kain hitam perlahan berubah menjadi ayunan.

PEREMPUAN 2
(Menyanyi)
guring-guring anakku guring
guring diakan dalam ayunan
guring-guring anakku guring
matanya kalat bawa bapajam

---------------MUSIK : ALUNAN SERULING DALAM LAGU YANG SAMA----------

PEREMPUAN 3
Jangan menangis, Diyang, karena jiwa mereka telah kering, karena mereka adalah bangkai yang berkisar di antara angka-angka, yang sungainya cuma kerakusan, yang muaranya cuma perasaan ketidakcukupan akan sebiji dunia.

-----------------------------------MUSIK : TANDIK BALIAN-----------------------------------

B L A C K   O U T


EPISODE SATU


Tidak ada komentar:

Posting Komentar