Ngayau
BELAHAN SATU
ARAKAN RUH
BERJUBAH KUNING
SATU
Ruh-ruh nenek moyang entah kenapa terusik dan bangkit dari patilarahan[1].
Mereka kenakan jubah kebesaran berwarna kuning, beriringan merubung langit.
Mereka jadikan awan sebagai macan tunggangan lalu berarak mengikut jalan angin.
Lihatlah, wahai! Jubah-jubah mereka berkibaran, sambung-menyambung, demikian
panjangnya, demikian luasnya, melingkup angkasa, menjadikan senja mutlak
berwarna kuning. Memencari bumi, menggadingi segala. Dahan-ranting, menguning.
Daun-daun, menguning. Batu-batu, menguning. Pun alir air di sungai.
Ruh-ruh nenek moyang bangkit dari patilarahan, mengenakan jubah
kebesaran berwarna kuning, berarak melanglang angkasa. Hal apa yang mengusik
mereka? Rasa prihatin atau gelora murka? Jika rasa prihatin maka itu
keprihatinan terhadap apa? Jika itu gelora murka, ditujukan kepada siapa? Akan
adakah makhluk yang menjadi sasaran sumpit mereka? Kalau ada, seberapa banyak
yang akan bergelimpangan, seberapa besar yang akan menjadi penghuni baru
patilarahan?
Kegentaran segera rebak. Angin memelankan perjalanan. Barangkali
karena beban yang dihambin terasa tambah berat, barangkali juga lantaran
berjalan di bawah ancaman tombak bermata besi kuning. Daun di pohon-pohon permulaan musim penghujan merunduk,
menyembunyikan gial, bahkan banyak yang memilih menggugurkan diri, sebuah
luruhan yang lurus ke tanah karena angin memang seakan mati. Tak ada burung
yang berani terbang. Makhluk ceria itu membekukan sayap dan kicau,
menyelindungkan diri di keteduhan sarang. Diam dan memejamkan mata. Pun elang
yang perkasa itu menyembunyikan diri, bertudung di kariwaya[2]
atau durian, beraling di sela julang batu-batu gunung. Diam dan memejamkan
mata. Babi-babi peliharaann yang semula bebas berkeliaran segera berlarian,
berebutan memasuki kurungan di bawah balai[3].
Diam dan memejamkan mata. Anjing-anjing sama
mengangkat kepala, serempak menyuarakan lolongan panjang lalu berlari serabutan,
menyuruk ke rimbun perdu, melekapkan tubuh ke tanah. Diam dan memejamkan mata.
Para perempuan
tua segera mengambil alu lalu membunyikan lesung dalam irama lambat yang
menayung. Pung-pung-tak,
pung-pung-tak, pung-pung-tak. Bersisahutan,
kemudian secara alami memadu dalam satu getaran. Pung-pung-pung-tak-pung,
pung-pung-pung-tak-pung. Sesekali menyelalah suara mereka, suara harapan
bercampur kecemasan dari kepompong-kepompong pelahir keturunan :
“ penunggang berjubah kuning, wahai
jangan kausinggah ke dalam balai
dari angin kembali ke angin
di sini tak ada yang kauingin
dari api kembali ke api
di sini tak ada yang
menyuapi…. “
Anak-anak berlarian, beberapa di antaranya melengkingkan tangis
seraya memanggili umang[4]nya.
Bergegas menaiki limpang[5],
meringkuk di kepengaban ujuk[6].
Diam dan memejamkan mata. Pung-pung-pung-tak-pung, pung-pung-pung-tak-pung. Gadis-gadis
mengurung diri di ujuk. Mereka mengganti pakaian keseharian dengan busana
terbaik yang dimiliki. Mengambil jenar di dapur, mengambil sembilu yang biasa
terselip di palupuh[7]
dekat tempat ketiduran. Duduk bersimpuh menghadap matahari hidup, meraut jenar
dengan sembilu. Runcing ujung jenar kemudian ditorehkan ke tengah dahi dalam
bentuk cacak burung[8].
Berulang-ulang di dalam hati mereka membilang kepada para penunggang berjubah
kuning bahwa mereka siap jadi pengantin: pengantin sungguhan, bukan pengantin
maut.
“ penunggang berjubah
kuning, wahai
jangan kausinggah ke dalam balai
dari
air kembali ke air
di sini tak ada santan secangkir
dari tanah kembali ke tanah
di sini tak ada secupak darah…. “
Pung-pung-pung-tak-pung, pung-pung-pung-tak-pung.
Pung-pung-pung-tak-pung, pung-pung-pung-tak-pung. Para
pemuda khidmat bersila di dalam ujuk. Di hadapan mereka terhampar sehelai kain
kuning peninggalan para leluhur. Di atas kain kuning itu terserak bilah-bilah damak[9],
parang dan mandau terhunus, serta tombak berbagai ukuran. Selain membilang
ketidaksiapan untuk menjadi pengantin maut, mereka mengharap para penunggang
berjubah kuning berkenan memberikan apuah ke senjata-senjata itu sehingga
menjadi lebih ampuh.
“ penunggang berjubah
kuning, wahai
jangan kausinggah ke dalam balai
anak-cucuku bukan buruan
belum pantas mengikut jalan
pergilah pergi jangan berbantah
pergilah pergi tuju ke entah….”
Pung-pung-pung-tak-pung, pung-pung-pung-tak-pung. Semakin lama musik
alu dan lesung itu semakin padu: kepaduan yang gelisah sekaligus kepaduan yang
pasrah sekaligus juga kepaduan yang menggebah. Pung-pung-pung-tak-pung,
pung-pung-pung-tak-pung.
DUA
Ruh-ruh nenek moyang bangkit dari patilarahan, mengenakan jubah
kebesaran berwarna kuning, merubung langit, menjadikan awan sebagai macan
tunggangan, merebut jalan angin, berarak melanglang angkasa. Wahai, pertanda
apa yang mereka bawa? Sebuah tegurankah yang hendak disampaikan? Ataukah
kematian yang diinginkan? Diyang Tunjung Bulan menghentikan kembara
pikiran, lalu menyelesaikan rautan jenar di tangan dan bersiap untuk
membubuhkan tanda cacak-burung ke dahi. Dipejamkannya mata rapat-rapat sampai
kegelapan menjadi mutlak. Saat kegelapan menyelubungi, setitik cahaya kuning
kemudian berpendaran. Titik cahaya kuning itu kian lama kian membesar, mengusir
kurungan kegelapan. Berbungkus pendar cahaya kuning Tunjung Bulan perlahan menorehkan
ujung jenar ke dahi seraya membilang:
“ penunggang berjubah kuning, wahai
jangan kausinggah ke dalam
balai
aku bukan pengantin maut
lelakiku ‘kan segera menjemput….”
Pada torehan pertama, dirasakannya sebuah tusukan rasa dingin yang
aneh, seakan tusukan mata tombak yang telah berbad-abad terendam di dasar
telaga. Dia menggigil, terlebih setelah rasa dingin itu menyebar, menelusupi
urat-urat darah.
“ penunggang berjubah kuning,
wahai
jangan kausinggah ke dalam
balai
pergilah pergi jangan
bertahan
pengantinku datang meminta
jalan….”
Pada torehan kedua, rasa
dingin memuncak, mulai merayapi ambang kesadaran, bergerak kesana-kemari dalam
tumbukan-rumbukan tak beraturan, seperti mencari-cari celah untuk memasuki
ambang dan melumpuhkan kesadaran.
Sesaat kemudian dia mencium bau belantara yang basah. Samar-samar
telinganya menangkap suara ricik air di batu-batu, suara sungai yang mengalir.
Tunjung Bulan membuka mata. Dilihatnya
hari sudah hampir sampai pada batas pergantian antara senja dan malam, kentara
dari matahari yang tinggal menyisakan berkas-berkas kecil cahaya pada langit di
balik perbukitan nun.
Perbukitan? Kening Tunjung Bulan
berkerut. Perbukitan itu, belantara itu, ricik air itu, telah menghempaskannya pada sebuah kenyataan lain:
dia tengah berada pada sebuah ruang terbuka, bukan di dalam ujuk balai!
Kesadaran akan hal itu membuatnya memandang berkeliling. Ditemukannya dirinya
tengah berdiri di atas bongkahan batu besar. Di belakangnya, belantara gelap.
Di depannya, mengalir sebuah sungai kecil berair dangkal tapi berarus deras
sehingga ricik pun menyuara saat arus menerpa batu-batu besar yang gelimpangan
tak beraturan di dasar sungai. Di seberang sungai, ada sehamparan padang rumput liar. Tak
ada pepohonan di situ, kecuali perdu setinggi pinggang yang terserak di
beberapa bagian. Di ujung padang
rumput, mengangkang perbukitan batu yang gersang, rumput-rumput liarnya nampak
hangus dan mengerut. Dan di atas perbukitan itu
Kawasan ini merupakan
kawasan asing, tak pernah kulihat apalagi kujalani dalam keseharianku. Jadi, di mana aku? Kenapa aku ada di sini? Kesadaran
bahwa dia tengah sendirian di sebuah kawasan asing membuat Tunjung Bulan lebih
cermat memandangi sekitar. Dia kemudian menangkap adanya pergerakan di atas
perbukitan. Terlihat dua-tiga bercak warna putih bercampur warna kuning
keemasan di situ. Bercak-bercak itu ternyata terus bertambah, berjajar
sepanjang lereng, seakan barisan sebuah pasukan yang menunggu komando untuk
bergerak menuruni lereng.
Di antara suara ricik air telinganya samar menangkap suara lain.
Seperti suara aum. Aum yang panjang. Aum yang bersisahutan. Aum yang kemudian
berkumpul menjadi satu, menegaskan keberadaan sesuatu yang mengentarkan. Auman
macan! Ya, macan!
Selepas auman bersama itu, sekumpulan warna putih campur kuning di
lereng bukit itu bergerak. Mula-mula lambat, menuruni lereng. Berubah mulai
cepat. Berganti cepat. Dan akhirnya melesat. Tak ada bunyi derap, tapi tanah
terasa limbung karenanya. Duh, Ning Bahatara[10],
Tunjung Bulan mengucap, apakah ini sebagian dari pasukan ruh berjubah kuning
yang tengah berpacu dengan tunggangan macan putih? Kini bukan lagi
kegentaran yang memenuhi benak Tunjung Bulan, tapi ketakutan! Tunjung Bulan
gemetar. Seluruh urat darahnya melemah. Dia beringsut turun dari batu,
berselindung di baliknya, mengerut bagai daun putri malu kena sentuh. Duh. Duh. Bagi penunggang berjubah
kuning itu, adakah tempat yang bisa menyembunyikan sesuatu? Adakah arti sebuah
persembunyian? Tunjung Bulan mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya, perlahan
berkisar, mengintip pergerakan pasukan itu. Pergerakan yang mengarah kepadanya.
Dari ujung padang
rumput muncul sesosok tubuh, berlari kencang sekali. Lurus mengarah belantara
gelap. Agaknya sosok itu berharap kerimbunan belantara di belakangku akan
dapat menyembunyikannya dari kejaran ruh-ruh berjubah kuning. Tapi bisakah?
Tunjung Bulan memikir. Sosok itu menyeberangi sungai, tertatih-tatih menahan
pijakan kaki di deras arus. Oh, dia tak tahan. Hanyut sejenak. Bangun lagi.
Melangkah lagi. Merayap menaiki tebing sungai. Kembali berlari. Tunjung
Bulan mengalihkan pandang ke arah pasukan berjubah kuning. Dia bisa melihat
betapa mudahnya pasukan itu menyeberangi sungai. Mereka seperti mengambang, berpacu di atas alir air.
Sang buruan sudah mencapai pertengahan padang rumput. Tunjung Bulan terus mengamati.
Dan dia tersentak kala melihat jelas wajah sang buruan. Wajah yang teramat
dikenalnya! Wajah Runting Sakarti, putra mendiang Damang[11].
“ Runting! “ Tanpa sadar Tunjung Bulan keluar dari persembunyian,
kembali ke atas batu.
Runting Sakarti, nampak tak peduli. Atau tak mendengar?
“ Runting! “ Tunjung Bulan kembali berseru, kali ini disertai dengan
gerakan tangan.
Runting Sakarti tetap tak peduli. Bahkan tak menoleh saat melintas
pada jalan yang tak jauh dari batu tempat Tunjung Bulan berdiri. Lelaki itu
terus berlari. Lurus memasuki gelap belantara. Tunjung ingin mengikut, tapi
getaran tanah kian keras, pertanda pasukan ruh berjubah kuning itu semakin
dekat. Cepat ia melemparkan dirinya ke tanah di balik batu gunung. Tiarap di
situ, hampir tak berani bernafas, menahan tumbukan dari getaran tanah, menahan
kengerian yang merencah.
Pasukan ruh berjubah kuning melintas tanpa sempat jelas dilihatnya.
Dia cuma melihat kibaran jubah-jubah
kuning yang kemudian menghilang di kerimbunan belantara. Saat bangun dari
tiarapnya, dia merasakan sebuah rasa sakit menggigit, rasa sakit akibat irisan
sesuatu di lengan kanannya. Lalu dia melihat darah muncul dari goresan mata
luka. Dari mana datangnya luka ini? Tunjung Bulan menggigit bibir
menahan nyeri. Pikiran untuk mencari obat luka membuatnya mengedarkan pandang.
Tapi ruang pandangnya menyempit. Dinding palupuh menghadang di depannya.
Palupuh? Pa-lu-puh? Kini aku kembali ada di balai. Rasa nyeri di tangan kanan cepat mengembalikan kesadaran. Gadis itu
melihat darah memang mengalir di lengan kanannya, juga bercak merah sisa darah
di mata sembilu yang tergenggam di tangan kirinya. Agaknya dalam
ketidaksadaran tadi, dalam kengerian tadi, aku telah mengiriskan sembilu ke
lenganku sendiri. Untung saja aku bukan orang kidal sehingga sayatan itu cuma
berupa goresan kecil, pikirnya.
Bergegas Tunjung Bulan beranjak keluar ujuk, berniat mencari obat
penahan luka. Dia keluar lewat pintu utara balai, menuruni limpang, berlari
kecil ke arah sebatang anak pohon pisang. Direnggutnya ujung dari pucuk pisang
yang masih tergulung itu lalu dimamahnya. Hasil mamahan segera dilekapkan ke
mata luka. Perih menggigit sejenak. Sambil berjalan kembali ke balai dia tahan
pucuk pisang itu di mata luka dengan jemari kirinya. Tak perlu dibebat,
pikirnya, cuma luka kecil.
***
Ruh-ruh nenek moyang bangkit dari
patilarahan, mengenakan jubah kebesaran berwarna kuning, merubung langit,
menjadikan awan sebagai macan tunggangan, merebut jalan angin, berarak
melanglang angkasa. Mereka agaknya tengah berburu. Berburu orang. Dan buruan
itu bernama Runting Sakarti, putra mendiang Damang. Tapi kenapa ruh-ruh
berjubah kuning itu memburu Runting Sakarti? Ruh lelaki itukah yang mereka
inginkan? Diang Tunjung Bulan menghela nafas dalam-dalam. Gadis itu
tercenung di dalam ujuk, duduk bersandar di tiang sambil merokok. Mencoba
mengurai kejadian aneh yang dialami tadi.
Suara lesung masih bertalu-talu. Pung-pung-pung-tak-pung.
Pung-pung-pung-tak-pung. Suara
lesung yang bersisahutan itu, bagi
Tunjung Bulan, kemudian berubah menjadi suara gendang dan gong yang mengalun
sendu mengiringi upacara kematian. Kematian Runting Sakarti? Hatinya
mendelu, seperti diremas-remas tangan berduri. Tapi memang demikiankah
pertanda yang datang itu? Siapa tahu pertanda itu cuma penampakan keterusikan
leluhur karena adanya pelanggaran adat yang terlupakan sehingga hukuman belum
dijatuhkan? Tunjung mencoba menghibur diri. Siapa tahu pula senja kuning
ini sekadar teguran dan tuntutan para leluhur lantaran ada janji atau hajatan
yang tak tertunaikan? Tapi pelanggaran adat macam apa yang telah diperbuat
Runting Sakarti sehingga ketenangan para leluhur terusik? Janji atau hajat apa
yang telah diikrarkan Runting Sakarti namun belum tertunai itu? Apakah hajat
atau janji…..?
Begitu banyak pertanyaan. Begitu
banyak yang hendak dibaca. Begitu banyak yang ingin dimaknai. Tapi bagaimana cara memaknainya? Jawaban dari sekian pertanyaan tetaplah
berupa pertanyaan. Jawab yang pasti, setidaknya mendekati kepastian, merupakan
wilayah para balian[12],
sebab urusan baca-membaca pertanda memang
urusan para balian, pikirnya kemudian. Dan apang[13]nya,
Danar Wanang—biasa dipanggil Pang Bulan yang berarti ayahnya Bulan, adalah
Kepala Adat perkampungan, seorang balian berpredikat Balian Guru, balian
tertinggi dalam tingkatan para balian. Maka Tunjung Bulan pun beranjak,
hendak mencari apangnya. Tapi pantaskah membicarakan perihal seorang lelaki
kepada Apang, apalagi lelaki itu bernama Runting Sakarti? Langkah Tunjung
Bulan terhenti di ambang pintu ujuk. Kebimbangan sejenak menggeliat di hati. Ini
bukan perihal seorang lelaki! Ini perihal sebuah nyawa! Tunjung memantapkan
hati, melangkah meninggalkan ujuk. Matanya mencari-cari, dan menemukan apangnya
duduk di pintu barat, seakan berjaga supaya para penunggang macan berjubah
kuning tak memasuki balai.
Diyang Tunjung Bulan dapat melihat rona serius di wajah apangnya:
mata yang berlepas bebas ke arah arakan awan, dahi yang berkerut beberapa
lapis. Ia pun menahan keingintahuan di lekuk dada, tak ingin mengganggu keseriusan
sang apang, tapi agaknya suara lantai bambu yang muncul dari ketipak langkahnya
tetap tertangkap. Pang Bulan menoleh, sejenak mengamati wajah anaknya. Setelah
menemukan tanda cacak-burung di dahi, dia menggeser duduknya, memberi ruang.
Diyang Tunjung Bulan pun duduk berjuntai di sisi sang apang.
“ Kenapa lenganmu? “ Pang Bulan menunjuk mamahan pucuk pisang yang
mulai mengering di lengan anaknya.
“ Tadi tergores sembilu….”
“ Dalam lukanya? “
“ Cuma luka kecil. “ Tunjung membuang pucuk pisang itu dan
memperlihatkan goresan lukanya.
Pang Bulan mengamati sejenak lalu kembali memandang ke arah kuning
senja. Tanpa mengalihkan pandang, lelaki tua itu mengeluarkan bungkus rokok
dari kantong baju, mengambil sebatang dan menyulutnya. Setelah beberapa isapan dan
embusan panjang, perlahan kerutan di dahinya menghilang, barangkali isapan dan embusan
panjang asap rokok itu telah meredakan gelora di dada.
“ Sudahkah Apang temukan makna dari arakan ruh berjubah kuning ini?
“ Diyang Tunjung Bulan bertanya hati-hati.
“ Tidak bisa secepat ini, Diyang. “ sahut Pang Bulan. “ Diperlukan
pencermatan yang mendalam, lalu dibicarakan lagi bersama dengan balian lain. “
“ Pengamatan Apang selintas saja bagaimana? “ Diyang Tunjung Bulan
mendesak “ Berkaitan dengan hajat yang
tak tertunaikan misalnya. Atau adanya pelanggaran adat yang dilakukan warga…”
Pang Bulan tertawa. “ Yaahh, begitulah orang muda. “ ujarnya
kemudian. “ Selalu saja tak sabar, penuh ketergesaan. “
Tunjung Bulan juga ketawa. “ Itu bukan jawaban, Pang…” nada suaranya
tetap menuntut.
“ Keras kepala…” ejek Pang Bulan.
“ Sumbernya dari hulu. “ balas Tunjung Bulan.
“ Aku tidak seperti itu. Umangmu barangkali….”
“ Aaahh, jangan mengalihkan pembicaraan. “ Tunjung Bulan cepat
memotong.
Pang Bulan ketawa lagi. Menjentikkan abu rokok lalu kembali
melakukan isapan dan hembusan panjang.
“ Jadi, apa? “ ketidaksabaran Tunjung Bulan muncul lagi.
“ Seingatku tak ada pelanggaran adat yang tak dijatuhi hukuman. “
Pang Bulan akhirnya menyerah. “ Tak ada pula hajat yang tak tertunaikan. Kalau
ada juga, itu cumalah…” Pang Bulan menahan ucapannya, seperti terlanjur dalam
berucap.
“ Cuma apa? “ Tunjung Bulan segera menyambar ucapan apangnya yang
terdengar menggantung itu.
Pang Bulan tak segera menyahut. Dia menghela dan menghembuskan nafas
panjang beberapa kali sebelum berucap: “ Cuma soal Runting Sakarti. “
Runting Sakarti! Begitu nama itu disebut, hati Tunjung Bulan
langsung bergetar. Rasanya ada sehempas arus yang menumbuk. Sebuah tumbukan
yang tepat ke uluhati, membuat dada menyesak. Jadi para penunggang berjubah
kuning itu memang benar menjadikan Runting Sakarti sebagai buruan. Duh. Duh. Sebuah
lenguh halus terlompat dari dada Tunjung. Maka diambilnya bungkus rokok
apangnya, menyulut sebatang. Hal yang tadi dilakukan apangnya kini dilakoninya:
isapan dan hembusan panjang asap rokok, pereda gelora di dada.
Sudut mata Pang Bulan diam-diam merekam tingkah anaknya. Lelaki tua
itu dapat mengira arus macam apa yang tengah bergelora di dada Tunjung :
sehempas arus payau yang bersumber dari sebuah wilayah paya-paya. Karenanya dia
membiarkan kediaman menyungkup, memberikan ruang dan waktu pada sang anak untuk
meredakan arus payau itu.
“ Ada
apa dengan Runting Sakarti? “ Tunjung Bulan akhirnya berhasil menguasai diri. “
Adat macam apa yang telah dilanggarnya? “ lanjutnya dengan nada suara yang
tidak seceria tadi, berubah agak murung.
“ Tak ada adat yang dilanggar. Tak ada pula hajat yang tak
tertunaikan….”
“ Lalu apa? “
“ Soal kepemimpinan perkampungan
ini. “ Pang Bulan berucap dalam irama lambat, matanya menerawang jauh. “
Setelah Apangnya meninggal, Runtinglah yang seharusnya dan sepantasnya menjadi
Damang. Sayang, menurut ajaran leluhur, dia masih kekurangan satu syarat….”
“ Syarat apa, Pang? “
“ Beristri. “
Pendek ucapan itu, tapi gelora yang mulai reda kembali menghempaskan
arus payau. Diyang Tunjung Bulan tersedak lalu batuk-batuk lantaran menelan
asap rokok.
“ Apang sudah katakan itu padanya? “ nada suara Tunjung Bulan
terdengar kian murung.
“ Sudah, empat bulan lalu. Tidak cuma aku yang menyampaikannya,
beberapa balian berhal serupa. “ Pang Bulan menghentikan ucapannya sejenak,
menghisap rokok dan menghembuskan asapnya lewat hidung. “ Tapi waktu berlalu
begitu saja, tak nampak tanda-tanda ke arah itu. Padahal dengan sekali tunjuk
atau sekali anggukan kepala saja tak bakalan ada gadis atau orang tua yang
menolaknya. “ Ujung matanya menangkap kelebatan bibir Tunjung Bulan yang
mencibir. “ Gadis yang tentu saja tidak berada dalam pagar larangan….”
tambahnya cepat, pura-pura tak melihat cibir bibir itu.
“ Ya, seharusnya dia menyadari posisinya….” ucapan Diyang Tunjung
Bulan mengambang setelah kesunyian menyungkup beberapa saat.
“ Begitulah seharusnya. “ Pang Bulan memberikan tekanan khusus pada
kata ‘seharusnya’. “ Barangkali kauperlu menyampaikan lagi hal ini padanya….”
“ Aku? “ Tunjung mengulang, tak percaya pada apa yang didengarnya.
“ Ya, engkau! “ tandas Pang Bulan. “ Siapa tahu dia akan lebih
mendengarkanmu, lebih menyadari akan posisinya sekarang ini. “
Tunjung Bulan mengisap rokoknya dan menghembuskan asapnya
lambat-lambat. “ Apa yang bakal terjadi jika dia dalam hitungan waktu
tertentu….”
“ Enam bulan…” sela Pang Bulan cepat.
“ Ya, jika dalam enam bulan ini dia tak juga beristri? “ Tunjung
memperbaiki dan melanjutkan ucapannya.
“ Kedudukan Damang tak bisa dibiarkan kosong berlarut-larut. Hal itu
menyalahi ketentuan para leluhur. Jadi, jika dalam enam bulan, sampai saat Bawanang[14]
nanti, dia belum juga beristri maka dia harus merelakan kedudukan Damang
beralih ke bubuhan[15]
lain. “ Pang Bulan kembali mengisap dan mengembuskan asap rokoknya
Meminta pada Runting Sakarti agar dia segera kawin dalam hitungan
waktu enam bulan mendatang? Duh. Duh.
Bagaimana caranya? Tunjung Bulan menyelam lagi ke
dalam bungkusan asap rokok. Matanya melayap jauh. Sangkut pada senja yang mulai
memasuki wilayah pergantian hari. Ah, pada waktu seperti inilah tadi lelaki
itu menjadi buruan para penunggang berjubah kuning. Berlari jatuh-bangun
menyeberangi sungai lalu menghilang di gelap belantara! Meng-hi-lang!
Tunjung Bulan tanpa sadar memukulkan tapak tangan kanannya ke paha. Pang Bulan
tersentak. Memandang lurus ke wajah anaknya.
“ Ada
apa, Tunjung? “ tanyanya kemudian.
Dalam ucapan-ucapan lambat Tunjung Bulan menuturkan kejadian aneh
yang dialaminya. Pang Bulan mendengarkan cerita Tunjung tanpa menyela. Kerutan
di dahinya kembali nampak, seakan kalimat-kalimat Tunjunglah yang memetakannya.
“ Segera temui Runting Sakarti! “ ucap Pang Bulan begitu Tunjung
Bulan selesai bercerita. “ Sampaikan pesanku bahwa para penunggang berjubah
kuning mengincarnya! Dalam empat puluh hari ini dia harus amat berhati-hati
menjaga nyawanya! “
Tunjung Bulan kaget melihat reaksi sang apang. “ Segawat itu? “ Wajahnya
nampak pias. Kecemasan kentara sekali menari-nari di bening matanya. Kecemasan
yang…ah.
Tanpa menyahut Pang Bulan berdiri. Menuruni limpang. Berjalan
bergegas ke arah utara, ke arah sungai. Tunjung Bulan membuang puntung rokok.
Menuruni limpang. Berjalan bergegas ke arah selatan, menuju balai yang dihuni
Runting Sakarti, balai yang berjarak kira-kira satu kilometer dari balainya.
“ Runting tak ada, Tunjung. Dia lagi di tanah huma….” kata Sindang
Maruai, adik Runting Sakarti.
“ Di tanah huma? Adakah jenar di situ? “
“ Jenar? Entahlah…” Sindang Maruai mengangkat bahu. Dia menatap wajah
Tunjung Bulan dan menemukan cemas yang membilas. “ Memangnya ada apa? “
tanyanya dengan alis berkerut
Dalam suara lambat dan bergetar Tunjung Bulan menyampaikan pesan
apangnya. Pesan itu sedikit demi sedikit memetakan rona pias di wajah Sindang
Maruai. Peringatan seorang balian bertataran Balian Guru yang juga Kepala Adat bukanlah
hal yang bisa disepelekan begitu saja. Maka Sindang Maruai segera berlari ke
arah tanah huma. Tunjung Bulan mengikuti.
Angin berkesiur. Dedaunan
bergeliatan. Sedikit berisik. Selebihnya, perpaduan senja kuning dengan
bayangan malam menyelimutkan warna aneh…suasana yang aneh. Langit berbercak
merah kehitaman. Seperti bercak darah yang mengering.
TIGA
Ruh-ruh nenek moyang bangkit dari patilarahan, mengenakan jubah
kebesaran berwarna kuning, merubung langit, menjadikan awan sebagai macan putih
tunggangan, merebut jalan angin, berarak melanglang angkasa. Sekadar
berarakkah mereka? Ataukah tengah memburu sesuatu? Jika sedang berarak,
pertanda apa yang dibawa? Jika sedang berburu, apa atau siapa yang diburu? Runting
Sakarti segera menaiki dangau, menghindar dari terpaan langsung senja kuning.
Pemuda itu ingat pesan leluhur untuk menorehkan tanda cacak-burung dengan jenar
di dahi. Tapi ini tanah huma. Tak ada jenar tumbuh di sekitar sini. Maka dia
cuma bisa duduk bersila di lantai dangau, mengambil mandau dari butah[16],
mencabutnya dari sarung dan meletakkannya di hadapan. Dia juga melepaskan
ikatan tali parang yang tadi dipakainya menyiangi rumputan tanah huma,
mencabutnya dan meletakkan di hadapan.
Karena aku tak punya jenar maka biarlah kuhakikatkan jari manis
tangan kiriku sebagai jenar, pikirnya sambil
memejamkan mata. Bukankah dulu mendiang Apang pernah berkata bahwa
hakikatlah yang penting, bukan perwujudannya? Seperti hidup ini, hakikat
hiduplah yang berarti, bukan hidup itu sendiri? Runting Sakarti menarik
nafas panjang-panjang, mengosongkan pikiran. Membiarkan cahaya kuning
menenggelamkan keberadaannya. Perlahan dia menorehkan jari manis tangan kanannya
ke dahi.
Pada torehan pertama, rasa panas menusuk, seperti tusukan jarum yang
berabad-abad dipanggang di atas tungku. Pada torehan kedua, rasa panas itu
berputaran di perutnya, lalu pecah dan menjelujur urat-urat darah. Sebuah
jelujuran yang menghinggapkan dahaga tak terkira. Sayup telinganya mendengar
suara ricik air. Air! Air!
Runting merentak bangun seraya membuka mata, langsung memburu ke arah
suara ricik air itu. Air! Air! Dia menuruni lereng bukit. Air! Air! Seluruh
pikirannya cuma tertuju pada air. Air! Air! Kencang larinya membuat
keseimbangan runtuh. Dia jatuh, terguling menyusur lereng. Di dasar lereng,
segerombolan semak-samun menahan tubuhnya. Tumbukan keras itu membuat Runting
nanar. Tubuhnya terasa hancur dalam kepingan. Dia mengerang. Erangannya
disahuti oleh bunyi guruh dari air. Air! Air! Runting memaksa bangun,
berkutatan melawan rasa lungkrah dan sakit di tubuh.
Tertatih ia melangkah. Guruh air kian keras. Di hadapannya kini
nampak sebatang sungai. Penglihatan terhadap adanya air dan siksaan dahaga yang
membakar kerongkongan ternyata membangkitkan kekuatan baru. Dia bisa lagi
berlari. Langsung menceburkan diri ke sungai. Berendam di situ. Memuaskan
dahaganya. Sejuk air perlahan memulihkan tenaganya, menenangkan pikirannya.
Matanya menelaah, menyiasati keberadaan.
Hulu sungai itu ternyata sebuah tasik. Di atas tasik air deras
beterjunan, seperti surai raksasa. Pantas saja suaranya seperti guruh. Apalagi
terjunan air itu bertingkat-tingkat. Runting
menghitung. Tujuh tingkat, pikirnya. Tu-juh ting-kat? Matanya
mengerjap. Tak terdapat air terjun tujuh tingkat di kawasan tanah huma, di
wilayah perkampungan juga tak ada; tingkat tertinggi cuma air terjun tiga
tingkat, di kawasan timur perkampungan Jadi,
di mana aku?
Tiba-tiba terdengar suara ehem-ehem
dari arah batu besar di belakangnya. Runting cepat berbalik. Mula-mula
pandangannya sangkut pada seekor macan putih yang lagi membuka mulut, seakan
memamerkan keruncingan dan kekukuhan taring. Di sisi macan putih, nampak
sepasang kaki bercelana putih, baju putih yang ketat membungkus tubuh, dan
jubah putih yang menjela batu. Pandangan Runting merambat naik. Dan dia
tersentak saat matanya menemukan wajah sosok di hadapannya itu. Wajah dengan
segaris kumis tipis dan segaris bekas luka di pipi. Wajah yang teramat dikenalnya.
Dia hampir saja menyebut siapa orang itu, namun pikiran bahwa hal itu tidak
mungkin terjadi membuatnya menghentikan sebutan di kerongkongan.
“ Andika siapa? “ tanyanya, menggunakan kata sebutan hormat terhadap
seseorang.
“ Panting Sumbilang. “ sahut orang itu.
Panting Sumbilang? Apang? Runting
mereguk ludah berkali-kali sebab memang nama itulah tadi yang hampir terucap
dari mulutnya..
“ A…A..Apang…” Runting tergagap.
“ Ya, aku memang Apangmu. Di negeri Nining Bahatara, tak ada siang
tak ada malam, tak ada pula usia tua. “
Runting
segera keluar dari sungai, duduk bersimpuh di tanah, menghadap apangnya.
“ Waktu kita tak banyak, Runting. “ ujar Panting Sumbilang. “
Penunggang berjubah kuning tengah memburumu! “
Runting kaget. “ Apa salah Ananda? “
“ Tanyakan itu pada dirimu sendiri. Telusuri lagi jejak langkahmu..
“ suara Panting Sumbilang tajam nadanya. “ Bagaimana penguasaanmu terhadap ilmu
mandau Kilat Batiti? “
“ Ah, aku terlalu bodoh sehingga tak pernah sampai pada tingkatan
sempurna seperti Apang atau Kakek. “
“ Jadikan itu sebagai salah satu modalmu dalam menghadapi hari-hari
mendatang. Lambarilah ilmu itu dengan kebijakan. Ilmu mandau tanpa dilambari
kebijakan pemiliknya cuma akan menghasilkan kekerasan dan keangkaraan. Gunakan
juga kebijakan dalam menyikapi keadaan perkampungan. “
“ Pesan Apang akan kutanam dalam-dalam di hati. “
“Nah, sekarang dengarkan pesanku ini: waktu adalah sebuah lingkaran,
kemana pun ia berjalan akan kembali ke titik-titik yang itu-itu juga. “
Runting menorehkan pesan itu pada padang pikir dan rasanya. Dia tahu pesan itu
akan mempunyai makna besar terhadap keberadaan perkampungan di hari mendatang.
“ Baik-baiklah menuntun kehidupan Adikmu. Setelah Apang dan Umang
berangkat ke patilarahan maka engkaulah yang berkewajiban membimbing dan
menjaga kehidupannya. “
“ Akan kulakukan seboleh daya. “
Panting Sumbilang memandang ke arah cakrawala senja, seperti
menyiasati pergerakan angin dan awan.
“ Sekarang pergilah ke arah timur, ke arah matahari hidup. Kau akan
menemukan sebuah belantara. Jika kau berhasil memasuki belantara itu, kau punya
kemungkinan untuk terhindar dari perburuan penunggang berjubah kuning hari
ini….”
“ Kemungkinan? “ Runting mengulang.
“ Ya, cuma kemungkinan. Soal usia adalah kekuasaan Ning Bahatara,
tak seorang ciptaan-Nya pun mampu menebak. “
Selesai mengucapkan itu Panting Sumbilang lenyap, seperti asap yang
berberaian lalu hilang dibawa angin. Runting tak menunda waktu, bergegas
melangkah ke arah timur, ke arah matahari hidup.
***
Ruh-ruh nenek moyang bangkit dari
patilarahan, mengenakan jubah kebesaran berwarna kuning, merubung langit,
menjadikan awan sebagai macan tunggangan, merebut jalan angin, berarak
melanglang angkasa. Mereka tengah berburu. Berburu Runting Sakarti, putra
mendiang Panting Sumbilang.
Kini sang pemburu dan sang buruan
telah bertemu. Di sebuah bukit gersang tanpa pohonan. Jarak memang masih
panjang, tapi mereka sudah bisa saling pandang. Macan-macan putih mendengus,
sesekali mengeluarkan auman panjang. Auman yang membuat ayunan jantung jadi berlipat
ganda, seperti goyangan daun diterpa angin keras, goyangan yang mengarah pada
satu titik: luruh mencium bumi. Sang penunggang macan membekaskan kegentaran
yang lain. Lelaki-lelaki muda tinggi tegap, berpakaian kuning berjubah kuning
menjela tanah. Rambut mereka juga berwarna kuning, menjulur dari bawah lawung[17]
kuning hingga ke tengah dada dan punggung. Wajah mereka keras dengan mata
berwarna kuning yang menyorot tajam. Tak nampak ada cercah belas kasihan pada
wajah dan sorot mata itu. Di tangan mereka tergenggam sumpitan berwarna kuning.
Di punggung, nampak terselempang tombak pendek, hulu dan mata tombak itu juga
berwarna kuning. Di pinggang kiri terikat mandau berhulu kuning bersarung
kuning. Di pinggang kanan terikat bumbung dari seruas bambu kuning, wadah
damak. Kemutlakan warna kuning itu memancar ke mana-mana.
Maka kegentaran pun merayapi hati Runting Sakati. Serangan
manusia atau binatang, bagaimanapun cepat, buas dan ganasnya, akan masih bisa
dilawan, ditangkis atau dielakkan. Tapi menghadapi ruh-ruh berjubah kuning ini,
apa yang bisa dilakukan manusia? Alis Runting berkerut dalam. Dia ingat
lagi pesan apangnya. Jika kau berhasil memasuki belantara itu, kau punya
kemungkinan untuk terhindar dari perburuan penunggang berjubah kuning hari ini!
Jadi, aku diperintahkan untuk mencapai belantara, bukan untuk bertarung!
Runting menoleh ke belakang. Dia bisa melihat di bawah sana mengalir sebatang sungai, lalu sehamparan padang rumput, lalu
membayang gelap belantara. Belantara itukah yang dimaksud Apang? Runting
menaksir jarak. Cukup jauh. Dia harus menuruni lereng bukit, menyeberangi
sungai, melintasi padang
rumput, sebelum mencapai belantara. Seberapa cepat lariku? Seberapa cepat
lari macan putih itu? Runting cepat mengambil putusan. Pesan Apang
adalah hal utama! Soal keberhasilan itu soal nanti!
Maka Runting Sakarti pun
membuang tubuh ke belakang. Berguling di lereng seperti tenggiling. Batu-batu
lereng terasa meremukkan tubuh. Tapi dia tak peduli. Belantara, belantara,
wahai, sempitkan jarak! Sempitkan jarak! Angin! Angin! Di mana angin? Wahai,
jadikan diriku seringan kapas, seringan bulu! Wahai, bawa langkahku segera ke
belantara! Ke belantara!
EMPAT
Ruh-ruh nenek moyang bangkit dari patilarahan, mengenakan jubah
kebesaran berwarna kuning, merubung langit, menjadikan awan sebagai macan
tunggangan, merebut jalan angin, berarak melanglang angkasa. Tengah berburukah
mereka? Tengah memberi peringatankah mereka? Jika berburu, siapakah yang mereka buru? Jika memberi peringatan, dosa
macam apakah yang mereka ingati? Jika marah, kepada siapa kemarahan ditujukan? Lawing
Carita perlahan duduk bersila. Di hadapannya terhampar kain kuning. Di atas
kain kuning itu ada sebuah mata tombak, sebilah parang, sebatang sumpitan ulin,
sejumlah anak sumpitan, dan sebilah mandau.
Lawing mengambil mandau dan menatingnya ke depan wajah. Matanya
impas, seakan meneliti apakah ada karat—sekecil apapun—yang berasal dari bekas
percik darah di situ. Tak terlihat apa-apa di keputihan batang mandau itu,
kecuali bayang wajahnya. Kuku jempol tangan kirinya kemudian menjentik batang
mandau. Triiingg! Masih dahaga akan
darahkah engkau, wahai sukma mandau? Triiingg! Masih belum cukupkah kepala yang engkau tetak, wahai sukma mandau? Triiingg!
Lawing menyeringai. Dia ingat lagi pada peristiwa itu.
Mandau telah terhunus ketika dengan sabar aku
mendekam di rimbun belukar dekat jalan setapak itu. Nyamuk-nyamuk yang terbang
bergerombol dan membunyikan ngiang berkepanjangan di telinga tak kupedulikan,
juga yang langsung menancapkan sungut dan mengisap darahku. Tak akan lama,
pikirku. Tak akan lama lagi. Dan memang tak lama. Lelaki itu, Uwi Jagau, muncul
dari kelokan. Tangan kanannya menenteng chain saw. Tangan kirinya terayun dalam
irama lamban, selamban langkahnya.
Sebagai seorang yang berjuluk jagau alias
jagoan seharusnya ketajaman pandang dan kepekaan perasaannya dapat diandalkan.
Seharusnya dia bereaksi melihat serombongan nyamuk yang berputar-putar di
seputar belukar, pertanda terdapat mahkluk yang bisa disengat dan diisap
darahnya. Seharusnya Uwi bisa mencium bau bahaya, bau kematian yang mengambang
dari mandauku. Ternyata intuisi jagoan kampung pinggiran hutan itu majal
sekali. Ia malah bersiul, menirukan intro sebuah lagu dangdut. Selepas siul itu
mulutnya kemudian melagu:
“ Mati aku
ayahku tahu
aku berjalan dengan pacarku
Mati
aku….”
Dan kematian memang datang. Begitu cepat.
Begitu tak terduga. Satu tetakan, cuma. Teriakan tak sempat ada. Lenguh tersekap
pun tak ada. Yang terdengar cuma bunyi gedebuk chain saw jatuh dan tubuh yang
rubuh. Selebihnya: pancur darah dan gelindingan kepala yang kemudian sangkut
pada tonjolan akar kariwaya.
Kutarik nafas sepenuh dada dan
menghembuskannya panjang-panjang lewat mulut. Kukibas-kibaskan batang mandau,
membuang sisa darah. Sambil memasukkan batang mandau ke sarungnya aku melangkah
ke semak tempatku sembunyi tadi, mengambil butah. Dari dalam butah kuambil
kantongan plastik warna hitam. Kepala Uwi kumasukkan ke dalam kantongan itu,
kujejalkan ke dalam butah. Kusandang butah ke bahu. Kutinggalkan tempat itu,
tanpa menoleh lagi.
Triiingg!
Lawing kembali menjentik batang mandau sebelum meletakkannya ke hamparan kain
kuning. Tangan kanannya kemudian menjangkau jenar. Dipejamkannya mata lalu
menjaring warna kuning yang retas dari kegelapan. Jenar pun ditorehkan ke dahi.
Lawing tenggelam dalam hening meditasi.
Pung-pung-pung-tak-pung, pung-pung-pung-tak-pung. Lawing membuka
mata. Pung-pung-pung-tak-pung, pung-pung-pung-tak-pung. Kening Lawing berkerut.
Pung-pung-pung-tak-pung, pung-pung-pung-tak-pung. Suara alu menumbuki lesung
terus bertalu. Mmhh, bagaimana jika
lesung yang menumbuki alu? Seringai Lawing perlahan terkembang. Dan di
matanya terbayang Mirah.
Di ruang yang berpenerangan
tak benderang itu nafasku tersendat oleh gerak putaran berulang yang dilakukan
Mirah. Perempuan itu, malam itu, entah kenapa, menuntut sesuatu yang lain dari
biasa dan memacuku ke dalam luapan hasratnya yang seakan lepas bendungan. Suatu
ketika Mirah menyintuh dengan penuh perasaan, menyulam gairah dalam kelembutan
yang membutuhkan; lalu pada ketika yang lain dia bergerak bagai limbubu,
mendesakkan birahi dalam tuntutan yang bergejolak. Silih berganti perubahan
irama itu hingga rasanya aku ingin mendaraskan lenguh purba yang tak kukenal
sebelumnya.
Dan akhirnya lenguh purba itu
memang tak tertahan, berkelindan dengan lenguhan panjangnya saat dia ambruk
menindih tubuhku.
“ Engkau suka? “ bisiknya
setelah engah mereda.
“ Ya. “ bisikku, pendek. “
Amat suka…” tambahku.
Mirah tersenyum. Dia
mencium keningku lalu menggelincirkan tubuhnya ke sisiku. Telentang, mata
terpejam.
“ Kita sudah sering
bersama, tapi engkau tak pernah seperti kali ini. “ kataku setelah menyulut
sebatang rokok.
“ Aku tengah menikmati
kebahagiaan. “
“ Kebahagiaan? Engkau
menang besar di perjudian? “
“ Bukan itu. Aku kini
bebas. “
“ Bebas dari apa? “
“ Bebas dari cengkeraman
Uwi Jagau. “
Kubiarkan nama Uwi sejenak
mengambang di udara. Uwi Jagau memang biang onar di kampung pinggiran hutan
itu, kampung Akar Bagantung. Uwi, sang jagoan kampung yang main palak main pukul
seenaknya, yang main bentak main pisau sekehendaknya, momok bengis bagi para
pemilik warung dan pengunjung, para mucikari dan pelacur, para bandar dan
penjudi.
“ Hampir seminggu aku tak
kesini, tak disangka Uwi bisa berubah. “ ucapku sehabis menghembuskan asap
rokok.
“ Uwi memang telah berubah.
Berubah jadi mayat tanpa kepala. “ ada nada leceh di ucapan Mirah.
“ Apa? Uwi mati dan
kepalanya tak ada? “ aku berharap kekagetan yang diperkuat dengan jatuhnya
batang rokok dari jepitan bibir plus gegas bangun dari berbaring serta gerak
cepat mengambil rokok dari sprei yang berantakan. Merupakan hal meyakinkan
dalam pandangan Mirah.
“ Tiga hari lalu, Uwi
dingayau orang. Tubuh tanpa kepalanya ditemukan di dekat pertigaan hutan
selatan. “
Aku sengaja diam, memberi
kesan bahwa kabar itu benar-benar mengagetkan. Kusibukkan diri dengan mengisap
dan menghembuskan asap rokok dalam tempo pendek-pendek.
“ Bagaimana orang yakin
kalau mayat itu Uwi? “ tanyaku.
“ Tato di tubuh, parut
bekas luka di perut, dan KTP dalam dompet di kantong celana. “
“ Ada yang dicurigai sebagai pembunuhnya? “
“ Bagiku, dan bagi banyak
orang di sini, siapa yang membunuh Uwi bukanlah hal yang penting. “
Mirah membuang rokok dari
bibirku. Tangannya mengelus-elus rambutku. Elusan halus yang perlahan menyauk
endapan birahi, terlebih saat bibirnya mencari-cari bibirku. Lalu…
“ Lawing….Lawing! “
Suara perempuan? Siapa? Lawing bergegas ke pintu balai. Di redup suluh damar ditemukannya wajah
rusuh Sindang Maruai.
“ Sindang…ada apa? “ tegur
Lawing Carita ..
“ Runting Sakarti terkena sumpit pasukan berjubah kuning. “ Sindang
Maruai berucap di antara engah nafasnya.
“ Apa? Runting Sakarti terkena sumpit? “ Alis Lawing bertaut. “ Bagaimana
keadaannya? “
“ Nampaknya parah, tubuhnya sudah mulai menguning…”
“ Dia ada di mana? “
“ Di tanah huma. Aku perlu beberapa orang untuk mengangkutnya ke
balai. “
Lawing terdiam sejenak. “ Engkau pulang saja, Sindang. Engkau sudah
terlalu lelah. “ ujarnya kemudian. “
Kami akan ke tanah huma dan membawa Runting ke balaimu. “
“ Aku ikut denganmu. Aku masih kuat. “ Sindang bersikeras.
Lawing Carita mengangkat bahu. Dia memanggili beberapa nama. Sekejap
kemudian berpuluh suluh damar seakan hantu api berkejaran menuju tanah huma. Di
dangau, Lawing menemukan warna kuning sayup terpeta di kulit Runting Sakarti.
Kepala sang calon Damang disangga oleh pangkuan Tunjung Bulan, sementara rona cemas
nampak berloncatan di mata gadis itu. Di pipi ranumnya terpeta bekas air mata.
BELAHAN DUA
TELAGA DARAH
SATU
Telaga Darah, begitu orang menyebut
perkampungan itu. Konon, nama itu muncul dari kepingan sejarah, kepingan
berlumut ketika mengayau masih merupakan bagian kehidupan. Mengayau dinilai
sebagai upaya manusia untuk meraih martabat tinggi pada kehidupan di Alam Atas
dan di Alam Tengah. Di Alam Atas, di
Negeri Tak Ada Siang Tak Ada Malam, orang yang ditetak kepalanya akan menjadi
hamba sahaya sang penetak. Semakin banyak kepala yang ditetak akan semakin
banyaklah hamba sahaya yang melayani segala keperluannya nanti. Di Alam Tengah,
di kehidupan nyata, kepulangan seseorang dengan menghambin sekian kepala akan
mendapat sambutan meriah seisi kampung, dielu-elukan dalam sejumlah pesta
sebagai pahlawan gagah berani, sosok idaman para gadis untuk menyandarkan hidup
dan kehidupan, pampangan kebanggaan rumpun keluarga.
Pada suatu musim kemarau, menurut cerita tua-tua, kampung menjadi
sasaran pengayauan besar-besaran dari puak lain. Pengayauan membuka medan pada dataran kering,
tak jauh dari sebuah telaga. Pertempuran yang memakan hitungan tiga purnama
menimbulkan banyak sekali korban di kedua pihak. Darah menyungai ke telaga,
menjadikan telaga dangkal itu hampir penuh, merah warna airnya. Maka jadilah
kampung itu berjuluk Telaga Darah.
Dua puluh satu balai berada dalam lingkung hukum adat Telaga Darah,
terserak di hijau lembah dan lebat belantara bagian Barat Tanah Tinggi Meratus.
Dipimpin seorang Damang. Dipayungi seorang Kepala Adat. Ditopang 41 Tetua.
Dipasak sejumlah balian. Dihidupi tanah huma tugalan. Tinggal dan beranak-pinak
di dalam balai.
Pusat perkampungan terletak di sebuah dataran agak ketinggian
yang disisir oleh sebatang sungai bercabang dua. Di situ berdiri tiga buah
balai. Di Timur, Balai Pancur Angin, balai hunian bubuhan Diyang Tunjung Bulan,
tetuanya Danar Wanang alias Pang Bulan. Balai ini dahulu dibangun dengan
pandangan yang lebih mengutamakan sisi keamanan. Memang agak jauh dari sungai,
tetapi strategis letaknya. Halaman belakang dan kiri-kanannya hutan bambu
kuning. Jika angin berdesir, hutan bambu akan gemerisik, menyusupkan kenyamanan
bagi penghuninya.
Berjarak sekitar 1 kilometer ke barat, berdiri Balai Labuhan Kindan,
balai hunian bubuhan Runting Sakarti, dengan tetua Simbar Rawali alias Pang
Lambut. Balai terbesar ini tak jauh dari sungai, terletak di hamparan tanah
berumput hijau yang resik. Bagian belakang, kiri dan kanan, terdapat hutan kayu
manis. Jika tiba waktu, warna merah muda pucuk-pucuk daun kayu manis akan
merata, menebarkan pesona ke tiap tatap mata.
Satu kilometer lagi ke arah Barat, berdiri Balai Titian Mantuk,
balai hunian bubuhan Lawing Carita, tetuanya Tunjang Rimpang alias Pang Amit.
Didirikan di suatu dataran yang diapit dua buah bukit. Bagian belakangnya
merupakan hamparan hutan karet. Di kiri-kanan balai, tumbuh dua batang kariwaya
besar, menyungkupkan keteduhan. Di depannya, berjarak sekitar 15 meter,
mengalir sungai, membunyikan risik di batu, sepanjang waktu.
Ketiga buah balai itu cuma berbeda dalam ukuran. Berbentuk
segiempat, disangga oleh tiang-tiang ulin yang kukuh, lantainya yang sekitar 2
meter di atas tanah terbuat dari belahan bambu, dindingnya dari palupuh. Di
dalam balai, di bagian tengah, terdapat ruang segiempat panjang yang lantainya
diturunkan kira-kira sehasta dari lantai balai, ruang pamatang. Pamatang berasal dari kata matang atau masak; bermakna bahwa di situ selain merupakan ruang
untuk pelaksanaan berbagai upacara juga sebagai wadah pengambilan keputusan
akhir yang mengikat. Jika keempat tiang sudutnya disilangkan, di tengahnya
merupakan titik pusat balai atau pusat kosmos. Mengitari pusat kosmos itu terdapat
ruang laras, ruang yang berfungsi
sebagai tempat duduk-duduk, menerima tamu, tempat bermain anak-anak, juga
tempat tidur bagi laki-laki yang belum kawin. Mengelilingi ruang laras,
dibangun ruang ujuk yang jumlahnya sesuai dengan jumlah kepala keluarga
penghuni balai. Satu keluarga disebut satu umbun. Setiap umbun
menempati sebuah ujuk.
Sebuah balai didiami
oleh orang-orang yang mempunyai ikatan pertalian keluarga, baik karena hubungan
darah maupun karena perkawinan yang dilakukan dengan pola eksogam-balai. Tak heran kalau di dalam
sebuah balai terdapat puluhan
kepala keluarga. Balai Labuhan Kindan, balai terbesar, dihuni oleh 35 umbun.
Balai Pancur Angin ditempati 30 umbun. Dan Balai Titian Mantuk didiami 24 umbun.
Dipandang dari samping, sebuah balai tak ubahnya payung terkembang,
identik dengan Pohon Kehidupan dalam mitologi puak Telaga Darah. Bagian atas, bubungan
dengan konstruksi atap pelana yang ujungnya berbentuk seperti limas,
melambangkan gunung keramat di Alam Atas. Bagian bawah melambangkan sungai
keramat di Alam Bawah. Jadilah balai sebagai mikro kosmos, kesatuan kosmik
totemik di mana penghuninya seakan-akan tinggal di bagian Alam Tengah yang
diapit oleh Alam Atas dan Alam Bawah.
Mulai perkampungan terdapat jalan selebar 1, 5 meter beraspal kasar
yang bisa dilalui kendaraan roda dua. Jalan berliuk berliku itu berujung pada
sebuah jembatan gantung. Selepas jembatan gantung, sekitar setengah jam
berjalan kaki akan sampai ke Loksado, ibukota kecamatan. Lok artinya sungai, Sado
berarti tempat untuk mengalirkan air. Loksado dapat diartikan sebagai tempat di
mana air tak pernah berhenti mengalir.
Di Loksado bermukim orang-orang Banjar, orang Dayak Meratus yang
beragama Islam dan Katolik, juga orang Jawa dan pendatang lainnya. Di situ
terdapat kantor-kantor pemerintahan, sarana pendidikan hingga tingkat SMP, juga
pasar tradisional yang buka setiap hari Selasa.
Dari Loksado terbentang jalan beraspal hot-mix, selebar 5 meter
sepanjang 40 kilometer ke ibu kota
kabupaten. Jalan berliku meminggang gunung dengan kemiringan 5 – 10 derajat itu
terbilang aman dari longsoran karena tebing-tebingnya ditutupi oleh banyak
tetumbuhan. Di pertiga jalan itu terdapat persimpangan, sebuah jalan
trans-kalimantan yang menuju kabupaten-kabupaten di wilayah tenggara Kalimantan
Selatan.
Jika siang hari, perkampungan terbilang sepi. Para
perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di ladang, merawat huma tugalan. Para lelaki bepergian meramu hasil hutan. Menjelang
petang, orang-orang berdatangan, menjadikan kampung ramai oleh celoteh dan
pembicaraan keseharian. Kadang terpancar juga nada cemas di pembicaraan kala
angin sayup membawa bunyi rak-rak-gui, bunyi pohon-pohon yang bertumbangan oleh
keganasan chai-saw, loader dan eksavator. Terlebih kalau
hutan-hutan yang digunduli itu merupakan hutan-hutan yang dikeramatkan.
Begitulah Telaga Darah. Tapi dalam lima hari terakhir ini, kecemasan yang muncul
dari pembicaraan adalah kecemasan yang lain. Betapa tidak, orang yang
digadang-gadang sebagai damang entah kenapa menjadi sasaran buruan para
penunggang berjubah kuning, rebah tak berdaya dengan tubuh menguning.
DUA
Hari keenam selepas perarakan
ruh-ruh berjubah kuning. Gerimis rinai. Bulan tanduk perlahan menyilam ke balik
awan hitam, tak menyisakan berkas cahaya. Maka kemuraman pun menyelimuti Balai
Labuhan Kindan, balai hunian Runting Sakarti. Di pintu-pintu bangunan besar
berbentuk segiempat itu bergantungan anyaman dari pucuk daun enau, pertanda di
dalam balai ada orang sakit yang tengah dalam proses pengobatan. Selain warga
Balai Labuhan Kindan dan para balian, tak seorang pun diperkenankan memasuki
balai. Di dekat limpang, ditancapkan tujuh ruas bambu seukuran lengan bayi yang
juga diberi janur pucuk daun enau, pertanda sanksi adat yang berat akan menimpa
tiap pelanggar.
Di dalam balai, Runting tetap terbaring, tak menampakkan tanda-tanda
kesembuhan. Dan rusuh jualah namanya yang membilas-bilas hati Sindang Maruai.
Dia tahu, jika jampi-jampi, akar dan ramuan sudah tak mampu mengobati maka itu
berarti sumangat[18]
si sakit telah meninggalkan badan. Mencari dan mengembalikan sumangat ke
dalam badan bukanlah hal yang gampang. Diperlukan upacara, diperlukan
persyaratan, diperlukan biaya.
Pencarian dan pengembalian sumangat dilakukan para balian lewat tiga
tahapan upacara. Mula-mula Babalian Gandang. Para balian
merapal mamang sambil batandik[19]
diiringi musik berupa pukulan gendang, melakukan pencarian sumangat ke pelbagai
tempat dan mengembalikannya ke dalam tubuh si sakit. Jika upacara ini tidak
berhasil menyembuhkan, digelarlah Babalian Sarunai. Alat musik ditambah
dengan tiupan serunai bambu. Balian dipilih yang lebih digjaya. Jika si sakit
tak juga sembuh, dilakukanlah upaya terakhir, Babalian Gumalan. Upacara
ini merupakan upacara pengobatan yang paling berat, baik dalam hal persyaratan,
perlengkapan, mau pun pengerjaannya. Alat musik akan ditambah dengan gong.
Pelaku upacara haruslah balian yang bertataran Balian Guru. Jika upaya ini tak
juga menyembuhkan maka itu berarti si sakit telah sampai pada batas umurnya.
Runting Sakarti telah melampaui dua tahap pengobatan. Saat Babalian
Gandang, upaya para balian tak menghasilkan apa-apa. Pencarian tak kasatmata
mereka terhalang oleh tujuh lapis kabut tebal sehingga harus pulang dengan
tangan hampa. Sakit Runting Sakarti tambah parah, kentara dari warna kuning
yang kian menebal di tubuhnya. Ketika Babalian Sarunai, para balian berhasil
menembus kabut. Mereka bisa melihat sumangat Runting Sakarti mengambil wujud
seekor pipit berbulu merah yang menggelepar-gelepar lantaran kakinya tergantung
pada seutas tali. Pang Tambit, pimpinan balian pencari, berupaya membebaskan pipit
itu, tetapi para penjaga pipit keras mempertahankan. Pertarungan terjadi.
Sebuah pertarungan singkat. Pada jurus ke tujuh Pang Tambit mundur. Terpaksa
pulang dengan membawa segores luka di lengan. Runting Sakarti benar-benar
kehilangan daya. Jangankan untuk menggerakkan jerigi, membuka mata pun dia tak
kuasa.
Dan malam ini adalah harapan penghabisan. Tiga hari lalu Pang
Lambut, Tetua Balai Rampah Minjalin, telah mengirim puntung kayu yang dibungkus
bilaran[20]
kepada 41 balai yang termasuk dalam puak mereka, undangan khusus kepada balian
yang mencapai tataran Balian Guru agar dalam hitungan tiga hari, apapun
halangan yang menghadang, sudah berada di balai pengirim. Sejak siang tadi para
Balian Guru itu telah berdatangan, mempersiapkan diri untuk merebut dan
mengembalikan sumangat Runting Sakarti.
Tapi seberapa besar harapan? Sindang
Maruai memandang ke arah Pang Lambut yang tengah meneliti dan mengatur
kelengkapan sesaji : empat puluh satu macam kue, empat puluh satu macam
kembang, secangkir santan, secangkir gula merah, secangkir kopi pahit,
secangkir kopi manis, sebatang rokok, sebungkus korek api, sebumbung lemang,
secawan darah ayam hitam, secawan darah babi, sebutir telur ayam betina hitam,
cupu berisi tujuh butir beras putih, cupu berisi tujuh butir beras kuning, dan
cupu berisi tujuh butir beras ketan hitam.
“ Paman… ” Sindang memanggil, lirih. “ Akan sembuhkah Runting? “
“ Semua orang mengharapkan kesembuhannya, Sindang. Semua orang. “
tandas Pang Lambut. “ Kita akan berusaha sekuat daya. Berusaha, kukatakan, karena seberapa besar pun usaha tetaplah
punya keterbatasan. Ning Bahatara jualah yang akan menentukan berhasil tidaknya
usaha itu. “
“ Setelah Apang dan Umang tiada, Runtinglah satu-satunya tempatku
bersandar. Aku tak ingin kehilangan dia. Tak ingin…”
“ Aku mengerti itu. Tapi kau hendaknya juga mengerti bahwa Ning
Bahatara punya rencana yang jauh lebih besar dalam mengatur hidup dan kehidupan
ciptaan-Nya. “
Sindang Maruai diam, menyusut-nyusutkan jemari ke rambutnya yang
kusut. Belum pernah ia merasakan saat gelap dan rusuh seperti saat ini. Tidak
juga saat apang dan umangnya dahulu menjejak garis batas hidup dan mati. Apang dan umang memang sudah tua. Ketuaan
berkewajaran untuk menjadi layu. Dan kelayuan berkewajaran pula untuk luruh.
Tapi ini, ah, sebuah keranuman yang tengah cerlang. Haruskah juga lepas dari
tangkai dan luruh?
Tangis Sindang memukul ambang, tapi ditahannya kuat-kuat. Dia sadar
Runting lebih membutuhkan pengobatan ketimbang air mata. Perlahan diedarkannya
pandang. Bagian dalam balai penuh hiasan dari pucuk daun enau. Di sudut utara
tergantung Sangkar Mantit, perlambang kekuatan dan kegagahan. Di sudut
selatan menjulur Sangkar Jukut, perlambang rezeki tak berkeputusan. Di
timur beruntai Sangkar Lampung, perlambang keluhuran dan
ketulusikhlasan. Di barat ada Sangkar Hantu, perlambang penolak
marabahaya.
“ Bawa kesini tikar peninggalan leluhur yang ada di ujuk Runting…”
pinta Pang Lambut.
“ Tikar yang mana? “
“ Yang bergambar Pohon Kehidupan. “
Sindang beranjak ke ujuk Runting. Di ujuk itu Runting terbaring
diam. Ditunggui beberapa wanita tua yang tak henti mendaraskan permohonan
kesembuhan pada Ning Bahatara. Tanpa memandang ke arah tubuh Runting—lantaran
tak sampai hati—Sindang mengambil tikar rotan bergambar Pohon Kehidupan yang
menjurai di dinding palupuh. Melangkah lagi keluar ujuk, menyerahnya pada Pang
Lambut.
Pang Lambut menghamparkan tikar di ruang upacara. Sindang Maruai
memandangi Pohon Kehidupan yang terpeta di tikar. Batang Pohon Kehidupan
berbentuk seperti tombak, runcing menunjuk ke langit. Melambangkan gunung
keramat di Alam Atas, di Negeri Berpasir Emas Berbukit Intan Berkerikil
Manikam. Di puncaknya, tergambar matahari abadi di Negeri Tak Ada Siang Tak Ada
Malam. Di kiri-kanan matahari abadi mengepak dua ekor burung Tingang, perlambang
Ning Bahatara, sang Penguasa Alam Atas. Bagian bawah Pohon Kehidupan bertumpu
pada sebuah guci yang dibentuk dari dua ekor Naga berlilit ekor, perlambang
Sang Jata, Penguasa Alam Bawah. Guci itu berisi air suci, melambangkan sungai
keramat di Alam Bawah yang menjadi sumber air kehidupan di Alam Tengah.
Dahan di kiri-kanan Pohon Kehidupan berjumlah sama, berlekuk
sedemikian rupa melambangkan Sang Jata, daun-daunnya berbentuk ekor tingang,
melambangkan Ning Bahatara. Buah Pohon Kehidupan berjumlah dua menghadap ke
atas dan dua menghadap ke bawah. Kesemuanya mengamsalkan kehidupan di Alam
Tengah yang dua-pindua atau berpasangan dan tetap tak lepas dari Ning
Bahatara dan Sang Jata.
“ Runting nanti dibaringkan di situ? “ Sindang kembali berucap.
Baginya, pengamatan terhadap sekitar dan pembicaraan dengan Pang Lambut lebih
berupa penghindaran terhadap ruang kosong sebelum upacara Babalian Gumalan
berlangsung, sebab sungkupan ruang kosong senantiasa membiakkan lamunan.
Lamunan membiakkan kemuraman. Dan kemuraman membiakkan kecemasan.
“ Ya. Kepalanya tepat di antara dua tingang ini, sedang kakinya di
antara dua naga itu. “
“ Kenapa begitu? “
“ Karena kehidupan berlangsung di Alam Tengah, di antara kepak
tingang dan geliat naga. “
Sindang Maruai terus menjaring Pang Lambut ke dalam pembicaraan,
kadang menanyakan hal-hal yang sebenarnya sudah lama diketahuinya. Pang Lambut
dengan sabar melayani pembicaraan. Lelaki tua itu tahu apa yang sebenarnya
tersirat dalam kelakuan Sindang.
TIGA
Kecemasan ternyata juga membiak di hati Diyang Tunjung Bulan. Dia
sebenarnya ingin sekali melihat keadaan Runting, bahkan menunggui lelaki itu,
tetapi tanda pantangan yang tergantung di pintu Balai Labuhan Kindan menghalang
jalannya. Setiap hari, di pinggir sungai, dia diam-diam mendengari percakapan
orang-orang tentang perkembangan Runting Sakarti. Dan setiap hari pula
kecemasan beranak-pinak lantaran kabar yang sampai ke telinga cumalah kabar
buruk.
“ Babalian Sarunai gagal…” ujar seseorang sambil mengosokkan kain
cucian ke batu.
“ Ya. Keadaan Runting tambah parah…” kata seseorang yang lain.
“ Dia sekarang tengah berada di batas hidup dan mati. “
“ Aku tak habis pikir kenapa orang sebaik dia jadi begitu. “
“ Aku juga. Rasanya tak mungkin dia melakukan kesalahan tak berampun
sehingga jadi buruan para penunggang berjubah kuning…”
“ Barangkali itulah yang namanya nasib, garisan tangan dari Ning
Bahatara. “
Diyang Tunjung Bulan menggigit bibir. Terbayang lagi di matanya
bagaimana lelaki itu jatuh-bangun menyeberangi sungai untuk menghindari kejaran
para penunggang berjubah kuning, bagaimana Runting mencoba menyembunyikan diri
di gelap belantara. Duh, belantara gelap itu ternyata tak jua mampu
menghindarkan dirinya dari terjangan damak para penunggang berjubah kuning.
Damak yang kemudian membuatnya terbaring dengan tubuh berwarna kuning. Dan
sekarang, ah, akan mampukah para Balian Guru mengembalikan sumangatnya?
Diyang Tunjung Bulan memandang ke arah apangnya yang tengah mengikat
mandau ke pinggang.
“ Apang akan memimpin upacara? “ tanyanya dengan suara bergetar.
“ Tidak. “ Pang Bulan mengikat lawung ke kepala. “ Pang Mahatip yang
memimpin. Dalam hal pengobatan dia yang tertinggi ilmunya. “
“ Seberapa besar peluangnya? “
“ Sekecil apapun peluang tetaplah peluang. Tapi takdir tetaplah pula
mengatas segalanya. “ sahut Pang Bulan sambil menundukkan kepala, agar istrinya
bisa memasangkan samban[21]
ke leher, samban dari gigi-gigi macan, paikat sampuk buku[22],
tanah malai[23],
dan kumis barabayaban[24].
Kesemua benda bertuah itu tersusun rapi dan diikat dengan tali dari kulit
kijang putih.
“ Kuharap Apang berupaya seboleh daya. “ pinta Tunjung Bulan
“ Kau menguatirkan keselamatannya? “
Pertanyaan tak terduga. Tunjung Bulan tergagap. Dia memintaskan
pandang ke arah sang umang, seakan mencari kekuatan, Sorot teduh di mata umang
memantapkan hatinya. Maka kepalanya perlahan mengangguk kecil.
Pang Bulan menghela nafas berat. “ Kadang-kadang aku berpikir bahwa
kematian merupakan jalan terbaik bagi persoalan kalian….” ucapnya sambil
melangkah
Tunjung Bulan terperangah. “ Apang! “ tegurnya.
Pang Bulan seakan tak mendengar, terus berjalan menuruni limpang,
menembus rinai gerimis.
“ Ucapan Apangmu itu jangan disimpan dalam hati. “ bujuk umang
melihat mata Tunjung berkaca-kaca.
“ Barangkali ucapan Apang itu benar. “ Tunjung menyandarkan kepala
ke tiang. “ Sebenarnya aku pun pernah
berpikir seperti itu. Rasanya…rasanya…ah…” dua alur jernih perlahan mengaliri
pipi Tunjung.
Perlahan pula umang meraih tubuh si anak semata wayang itu ke dalam
dekapan. “ Tabahlah, Tunjung, tabahlah…”
“ Entah tulah macam apa yang kusandang hingga harus menerima
kenyataan pahit semacam ini. “ kesah Tunjung. “ Dosa apa yang membalut diri
sehingga kelahiranku menghukum aku seperti ini…”
“ Jangan berpikir tentang tulah. Ketika engkau menyanggupi kepada
Ning Bahatara untuk dilahirkan dan melihat dunia ini maka ketika itu pula
engkau telah menyanggupi untuk menghadapi segala cobaan maupun rintangan.
Hidup, anakku, berarti keberanian untuk menghadapi kehidupan itu sendiri. Walau
bagaimanapun jua pahitnya kehidupan itu kau harus bisa mengembalikannya kepada
perjanjianmu dengan Ning Bahatara. Apabila engkau bisa mengembalikan itu maka
sekali kau menerima kepahitan di baliknya kau akan menerima berlipat-ganda
kesabaran….”
Umang mengais butiran air mata di pipi Tunjung. Jemarinya kemudian
mengelus rambut Tunjung, menyusupkan kasih sayang, merembeskan kesejukan
seorang ibu, berupaya mencabuti serumpun duri yang menggeliat di hati anaknya.
Malam membiarkan saja. Rinai gerimis membiarkan saja. Cuma angin membisikkan
tangis Tunjung Bulan pada daun-daun bambu kuning. Lirih. Gemerisik.
EMPAT
Di atas tikar rotan bergambar Pohon Kehidupan membujur tubuh Runting
Sakarti. Tak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali nafas, itu pun lemah dan kadang
tersendat. Lurus dengan kepalanya ada sebuah pelita, mengerdip kecil, memainkan
tarian terang-gelap yang ritmis : nyala kehidupan. Tepat di dadanya menjulai
sehelai selendang kuning. Ujungnya menjela dada, sementara ujung yang satu lagi
diikat dengan rotan ke bubungan balai. Lewat selendang itulah jalan turun dan
masuknya sumangat Runting jika nanti berhasil dibebaskan dari tawanan
ruh-ruh berjubah kuning. Di dekat kakinya, terbentang kain putih, ujungnya yang
satu menyentuh lantai dan ujung yang lain terikat pada bubungan balai. Itulah
tangga para balian untuk mencapai wilayah tak kasatmata. Di sisi kiri tubuhnya,
terhidang berbagai sesajian. Semuanya diperuntukkan bagi ruh-ruh berjubah
kuning agar tak marah jika sumangat Runting nanti diambil. Di sisi kanan
tubuhnya, tergolek hampatung, sebuah patung dari kayu pulantan. Patung
serah diri, dimaksudkan sebagai pengganti diri Runting Sakarti.
Pang Mahatip, Balian Guru dari Balai Batu Limbang yang dianggap
tertinggi ilmu pengobatannya dan paling pandai berdiplomasi dengan para ruh,
akan memimpin perjalanan. Tujuh Balian
Guru lain, Pang Bulan dari Balai Pancur Angin, Pang Jangkang dari Balai Libar Bantai,
Pang Manuh dari Balai Riam Babayang, Pang Mulang dari Balai Gagar Buluh, Pang Siyam
dari Balai Lumpang Waja, Pang Mirang
dari Balai Baruh Kirawang, dan Pang Sahiring dari Balai Datar Mangkiling, akan
menjadi penggiring, pasukan yang siap menyabung nyawa. Mereka mengambil kambang
lilihi[25],
lalu duduk bersila membentuk lingkaran, tak jauh dari tubuh Runting Sakarti. Di
hadapan mereka terletak sebuah piring putih berisi kapur bercampur minyak
kelapa. Menyan putih dan dupa dibakar. Asap mengepul. Keharuman pun menguar.
Gendang ditabuh dalam irama lambat menayung. Seiring dengan lengking serunai
bambu mamang[26]
mulai dirapal. Saat gong memasuki irama, para Balian Guru memasukkan telunjuk
ke dalam piring putih, mencoretkan kapur bercampur minyak kelapa sebanyak tiga
coretan di pipi kiri dan kanan, pangkal lengan dan pergelangan tangan. Telunjuk
dimasukkan lagi ke dalam piring putih, diangkat ke depan mulut dan ditiup tiga
kali, lalu dicoretkan dalam bentuk cacak
burung[27]
di bawah coretan terdahulu. Cacak
atau cecak merupakan lambang dunia bawah, digambarkan dalam bentuk garis horisontal.
Garis horisontal berarti garis dengan sifat bertahan, berfungsi sebagai perisai
yang menangkis segala serangan. Burung merupakan lambang dunia atas,
digambarkan dalam bentuk garis vertikal. Garis vertikal berarti garis dengan
sifat aktif, berfungsi untuk menyerang, memburu dan mengusir.
Para Balian Guru kemudian bangkit,
melangkah perlahan dan membentuk lingkaran dengan poros tubuh Runting Sakarti.
Kaki kanan diangkat, tumitnya diletakkan pada sisi lutut kiri. Puja-puji dalam
rangkaian mantera terus dikumandangkan, bersiap mengundang Indung Pangisahan dan Bapang
Kawasa, dua aspek ilahiah dari Nining
Bahatara, sang ilah utama pengatur rejeki dan nasib manusia.
Dipandu liukan bunyi serunai bambu, para Balian Guru sama memandang
ke bawah, tunduk merajah bumi, mengangkat hakikat Indung Pangasihan, sang pemelihara bumi. Memandang ke atas,
tengadah memikat langit, menyimbat hakikat Bapang
Kawasa, sang pemelihara langit. Musik tiba-tiba mengeras, mempercepat
irama. Disahut lolong anjing. Disahut dengus babi. Disahut celoteh ayam.
Disahut angin di daun. Disahut gerimis di atap daun rumbia.
Yeeeaaa! Teriakan Pang Mahatip menggelegar. Sesirap
teriakan itu kaki kanan para Balian Guru membuat hentakan di lantai bambu.
Mereka mulai batandik, meliuk-liuk mengelilingi tubuh Runting Sakarti. Sesekali
kambang lilihi dikibas-kibaskan ke tubuh yang membujur itu.
Lama mereka batandik. Berjam-jam. Koor mamang dan bunyi musik seakan
saling buru. Tambah cepat. Tambah tinggi. Mendadak para Balian Guru terjungkal,
menggelepar di lantai bambu. Musik berhenti. Sunyi membungkus. Yang bersuara
cuma derak lantai bambu akibat geleparan tubuh para Balian Guru.
Tiba-tiba Pang Mahatip meletik bangun. Matanya liar. Mulutnya
menceracau dalam bahasa Sangiyang, bahasa alam supranatura. Aneh, suara Balian
Guru itu berubah menjadi suara seorang wanita! Agaknya pimpinan pasukan
penunggang berjubah kuning yang memburu dan menawan sumangat Runting itu
seorang wanita, pikir Sindang Maruai sambil menyalurkan gelisah ke dalam
remasan tangannya sendiri.
Seorang perempuan tua, Dung Tatar, seorang pinjulang[28],
segera memburu, memegangi bahu Pang Mahatip, mendengari ceracaunya dan
menerjemahkan ceracau dalam bahasa Sangiyang itu agar dimengerti hadirin.
“ Kami meminta kalian mengirimkan utusan …” ujar pinjulang.
Mulai nampak titik terang, pikir Sindang
Maruai. Matanya yang sembab bekas tangis menatap impas ke arah Pang Mahatip. Agaknya
Paman Pang Mahatip telah berhasil menjalin perdamaian, setidaknya hal yang
mengarah pada perdamaian. Permintaan mengirim utusan biasanya lebih mengarah
pada soal tawar-menawar permintaan dan persyaratan.
Pang Mahatip menceracau lagi.
“ Seorang wanita. Bukan sembarang wanita, tapi seorang gadis. “
Alis Sindang Maruai terjungkit. Tak biasanya wanita menjadi
utusan. Tugas seorang utusan tidaklah mudah. Ia harus melewati berbagai ujian
sebelum dinilai pantas untuk jadi juru runding. Ujian yang jika gagal
ditaklukkan akan membuat nyawanya melayang lebih dahulu dari nyawa si sakit.
Karena itu utusan yang dikirim haruslah seorang yang benar-benar pilih tanding,
seorang Balian Guru atau setidaknya seorang Balian Tuha. Tetapi kali ini
seorang wanita? Sindang Maruai terus membatin, bercakap dengan dirinya
sendiri. Akan kulakukan apapun kehendak mereka, putusnya kemudian. Akan
kujalani seberapa berat pun ujian nanti asal sumangat Runting dikembalikan.
Ceracau Pang Mahatip kembali menyuara.
“ Seorang gadis bernama Diyang Tunjung Bulan. “
Diyang Tunjung Bulan? Alis Sindang
Maruai kembali terangkat. Kenapa harus Diyang Tunjung Bulan?
Pang Mahatip tak
berucap lagi. Dia kini meronta dari pegangan sang pinjulang. Lepas. Dan berlari
ke arah pintu balai.
“ Tahan dia! “ teriak Pang Lambut.
Beberapa pemuda Balai Labuhan Kindan segera menghadang dan menangkap
Pang Mahatip. Balian tua itu keras meronta. Berkutatan sejenak mereka sehingga
beberapa bilah lantai balai patah. Pang Mahatip akhirnya lemas, rebah di paha
seorang pemuda.
Bagaimana ini? Bagaimana? Sindang Maruai
memikir-mikir. Titik terang yang semula sempat mendenyar perlahan padam lagi. Andai
Tunjung Bulan merupakan bagian dari bubuhan BalaiLabuhan Kindan, permintaan
ruh-ruh berjubah kuning bukanlah persoalan besar, sebab berkait dengan
kesetiaan dan kebaktian juriat bubuhan kami. Tapi Tunjung Bulan bukan juriat
kami, Tunjung Bulan juriat bubuhan Balai Pancur Angin. Mungkinkah dia
bersedia memperjudikan nyawa untuk sebuah nyawa lain yang sama sekali tak ada
hubungan darah dengannya? Pikiran Sindang Maruai terputus saat melihat para
Balian Guru bangkit. Mereka tampak letih sekali. Tiga orang bahkan harus
dipapah dan disandarkan ke tiang balai.
Pang Bulan melangkah tertatih. Duduk menyandar ke tiang sambil
melonjorkan kaki. Peluh membanjiri tubuh lelaki tua itu. Dadanya berombak
cepat. Wajah Kepala Adat itu entah kenapa nampak mengelam. Sorot matanya
menyimpan kemarahan. Tarikan ujung bibirnya menyiratkan kegeraman. Mungkinkah
itu karena proses pengobatan berikutnya akan melibatkan nyawa putrinya?
Semua mata kini tertuju pada Pang Bulan. Menunggu putusannya.
Putusan yang berat. Mengirim Tunjung Bulan ke wilayah ruh-ruh berjubah kuning
memang nyawalah taruhannya. Bukan tidak mungkin pula ruh berjubah kuning
menghendaki Diyang Tunjung Bulan sebagai ganti Runting Sakarti.
Pang Bulan menyulut sebatang rokok. Hatinya diam-diam menggelombang
tak menentu. Bukan soal mengirim Tunjung
Bulan sebagai utusan yang membuat damparan gelombang itu, tapi soal lain. Soal
kejadian di dekat kariwaya tempat sumangat Runting Sakarti tersekap. Tadi,
setelah menembus tujuh lapis kabut mereka tiba di sebuah padang ilalang. Seluruh padang nampak seperti hamparan permadani
hijau campur putih. Kehijauan daun dan batang lalang, keputihan kembang lalang
yang melenggang-lenggok di terpa angin. Tujuh batang kariwaya tumbuh di situ.
Di tiap batang, berlilit seekor ular besar. Di salah satu batang, tergantung
sangkar kecil, di dalamnya seekor pipit yang nyaris tak berani bernafas sebab
cuma dialing jeruji mata ganas dari ular besar itu tak lepas mengawasi.
Di bawah rimbunan kariwaya berdiri sebuah balai yang tinggi
lantainya berjarak 2 depa dari tanah. Sementara 6 Balian Guru siaga di bibir
padang, dia dan Pang Mahatip segera berloncatan di atas kembang lalang lalu
hinggap di atas limpang dari ulin yang besarnya sepemeluk orang, melangkah ke
dalam. Di dalam, suasana mengesankan sebuah persidangan adat. Seorang wanita
renta duduk anggun, diapit tujuh gadis cantik di kiri dan tujuh pemuda tampan
di kanan, dikawal lelaki-lelaki berwajah sangar dengan tombak dan sumpitan di
tangan.
“ Selamat datang Bungsu Kaling dan Danar Wanang. “ ucap wanita renta
itu, menyebut nama diri Pang Mahatip dan Pang Bulan.
“ Maaf, kami mengganggu ketenangan Andika. “ ujar Pang Mahatip.
Dan pembicaraan selanjutnya menciptakan gelombang yang
susul-menyusul menumbuk dada Pang Bulan. Tumbukan yang kemudian menjelma
kegeraman. Kegeraman yang ketika disimpan di dalam hati berubah menjadi batu.
Batu yang menindih sehingga membuat nafas tersendat.
“ Danar Wanang…” suara Pang Mahatip membuyarkan lamunan Pang
Bulan. “ Adakah di kampung kita ini
gadis bernama Diyang Tunjung Bulan? “ suaranya sengaja dipelankan, tetapi tetap
tertangkap oleh telinga Sindang Maruai.
“ Ada…”
suara Pang Bulan juga dipelankan.
“ Anak siapa dia? “
“ Anakku…”
Alis Pang Mahatip terangkat. “ Sebuah takdir…” gumamnya kemudian,
entah ditujukan pada siapa.
Ya, sebuah takdir dari Ning Bahatara,
ucap Pang Bulan dalam hati. Tapi kejadian ini tetaplah menuruti hukum
sebab-akibat, hukum perbenturan dua kekuatan untuk membentuk sesuatu yang baru.
“ Kini semuanya terserah pada
kebijakanmu dan anakmu…” ucap Pang Mahatip. “ Aku tak bisa memberikan pemikiran
apa-apa. “ tandasnya sambil menyusut peluh di wajahnya.
“ Paman Pang Mahatip….” Suara Sindang Maruai membuat Pang Mahatip menoleh
ke arah gadis itu.. “ Tak bisakah utusan itu diganti? Aku siap menggantikan
Tunjung. “
“ Tidak bisa. “ sahut Pang Mahatip. “ Tunjunglah yang mereka
kehendaki. “
Sindang Maruai layu. Matanya mulai lagi berkaca-kaca.
Pang Bulan perlahan berpaling ke arah Sindang Maruai. “ Aku akan
membicarakan persoalan ini pada Tunjung. “ ucapnya kemudian. “ Semoga saja dia
bersedia untuk menjadi utusan kita. “
“ Paman Pang Bulan…” suara Sindang Maruai mirip ratapan.
“ Ini merupakan hal yang sudah seharusnya, Sindang. “ ucap Pang
Bulan dalam irama lambat. “ Kendati kita berbeda bubuhan tetapi hakikatnya
adalah satu, rumpun Telaga Darah. Empat puluh satu balai pada dasarnya adalah
satu balai. Luka di tubuh yang satu akan menjadi luka di tubuh yang lain. “
lanjutnya dengan suara mantap. “ Hal ini harus kalian toreh di dalam hati agar
nanti jika kami yang tua-tua ini tiada ia tetap berurat berakar dalam diri
kalian. “
Ucapan Pang Bulan membungkuskan sunyi pada balai. Wajah-wajah
tertunduk. Pang Bulan sendiri diam-diam meneliti sejauh mana bubuhan Balai Labuhan
Kindan ini meresapkan ucapannya, sebab jika penekanan pada hakikat satu tubuh
itu diabaikan maka bukan tidak mungkin nanti akan cerai-berai oleh riwasan
mandau.
“ Danar, Simbar dan kau Rimpang, “ Pang Mahatip menyebut nama asli
Pang Lambut dan Pang Tambit, “ aku ingin bicara, di pinggir sungai….”
“ Di Pancur Angin saja, sekalian kita nanti bicara dengan Tunjung. “
kata Pang Bulan, menangkap maksud Pang Mahatip yang tak menghendaki pembicaraan
mereka didengar orang lain.
Ketiga rekannya mengangguk. Pang Lambut mengedarkan pandang pada
orang-orang seisi balai. “ Jangan meninggalkan balai tanpa izin kami. “ ucap
Tetua Balai Labuhan Kindan itu sebelum melangkah mengiringi rekannya.
Keempat Tetua itu beranjak segera beranjak, melangkah bersuluh damar
ke arah Balai Pancur Angin.
*****
Pang Bulan tidak langsung membawa
ke dalam Balai Pancur Angin, tetapi ke arah hutan bambu kuning di sisi kiri
balai. Keempat Tetua itu kemudian duduk di atas bangku bambu. Sambil merokok.
Gerimis memang telah reda, tapi angin malam yang merisiki hutan bambu sesekali
meluruhkan sisa-sisa air yang masih bertahan di sana.
Pembicaraan mereka berlangsung
dalam suara pelan, agar penghuni Balai Pancur Angin yang masih belum tidur di
ujuknya tidak mendengar.
“ Sakitnya Runting bukan merupakan
perbuatan para penunggang berjubah kuning. “ ucap Pang Mahatip sambil menatap
ke arah Pang Lambut. “ Ini ilmu hitam, Tunggul Pipit namanya. Bukan ilmu
dari rumpun kita. “
“ Aku pernah mendengar tentang ilmu
itu. “ sahut Pang Lambut dengan alis berkerut. “ Tapi rasanya, orang seperti
Runting Sakarti akan mampu menahan ilmu semacam itu. “
“ Ya, aku tahu. ” kata Pang Mahatip.
“ Sepuluh ilmu seperti Tunggul Pipit pun tak akan mampu mengenainya. Tapi dalam
peristiwa ini ada satu kebetulan….”
“ Kebetulan macam apa? “ tukas Pang
Tambit.
“ Kebetulan para penunggang
berjubah kuning tengah berburu. Mereka memang memburu Runting untuk memberi
peringatan terhadap kepemimpinan Telaga Darah yang menggantung. Peringatan yang
sebenarnya juga tertuju kepada kita….”
“ Lalu? “ Pang Lambut ganti
menukas.
“ Saat diburu para penunggang
berjubah kuning, daya tahan Runting menghilang. Ketika itulah Tunggul Pipit
masuk. “
“ Heemmm…Siapa pengirim Tunggul
Pipit itu? Apa kalian berdua tadi sempat mengenalinya? “
“ Ya. Si pengirim dan orang yang
memintanya….”
“ Siapa? “ Pang Lambut memotong
lagi. Nada geram di suaranya kentara sekali.
Inilah yang kukuatirkan, pikir Pang Bulan, kemarahan dan harga diri akan mengubah kata
menjadi senjata. “ Tak perlu diusut! “ Pang Bulan cepat mendahului
Pang Mahatip. “ Hal yang kita pikirkan sekarang adalah cara untuk mengembalikan
sumangat Runting. Tunggul Pipit itu bertempo tujuh hari. Dan besok adalah hari
ketujuh. Jadi, sebelum tengah malam kita harus bisa melepas sumangat Runting
yang diubah jadi pipit itu dari jeratnya. “
“ Benar kata Danar itu. “ sambung
Pang Mahatip, tanggap terhadap arah pembicaraan Pang Bulan. “ Ilmu itu mengubah
sumangat orang menjadi seekor pipit, dimasukkan ke dalam sangkar sempit,
digantung di atas kariwaya. Hakikatnya, kariwaya itu tumbuh di belantara Alam
Bawah, di wilayah Sang Jata. Si korban tak ubahnya tunggul kayu, tergolek tak
berdaya, diawasi ketat oleh seekor ular besar. Dalam tempo tujuh hari, karena
tak mendapat makanan dan ketakutan pipit akan mati, si korban pun pindah ke
patilarahan. “
“ Ilmu yang keji, karena didahului
dengan siksaan! “ Pang Lambut menggeram lagi. “ Apa mereka pikir di Labuhan
Kindan tak ada lelakinya! “
“ Sudahlah Simbar…” Pang Bulan
membujuk. “ Jangan berpikir untuk membalas. Perdamaian yang mereka tawarkan
kepada kita sudah merupakan pertanda bahwa si pengirim ilmu itu tak ingin
berselisih dengan kita. “
Pang Lambut membuang nafas panjang.
“ Lalu apa yang harus kita lakukan? “ ucapnya kemudian.
“ Karena kariwaya itu tumbuh di
wilayah Indung Pangasihan maka sebelum mengambil sangkar itu kita harus melabuh
sesaji pada Indung Pangasihan. “
“ Jadi kita harus Melabuh Ancak?
“ Pang Tambit menyebut salah satu upacara penyerahan sesaji pada Sang
Pemelihara Bumi.
“ Ya, Melabuh Ancak. “ Pang Mahatip
membenarkan. “ Bikin sebuah rakit dari aur kuning sebagai wadah sesaji. Kita
bawa sesaji itu milir hingga menyisir kaki Gunung Kandawang. “
“ Dan Diyang Tunjung Bulan? “
“ Aku tak tahu kenapa Tunjung Bulan
yang dipilih mereka sebagai utusan. “ sahut Pang Bulan, lagi-lagi mendahului
Pang Mahatip. “ Mungkin karena pimpinan penjaga kariwaya itu seorang wanita
sehingga perundingan akan lebih nyaman dilakukan jika sesama wanita. Tapi
yakinlah, Tunjung akan aman. Dia akan bersamaku dan Pang Mahatip. “
“ Hatiku lega kalau kau memberikan
jaminan Tunjung akan aman. “ sahut Pang Lambut. “ Aku tidak ingin menyelamatkan
satu nyawa tetapi harus mengorbankan nyawa yang lain. “
“ Ya, benar. “ sambung Pang Tambit.
“ Kalian harus benar-benar menjaga keselamatan Tunjung. Jika perlu nyawa ambil
saja nyawa kita yang sudah tua ini, jangan nyawa orang-orang muda yang tengah
bersiap menjangkau masa datang yang bahagia! “ lanjut Tetua Balai Libar Bantai
itu dengan suara tajam.
” Tunjung itu anakku, Rimpang. “
Pang Bulan meyakinkan, “ Aku pasti menjaganya dengan taruhan nyawaku…. “
“ Sudah cukup kita bicara. “ sela
Pang Mahatip. “ Kini kita harus bicara dengan Tunjung….”
Mereka pun meninggalkan hutan
bambu. Pang Bulan diam-diam menarik nafas panjang, tarikan nafas bermakna lega.
Dari jauh samar kedengaran uhu-uhu burung hantu, barangkali lagi melagu rindu
karena bulan mulai menampakkan wajah. Bulan sendiri melayah awan sehabis
gerimis sehingga denyar wajahnya cuma separo bayang.
LIMA
Kadang-kadang aku berpikir bahwa kematian merupakan jalan terbaik
bagi persoalan kalian, begitu ucapan Apang tadi. Duh, memang harus begitukah? Diyang Tunjung Bulan membaringkan tubuh sambil bicara dengan dirinya
sendiri. Matanya berlepas bebas. Jauh, menembus bubungan ujuk. Jauh, ke tempat
tak berbatas. Jauh, menyusupi timbunan daun-daun waktu. Jauh, ke suatu masa
yang terkubur.
Rasanya setiap sudut, setiap jalinan dinding palupuh, setiap benda
yang ada di ujuk, menjadi sebuah cermin besar yang memetakan lintasan masa lalu.
Dan Tunjung bisa melihat lagi keceriaan saat babangsai[29]
di lantai balai atau saat banampak[30]
di gendang rampak. Dia ingat bagaimana mereka memisahkan diri dari orang-orang,
beringsut menuruni limpang, lalu duduk di atas bebatuan pinggiran sungai.
Mendengari ricik air. Memandangi lingsir purnama.
“ Bulan itu indah…” desahnya.
“ Ya, tapi ada yang lebih indah. “ sahut lelaki itu.
“ Apa? “
“ Matamu…”
“ Ah… “
“ Sungguh, Tunjung. Begitu indah, begitu bening, seperti telaga yang
membuatku selalu ingin berenang dan berendam di dalamnya. “
“ Ah… “
“ Kenapa ah-ah melulu? “
“ Ucapanmu itu. “
“ Kenapa dengan ucapanku? “
“ Rayuan yang sudah tak laku lagi. “
“ Kau tak percaya. “
“ Tidak, sedikit pun tidak. “
“ Jika dikau tidak percaya, belahlah dada hamba…” canda lelaki itu
dengan suara berayun.
“ Runting…Runting…” ucapnya dengan nada mengejek.
“ Tunjung…Tunjung…” balas lelaki itu dengan nada ejekan yang sama.
Dan mereka tertawa. Disahuti risik angin di daun-daun. Disahuti
ricik air di batu-batu. Purnama seperti malu, diam-diam menyilam ke balik awan.
Tunjung Bulan mengerjap, menepis bayangan itu. Tetapi bayangan yang
lain segera mengaca. Tangan Runting perlahan terulur, membuang luruhan daun
kuning yang hinggap di rambut legamnya. Dia merasa bibirnya melekuk dalam
campuran antara tersenyum dan tersipu. Jemari lelaki itu ternyata tak hanya
membuang guguran daun, tapi berlama-lama di rambut dalam usapan-usapan lembut.
Dia merasa bulu-bulu halus di lehernya menggeriap. Maka ditepisnya tangan itu.
“ Kau melanggar adat…” ajuknya.
“ Biar! “
“ Kalau ada yang melihat, kau akan dihadapkan pada persidangan …”
“ Biar! “
“ Kau akan mendapatkan hukuman…”
“ Biar! “
Tangan Runting terulur lagi, tapi dia cepat menghindar, berlari
kecil menuruni bukit. Cuma tawanya berderai, mengalahkan kicau burung di
ranting pohon. Ah, ah, ini saat kami bersama di bukit selatan, memandangi
jurai anggrek Turun Dayang yang melekap batang kayu.
Tunjung Bulan mengerjap lagi. Dia kemudian melihat hamparan kuning
emas butir-butir padi di tanah huma. Serombongan pipit terbang berputar-putar
di udara, meliuk ke arah hamparan padi. Dia bergegas menjemba tali untuk
menimbulkan bunyi pengusir pipit-pipit, tapi tangan Runting lebih cepat lagi
sehingga yang terjemba oleh tangannya justru lengan lelaki itu. Sejenak mereka
saling pandang. Sama tersenyum. Dan bersama pula menarik tali itu.
“ Hidup ini indah jika orang pandai mewarnainya….” ucapnya.
“ Ya. Untuk mewarnai itu, maukah kau mendampingiku mengayun mandau
nasib merambah hutan kehidupan? “
Dia tak mampu menjawab. Cuma tatap matanya, lekuk bibirnya, sipu
wajahnya, adalah selaksa kata “ya”. Sunyi burung, sunyi padi, sunyi angin,
sunyi daun, menyatu dengan sunyi dangau. Yang dirasanya kemudian adalah belaian
lembut di rambut. Lalu sesuatu yang hangat menerpa bibirnya. Serasa air suam
kuku. Lembut mencercah.
Sejak itu dia merasa telah menemukan arti hidup, menemukan apa yang
dinamakan orang kebahagiaan. Dan dia pun menyimpan Runting Sakarti dalam ujuk
hatinya, sebagaimana layaknya seorang gadis menyimpan lelaki yang dicintainya.
Tapi..ah! Tunjung Bulan cepat mengambil bantal dan
melekapkan bantal itu ke matanya, mengundang jubah kegelapan agar bayang-bayang
selanjutnya tak datang. Tapi dalam kegelapan pun lelaki itu tetap membayang,
cuma bukan senyum yang muncul melainkan bibir yang pias dan wajah yang
menguning! Duh! Duh!
“ Tunjung…” suara di pintu ujuk.
Tunjung cepat bangun, mengerjapkan mata beberapa kali sebelum
melihat jelas wajah umangnya. Wajah yang rusuh.
“ Ada
apa, Umang? “
“ Apangmu memanggil. Mereka ingin bicara denganmu. “
Kening Tunjung berkerinyit. “ Mereka? “ ulangnya.
“ Apangmu bersama Pang Mahatip, Pang Lambut dan Pang Tambit. “
Hati Tunjung Bulan langsung bergolak mendengar nama-nama itu. Jangan-jangan….jangan-jangan…Tunjung
menggigit bibir, menahan isak.
BELAHAN TIGA
BATAS NEGERI
ORANG MATI
SATU
Perarakan pengantin maut, begitu orang menggelari peristiwa hari
itu. Sejak pagi kesibukan terlihat di tiga buah balai pusat perkampungan Telaga
Darah. Ancak sesaji disiapkan oleh bubuhan Balai Titian Mantuk. Lawing Carita
memimpin para pemuda balainya mencari segala sesuatu yang diperlukan untuk
pembuatan ancak. Ancak itu berupa miniatur Pohon Kehidupan, berbentuk segiempat
panjang, bertingkat tiga; terbuat dari kayu wawangun, kayu surian, dan kayun
pulantan yang diberi ukiran khas dan dihiasi janur pucuk enau. Pang Tambit
mengawasi dengan saksama, menepis kesalahan sekecil apapun
Rakit dari bambu kuning dibikin di Balai Pancur Angin. Pang Bulan
dan Pang Mahatip mengikat sendiri susunan bambu dengan jalinan rotan sega,
memastikan agar rakit tak cerai-berai saat nanti melewati riam-riam berbatu.
Rakit itu diberi langit-langit kain kuning pada bagian tengahnya. Sawang
Panangguh kemudian diperintahkan menghias keempat tiang pengikat langit-langit
dengan janur pucuk enau.
Orang-orang Balai Labuhan Kindan menyiapkan sesaji.
Di dalam sebuah ujuk Balai Pancur Angin, Sindang Maruai duduk
bersimpuh di depan Tunjung Bulan. Matanya sembab bekas tangis.
“ Jangan sedih begitu, Sindang. “ ucap Tunjung Bulan, “ Belum tentu
aku akan mati. Apang dan Paman Pang Mahatip akan siaga menjagaku, apalagi aku
bukan seorang perempuan lemah…”
“ Pengorbananmu ini amat besar. “ sahut Sindang Maruai. “ Jika
Runting sembuh nanti, dia harus merajah budi baikmu ini pada putih tulangnya
sehingga akan selalu ingat sepanjang hidup. “
“ Ah, jangan berlebihan, Sindang. Seperti kata Apang, kita ini
hakikatnya satu tubuh. Sudah menjadi kewajibanku untuk menyandang tugas ini,
terlebih ini kulakukan untuk orang yang….” Tunjung Bulan cepat menelan kata
‘kucintai’ yang nyaris terlompat, “ ….kuhormati. Orang yang digadang-gadang
jadi Damang, pemimpin rumpun Telaga Darah…” sambungnya dengan suara agak
terbata.
Sindang mengira terbatanya suara Tunjung karena ikut larut dalam
kesedihannya. “ Ya, kau benar. Aku pun jika berada pada posisimu akan melakukan
hal yang sama. “ katanya.
Tunjung tersenyum, lalu mengalihkan pembicaraan : “ Bantu aku merias
diri….” ujarnya sambil mengambil kotak bambu berisi alat rias.
Menjelang senja, perarakan
pengantin maut dimulai. Di kaki limpang Balai Pancur Angin, Pang Bulan dan Pang
Mahatip berdiri berhadapan. Di dekat mereka, empat Balian Guru: Pang Sahiring,
Pang Mirang, Pang Mulang, Pang Jangkang, menjunjung bentangan kain kuning. Dua Balian
Guru lain, Pang Manuh dan Pang Siyam, membawa ancak. Gendang pun dipukul.
Serunai bambu ditiup. Gong dibunyikan. Tunjung Bulan perlahan ke luar dari
balai. Rambutnya yang legam dibiarkan
terurai, membeliut hingga ke pinggul.
Kepalanya diikat timbaran berhias tiga helai bulu burung tingang,
perlambang tiga tingkatan alam. Tubuh lampainya dibalut baju poko dan celana
hitam. Baju poko berlengan pendek itu di bagian depan bersulam benang emas
bermotif lipan yang distilir, melambangkan kerendah-hatian dan pantang mundur
jika diganggu. Bagian kaki celananya bersulam motif pucuk rebung, melambangkan
kewaspadaan dan ketajaman pandangan. Di pinggangnya terikat sebilah mandau,
melambangkan perjuangan sampai titik akhir. Busana semacam itu bagi rumpun
Telaga Darah dinamakan busana jajak di agung maatar ruh atau melangkah
di bunyi gong untuk mengantar ruh, busana yang cuma dikenakan ketika tidak ada
pilihan lain kecuali menyabung nyawa.
Seirama dengan bunyi gong, Diyang
Tunjung Bulan perlahan menuruni limpang, berjalan di bawah lindungan bentangan
kain kuning, menuju ke arah pinggir sungai. Di situ, orang-orang berkumpul.
Wanita-wanita mendaraskan kidung kepahlawanan, kidung tentang darah yang
menyungai ke telaga. Lelaki-lelaki mencabut parang dan mandau, menarikan tarian
perang, memekikkan yel-yel yang menggetarkan dada. Sawang Panangguh dan Lawing
Carita memimpin tarian perang itu, menandak-nandak sambil membolang-balingkan
mandau.
“ Pulanglah dengan selamat,
Tunjung. Kami menunggumu…” ucap Lawing ketika Tunjung lewat di hadapan mereka.
Tunjung Bulan tak bereaksi, terus
berjalan dan menaiki rakit bambu kuning, bersimpuh di bawah langit-langit kain
kuning. Di bagian depan rakit, berdiri Pang Mahatip, siap dengan pananjak. Di bagian belakang rakit, Pang
Bulan juga siap dengan pananjak. Ancak digantung, tak jauh dari hadapan
Tunjung Bulan. Di bawah ancak terikat perapian yang belum dihidupkan. Setelah
semua rampung, tali tambat pun dilepas. Rakit milir, mengikut arus deras Sungai
Amandit.
Diperlukan keterampilan khusus untuk
mengemudikan rakit itu. Arus deras sekali. Riam ganas pun menghadang. Pada Riam
Baliuk, sebuah riam berbentuk Z, Tunjung Bulan sempat terpental saat rakit
menumbuk batuan, untung saja Pang Bulan cepat menangkap tangan anaknya sehingga
Tunjung tak terlempar ke air.
“ Berpegangan ke tiang
langit-langit. “ kata Pang Bulan sambil membantu Pang Mahatip menumbukkan
pananjak ke batu-batu untuk meluruskan jalan rakit.
Tunjung berdiri, merentangkan
tangan dan berpegangan pada dua tiang langit-langit. “ Berapa banyak riam
seperti ini yang harus kita lalui? “ tanyanya.
“ Lima. Ditambah Riam Batu Bagapit dan Riam Burung Tarabang. “
Rakit terus melaju. Pohon-pohon
besar, di kiri-kanan sungai, lewat bagai
hantu-hantu hitam, sementara akar-akarnya menjulur seperti lengan yang menyauk
ke dalam air. Selepas riam kelima, dataran berubah menjadi perbukitan karang
dengan lereng curam yang terkubur ke bawah semak-semak berduri. Lalu air
memperdengarkan bunyi guruh, menderas dalam satu belokan tajam ke kiri.
Buih-buih sungai memukul batu-batu tajam yang terserak di jalur. Di depan, dua
bangunan batu karang membuat benteng, menyisakan celah sempit di tengah sungai.
“ Hati-hati, “ teriak Pang Bulan “
kita memasuki Riam Batu Bagapit! “ Bahkan saat suara itu belum sirap,
Tunjung Bulan sudah merasa lunas rakit menggesek bebatuan di bawah.
Gesekan semakin keras saat
rakit-rakit seolah barang mainan yang dilempar dari batu ke batu
TUJUH
Senja sudah rebah tiang ketika rakit mulai memasuki kawasan Gunung
Kantawan. Gunung itu tidaklah terlalu tinggi namun dilingkup suasana mistis
yang kental. Konon, di situ terdapat liang macan jadi-jadian, macan ganas yang
pada waktu-waktu tertentu berkeliaran mencari mangsa. Konon pula, kawasan itu
merupakan kerajaan makhluk-makhluk tak kasat mata. Penduduk sekitar bersaksi
bahwa saat malam-malam purnama sering kedengaran dentang-denting gamelan, tidak
cuma gamelan etnik Dayak tetapi juga
gamelan etnik Banjar, menyuarakan keriangan sebuah pesta.
Di kawasan Kantawan arus air berubah tenang sehingga rakit berjalan
lambat. Pang Bulan meletakkan pananjak,
membiarkan arus air mengendalikan sepenuhnya arah dan laju rakit. Bungsu Kaling
segera bersila, menghidupkan perapian. Di belakangnya, duduk Tunjung Bulan. Di
belakangnya lagi, duduk Pang Bulan. Dupa dan menyan putih mulai ditabur.
Seiring kepulan asap yang menebal, mantera dilantunkan dalam irama lambat yang
menghiba. Lantunan mantera itu mengatasi ricik air, mengatasi risik angin, menjelujur
liar ke dalam ambang kesadaran Tunjung Bulan.
dijanji’i panggung dijanji’i
dihajati panggung dihajati
panggung basambu tadung
mampaut
panggung pahajatan maut
iiii----laah
Kelopak mata Tunjung Bulan memberat, semakin memberat, dan akhirnya
mengatup. Seluruh indranya menjadi majal, membuatnya mulai kehilangan
tanggapan. Perlahan tapi pasti ia merasakan lingkupan perubahan itu. Hal-hal
yang berhubungan dengan keberadaan keseharian kini meniadakan wujud, berganti
dengan keberadaan yang lain, kekosongan yang tak terkenali….
batungkis langkan di dupa
batungkis langkan di rupa
babuka dawai babuka kindang
babuka kindang babuka
lawang
iiii…..laah
Awalnya Tunjung Bulan cuma merasakan kehampaan yang lembut
membungkus dirinya, tapi kemudian kehangatan kehidupan mulai muncul: mula-mula
dalam tatanan yang kabur sebelum pelan-pelan menyata dalam bentuk-bentuk yang
dikenal. Pori-pori kulitnya bereaksi terhadap sintuhan dingin angin, telinganya
menangkap bunyi halus selancar rakit di air, hidungnya membaui udara yang
seperti ketika hujan baru saja turun; sementara matanya menangkap keberadaan
kawasan yang mencitrakan kelebatan, kesegaran, dan kebersihan. Pohon-pohon
besar tumbuh dalam jarak yang beraturan, cukup jauh satu sama lain, sehingga
menciptakan ruang bagi bentangan cabang-cabang yang melebar untuk tumbuh dengan
nyaman. Daun-daun dengan kehijauan yang mutlak memayung rimbun menjadikan sinar
matahari menyusup dalam berkas-berkas kecil cahaya.
Kabut membuat udara jadi lamban dan tajam, mengiriskan dingin ke
kulit. Tunjung Bulan menarik nafas sepenuh dada lalu melangkah perlahan.
Mulanya yang terasa adalah tekanan kesunyian bercampur kesenduan. Tapi selepas
satu kelokan, di belakangnya menggelombang bunyi berisik--seperti bunyi sekian
langkah kaki yang mengikut diam-diam--serta sejumlah suara—seperti desah sedih
tanpa henti, gumam perih dalam bahasa yang tak dimengerti—menerpa gendang
telinga, membuatnya menajamkan pandang seraya menelaah mencari manusia.
Sekeluar dari gua itu, Tunjung Bulan disiram cahaya bulan bundar
yang mengantung rendah di langit. Ia kini berada di sebuah petanahan terbuka
berumput hijau tebal bertatahkan bunga-bunga kecil aneka warna yang tampil
dalam keragaman bentuk: ada yang seperti sekumpulan bintang, ada yang seperti
sejumlah surai, ada yang seperti lekukan-lekukan alur sungai, ada yang seperti
patahan-patahan tajam jejeran pucuk rebung, yang kesemuanya nampak cerlang di
tengah warna rumput yang hijau segar.
Sebatang pohon, entah pohon apa, berdiri di tengah petanahan. Pohon
itu tinggi dan besar. Cabang dan rantingnya jalin menjalin secara aneh sehingga
daunnya yang besar dan lebat—lebih lebat dari ratusan pohon biasa kalau
digabungkan—membentuk lengkungan besar atap, seperti sebuah paying yang
terkembang. Hamparan akar yang bengkok dan besar menyebar menutupi tanah dengan
pembuluh-pembuluh berlapis kulit kayu berkesan lunak, menjulur jauh dari
pangkal batang sebelum melesak ke dalam tanah. Pohon ini, kesan Tunjung Bulan,
Nampak sarat usia, seakan sudah ada sejak dini purbakala.
“Kita ada di mana?” Tunjung Bulan bertanya.
“Di perbatasan Negeri Orang Mati…” sahut Dung Gading.
“Perbatasan Negeri Orang Mati?” ulang Tunjung.
“Ya…”
“Jadi kita…”
“Belum…” Dung Gading memotong. “Kita masih di wilayah orang hidup,
tapi selepas kawasan ini kita akan masuk ke Negeri Orang Mati.”
Dung Gading membimbing Tunjung Bulan melewati pohon sarat usia itu,
berhenti di ujung petanahan. Tunjung Bulan kini berdiri di tubir jurang dengan
kedalaman tak terukur, sementara di hadapannya membentang kekosongan tak
terbatas berselimut halimun.
“Pejamkan matamu…” ujar Dung Gading.
Tunjung Bulan memejamkan mata. Sekejap ia merasakan sentuhan lembut
telapak tangan Dung Gading di wajahnya.
“Bukalah…”
Tunjung Bulan membuka mata. Sehampar pemandangan membuatnya cepat
menyurutkan langkah tiga tindak. Di hadapannya kini membentang sebuah titian.
Titian itu dari bamboo kuning sebesat lidi kelapa dan pegangannya halus seperti
sehelai rambut.
Kemunculan titian itulah yang membuat Tunjung Bulan tadi cepat
menyurutkan langkah, sebab dia teringat pada mantera para balian saat mengantar
ruh orang mati. Mantera yang menyebutkan batas Negeri Orang Mati berupa Titian Paring Ganggaman Rambut, titian
bamboo genggaman rambut. Menurut para balian, dalam mantera itu, ruh yang telah
melangkah di Titian Paring Ganggaman Rambut merupakan ruh yang sudah melewati
titik balik, sudah tak bias lagi dibawa kembali ke Negeri Orang Hidup, ruh yang
sudah sampai takdir matinya. Ruh yang telah melangkah di Titian Paring
Ganggaman Rambut adalah ruh yang sudah memulai perjalanan menuju Balai Maratusi di kawasan Gunung Putih Jinjir Pitu, Balai Abadi di
wilayah Gunung Putih Jejer Tujuh
ke gunung putih ke gunung putih wadah tujuan
ke gunung sandaran hari sandaran bulan
jangan menoleh jangan menoleh waktu berjalan
kita kita ‘kan
lintasi hutan berbuah kutukan
ke gunung putih ke gunung putih wadah tujuan
ke gunung sandaran hari sandaran bulan
ke negeri tak ada siang tak ada malam
ke negeri berpasir intan berumput manikam
Tunjung menatap sosok yang mengangkang di depan: tinggi besar
berjubah hitam, kepala berlilit lingkaran putih berhias tiga helai bulu burung
entah apa, berwarna-warni helai bulunya. Hal yang membuat kening Tunjung
berkerut adalah di antara lingkaran putih dan jubah hitam itu yang ada apa-apa
yang bisa dikatakan sebagai tubuh, kecuali sepasang mata tanpa kelopak,
sepasang mata saga bersorot bengis. Makhluk apa ini? Bersosok tapi tak
bertubuh!
Tunjung mencabut mandau dan langsung menggelar langkah pembukaan
ilmu mandau Sambaran Mura, ilmu simpanan bubuhannya
yang cuma dikeluarkan saat kaki menjejak garis batas hidup dan mati. Dia sadar
penguasaannya terhadap Sambaran Mura masih jauh dari sempurna, tapi inilah
tumpuan harapan satu-satunya sebab sesempurna-sempurnanya ilmu mandau lain yang
dikuasainya masihlah kalah tatarannya dibanding Sambaran Mura.
“ Gunakan Balangsar Di Sala
Batu….” Suara Pang Bulan mengiang di telinga. Balangsar di Sala Batu adalah
jurus serangan yang memanfaatkan celah kecil dari gerakan lawan, sebagaimana
serangan mura memanfaatkan celah kecil di antara apitan batu gunung.
Tunjung pun segera mengubah gerak. Dibukanya sedikit celah agar
sosok itu terpancing menimpas kepala. Terdengar geraman pendek. Sosok itu
terpancing. Mandau deras menimpas kepala. Tunjung meliuk menghindari timpasan
lalu menggeliat di udara dan balas menimpas memanfaatkan celah kecil sebelum mandau
lawan ditahan dan ditarik lagi. Mandau Tunjung deras menimpas leher!
Seharusnya leher itu putus terpenggal karena timpasan telak mengena,
atau setidaknya batang mandau akan sangkut di tulang leher dan sejenak menahan
laju tubuh Tunjung sehingga ada waktu untuk berjumpalitan memperbaiki posisi.
Ternyata tidak! Batang mandau lewat begitu saja, seakan menimpas udara. Leher
atau bangun yang dianggap Tunjung leher itu ternyata tak lebih dari ruang
kosong! Akibatnya Tunjung tak mampu mengendalikan laju tubuh. Pengamatannya
sekejap buyar. Dan pukulan sosok itu bersarang di dada. Tunjung terlempar,
jatuh berdebuk di tanah.
Sehempas arus menyodok kerongkongan, memaksa Tunjung Bulan membuka
mulut. Huuuaakk! Cairan merah tersembur. Darah! Makhluk itu mengeluarkan suara
panjang, seperti tawa mengejek. Tunjung mengerjap, bangkit sambil menahan sakit
di dada lalu memasang kuda-kuda.
Pada jurus-jurus selanjutnya, dua kali Tunjung Bulan berhasil
menebas leher makhluk itu tapi dua kali pula dia menebas kekosongan, dan dua
kali pula pukulan sangkut di dadanya. Pukulan terakhir bersarang amat telak,
membuatnya kembali muntah darah, mendorongnya ke batas daya tahan. Tunjung
menggigit bibir, mengumpulkan sisa-sisa kekuatan. Di benaknya, dalam tempo
cepat, beragam bayangan melintas: Runting Sakarti beserta masa-masa manis dalam
kehidupannya, Runting Sakarti yang berada di batas hidup dan mati, kedatangan
para tetua yang kemudian menggantungkan keselamatan Runting Sakarti ke
pundaknya.
Saat memikirkan semua itu sejumlah kekuatan, entah dari mana
datangnya, bangkit menjelujur urat-urat darah. Kekuatan yang menjadikan seluruh
keberadaannya melalukan pemberontakan terhadapan ancaman kematian: kematian
dirinya, kematian Runting Sakarti, kematian harapan para tetua, kematian asa Diyang
Malintang. Dalam tempo singkat kekuatan itu menerjang dalam diri, meminta
pelepasan. Tunjung sadar, jika tak segera dilepaskan maka kekuatan itu akan
mengerkah dirinya sendiri.
“ Tunjung! Hakikatkan ia bertubuh! Hakikatkan sosoknya berdarah dan
berdaging! “ suara sang apang seperti teriakan di telinga Tunjung.
Hakikatkan ia bertubuh! Tunjung mengerjap. Hakikat sosoknya berdarah
dan berdaging! Tunjung mengerjap lagi. Hakikatkan! Dipusatkannya pikiran.
Matanya impas meneliti. Hatinya berkali-kali membilang: “ Bertubuh! “
Perlahan terlihat oleh Tunjung sebentuk leher, muncul di bagian atas
jubah hitam itu. Leher hitam. Bersisik. Berlendir. Puaah! Menjijikkan!
Sambil memantapkan kuda-kuda Tunjung ingat bahwa makhluk itu tadi
bisa terpancing menyerang ketika sedikit celah dibuka. Akankah ia akan bisa
dipancing untuk kali kedua? Tunjung segera melompat ke atas sebongkah batu
gunung, menjadikan batu gunung itu sebagai tumpuan berikutnya hingga tubuhnya
deras menerjang. Mandaunya sengaja rata di sisi pinggang kiri, menunggu saat
tepat untuk menebas, seperti mura yang menunggu gerak lawan sebelum melancarkan
patukan. Posisi itu memang nampak gampang sekali diserang sebab memang sengaja
minta diserang.
Makhluk itu ternyata bodoh
juga. Atau mabuk keberhasilan menyarangkan serangan? Ia kembali terpancing, menyampok deras tubuh Tunjung dengan
timpasan. Begitu timpasan terayun, begitu pancingan mengena, Tunjung menggeliat
di udara seraya merendahkan kepala, membiarkan timpasan memotong bulu burung
tingang hiasan kepalanya. Seiring dengan guguran bulu burung tingang mandau
Tunjung terayun dalam riwasan ke atas, menebas leher bersisik itu. Tunjung
merasa mandaunya melewati sesuatu, bukan udara kosong lagi. Telinganya sempat
mendengar gerungan parau sebelum bunti kepala yang berdebuk jatuh.
Tunjung segera mundur berjumpalitan sebelum sosok itu tumbang.
Dilihatnya jubah, pakaian dan lingkaran putih berhias bulu burung
berwarna-warni makhluk itu menggeletak di tanah, tanpa bentuk, kosong; tak ada
apa-apa di bawahnya, kecuali cuat rumput. Seiring dengan itu kekuatan dalam
diri Tunjung menghilang, seperti air yang dihirup tandas. Kakinya tertekuk.
Pipinya kemudian merasakan kelembutan rerumputan. Dan dalam pandang matanya
yang mengabur dia melihat lelaki muncul dari dalam gua, melangkah menuju Titian
Rambut Ganggaman Paring.
“Runting!” serunya.
Dia tak tahu apakah suaranya terdengar atau tidak oleh lelaki itu.
Dia tak tahu pula apakah lelaki itu menoleh atau tidak untuk mencari sumber
suara. Yang dia tahu cumalah hitam yang melingkup. Kegelapan.
Sudah dekat tengah malam. Sudah tiba pada ketika harapan dan
keputusasaan berada pada titik yang sama. Suara gendang dan gong menayung dalam
puncak ratapan permohonan belas Indung
Pangasihan, Sang Ibu Bumi; sementara suara serunai bambu melengking parau
dalam irama penggugah iba Bapang Kawasa,
Sang Bapak Langit. Rentak tandik enam Balian Guru yang sudah lima jam lebih tanpa henti memutari tubuh
Runting Sakarti bergerak lambat, seakan mengisyaratkan sisa harapan yang kian
kehilangan. Daras mantera mereka juga terdengar semakin sayup, seolah mereka
kian menjauh, dan melangkah di belantara gelap, memanggil-manggil orang hilang.
o, yang memelihara di ujung jalan
yang memeliharan tali air
yang memelihara tali
angina
yang memelihara tali nyawa
pandanglah, o, tubuh di tikar terhampar
mengharap belas meminta iba
pandanglah, o, persemayaman nyawa selembar
memohon kasih menadah asa
Sindang Maruai kembali memintaskan pandang ke arah Runting Sakarti.
Mata lelahnya menemukan perubahan yang kian kentara. Wajah kakaknya itu
terkesan mulai menyusut: wajah yang kian kehilangan seri, wajah yang mulai
menolak dan ditolak dunia.
o, yang bersaf minta diucap
penjanji maut penjanji
nyawa
o, yang bersaf minta diucap
pemutus hajat penyampai
pinta
pandanglah, o, derita anak cucu
bagaikan lampu, o, habis
sumbu
dengarlah, o, parau panggilan
pulangkan semangat, o,
sesat di hutan
Lelaki tua itu, Dihan Binti, biasa dipanggil orang Awat Binti,
meninggalkan jalanan umum wilayah pegunungan tengah. Dia membelok ke kanan,
menuruni landai perbukitan, menyusup di antara barisan liar semak belukar.
Gerakannya yang lincah, termasuk pemilihan arah dan pijakan kaki yang pasti
serta pengaturan keseimbangan tubuh yang mantap, menandakan dia sudah amat
terbiasa melalui jalan yang tak biasa itu.
Dia melewati lahan bekas perladangan yang telah ditinggalkan
penggarap 4 atau 5 tahun, kawasan yang telah ditumbuhi karamunting dan krinyu
serta tumbuhan berkayu yang tergolong pioner dan dapat beradaptasi dengan
lingkungan yang memiliki intensitas cahaya cukup tinggi, seperti halaban, mahang, balik angin. Di atas
pohon-pohon muda itu nampak beberapa ekor hirangan.
Monyet kepala berjambul berbentuk kerucut dengan tubuh ditutupi bulu hitam
coklat kekuning-kuningan dengan bagian ventral lebih pucat itu berlompatan dari
pohon ke pohon, ribut menggebah senja. Di bagian lain, beberapa ekor kukang bersiap memulai aktivitas malam
hari. Binatang berbulu lebat kelabu keputihan hingga coklat kehitaman dengan
punggung bergaris coklat melintang dari belakang hingga dahi yang rambut pada
bagian mata berbentuk oval menyerupai kacamata itu sejenak menarik perhatian
Awat Binti. Sempat terbersit keinginan untuk menangkap lantaran monyet yang
bergerak lamban dan senantiasa hidup berpasangan tersebut merupakan bahan dasar
untuk pembuatan sejenis minyak guna-guna, minyak
kukang, yang menjadikan pasangan tak berkemampuan lagi berpaling ke lain
hati; namun Awat Binti sadar bahwa ia tak membawa peralatan. Diapun terus
berjalan, bahkan mempercepat langkah, seakan memburu waktu.
Setengah jam kemudian dia sampai pada kawasan berkesan gersang
berisi serakan batu-batu besar, batu-batu gunung yang sudah termakan cuaca. Di
situ, dia berhenti. Duduk di sebuah bongkah batu lalu menyulut sebatang rokok.
Setelah beberapa isapan dan embusan, dia mengedarkan pandang. Senja sudah amat
berat, memudar dalam bayang merah kehitaman yang terpeta pada segala,
menjadikan bukit batu di ujung kawasan itu sebagai bongkah besar samar di bawah
suram sisa cahaya.
Begitulah, bagi banyak orang, Awat Binti adalah sumber sakit
sekaligus sumber penyembuhan. Dia dikenal berkemampuan memanggil dan memerintah
roh-roh untuk menyusup ke dalam tubuh orang, merayapi jaringan tubuh dan aliran
darah untuk menarik ke luar atau meletakkan segala sesuatu yang menjadi sumber
penyakit. Dia menyediakan beragam ramuan tetumbuhan, jimat-jimat aneh, minyak
jampi dan mantera-mantera; baik itu diperuntukkan sebagai guna-guna pengasih
semacam tanah malai, buluh perindu,
minyak saluang bulik, atau penyiksa orang yang menolak kehendak seperti gantung sarindit, pipit barunai, balah
saribu, tundik; jimat keperkasaan dalam perkelahian atau pemecah pertahanan
dan kekebalan lawan, semacam rangka
hirang, minyak bintang, minyak gangsa, minyak gajah, minyak tala; syarat
untuk keberuntungan perdagangan atau sarana pembangkrutan saingan, minyak kuyang, minyak tampurung kaulakan;
bahkan ihwal kepuasan seksual atau pembenci keberadaan, seperti anak kijang
yang masih dalam perut induknya, pasak
bumi, daun dan akar pohon teja.
Gua diliputi oleh pepohonan yang besar dan sangat terasa suasana
hutan tropis basah. Di dalam gua terdapat stalagtit dan stalagmite yang indah.
Mulut gua kecil, berdiameter sekitar 1, 5 meter, tetapi pada bagian dalam
terdapat ruang yang lebar dengan ketinggian sekitar 8 meter.
Sepuluhan langkah memasuki gua itu, sekumpulan bau menerobos
penciuman: bau batu basah, bau lembab dan lumut, serta bau sesuatu yang kian
menyengat, bau memuakkan dari daging yang membusuk.
TIGA
SEBATANG
POHON KEHIDUPAN
1
Sebuah pertemuan tak sengaja, di pinggir sungai. Runting Sakarti
sudah hendak menyurutkan langkah saat mata Tunjung Bulan menangkap
kehadirannya. Alangkah tak sopan jika aku berbalik langkah, pikir
Runting, apalagi dia telah menyabung nyawa untuk mengembalikan sumangatku.
Tapi perjumpaan juga bukan hal yang nyaman sebab rumpun duri bakal menggeliat
tak henti. Jadi, manakah yang lebih menyakitkan di antara kami : berbalik arah
atau meneruskan langkah?
Runting belum sempat memutuskan
saat didengarnya suara gadis itu: “ Agaknya kau telah kembali sehat….” Suara itu, oh, mengkili-kili hati, menjadi
magnit batang yang menarik langkahnya ke atas batu pinggiran sungai.
“ Yaah, begitulah. “ sahut Runting sambil duduk bersila di atas
batu. “ Paman Bungsu Kaling menganjurkan
agar aku sering berjemur di matahari pagi. “
“ Ya. Itu akan bagus untuk mengembalikan kondisimu. “
Kemudian sepi. Keduanya sama tak tahu hal apa yang harus dibicarakan
selanjutnya. Selapis dinding tebal seakan menyekat di antara mereka sehingga
lebih banyak bicara dengan diri sendiri.
Berapa lamakah sudah kami tak ketemu? Sebulan? Dua bulan? Ah, dia
nampak agak berubah, tidak lagi seceria dulu. Apakah itu karena dia habis
sakit? Ataukah karena jauh di lubuk hatinya diam-diam tersimpan seonggok
kesedihan yang membatu? Duh, itukah sebabnya? Tunjung
Bulan mengucek cuciannya. Busa-busa sabun sejenak mengambang di air lalu hanyut
dibawa arus. Dan begitu pulalah secercah cinta di antara kami, mengambang
sejenak lalu hanyut dan lenyap di palung waktu.
Runting diam-diam memintaskan pandang ke arah gadis itu, merekam
keseluruhan wujud Tunjung Bulan. Merekam tubuh lampai yang dibalut kain sebatas
dada. Merekam bahu telanjang yang memyembulkan warna kulit agak
kekuningan-kuningan. Merekam rambut panjang yang tergerai dicumbu angin. Inilah
wanita wujud dambaan itu, kata hati Runting, inilah wanita yang selalu
menggoyangkan daun waru di lekuk dada, wanita yang senantiasa menyentak di tiap
ujung lamunan. Dalam kesehariannya yang sederhana, ia banyak menyimpan
pikiran-pikiran cemerlang dan punya kemengertian akan keadaan. Sesungguhnyalah,
wanita seperti inilah yang kudambakan menjadi sandingan dalam menyusun
mimpi-mimpi. Wanita yang bisa memberi gairah dan semangat dalam merambah hutan
kehidupan. Wanita yang bisa memberikan pandangan dan pemikiran dalam mengayun
mandau nasib. Tapi….ah!
“ Terima kasih atas kesediaanmu
memperjudikan nyawa untuk merebut sumangatku. “ Runting mengais kata,
memecahkan kebisuan.
“ Jangan berterima kasih padaku.
Berterima kasihlah pada para Balian Guru. Terlebih lagi, berterima kasihlah
pada Ning Bahatara. “ sahut Tunjung. “ Aku cumalah orang yang menjadi
perantara. Perbuatanku adalah hal biasa. Kau pun tentu akan berbuat serupa bila
menemui situasi seperti itu. “
“ Bagaimanapun jua perbuatanmu itu
akan selalu kuingat. Kelak akan kuceritakan pada anak-cucuku bahwa kau pernah
menyelamatkan selembar nyawaku….”
Kepada anak-cucuku? Ah,
seharusnya ucapan itu berbunyi ‘kepada anak-cucu kita’. Tunjung Bulan melenguh halus, merasakan geliat duri di hati. Dan
keluh halus itu didengar Runting, membuatnya menyadari kesalahan bicaranya.
Tapi apa mau dikata, kalimat sudah terlompat. Ibarat damak sudah terhembus dan
lepas dari batang sumpitan.
Mata luka lama sudah terlanjur
membuka, pikir Tunjung. Jadi, kenapa tak
dilanjutkan sekalian hingga mencapai ujung pembicaraan? Biarlah mata luka itu
lebih dulu menganga lebar sebelum kami sampai pada kebahagiaan masing-masing,
kebahagiaan yang mungkin cuma berupa kebahagiaan semu.
“ Setelah sehat nanti, kau harus
mulai berpikir tentang diri sendiri…” Tunjung mulai menorehkan sembilu ke mata
lukanya sendiri. “ Jangan kau sia-siakan harapan warga Telaga Darah ini. “
“ Maksudmu? “
“ Kau harus segera mencukupi syarat
sebagai Damang itu….” sembilu kini mengarah ke hati Runting.
“ Maksudmu…aku segera mencari
istri? “
“ Ya. Mencari istri. “ suara
Tunjung entah bernada apa. Soalnya dia harus mengumpulkan segenap kekuatannya
untuk mengucapkan itu.
“ Aahh, Tunjung….” Sebuah torehan
panjang dan dalam kentara sekali pada nada suara Runting. Lelaki itu bergegas
mengambil rokok, menyulutnya, dan mereguk asap dalam satu isapan panjang.
Terlalu panjang malah, sehingga asap tersekat di tenggorokan, menimbulkan suara
batuk yang mengguncang.
Ooohh, mata luka, mata luka,
mengangalah. Mengangalah. Rajam kami dengan perihmu. Barangkali dengan itu di
kehidupan lain nanti kami bisa bersama, saling membalut luka sambil bersandaran
di paterana balai Ning Bahatara. Tunjung Bulan
membiarkan anak-anak kabut melayapi matanya. Baginya, suara batuk lelaki itu
adalah palu yang menggodam sembilu tepat di pusat hati yang paling tersembunyi.
“ Ingat batas waktu yang
diberikan para Tetua….” Tunjung Bulan mengucapkan itu dengan penuh rasa pedih.
Dan Runting Sakarti menerimanya dengan kepedihan yang berlipat.
“ Akan kuingat…” katanya sambil turun dari atas batu. Bergegas
melangkah tanpa menoleh.
Diyang Tunjung Bulan membiarkan saja kepergian lelaki itu. Tak
menegur. Tak pula mencegah. Cuma matanya, ya, cuma matanya yang berkabut itu,
tak lepas mengikuti langkah-langkah menghilir sungai sampai sosok itu
menghilang ditelan rumpun perdu.
2
Runting Sakarti membawa perih hati ke tanah huma. Dia ingin turut
bekerja membersihkan rumputan di
sela-sela rumpun padi tetapi Sindang Maruai bersikeras melarang. Maka seharian
itu ia seperti cacing kepanasan. Bahkan makan siang yang dihidangkan Sindang
terasa sekam di lidahnya. Akhirnya dia tertidur di dangau. Bangun ketika hari
sudah menjelang senja.
Runting kaget ketika bahunya ditepuk orang. Secara naluri tangannya
terlipat ke pinggang, hinggap di hulu mandau. Orang yang menepuk bahunya ketawa
mengejek. Sawang Panangguh.
“ Sebuah peringatan naluri yang terlambat. “ ejek Sawang sambil
duduk di sisi Runting. “ Jika tadi aku berniat jahat, kau sudah mampus dari
tadi. “
“ Engkau mengejutkanku, Sawang…”
“ Salahmu sendiri. Aku memanggilmu beberapa kali tetapi kau bagai
orang tuli. “ Sawang menyulut sebatang rokok. “ Nampaknya kau begitu dalam
tenggelam dalam lamunan. “
“ Begitulah. “
“ Melamukan seorang gadis? “ Sawang menggoda.
“ Apa kau kira cuma gadis saja yang layak direnungkan? “ kilahnya
sambil ketawa.
“ Dalam usiamu sekarang, seorang gadis merupakan hal paling layak
untuk dilamunkan. Apalagi kalau mengingat batas waktu yang diberikan pada
Tetua. “
Batas waktu? Mmhh, seorang lagi yang mengingatkan hal itu, pikir Runting.
“ Aku tak perlu melamunkan itu lagi. “ Runting kembali mencari
kilah. “ Sejak lama aku telah menyimpan seorang gadis. “
“ Siapa gadis yang beruntung itu? “ sambar Sawang Panangguh.
“ Sindang Maruai. “ sahut Runting sambil menunjuk ke arah adiknya
yang tengah melangkah ke arah mereka.
Sawang Panangguh melongo sejenak kemudian ketawa mengakak. “
Sebentar lagi gadismu itu akan kupindahkan ke dalam ujukku. “ katanya, serius.
“ Kau jangan terlalu yakin dulu. “ Runting menggoda. “ Kau harus
tanyakan dulu apakah mandauku akan diam saja saat kau mencoba mengambil Sindang
dari balaiku. “
Sawang Panangguh kembali ketawa. “ Kendati aku pasti tak mampu
menghadapi mandaumu, tapi kalau itu syaratnya aku pasti akan mencobanya. Kau
tentu tahu bahwa hati yang dilanda kerinduan tidaklah takut dengan tajamnya
mata mandau….”
Ah, betapa indahnya masa bercinta, kata
hati Runting. Betapa teguhnya orang yang lagi disentuh pesona cinta. Mmhh,
aku pun pernah merasakan hal itu, menuai saat-saat seperti itu. Dulu. Dulu. Di
lembaran daun waktu yang kini membusuk. Runting menghela nafas berat, sebab
jalinan kebersamaan dengan Tunjung Bulan kembali mengaca bayang, masa-masa
manis yang paling pahit dalam kehidupannya.
“ Kenapa kau diam? “ usik Sawang.
“ Aku tengah mempertimbangkan untuk menerimamu atau tidak….”
“ Kuharap saja nanti kau merestuinya. “ ucap Sawang penuh
kesungguhan.
Runting Sakarti tersenyum mendengar kepolosan pemuda itu, sebuah
sikap yang amat dihargainya pada diri diri Sawang Panangguh. Polos. Sederhana.
Penuh tanggung jawab dan mau berjuang untuk menjemba hari datang.
“ Yakinlah aku merestuinya, Sawang. “ ujarnya kemudian dengan
kesungguhan dan kepolosan yang sama. “ Orang yang paling berkeinginan terhadap
kebahagiaan hidup Sindang adalah aku. Apang dan Umang sudah tak bisa lagi
menyaksikan kebahagiaan Sindang, biarlah mereka mengetahuinya lewat Ning
Bahatara. Karena itu baik-baiklah nanti menuntun dan memberi tauladan pada
Sindang agar kebahagiaan jualah yang menyertai laju hidup kalian. “
“ Aku berjanji akan mencoba seboleh daya untuk mewujudkan apa-apa
yang kau harapkan dari kami, harapan yang sebenarnya juga menjadi harapan kami.
“
Runting mengangguk-angguk.
“ Ayo, kita pulang, sudah senja….” Sindang mengorak senyum saat
sampai di dekat kedua pemuda itu.
“ Jalanlah lebih dulu. “ kata Runting, tak ingin mengganggu
kebersamaan dua sejoli itu. “ Aku hendak ke kubur Apang dan Umang….”
“ Kami temani kau ke sana….”
“ Tidak perlu. Aku ingin Apang di alam sana melihatku sehat saja setelah perburuan
ruh berjubah kuning itu. “
Sindang mengangkat bahu, menjawil Sawang, lalu melangkah
meninggalkan tanah huma. Runting mengawasi mereka. Mmhh, bahagialah
orang-orang bercinta. Bahagialah mereka yang bisa membawa simpul jalinan kasih
sayang hingga ke jenjang perkawinan. Bahagialah mereka yang mampu merawat cinta
kasih sampai ke ujung perjalanan. Bahagialah.
3
Selepas satu kelokan mereka mendapati Lawing Carita tengah jongkok
mengamati bilah-bilah damak yang tersusun di atas hamparan daun pisang. Lelaki
itu agaknya tadi tengah merendam bilah damak ke dalam adonan racun dan
menjemurnya di situ.
“ Bagaimana keadaan Runting? “ tanya Lawing kemudian.
“ Sudah mulai baik. “ sahut Sindang Maruai, ikut jongkok
memperhatikan bilah damak.
“ Di mana dia sekarang? “
“ Di tanah huma. “
“ Astaga…kenapa kalian tinggalkan ia sendiri? “ tegur Lawing. “
Jalan dari tanah huma ke balai cukup jauh, apalagi hari sudah senja begini….”
“ Dia menyuruh kami pulang lebih dulu. Katanya, dia ingin menengok kubur
Apang dan Umang sebelum pulang….”
“ Tidak seharusnya kalian tinggalkan dia. Terlebih kalau dia
mengambil jalan memutar lewar wilayah pekuburan. Bisa malam dia sampai ke
balai. “
“ Kupikir ia bisa menjaga dirinya sendiri…” Sawang Panangguh
menyahut.
Lawing Carita mengangkat bahu. Hati-hati dikumpulkannya bilah-bilah
damak lalu memasukkannya ke dalam bumbung bambu seruas. Kehati-hatian itu perlu
sebab racun di mata damak amatlah berbahaya, jangankan tepat mengenai tubuh
baru tergores saja dan kulit pecah maka mautlah yang datang.
“ Kau mau berburu? “ tanya Sindang Maruai.
“ Begitulah…”
“ Ke mana? “
“ Yaaah…di sekitar sini saja. “
Mereka berjalan beriringan.
“ Menurut kalian, di kampung kita ini siapa yang paling hebat ilmu
mandaunya? “ tanya Lawing sambil lalu.
“ Tentu saja Runting. “ sahut Sindang Maruai. “ Paling tidak di
antara orang sebaya kita tak ada satu pun yang bisa menandinginya. Terbukti
waktu dulu-dulu kita latihan bersama….”
“ Ya, aku ingat benar dulu tak pernah bisa melewati dua puluh lima jurus saat
menghadapinya. “ ujar Lawing sambil mengangguk=anggukkan kepala. “ Kalau di
antara para Tetua? “
“ Paman Pang Bulan. “ sahut Sawang Panangguh. “ Konon, ilmu mandau
simpanannya yang bernama Pawana Mura itu hebat bukan main. Cepat, ganas dan
dahsyat. “
“ Kenapa kau tanya-tanya soal itu? “ Sindang balas bertanya.
“ Yaah..sekadar membanding saja, soalnya kita sudah lama sekali
tidak latihan mandau bersama. “
“ Sejak musim tanam dulu kita memang tak pernah latihan lagi. Tenaga
kita terkuras di ladang. “
“ Sarankan pada Runting, jika dia sudah sehat benar nanti, agar kita
latihan lagi. “
“ Akan kukatakan padanya….”
Di persimpangan mereka berpisah. Lawing mengambil jalan ke kiri,
menuju balainya. Sindang dan Sawang berjalan lurus, ke arah balai mereka. Senja
pun menyempurnakan diri. Burung-burung berkepak pulang ke sarang, sementara
burung-burung malam menyambut dengan ceria pergantian waktu.
3
Wilayah pekuburan terletak di sebuah lembah yang dibentengi
rangkaian bukit berbentuk tapal kuda. Pepohonan yang tumbuh di perbukitan
didominasi oleh jenis konifera berbatang pokok lurus yang tingginya mencapai 20-an meter.
Daun-daun lebar atau berupa susunan sisik-sisik yang rapat punya ketahanan
tangguh terhadap angin dan kemarau sehingga cahaya matahari yang mencapai tanah
terbatas jumlahnya. Tanah dan bebatuan lereng sebagian besar ditutupi lumut.
Tumbuhan jenis paku juga tumbuh subur : ada paku dengan ujung bergelung seperti
kepala lengkung biola, ada paku yang daunnya bersisik bagai sisik ikan, ada
pula jenis paku rumput dara yang indah dengan tangkai daun coklat agak ungu
yang berkilau jika cahaya matahari sempat masuk lewat celah kecil daunan. Di
batang-batang pohon bergelantungan berbagai jenis anggrek, mengorakkan kelopak
bunga beragam warna.
Lembah yang menjadi areal pekuburan secara alami dipagari oleh perdu
yang rapat dengan batang bersemak hijau yang tidak bercabang sehingga
menyerupai deretan tiang-tiang hijau dengan ketinggian mencapai 2 meter. Di
kiri-kanan jalan masuk tumbuh 2 batang beringin besar dengan akar-udara yang
bergelantungan sebelum menembus tanah.
Di bawah beringin itu, di kanan jalan masuk, Runting Sakarti
menyandarkan punggung ke akar, menyiasati arah terdekat menuju kubur apangnya
seraya meredakan nafas yang agak memburu. Malam telah menebar selimut. Deretan
tiang-tiang hijau perdu berubah hitam, menyungkupkan kemuraman. Kegelapan hutan
di perbukitan, sunyi angin dan sunyi daun, menjadikan kemuraman berlipat.
Terlebih saat sehiris bulan yang mengambang di langit menjatuhkan berkas sinarnya
ke beberapa sanginduyung yang mencuat di pekuburan.
Hampir saja sanginduyung itu mengelilingi kuburku, kata Runting dalam hati saat tercenung di depan kubur apangnya. Terima
kasih, Apang. Andai Apang tak memberi petunjuk untuk mencapai gelap belantara itu
pastilah pasukan penunggang berjubah kuning berhasil membawaku ke patilarahan.
Satu damak mereka saja sudah membuatku berada di garis batas hidup dan mati,
apalagi kalau berpuluh damak menancap telak.
Lama Runting memanjatkan doa di kubur apangnya. Kemudian dia
melangkah perlahan meninggalkan wilayah pekuburan. Sekitar lima langkah melewati beringin, mendadak
telinganya mendengar gerisik daun tersilak dan gemeretak ranting kering
terinjak. Semula ia mengira hal itu dikarenakan adanya binatang yang menerobos
semak-samun, tetapi telinganya kemudian menangkap suara hembusan nafas halus.
Terpaan angin malam terasa membawa sesuatu yang lain.
Indra keenam yang merupakan hasil tempaan kehidupan pegunungan dan
lebat belantara memperingatkan akan datangnya bahaya. Cepat ia berputar,
menjadikan tumit kirinya sebagai poros. Tangan kanannya terlipat ke pinggang.
Dalam kelam malam secercah sinar putih berkiblat. Terdengar bunyi mandaunya
membentur sesuatu. Runting kemudian tegak dengan sikap siaga. Tak jauh dari tubuhnya
gugur empat bilah ulin kecil, dua di antaranya berujung runcing. Damak!
Alis Runting terjungkit. Matanya impas meneliti sekeliling.
Telinganya bergerak-gerak, berusaha menangkap bunyi sehalus daun gugur
sekalipun. Kemudian dia menggeser tubuh ke kanan. Batang mandau rata dengan
pinggang, siap digunakan. Terdengar suara puh-puh yang halus, suara sumpitan di
tiup. Mata Runting menyipit. Mandaunya terayun, memapas damak yang mengarah
dada. Sementara itu terdengar lagi gerisik daun. Bagai elang menyambar sesosok
tubuh menerjang, membawa riwasan mandau.
Selepas memapas dua bilah damak, Runting cepat menunduk seraya
menggeser tubuh. Batang mandau penyerang itu lewat di sisinya, menepiskan angin
dingin. Belum sempat ia meneliti sosok tubuh si penyerang, mandau orang itu
kembali meriwas dalam gerakan silang. Runting melompat mundur. Riwasan silang
berikutnya dielakkan dengan jalan menghindar ke kiri. Si penyerang menarik
tangan kanan, memutar pergelangan. Mandaunya menyerang dari atas, menyambar
leher Runting.
Runting mengubah letak kakinya. Menggerak-gerakkan mandau untuk
membuat benteng pertahanan. Trang! Traangg! Suara benturan-benturan mandau
bersipongang, mengagetkan burung-burung yang sebenarnya sudah mulai melelapkan
diri di kenyamanan sarang, membuat makhluk kecil itu terbang bertemperasan.
Saat si penyerang menarik nafas untuk menghimpun kekuatan, Runting membuat
langkah segitiga, menjauh dari lingkar serangan.
Kini dia punya waktu untuk mempersiapkan diri sementara orang itu
harus berputar sebelum melancarkan serangan berikutnya. Runting sadar bahwa
tenaganya belumlah pulih sepenuhnya. Tadi ketika mandau beberapa kali
bersampok, dia merasa tangannya bergetar, bahkan mandaunya hampir terlepas. Pertarungan
ini harus diakhiri secepatnya, sebelum tenagaku terkuras, sebelum urat-uratku
melemah, pikirnya.
Maka ia pun perlahan menggeser kaki kanan ke depan, sekilan di depan
kaki kiri. Kaki kanan itu berdiri pada ujung jari. Tubuhnya agak membungkuk.
Mukanya sedikit menunduk, tapi pandang matanya yang tajam tak lepas meneliti
segenap gerak lawan. Tangan kiri menyilang di depan dada dengan jari-jari
menunjuk langit. Tangan kanan membawa mandau ke sisi kiri, sejajar pinggang.
Inilah sikap pembukaan tata kelahi dari ilmu mandau Kilat Batiti, ilmu
mandau peninggalan leluhur bubuhannya. Ilmu mandau yang dicipta setelah
mengamati denyar kilat yang seperti bertiti di langit.
Si penyerang membalikkan tubuh. Mukanya tertutup sehelai kain hitam.
Mata yang berada di luar kain hitam itu juga nampak menyipit, meneliti setiap
gerak Runting Sakarti. Orang itu kemudian menggelar kuda-kuda, mandaunya lurus
menunjuk langit.
“ Engkau siapa? “ tanya Runting Sakarti.
Tak ada sahutan, kecuali bunyi geseran kaki di tanah.
“ Kenapa menyerangku? “
Orang bertopeng cuma mendengus. Yeeaaa! Dia menggertak. Tubuhnya
melompat maju, mengirim riwasan mandau. Runting Sakarti juga menerjang ke
depan. Sampokan mandau kembali terjadi-jadi, berkali-kali, menimbulkan percikan
api. Pada jurus ke delapan, Runting mengeliat, tangannya bergerak lentur
membawa mandau dalam riwasan silang ke atas. Belum lagi sampai riwasan itu
gerakan cepat berubah, mata mandau berputar di udara, menebas leher. Sebuah
serangan dahsyat dan juga ganas.
Saat dua batang mandau bertemu, si orang bertopeng kalah tenaga,
terhuyung ke belakang. Runting cepat menerjang lagi, mengarahkan mata mandau ke
bawah, membelah kepala. Si orang bertopeng tertegun sejenak lalu cepat membuang
tubuh ke belakang, seperti tenggiling berguling. Namun Runting tak memberi
kesempatan, mandaunya kembali memburu. Orang bertopeng berteriak:
“ Hentikan! “ serunya. “ Ini aku. Lawing! “
Lawing? Lawing Carita? Runting
mendengus, mengurangi kecepatan mandaunya dan membelokkan arah mata mandau
sehingga cuma beberapa helai rambut Lawing saja yang gugur bertebaran dipapas
tajamnya mata mandau.
Lawing Carita menghembuskan nafas panjang. Dibukanya kain hitam
penutup wajah. Diam-diam dia bergidik ngeri melihat beberapa helai rambut di
tanah. Andai aku tak berteriak, andai mata mandau Runting bergeser setengah
kilan saja, pastilah yang gugur ke tanah bukan helaian rambut, tapi sebuah
kepala. Kepalaku!
Hembusan nafas panjang juga
dilakukan Runting. Jika hembusan nafas Lawing bermakna lega maka hembusan nafas
Runting bermakna letih. Tapi dia sedapat mungkin tak menunjukan keletihan itu. Jika
Lawing tahu tenagaku sudah habis, pikirnya, maka mungkin ia akan kembali
menyerang. Di saat tenaga sudah habis begini, jika datang lagi serangan maka
seribu Kilat Batiti pun tak akan mampu menahan.
“ Kenapa engkau menyerangku? “
tegur Runting.
“ Salahmu sendiri. “ sembur Lawing sambil memasukkan mandau ke
sarung lalu mengurut-urut bahunya yang terasa sakit. “ Malam-malam berada di
kawasan pekuburan. Kusangka kau merupakan jelmaan hantu yang ingin membongkar
kuburan dan memakan mayat. Makanya langsung kusumpit. “
“ Seharusnya kau menegur lebih dahulu…”
“ Menegur jelmaan hantu? “ Lawing menukas. “ Astaga…salah-salah aku
yang mampus lebih dulu. “
“ Setelah berhadapan tadi kau tentu sudah mengenaliku, tapi kau kian
ganas melancarkan serangan. “ cecar Runting.
Lawing terdiam sejenak. “ Aku cuma ingin menguji kesiapanmu. Bukan
tidak mungkin ruh berjubah kuning itu memburumu lagi. Jadi kau harus senantiasa
waspada. “ kilahnya kemudian. “ Yaahh, anggap sajalah seranganku tadi sebagai
latihan untuk melemaskan urat-uratmu setelah lebih seminggu terbaring sakit.
Lagi pula bukankah kita sudah lama sekali tak berlatih mandau bersama? “
tambahnya sambil melangkah ke balik gerumbul semak untuk mengambil sumpitannya.
Alis Runting berkerinyit. Kilah yang diutarakan Lawing terdengar
wajar dan masuk akal, tetapi naluri Runting menangkap sesuatu yang lain.
Sekilas tadi dia bisa menangkap bias saga di mata lelaki itu. Tatapan yang
meluncas di mata Lawing mengesankan tatapan ular berbisa. Tatapan yang memendam
kebencian. Tatapan licik bersorot kesumat.
“ Riwasan mandaumu masih tetap hebat. “ pujian Lawing bernada
ejekan. Dia memunguti delapan patahan damak dan memasukkannya ke dalam bumbung
bambu seruas yang terikat di pinggangnya. “ Kalau kau tak tangkas, mungkin
ruhmu sudah semayam di patilarahan. “ sambungnya, seperti bercanda.
“ Kalau aku kena damak, sebelum racun menjalar, kau sudah lebih dulu
rebah berkuah darah. “ Runting sengaja menekan ucapannya sehingga terdengar
bernada ancaman.
Lawing ketawa dibuat-buat. Hatinya diam-diam giris. Siapa pun tahu
kehebatan mandau Runting, mandau pusaka peninggalan para leluhur yang telah
berkubang di telaga darah. Sebilah mandau tipis tapi amat kuat, ditempa dari batu
mujat, batu sakti yang dulu didapat leluhurnya di hulu Sungai Barito, batu
yang mengandung racun sehingga jika burung hinggap di atasnya pun akan mati.
Batu mujat itu kemudian dikawinkan lagi dengan tanah malai, tanah yang
berapuah melemahkan urat-urat darah. Sarung dan hulunya pun bukan sembarangan.
Sarung berukir Pohon Kehidupan dan Naga, serta hulu berbentuk kepala Tingang
itu diolah dari kayu Nyilu, kayu yang juga menyimpan tuah dan kesaktian.
Dalam benak Lawing tergambar lagi pertarungan tadi, pertarungan yang
amat tidak seimbang. Baru saja mandau Runting terayun dalam riwasan pertama, ia
telah merasakan adanya hawa pembunuhan yang bengis. Pada riwasan kesepuluh, ia
sudah tak mampu lagi bergerak bebas. Perkawinan batu mujat, tanah malai dan
kayu nyilu menunjukan perbawanya. Angin riwasan mandau itu menimbulkan hawa
dingin menusuk tulang, melemahkan sendi, dan membuat seluruh jaringan tubuhnya
mengejang, seperti mau membeku.
“ Aku tengah berburu. “ kata Lawing kemudian. “ Tadi kulihat seekor
kijang lari ke arah sini. Kukejar. Lalu kulihat sesosok tubuh di wilayah pekuburan.
Pikiranku langsung mengatakan kalau sosok itu tadinya kijang yang merupakan
jelmaan hantu pemakan mayat. Makanya langsung kusumpit. Tak tahunya itu kau….”
“ Kini kau mau ke mana lagi? “
“ Yaah, menuruti naluri saja. Kau mau ikut? “
“ Tidak. Sindang akan kuatir kalau aku pulang lambat. “
“ Kalau begitu, aku jalan lebih dulu…” Lawing membelok menyusuri
jalan rintisan.
Runting memandangi punggung itu sampai hilang di gelap malam. Baru
hendak melangkah dia mendengar lagi gerisik daun tersilak. Tangannya kembali
hinggap di hulu mandau. Seekor kijang muncul, terkejut, lalu lari menerobos
perdu. Runting menghembuskan nafas panjang. Melangkah bergegas meninggalkan
wilayah pekuburan.
4
Runting Sakarti membaringkan tubuh di ujuk. Matanya nanap,
memandangi gambar Pohon Kehidupan pada tikar yang tergantung di dinding.
Mengamati kepak tingang di Alam Atas. Mengamati geliat naga di Alam Bawah.
Pandangannya turun, menelusuri gambar dahan dan daun. Begitulah kehidupan di
Alam Tengah, batinnya. Tak selalu lurus, kadang berisi kelokan dan
patahan. Seperti hidupku! Lalu dia teringat pada Diyang Tunjung Bulan,
ingat pada kelindan benang yang kemudian terjurai menjela waktu. Semula
kupikir hubunganku dengan gadis itu akan berjalan mulus, seperti sebuah garis
lurus. Dipandang dari sudut manapun tak bakal ada yang menghalang. Kami sebaya,
setara pula dalam keberadaan. Apang seorang damang, sedang apangnya seorang
kepala adat. Mereka berkawan karib sejak masa kanak-kanak. Di masa remaja,
bahu-membahu dalam berbagai pertarungan untuk mempertahankan keberadaan
komunitas pada masa mengayau[31]
masih menjadi adat. Tapi ah, di saat-saat akhir justru muncul kelokan tak
terduga, datang patahan tak terhindarkan. Kepak tingang dan geliat naga rupanya
menghendaki munculnya kelokan dan patahan itu, kehendak yang tak satu makhluk
Alam Tengah pun mampu menawarnya.
Runting menjangkau bungkus rokok. Mengambil sebatang dan
menyulutnya. Pikirannya kemudian melayap ke pertarungan dengan Lawing Carita
tadi. Baru saja aku terlepas dari tangan maut, sudah muncul pula tangan maut
yang lain, bisiknya dalam hati. Lawing boleh saja berkilah macam-macam,
tetapi matanya tak akan pernah bisa berbohong. Desau mandaunya, titik tuju
serangannya, kuatnya hembusan nafas di lubang sumpitan, ganasnya racun pada damak
yang digunakan[32],
memang diniatkan untuk membunuhku!
Runting kembali mengisap rokoknya dalam-dalam, membiarkan pikirannya
terus mengembara. Dia ingat soal kepemimpinan perkampungan yang menggantung.
Ingat batas waktu empat bulan yang diberikan oleh para tetua adat untuk
memenuhi persyaratan yang masih kurang itu. Haruskah aku menyerahkan
kepemimpinan perkampungan yang telah tiga generasi dipegang bubuhanku ini
kepada bubuhan lain? Bukan jabatan damang itu yang jadi persoalan sebenarnya,
tapi seberapa besar coreng arang yang harus ditanggung bubuhanku hanya karena
aku tak mampu memenuhi satu persyaratan yang bagi orang lain nampak sepele:
menikah! Me-ni-kah! Bah! Begitu gampang kata itu diucapkan, tapi ketika dicoba
diwujudkan yang muncul justru kelokan dan patahan! Lalu, haruskah aku menikah,
dengan siapa pun orangnya, sekadar untuk memenuhi persyaratan itu? Jika itu
kulakukan, bagaimana dengan kehidupanku kelak?
Dibuangnya puntung rokok lewat
celah lantai ujuk. Saat akan mengambil batang yang baru, telinganya mendengar
sederet langkah. Pesan Pang Bulan agar ia dalam empat puluh hari selalu
berhati-hati menjaga nyawa, ditambah pengalaman serangan gelap Lawing tadi,
membuat tangannya cepat menjangkau mandau.
“ Runting….kau belum tidur? “
Suara Sindang Maruai. Runting menghembus nafas lega, meletakkan lagi
mandau ke sisi tubuhnya.
“ Belum. “ sahutnya kemudian. “ Masuklah, Sindang…”
Sindang Maruai membuka pintu ujuk. Rambutnya agak kusut, matanya
mengerjap-ngerjap, sebagaimana layaknya orang yang baru terbangun dari tidur.
“ Malam sudah larut. Kau harus banyak tidur, banyak istirahat, agar
kesehatan segera pulih. “
“ Aku belum mengantuk, Sindang. “ Runting menyulut lagi sebatang
rokok.
“ Ketika pulang tadi aku bertemu Lawing. “ kata Sindang Maruai. “
Dia menanyakanmu. Kubilang saja kau akan ke wilayah pemakaman. “ lanjutnya
sambil duduk. “ Kau bertemu dengannya? “
Jadi benar dugaanku bahwa Lawing memang berniat membunuhku. Dia
sengaja menunggu di wilayah pemakaman. Saat damaknya gagal, dia pun menyerang
dengan mandau. Pikiran itu segera saja menambah
lapisan murung di wajah Runting.
Sindang Maruai mengawasi wajah kakaknya. Dia bisa melihat lapisan
kemurungan yang mengendap di wajah itu.
“ Wajahmu nampak keruh sekali. Adakah hal yang membebani pikiranmu?
“
“ Yaahh, banyak hal mengganggu pikiranku. “ sahut Runting sambil
mengangkat sebelah kakinya, membentuk siku-siku dengan lantai. “ Rasanya belum
selesai yang satu sudah muncul hal yang lain. “
“ Mmhh, boleh aku tahu? “
“ Tidak untuk sementara ini. “
Sindang Maruai tersenyum. Bagi Runting, senyuman itu mengingatkan
pada senyuman mendiang umangnya. Begitu persis. Tak salah kalau banyak orang
mengatakan bahwa Sindang Maruai mewarisi gabungan sifat dan pembawaan kedua
orang tua mereka. Kelembutan dan rasa penuh perhatian yang dipunyai umang,
keberanian dan ketegaran hati yang dipunyai apang.
“ Kalau aku tak boleh mengetahui persoalan yang tengah membebani
dirimu, maka bolehkah aku tahu apa yang kau lakukan dengan mata nyalang di ujuk
ini? “ Sindang kembali bertanya, masih dengan senyum di bibir. Mmhh, kian
persis umang saat melunakkan kekerasan hati apang dahulu, melunakkan kekerasan
dengan kelembutan, melunakkan kekeraskepalaan dengan kemengertian.
“ Kau memang selalu punya cara untuk mengetahui hal yang ingin kau
ketahui. “ kata Runting sambil memijit hidung adiknya.
Sindang terkikik geli. “ Salahkah itu? “ ajuknya.
“ Tidak salah, tapi juga tidak betul. “
“ Nah, apa jawabmu terhadap pertanyaanku tadi? “
“ Aku lagi melakukan dua hal. “ Runting menyerah. “ Pertama, aku lagi
memikirkan pesan Apang sesaat sebelum aku bertemu para penunggang berjubah
kuning. Kedua, aku lagi memandangi gambar Pohon Kehidupan, terutama gambar Alam
Tengah yang berada di antara kepak tingang dan geliat naga. “
“ Ada
pesan Apang yang terkait denganku? “
“ Ya. Apang memintaku untuk menuntun hidupmu baik-baik. Kupikir ini
merupakan isyarat bahwa kau telah diberi restu untuk menikah dengan Sawang
Panangguh….”
Sindang Maruai senyum dikulum. Bibirnya yang melekuk sipu membuat
Runting kepingin menggodanya.
“ Beberapa waktu terakhir ini pembicaraan Sawang denganku hampir
selalu mengarah pada soal perkawinan. Tentang hari baik-lah, tentang hasil
panen-lah, tentang jujuran[33]-lah….”
Runting senang melihat rona merah jengah muncul di pipi Sindang Maruai. “ Aahh, jangan diam saja, Sindang, jangan
tersipu-sipu seperti itu.. Beritahu aku bagaimana harus bersikap jika keluarga
Sawang datang melamar nanti…”
Plak! Sindang memukul paha Runting. Wajahnya merengut. Runting
ketawa. Sindang merasa dipermainkan. Maka kini cubitannya yang bersarang di
paha Runting. Runting mengaduh sebab cubitan itu memang terbilang keras.
“ Sudah! Bicara yang lain saja, tentang Pohon Kehidupan! “ sergah
Sindang.
Runting pun tak hendak menambah godaannya, tak hendak menerima
cubitan yang jauh lebih keras. Entah seberapa merah pahaku menerima cubitan
tadi, pikirnya.
“ Pohon Kehidupan? Mmhh, aku lagi memandangi Alam Tengah, memikirkan
lekuk-liku dahan dan daun dari Pohon Kehidupan. “ jujur ucapan Runting.
“ Kenapa cuma terpusat pada dahan dan daunnya? “ kejar Sindang.
“ Karena di situ ada amsal kehidupan…. “
“ Kau melupakan buahnya. “ Sindang menyela.
“ Maksudmu? “
“ Bukankah buah itu melambangkan kehidupan yang dua-pindua,
kehidupan yang selalu berpasangan? “ pancing Sindang, mencari peluang untuk
membalas godaan kakaknya tadi.
“ Betul. Lalu? “
Senyum Sindang merekah lagi. Pancingannya mengena, sebuah peluang
mulai terbuka.
“ Ada
siang ada malam. Ada
panas ada dingin. Ada
bulan ada matahari. Ada
jantan ada betina. Ada
lelaki ada wanita. Betul begitu? “ Sindang mulai menebar jerat.
“ Betul sekali, anak pintar…” sahut Runting sambil tersenyum.
“ Karena ada lelaki ada wanita maka sudah saatnya pula lelaki
bernama Runting Sakarti memikirkan wanita pendampingnya…” jerat kini
disentakkan.
Runting tergugu sejenak. Tangannya kemudian mengacak-acak rambut
Sindang.
“ Sindang…Sindang…” ucap Runting. Sungguh dia tak menyangka kalau
pembicaraan Sindang ke situ arahnya. Dia telah masuk perangkap.
“ Kenapa? Bukankah yang kukatakan itu benar? “
“ Untuk soal itu, aku masih jauh panggang dari api. “ sahut Runting
sekenanya.
“ Jangan membohongi diriku. “ Sindang terus menjarah. “ Dan
lebih-lebih lagi jangan membohongi dirimu sendiri. “
“ Aku mengatakan apa adanya. “ Runting jadi kikuk, merasa serba
salah.
“ Aaahh. Jangan berpura-pura. Aku tahu bahwa dalam hatimu telah
tersimpan seorang gadis. “
“ Jangan terbiasa menduga-duga tanpa dasar yang pasti. “ Runting
berupaya mengelak. “ Apalagi terhadap hal yang melibatkan orang lain. “
“ Menduga hal yang memang ada bukanlah sesuatu yang salah. Bukankah
di hatimu bersemayam seorang gadis bernama….Diyang Tunjung Bulan….”
Runting terdiam. Matanya terpejam sejenak. Dia merasa ada seonggok
duri menggeliat di dalam hati. Sindang tak tahu adanya geliat duri itu.
Baginya, diamnya Runting merupakan ruang untuk melakukan pembalasan terhadap
godaan Runting tadi.
“ Selama kau sakit, hampir setiap ketemu dia bertanya tentang
keadaanmu. Ingat pula kesediaannya untuk mempertaruhkan nyawa untukmu. Itu
tandanya dia mencintaimu. Naahh, kilat dalam air sudah kentara, kenapa pinangan
tak dilakukan segera….”
Runting membiarkan ucapan adiknya itu melilit lalu menumbuk jaringan
benang otaknya. Sindang Maruai tersenyum lebar, merasa mendapat kemenangan
besar. Dan dia menikmati kemenangan itu sampai Runting menggerakkan kaki dan
duduk menghadapinya.
“ Sindang, sebelum kau lanjutkan ocehanmu tentang Tunjung Bulan maka
ada satu hal yang harus kau ketahui…”
Sindang tak menyahut, menunggu kelanjutan ucapan kakaknya yang
terdengar menggantung itu. Menggantung memang, sebab Runting terlebih dahulu
mengumpulkan kekuatan sebelum meneruskan ucapannya:
“ Tunjung Bulan itu milik Lawing Carita…”
Apa? Tunjung Bulan milik Lawing Carita? Mata
Sindang Maruai terbelalak. Tidak mungkin! Selama ini tak pernah terlihat mereka
bersama. Bahkan di arena babangsai dan banampak yang merupakan ajang untuk
mencari jodoh pun tak pernah tampak mereka berduaan. Jadi sukar diterima
kebenaran hubungan mereka.
“ Itu tidak benar! “ ucap Sindang,
seperti kepada dirinya sendiri.
“ Benar, Sindang. Memang begitulah
kenyataannya. “
“ Dari mana kau tahu? “
“ Dari Pang Bulan sendiri. Tunjung
dan Lawing telah terikat kawin gantung. Mereka telah dijodohkan oleh
Pang Bulan dan Apangnya Lawing sebelum mereka dilahirkan. “
Sunyi beberapa jenak. Runting berharap Sindang akan mengakhiri
pembicaraan tentang Tunjung Bulan sebab pembicaraan itu cumalah menggarami
luhak mata luka, tapu kerutan-kerutan di dahi Sindang mengesankan bahwa adiknya
itu tak berniat menyudahi. Haruskah aku memintanya meninggalkan ujukku?
Apapun alasanku pastilah ia terima sebagai pengusiran. Itu akan membuat hatinya
yang belia menjadi luka dan menimbulkan persoalan baru. Jadi, aku harus
bagaimana?
“ Tunjung dan Lawing cumalah kawin gantung, “ Sindang pelan-pelan
berucap. Runting merekam ucapan itu dengan rasa perih di hati. “ Artinya, perkawinan secara adat belum
dilaksanakan. Dan sebelum perkawinan adat itu dilangsungkan, siapapun masih
punya peluang untuk menyunting Tunjung Bulan, apalagi kalau gadis itu juga
menaruh hati. “
“ Kendati mereka cuma kawin gantung
tetapi secara adat itu sudah merupakan satu ikatan. “ suara Runting terdengar
berat. “ Ibarat kembang mekar maka kembang itu sudah ada pemiliknya, sudah
berada dalam pagar larangan, tinggal menunggu waktu yang baik untuk memetiknya.
“ Runting menghentikan sejenak ucapannya sebab beraian perih di hati kian
menggigit. “ Lawing Caritalah yang paling berhak untuk mengawini atau
meninggalkan Tunjung Bulan. Dan Lawing memang berkeinginan untuk mewujudkan
perkawinan, sama sekali tak berniat untuk melepaskannya. “
“ Jika kau dan Tunjung saling
mencintai, kenapa tak kau rebut dia? “ Sindang Maruai tak jua mengerti beraian
perih di hati Runting. “ Merebut seorang gadis dalam pagar larangan dibolehkan
dalam adat kita. Bawa lari dia sebulan-dua. Lalu bersimpuh di depan persidangan
adat. “ Sindang merasa bangga bisa mengungkai jalan keluar bagi persoalan sang
kakak. “ Kupikir apapun hukuman yang bakal dijatuhkan tidaklah berarti apa-apa
dibanding kebahagiaan yang bakal kalian reguk bersama….”
Perih di hati Runting sudah
menggila. Ini harus diakhiri. Harus diakhiri! Pekiknya dalam dada.
“ Besok akan kubicarakan hal ini
dengan Tunjung Bulan….”
Membicarakan dengan Tunjung
Bulan? Astaga! Tindakan apa itu! Perih yang tak
tertahankan dengan gampang bisa berubah menjadi searus kemarahan. Dan itulah
yang kemudian terjadi.
“ Sindang! Hentikan ocehanmu! “
suara Runting terdengar seperti geram.
Sindang Maruai terpana. Perasaan
wanitanya yang halus tiba-tiba merasakan adanya perubahan pada sosok di depannya.
Dipintaskannya pandang ke wajah Runting, ditemukannya seraut wajah yang
mengelam.
“ Tahukah kau siapa aku ini,
Sindang? “
Sindang tambah terpana lantaran
menerima pertanyaan yang disangka-sangka. Pertanyaan yang remeh dan lucu. Cuma
nada suara yang menggeram itulah yang memupus kesan remeh dan lucu. Nada suara
yang menuntut. Nada bicara yang menyekap kemarahan. Pelan diangkatnya pandang,
tetapi baru saja matanya bersampok dengan mata Runting ia cepat membuang
pandang. Mata itu seperti menyimpan bara. Dan Sindang merasa tak tahan
berbenturan dengan sorot semacam itu.
“ Pertanyaanmu aneh….” Ucap Sindang
kemudian.
“ Aneh atau tidak, jawablah! “
desak Runting.
Desakan itu membuat Sindang
tersengat. Pembawaan warisan sang umang mendadak lenyap, yang mengedepan kini
adalah pembawaan warisan sang apang. Dia merasa desakan itu sebagai tantangan.
Maka cepat diangkatnya pandang. Matanya berkilat memapas sorot di mata Runting.
Aku tak akan menunduk, tekadnya. Tak akan menunduk! Digigitnya
bibir. Di susunnya batu-batu dalam jagad diri, membangun benteng kukuh. Di sana dia mencoba
bertahan. Tapi sorot di depannya terasa kian beringas. Merubuhkan batu-batu.
Meruntuhkan benteng. Dan Sindang dengan amat terpaksa menunduk lagi.
“ Kau adalah Runting Sakarti! “
Sindang berucap sambil menunduk. “ Kau lelaki yang menyimpan cinta dalam dada!
Lelaki yang juga berhak mendapatkan kebahagiaan sebagaimana lelaki lainnya! “
“ Kau salah, Sindang! “
“ Tak ada salahnya! Cuma kaulah
yang mencari-cari kilah untuk mengingkari kodrat dirimu! “
“ Justru karena mengetahui kodrat
diri itulah maka aku mengatakan kau salah! “
“ Di mana letak salahnya? Di mana!
“
Hidup memang tak seluruhnya lurus,
selalu ada kelokan dan patahan. Sesuatu yang bermula dari kelembutan dalam
tempo singkat berkelok ke arah pertengkaran. Pertengkaran dua saudara di dalam
ujuk yang pengab, di malam yang telah lewat dari setengahnya.
“ Engkau cuma memandangku dari satu
sudut, Sindang! Engkau tidak melihat diriku secara keseluruhan! Dengar, aku
adalah Runting Sakarti, lelaki yang digadang-gadang menjadi Damang, pemimpin di
perkampungan ini! Karenanya aku dituntut untuk menjadi contoh, menjadi teladan!
Tingkahku, tindakanku, pemikiranku, merupakan tolok ukur, bahan panutan bagi
warga perkampungan! Bisakah kau mengerti posisiku ini, Sindang? “
Sindang termangu. Ucapan itu
bergaung dalam jagad dirinya, mengaduk-aduk perasaan. “ Walau untuk semua itu
kau harus menderita? “ sahutnya, kali ini dalam getaran.
“ Penderitaan adalah dunia seorang
pemimpin. Apang dahulu mengatakan bahwa seorang pemimpin harus bisa membedakan
di mana perannya sebagai sebuah pribadi berakhir dan di mana pula perannya
sebagai teladan warga bermula, sementara batas di antara keduanya sungguh amat
tipis, sukar sekali dibedakan. “
“ Urusan cinta adalah urusan pribadi,
bukan urusan seorang pemimpin! “
Runting Sakarti memasukkan nafas
sepenuh dada. Kemudian dia seakan mendengar suaranya sendiri bergaung dari
jauh:
“ Cinta memang merupakan salah satu
kodrat kehidupan manusia, Sindang. Cinta memang urusan sebuah pribadi. Tetapi
cinta juga harus diletakkan pada tempat yang benar. Sepanjang ia tidak
bersintuhan dengan hal-hal yang tabu maka usaha untuk mewujudkannya adalah
sebuah kewajaran, bahkan sebuah keharusan.
“ Dalam persoalanku, gadis itu pada
dasarnya sudah menjadi milik orang lain. Memang aku bisa saja merebut dan
melarikan Tunjung dari pagar larangan, tetapi aku tak bisa membayangkan akan
jadi apa warga perkampungan ini nanti jika pemimpin mereka justru melakukan
pelanggaran besar terhadap hukum adat kita.
“ Hukuman mungkin akan bisa sedikit
membersihkan diriku dari mata dunia, tetapi nanti aku tidak cuma berhadapan
dengan mata dunia. Aku juga akan berhadapan dengan Ning Bahatara. Hukuman yang
kuterima di dunia tidaklah bisa membersihkan diriku secara mutlak di hadapan
Ning Bahatara.
“ Karena itulah, Sindang, aku lebih
baik menyiksa diriku sendiri di dunia ini dari pada harus tersiksa di Negeri
Ning Bahatara. Sebagai insan ciptaan-Nya, aku tak punya arti apa-apa bagi Ning
Bahatara. Dan akan lebih tak punya arti lagi jika nanti aku datang
menghadap-Nya dengan menghambin sejumlah dosa. “
Suara Runting kian sayup dan
akhirnya mewujud dalam keluh berujung lenguh. Lenguh yang menampar hati Sindang
Maruai. Lenguh yang menjelujurkan rasa sesal.
Duh, kakakku, ternyata begitu
berat beban yang engkau pikul, ternyata begitu besar batu gunung yang menindih
jagad dirimu, sesah Sindang dalam hati. Beban
dan tanggung jawab kepada warga perkampungan mungkin masih bisa dibagi. Tetapi
beban yang menindih diri sendiri dengan siapakah engkau berbagi?Dengan
batu-batu gunung yang bisu? Dengan cadas hitam berlumut? Atau dengan ayun
lampai anggrek Turun Dayang di perbukitan? Cuma dengan itukah?
Sindang Maruai tenggelam dalam
renungan. Dia memandang ke dalam dirinya sendiri. Dan dia bisa melihat sekian
banyak telunjuk menuding muka. Apa saja yang telah kulakukan untuk
meringankan beban kakakku ini? Aku yang merupakan orang terdekat, saudara
sedarah-sedaging, seakan tak mau tahu terhadap dirinya, padahal setelah apang
dan umang tiada seharusnya akulah tempatnya menumpahkan sesah.
Sesal kian mengarus di dada.
Meluncas naik, berwujud air mata. Dua alur jernih pun turun dari matanya.
Mengaliri lekuk pipinya. Menuruni runcing dagunya. Menetes jatuh ke hampar
tikar. Dan alur jernih itu mengambil muara ke dada Runting Sakarti. Aku
telah melukainya, pikir Runting. Agaknya aku terlalu keras menghadapi
keluguannya. Bukankah dia sebenarnya bermaksud baik? Kenapa tadi aku bersikap
sekeras itu?
Sepasang anak Panting Sumbilang
berbincang dengan diri mereka masing-masing. Suatu saat keduanya bersampok
pandang. Sindang melihat sorot beringas itu telah lenyap. Yang tinggal adalah
sorot lembut. Sorot kasih sayang campur penyesalan. Maka Sindang pun berkisar,
mendekat ke arah Runting. Pelan direbahkannya kepala ke bahu kakaknya. Meredam
tangis di situ. Runting mengelus rambut Sindang yang berberaian.
“ Jangan menangis, Sindang, jangan
menangis. “ bisiknya. “ Aku menyesal. Aku mohon maaf karena telah melukai
perasaanmu. “
“ Kau tak menyakitiku. Kau sama
sekali tak melukaiku. Kau justru telah membuka tabir gelap yang selama ini
mengaling pikiranku. Aku menangis karena menyesali diriku sendiri. Aku ternyata
begitu terlambat untuk mengenali dirimu secara penuh. Aku terlalu asyik dengan
diriku sendiri, dengan rencana-rencanaku, dengan mimpi-mimpiku. Aku menjadi
buta, tak mampu melihat bahwa dalam keseharian kakakku tengah menghambin beban
yang amat berat…”
Runting tak menyahut. Dia biarkan
adiknya menghabiskan tangis. Tangis merupakan jalan untuk melepaskan tindihan,
bahasa untuk menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan oleh kata-kata. Ah,
selalu saja ada kelokan dan patahan di dahan hidup. Selepas kelokan yang satu
ini kelokan yang bagaimana lagi yang akan dijelang? Runting memandangi
gambar Pohon Kehidupan. Memandangi dahan, daun dan buah di Alam Tengah, garis
kehidupan di antara kepak tingang dan geliat naga.
5
Jika ada hal yang membebani pikiran
atau jika harus membuat pertimbangan-pertimbangan untuk membuat putusan berat
pada persidangan adat, Pang Bulan biasa menyendiri di kerimbunan hutan bambu
kuning. Malam ini pun lelaki tua itu ada di situ, duduk di bangku, tenggelam
dalam bungkusan asap rokok.
Sebuah tantangan halus. Runting
merasa serba salah, melayani salah menolak pun salah. Maka dipandanginya sosok
di depannya itu. Dalam remang cahaya suluh damar, sosok itu terlihat penuh
perbawa. Danar Wanang alias Pang Bulan. Sang Balian Guru. Balian yang telah
digembleng oleh alam dan keadaan. Lelaki yang telah melewati banyak sekali
pertarungan di garis batas hidup dan mati. Lelaki yang mandau pusakanya telah
berendam dalam telaga darah. Ketuaan usia memang nampak pada kisut wajahnya,
tetapi matanya bersorot tajam bagai mata elang. Ujung keningnya yang tebal dan
putih menjulai ke bawah. Kumisnya yang berwarna perak melintang bengis.
Rangkakan usia seakan tak mampu menindih ketegapan tubuhnya.
Ilmu mandau simpanannya bernama
Pawana Mura, ilmu mandau yang benar-benar ganas. Gerak serangannya begitu cepat
dan penuh perubahan tak terduga. Mendampar lentur tapi terpusat laksana angin
tutus menyambar, lincah mematuk seperti patukan tadung mura. Dialah
satu-satunya orang yang mampu bertahan lebih dari 100 jurus saat menghadapi
ilmu mandau Kilat Batiti, padahal Kilat Batiti dilancarkan oleh Panting
Sumbilang, orang yang telah sampai ke tataran tertinggi ilmu itu. Konon
pertarungan kedua ilmu itu di masa muda mereka hebat tak bertara. Semak dan
pohon yang ada di sekitar gelanggang habis terbabat, pecahan batu-batu gunung
beterbangan ke berbagai penjuru, bunyi benturan mandau bersipongang laksana
dentuman petir, dan teriakan-teriakan mereka mengguntur menggetarkan tiap
gendang telinga.
Kini pewaris Kilat Batiti harus
menghadapi lawan yang sama. Akan mampukah aku mengulangi kehebatan Apang
puluhan tahun lalu? Akan mampukah Kilat Batiti mempertahankan pamornya dan
menjinakkan Pawana Mura? Runting Sakarti merasakan getar halus di dada.
Maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Dia sadar bahwa aksi dan reaksi akan
jauh lebih bagus jika lahir dari ketenangan. Bukankah ilmu mandau itu berasal
dari hati? Hatilah pangkal segala gerak. Karenanya, ketegangan cuma akan
mematahkan keselarasan antara mandau dan semangat.
“ Bersiaplah, Runting.
Keluarkan seluruh kemampuanmu. Jangan ragu-ragu, sebab aku akan menyerang
dengan sepenuh tenaga. “ Pang Bulan memperingatkan. “ Dan ingat, aku bukan
Lawing yang bisa kau tundukkan dalam waktu singat saat kalian latihan beberapa
waktu lalu. “
Lawing?
Jadi Lawing telah menceritakan kejadian di kawasan tanah pemakaman beberapa
hari lalu? Apalagi yang diceritakannya pada bakal mertuanya ini? Adakah hal
yang ditambah-tambahinya?
Alis Runting berkerut. Matanya memintas ke arah Lawing Carita.
Lawing tersenyum. “ Aku telah menuturkan latihan kita
itu. “ katanya kemudian. “ Juga tentang keinginanmu untuk menguji penguasaan Kilat Batiti terhadap
Pawana Mura. Jadi jangan sia-siakan kesempatan ini, mumpung Pang Bulan berkenan….”
Fuiii! Runting menyumpah dalam hati. Bagaimana mungkin Lawing bisa berubah seperti ini? Kenapa begitu
besar kesumatnya padaku padahal aku sudah menyulutkan langkah? Bukankah setelah
mengetahui bahwa Tunjung Bulan merupakan miliknya, telah kutebas jalinan benang
antara aku dan gadis itu hingga menjela di rumpun duri? Pikiran Runting beralih ke arah Pang Bulan. Agaknya Pang Bulan pun sudah termakan ocehan bakal menantunya.
Mungkin saja dia telah beranggapan aku demikian sombong sampai-sampai hendak
menjajal Pawana Mura sehingga menyinggung kehormatannya, terlebih jika
dikait-kaitkan dengan penolakannya ketika aku dulu melamar Tunjung Bulan. Tak
heran kalau dia tadi mengatakan akan menyerang dengan sepenuh tenaga. Duh,
betapa tak berharganya aku. Di matanya, aku adalah manusia yang teramat sombong. Di matanya, aku
adalah manusia yang tak tahu membalas budi. Dan seperti itu pulalah agaknya
ketidak-berhargaanku di mata Diyang Tunjung Bulan. Lihatlah, betapa dingin mata
gadis itu. Menikam-nikam sedingin mata mandau. Duh. Duh.
Lawing..Lawing. Runting Menggeram.
Baginya, perbuatan Lawing Carita telah menempatkan pertarungan ini bukan
sekadar untuk mempertahankan pamor Kilat Batiti terhadap Pawana Mura
tetapi sudah menyangkut harga diri. Harga diri seorang lelaki! Maka kakinya pun
melangkah maju, terpancang kira-kira dua
depa dari Pang Bulan. Mantap dia memasang kuda-kuda, menggelar sikap pembukaan Kilat
Batiti.
Pang Bulan juga mulai menggelar sikap pembukaan Pawana Mura.
[1] Patilarahan = dunia arwah
[2] Kariwaya = pohon besar sejenis beringin
[3] Balai = rumah besar Dayak Meratus
[4] Umang = ibu
[5] Limpang = tangga dari kayu
yang diberi takikan sebagai wadah pijakan
[6] Ujuk = ruangan/kamar dalam balai, biasanya dihuni oleh satu kepala
keluarga
[7] Palupuh = dinding yang terbuat dari anyaman bambu; gedek
[8] Cacak burung = tanda tambah (+), merupakan penanda penolak bala
[9] Damak = anak sumpitan dari ulin yang telah diberi racun mematikan
[10] Ning Bahatara = Yang Maha Kuasa dalam kepercayaan Dayak Meratus
[11] Damang = Kepala Suku.
[12] Balian = dukun; orang yang menjadi medium antara dunia kasat mata
dengan dunia supranatura
[13] Apang = ayah; bapak
[14] Bawanang = upacara pascapanen Dayak Meratus
[15] Bubuhan = keluarga; marga
[16] Butah = semacam ransel yang terbuat dari anyaman rotan
[17] Lawung = ikat kepala
[18] Sumangat = semangat; daya hidup
[19] Batandik = menari
[20] Bilaran = sejenis kulit kayu
[21] Samban = kalung
[22] Paikat sampuk buku = rotan bertemu buku
[23] Tanah malai = tanah yang menyimpan tuah dan kesaktian
[24] Barabayan = nama sejenis hantu bertubuh besar
[25] Kambang Lilihi = janur khusus dari pucuk daun enau dan bunga-bunga.
[26] Mamang = mantera dalam bahasa Sangiyang
[28] Pinjulang = wanita pendamping balian (sesuai konsepsi dua-pindua),
merupakan penerjemah bahasa Sangiyang
[29] Babangsai = nama tarian pergaulan
[30] Banampak = nama tari pergaulan
[31] mengayau = memenggal kepala manusia
[32] pada pangkal damak biasanya terdapat tanda tertentu untuk
membedakan antara damak tak beracun, damak beracun untuk sekadar melumpuhkan,
atau damak dengan racun yang mematikan
[33] Jujuran = mahar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar