ORKESTRA
WAYANG
Aliman Syahrani
Burhanuddin Soebely
Iwan Yusi
Joni Wijaya
Miziansyah J
Muhammad Faried
M. Fuad Rahman
YS. Agus Suseno
Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
2007
Tradisi
penulisan cerpen di Kabupaten Hulu Sungai Selatan sudah terbilang tua.
Penghujung tahun 1930-an, Maseri Matali dan Artum Artha telah menulis dan
memublikasikan cerpen mereka, tidak cuma di media lokal tetapi juga di media
luar daerah seperti Jakarta, Medan,
Surabaya.
Langkah mereka kemudian diikuti oleh Haspan Hadna, Hassan Basry, Merah Danil
Bangsawan, Mohammad Arsyad, Mazdan Rozhany. Tahun 1950-an, D. Zauhidhie, Salim
Fachry, Eza Thabry Husano, mengikuti jejak para pendahulu itu. Tahun 1960-an,
A. Rasyidi Umar, Djarani EM., menyusul. Tahun 1970-an, Burhanuddin Soebely,
Iwan Yusi, Muhammad Radi, menyambut estafeta. Tahun 1980-an, muncul Miziansyah
J. Tahun 1990-an, ada Aan Maulana Bandara dan Aliman Syahrani. Tahun 2000-an,
M. Fuad Rahman, Muhammad Faried, Joni Wijaya, menyeruak ke permukaan.
Dari
data itu terlihat bahwa konsistensi penulisan cerpen di Hulu Sungai Selatan
tetap terjaga. Paling tidak, di tiap dasawarsa ada saja muncul cerpenis yang
ikut mewarna dunia sastra Indonesia,
terutama dunia sastra Kalimantan Selatan. Hal ini tentu saja merupakan hal yang
membanggakan, sebab tidak semua daerah bisa seperti itu.
Perjalanan
cerpen dan cerpenis tersebut dirasa perlu dipetakan ke dalam sebuah antologi
sebagai penanda keberadaan. Walaupun tidak selengkap yang diinginkan setidaknya
pencarian dan semangat zaman dari berbagai “angkatan”. Sebagai sebuah antologi
maka gaya
cerpen dalam buku ini cukup beragam, mulai dari realis, ironistik, karikatural,
sampai surealis. Tema yang diangkat juga bermacam-macam, memunguti masalah-masalah
yang muncul di masyarakat, terutama masyarakat pada zaman di mana cerpenis itu
hidup.
Neurosis
Oleh Aliman Syahrani
D
|
AN lelaki itu terpaksa dirawat di rumah sakit. Ia mendapat serangan
penyakit aneh di kepalanya dan harus menjalani operasi secepatnya. Ia pun sudah
pasrah. “Apapun yang bakal terjadi, ya, terjadilah,” cicit hatinya. Ia memang
benar-benar telah pasrah.
“Jika saya masih
boleh meminta, ya, Tuhan…,” suaranya tersisa pada saat zat anestesi mengaliri darahnya dan mengeleminasi semua-mua ingatannya.
Tapi walau pun demikian, telinganya masih jelas menangkap suara-suara yang
menggaung di sekitarnya. Ia merasa pikirannya masih terang. Bahkan tiba-tiba ia
menyaksikan jasadnya sendiri terbaring di atas meja operasi itu, tak bergerak.
“Ya, Tuhan.
Apakah operasi ini tidak berhasil?”
Ia terlengak
menyaksikan jasadnya itu, yang tak bergerak sama sekali. Tapi tidakkah ia masih
jelas mendengar gaung suara-suara di sekitarnya? Ia dapat menyaksikan kesibukan
para dokter dan sejumlah perawat yang tengah menggerumuti jasadnya itu dan
tampaknya begitu cekatan melaksanakan tugasnya masing-masing. Ia dapat mendengar detak halus
monitor jantung di atas kepalanya, yang memecah kesunyian dan melahirkan
kecemasan yang berkepanjangan. Bunyi ventilator
yang membantu pernapasannya masih jelas tertangkap pula oleh telinganya.
Dan gegas para perawat itu, sungguh jelas dalam auranya.
“Apakah saya
masih hidup, ya, Tuhan? Bukankah saya tengah melakukan operasi?”
* * *
TAK pelak lagi, Ibram yakin kalau ada
benjolan di kepalanya. Benjolan itu semakin kentara bila ia membaca surat kabar, mendengar
radio, menonton televisi dan menggunakan heandphone.
“Bagai ada yang
hendak tumbuh di kepalaku, dok. Dan benjolan itu membuat kepalaku seolah mau
bertanduk,” cucur Ibram beberapa waktu lalu sebelum dioperasi pada Dr. Mugni,
kawan akrabnya sewaktu kuliah dulu.
“Apa benar
begitu, Bram?” tanggap Dr. Mugni setengah tak percaya.
“Benar, dok!”
tekan Ibram dengan wajah serius. “Rasanya kepalaku ini akan bertanduk seperti
kepala kerbau.”
“Jika memang
seperti itu keadaannya, saya untuk saat ini belum bisa membantu banyak
kepadamu. Saya cuma bisa menyarankan satu resep yaitu hindari saja keempat
benda penyebab itu. Jauhi surat
kabar, hindari radio, tinggalkan televisi dan lupakan handphone.”
“Dasar dokter,
bisanya cuma memberikan resep tapi tak berani mengobati!” rutuk Ibram dongkol
ketika pulang, hatinya masygul. “Mending aku cari dukun, walau pun tidak tahu
penyakitnya, tapi dukun selalu berani untuk mengobati,” gerutu Ibram lagi setengah
frustrasi.
Namun Ibram
membatalkan niatnya untuk pergi ke dukun. Memang sejak dulu dia apriori perihal dukun-dukunan. Dia
adalah seorang yang analis dan cenderung berpikir kritis, semua hal yang berbau
mistis dan tidak realistis dia eleminasi jauh-jauh, sedangkan untuk menuruti
anjuran Dr. Mugni dia ogah.
“Jika obatnya
seperti yang dianjurkan dokter Mugni itu, untuk apa aku berkonsultasi
dengannya. Toh yang demikian itu
sudah terpikir juga olehku,” kesah Ibram sembari bermegah diri. “Ironisnya
adalah, mustahil di abad David Beckham ini orang mampu bertahan hidup dan bisa
sukses tanpa keempat benda itu. Dunia tanpa surat kabar, tanpa radio, tanpa televisi dan
tanpa handphone adalah dunia yang
tandus, dunia yang gersang, dunia yang mati. Tak ubahnya dengan planet-planet
lainnya, planet yang tak ada kehidupan.”
Tapi dari hari
ke hari benjolan di kepala Ibram kian tumbuh menonjol. Sekarang tak ada lagi
sebuah topi pun yang dapat dikenakan dengan pas di kepala Ibram. Artinya
benjolan di kepalanya tak bisa lagi disembunyikan, dan benjolan itu kini
benar-benar tumbuh menjadi dua buah tunas tanduk seperti di kepala kerbau.
Akhirnya, meski dengan perasaan setengah-setengah, Ibram kembali mendatangi Dr.
Mugni. Dorongan untuk kembali memenumui Dr. Mugni adalah semata karena Mugni
adalah kawan baiknya sedangkan kepercayaannya kepada mitos dokter yang serba
bisa, serba ahli, serba tahu sudah lama sirna. Ia apatis terhadap segala yang mapan-mapan.
“Kebanyakan
pasien memang orang
bebal,” sindir Dr. Mugni sinis menyambut kedatangan Ibram. “Saya pernah
mempunyai seorang pasien penderita serangan jantung dan tekanan darah tinggi
serta penyakit kronis lainnya. Satu-satunya obat yang bisa saya berikan adalah,
berhenti merokok dan jangan makan makanan yang berkadar lemak tinggi. Tapi
pasien langganan saya itu tak menggubrisnya. Dia menginginkan saya menjadi
tukang sulap dan menyulap penyakitnya agar sembuh total. Akhirnya dia kuberi
kapsul. Memang kapsul itu bisa mengatasi serangan jantung tapi itu cuma
sementara. Dan bila penyakitnya kambuh, dia datang lagi ke sini dan kuberikan
lagi kapsul yang sama plus beberapa
resep hiburan. Ya, aku cuma memberikan beberapa resep hiburan. Dokter-dokter
sekarang harus mampu menjadi tukang hibur, kalau tidak, dia tak akan punya
langganan tetap,” Dr. Mugni berhenti sebentar. Tangannya menghunus sebatang
rokok, menyulut ujungnya dan kemudian menyesapnya dalam-dalam. Asap segera
mengepul keluar dari dua lubang hidungnya dan mengembang memenuhi ruangan. Dr.
Mugni menatap Ibram dengan pandangan hiba, dia kemudian menyambung, “Nah,
seperti itu juga denganmu, kau telah kuberi obat yang sebenarnya tapi kau tidak
melaksanakannya. Sekarang kau akan kuberikan resep lain, yakni kau harus
menggergaji tanduk di kepalamu itu. Kau harus melaksanakan operasi. Sekarang
terserah apa pendapatmu. Setuju atau tidak itu urusanmu. Ingat, aku hanya seorang dokter,
bukan tukang sulap.”
Pulang dari
klinik Dr. Mugni, Ibram tambah mendongkol.
“Kepalaku
digergaji? Ah, dasal sial! Kalau hanya itu resepnya, untuk apa aku berkonsultasi
segala? Toh pikiran seperti itu sudah
lama terbayangkan olehku. Ah, dasar dokter. Dia hanya mampu menjelaskan apa
yang sudah dipikirkan pasiennya,” salak Ibram memuntahkan serapah.
“Tak seorang pun
berhak mengatur kepalaku. Aku merdeka sepenuhnya atas milikku yang satu-satunya
ini. Aku bebas menentukan potongan rambutku, bebas menentukan jenis topi dan
segala macamnya. Pokoknya, sebelum ada undang-undang yang melarang orang yang mempunyai
tanduk di kepalanya melaksanakan kegiatan rutinnya, aku akan tetap bekerja.
Kalau toh nanti keluar juga
undang-undang demikian; yang melarang orang yang
mempunyai tanduk di kepalanya berkeliaran; yang melarang orang-orang yang kepalanya bertanduk
melaksanakan aktivitasnya, aku akan tetap melaksanakan aktivitas rutinku. Akan
kubuktikan bahwa aku mempunyai kepala, bahwa aku berhak penuh atas kepalaku.
Pokoknya, kepalaku ini adalah satu-satunya milikku yang paling berharga dan aku
berhak penuh atas perlakuan apa pun yang akan kuberikan padanya,” tekad Ibram.
* * *
BEGITULAH. Akhirnya Ibram membiarkan
saja kepalanya ditumbuhi tanduk. Dengan tanduk di kepala, dia berusaha untuk
bersikap objektif. Dia mengeleminasi semua cemoohan orang
lain, dia cuek dengan tertawaan orang lain, dia tidak ambil peduli keprihatinan orang lain. Pokoknya dia
berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah hak prerogatifnya sebagai seorang yang punya kepala; apa yang
dilakukannya adalah bukti kemerdekaannya.
Ibram pun tetap
melaksanakan aktivitasnya. Dia tetap masuk ke kantor di mana ia bekerja, dia
tetap minum kopi dan ngobrol di warung kopi, dia tetap membaca surat kabar, mendengarkan
radio, menonton televisi dan menggunakan handphone.
Namun
konsekuensi logisnya tanduk di kepala Ibram juga semakin tumbuh membesar.
Beberapa bulan kemudian, tanduk itu menjadi bercabang seperti tanduk menjangan.
Kini di kepalanya sudah menancap sepasang tanduk bercabang yang begitu kokoh.
Ibram
benar-benar kehilangan semua kepercayaan dirinya, semuanya. Dia benar-benar
kehilangan gairah. Dia frustrasi! Dia tak tahu apa yang harus diperbuat atas
kepalanya. Memang, sebenarnya masih ada keinginannya untuk menemui Dr. Mugni,
tetapi niat itu diurungkannya. Dia apatis
terhadap semua nasehat.
“Dokter Mugni
tak memberiku apa-apa. Dia hanyalah seorang dokter. Dokter, di mana pun di
dunia ini, tidak lebih dari orang-orang
yang sok tahu tapi tak benar-benar
mengetahui,” rutuknya pahit.
Walau sepasang
tanduk yang tumbuh di kepalanya telah bercabang-cabang seperti tanduk
menjangan, tapi pertumbuhan itu tetap saja bertambah. Kian hari pertumbuhan itu
semakin menjadi.
“Tindakan apa
yang harus kulakukan sekarang? Dengan sepasang tanduk di kepala yang terus
tumbuh tanpa dapat dikendalikan, apakah aku masih bisa berkata bahwa aku punya
hak penuh atas kepalaku? Apakah aku masih bisa berteriak bahwa aku merdeka
sepenuhnya atas kepalaku? Ah, semakin banyak saja hal yang tak bisa kuatasi
meski hanya untuk diriku sendiri. Aku mesti berbuat sesuatu atas kepalaku ini,”
pikir Ibram benar-benar frustrasi.
“Biarlah.
Biarlah dokter Mugni merasa besar kepala karena aku mengikuti anjurannya. Apa
boleh buat, kejujuran, apa pun bentuknya, harus berhadapan dengan kejujuran
lain, dan untuk mengatakannya harus ada polesan, harus ada bedak. Tak ada
kejujuran yang benar-benar jujur. Tak ada kejujuran yang berdiri sendiri. Meski
aku jujur mengatakan bahwa aku mengoperasi kepalaku karena inisiatifku sendiri
tapi klaim dokter Mugni yang mengatakan bahwa dialah yang menyarankannya tak
dapat aku bantah,” gerucau Ibram semakin frustrasi.
* * *
TAPI operasi yang dilaksanakan Ibram
sungguh di luar dugaan. Ia tak mau sepenuhnya operasi itu persis seperti apa
yang dianjurkan Dr. Mugni. Operasi itu adalah manifestasi lain dari
inisiatifnya sendiri.
Ibram merakit
sebuah bom kecil dan memasangnya dalam mulutnya. Kepada kawan-kawan dekat dan
rekan-rekan sekerja serta beberapa relasi yang diundangnya, dia berkata:
“Aku yakin, kita
semua pernah mengalami hal yang sama. Apa yang aku alami ini mungkin juga
pernah kawan-kawan alami. Tetapi masing-masing kita menimbulkan efek yang
berbeda. Mungkin masing-masing kita mempunyai cara tersendiri untuk
mengatasinya. Kawan-kawan tidak menimbulkan efek seperti yang aku alami karena
kalian mempunyai cara untuk mengatasinya. Aku tak bisa mengatasinya maka
beginilah jadinya. Namun apa pun yang terjadi biarlah terjadi dan aku tak akan
menyesalinya. Aku mengambil jalan ini semata-mata untuk membuktikan bahwa tak
seorang pun berhak atas kepalaku. Akhirnya kepada kawan-kawan aku hanya
bisa minta maaf. Mudah-mudahan apa yang
kita lakukan adalah amal yang bernilai ibadah untuk kita. Kita, pada akhirnya,
hanyalah menanggung apa-apa yang kita lakukan. Apakah itu dosa atau pahala. Dan
kita, pada akhirnya, hanyalah berhak memanen buah dari benih yang kita semai.”
Kemudian dengan
tenang Ibram menarik picu bom yang ditanam di mulutnya itu. Maka tak ayal,
dengan bunyi gedebyar, kepalanya yang bertanduk itu meledak bagai balon kena
tusuk. Tapi aneh! Meski kepalanya telah berai berkeping-keping, jantung Ibram
tetap berdetak. Diyakini Ibram masih hidup, oleh keluarga dan kawan-kawannya
tubuh Ibram segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Ibram sendiri
tak habis pikir, ia dapat melihat dengan jelas keluarga dan kawan-kawan
dekatnya yang mengangkut tubuhnya dalam mobil ambulance dengan wajah-wajah tegang, dan akhirnya tubuh itu
dibaringkan di bangsal rumah sakit begitu senyap.
“Ya, Tuhan,
mengapa saya masih hidup? Bukankah saya telah meledakkan kepalaku?”
Sementara itu,
di antara tetelan-tetelan daging kepala Ibram yang hangus bagai disate itu para
dokter dan perawat menemukan juga lempengan-lempengan kecil seperti cip
komputer.
Ketika dibaca
ternyata di dalamnya tersimpan memori yang bertuliskan beberapa nama. Tumpukan
nama-nama di dalam cip memori itulah, yang, berdasarkan tulisan terakhirnya
yang tersimpan di dalam laci meja kerja Ibram, menyebabkan kepalanya sampai
ditumbuhi tanduk sedemikian rupa.
“Setiap aku
menonton televisi, membaca surat
kabar, mendengarkan radio dan menggunakan handphone,”
demikian isi tulisan itu, “Di kepalaku seakan teronggok taik. Taik itulah yang
menyebabkan kepalaku tumbuh dan bertanduk. Aku berusaha mengeleminasi agar
nama-nama itu tak disebutkan, tapi di mana dan kapan pun aku berada nama-nama
itu selalu ada. Dia dijadikan ‘jimat’ oleh sebagian orang untuk menghalalkan apa yang mereka
inginkan. Aku muak. Kepalaku dijadikan WC untuk menampung nama-nama itu. Aku
tak mau hal itu terus berlanjut. Kepalaku bukan WC yang bisa menampung apa
saja; untuk mendengarkan
kata-kata taik, untuk menyimpan nama-nama taik, untuk mengamankan rahasia-rahasia
taik, untuk menyembunyikan rencana-rencana taik, untuk memback up data-data taik. Sekali lagi kukatakan bahwa kepalaku
bukanlah WC!”
Akhirnya jenazah Ibram dikebumikan
tanpa prosesi dan upacara. Orang-orang yang hadir melayat tercenung. Tiba-tiba
saja di kepala mereka seakan teronggok taik, tapi untunglah mereka semua
memakai peci. M
Petualangan
Zikir
oleh Aliman Syahrani
ADA
momen puitik dalam petualangan yang tidak bisa kueleminasi dan sekaligus tak
dapat kuungkapkan lewat fiksi, ketika aku mengadakan perjalanan ke Loksado.
Perjalanan menuju Lokasado adalah perjalanan
menuju kenangan. Menuju Loksado berarti mendatangi tanah tumpah kelahiran.
Trenyuh juga perasaanku melihatnya sekian lama masih dibiarkan terlelap dalam
tidur di alam keterbelakangan. Padahal hutan-hutannya sudah mulai
dirambah, dan buminya semakin digaruk karena memendam harta. Apapun dalih yang
akan dikatakan orang tentang desa itu, Loksado adalah tanah tumpah kelahiranku.
Bumi Loksado telah cukup banyak memberikan miliknya yang paling berharga untuk
kemakmuran daerah ini.
Terletak 185 kilometer dari Banjarmasin dan 40
kilometer dari Kandangan, desa Loksado berada dalam wilayah Kabupaten Hulu
Sungai Selatan, terpencil di lereng bukit. Sungguh, inilah perjalanan
penyiksaan, terutama setelah jarak 165 kilometer dari Banjarmasin ditambah 25
kilometer dari Kandangan kutempuh dengan naik mobil. Lima belas kilometer selebihnya, jika hari
tidak hujan, bisa dilalui dengan ojek gunung. Kata orang pedalaman Loksado, bukah baduduk. Artinya, duduk berlari
dengan ojek di alam terbuka.
Selama tiga atau empat jam menunggang ojek, perjalanan
berubah jadi petualangan, karena jalan setapak hanya bisa dilalui dengan
berjalan kaki. Naik turun bukit, menerobos hutan tropis basah di kaki gunung Kantawan.
Kawanan burung berkicauan menyejukkan hati. Tapi, ketika jalan menyempit curam
dan semakin terjal, dengan jurang menyeringai di kanan-kiri, hiiih… kuduk bergidik jadinya.
Pebukitan, padang
ilalang, hutan karet, berganti dengan sungai-sungai kecil, terkadang melintasi
jalan. Lalu hutan berpohon tinggi lebat dan besar-besar menunggu, siap menelan.
Aroma bumi basah rain forest[1] – karena sinar matahari tak kuat
menembus dedaunan – menyergap hidung. Tubuh terasa segar dan telinga menangkap
gemersik daun bambu, membuat semua ilusi masa kecilku kembali menguar.
Sungai Amandit menggemercik. Jalan meliuk-liuk,
mengitari perbukitan. Sesekali aku berpapasan dengan penduduk setempat, yang
lelaki menyelipkan parang[2] di pinggang, sedang yang wanita
menggendong sambil menyusui bayinya. Mereka selalu membawa butah.[3]
Terkadang mereka sekeluarga kupergoki di sungai kecil, tengah manangguk[4]
atau memasang lukah,[5]
mencari ikan dan udang.
Desa Hulu Banyu terlewati, kemudian Ni’ih.
Berarti sudah setengah jalan. Semua desa di sini bersuasana sama. Sunyi. Hanya
anak-anak yang bermain tungkau[6]
atau gundu dari batu, dan wanita penjaga warung atau pencari kutu rambut serta
orang-orang tua mahambit rumbia.[7]
Tapi mereka ramah, tak mencurigai setiap pendatang. Polos, bersahabat.
Melewati desa Kukundu, di sana ada sebuah rumah adat berbentuk panggung
besar yang dinamakan rumah balai[8]
yang ditempati beberapa keluarga sekaligus. Di waktu senja hari penghuni balai tersebut berkumpul di ruang tengah
di dalam balai, mendiskusikan apa saja
yang akan dikerjakan esok hari. Malam harinya, sang damang[9] sibuk merapal dan mendaras mamang,[10]
mantera-mantera serta do’a-do’a keselamatan bagi arwah para Datu[11] di alam surga. Mereka juga terbiasa
memberi sesajen bagi para Datu, demi
kesuburan ladang berpindah yang ditanami padi.
Dua kilometer lagi Loksado tergapai. Namun, jalan
tanah merah menurun amat curam. Menanjak sedikit. Jembatan kayu gantung berada
tinggi dari permukaan sungai Amandit yang jernih berarus keras. Hiih…, terasa gamang ketika melewatinya.
Lepas dari sini, keindahan dan keramahan segera menyilak di depan mata.
* * *
BERKIBLATKAN keperawanan pegunungan
Meratus, Loksado berada di buaian
lembah dan bukit. Sewajana mata menatap, hutan lebat meriap hingga jauh. Sore
hari, Loksado berselimut dingin. Malamnya, desa disungkup kelambu gelap.
Listrik tak ada, petromak pun jarang. Hanya lampu culuk[12] atau senter berkelipan lemah.
Untunglah, malam itu ada pagelaran wayang
urang Banjar, yang ditanggap setahun sekali, menjelang hari pasar esoknya.
Penduduk mengalir berbondong dari segala
penjuru desa untuk menyaksikan karasmin[13] wayang,
keluar dari rumah-rumah yang merapat padat. Semua tumpah ke tanah lapang balai
desa, bertahan hingga wayang berakhir menjelang pagi.
Begitu bubar,
orang-orang kembali melesap dalam kegelapan. Tinggallah kesunyian mendenyut
dalam gelap. Langit kelam. Kabut luruh. Angin berdetas. Bulan tiada. Rasa sepi amat
mencengkram. Suara jengkrik mengkerik menyayat telinga. Di kejauhan, sungai
Amandit tak henti berkecipak. Aroma daun kayu manis yang menyengat membuat
suasana keterpencilan serasa semakin meracik. Segala berubah saat pagi merobek
gelap. Penduduk kembali bergerak, menuju pasar. Keadaan hiruk pikuk menyemplak di
sana.
Loksado
sungguh indah bagi pendatang. Loksado memang bagaikan dua sisi uang logam yang
masing-masing menawarkan harga bagi para wisman mau pun turis lokal. Perjalanan
menuju Loksado berarti perjalanan menuju keindahan. Loksado dengan dua daya
pikat keperawanan alamnya yang eskotis serta tradisi adat yang begitu dramatik
sungguh potensial sebagai obyek wisata. Loksado dengan dua daya pikat tersebut
tak urung membuat wisman dan turis lokal datang tidak hanya sekali. Dilihat
dari usianya, kebanyakan dari mereka memang berjiwa petualang.
* * *
UJI keberanian sesungguhnya adalah, tentu
dengan mengeleminasi semua rasa gentar, aku meninggalkan Loksado lewat sungai
Amandit. Mendengar gemuruh suaranya saja, hatiku sudah menguncup. Apalagi
perjalanan ditempuh dengan lanting,[14]
yang telah kupesan sehari sebelumnya. Baru menjejakkan kaki di lanting saja aku sudah memindai
keganasan arusnya. Dalam sebentar, lanting
sudah melesat.
Aku bergidik.
Tapi si tukang rakit malah tersenyum. Akhirnya kami bersitatap dalam diam. Ini
bisnis macam apa? Itu negosiasi macam apa? Pertanyaan metropolitan itu membaur
dengan deru arus sungai yang keras – pegunungan yang tegak menjulang – dan
suasana batin yang khas petualang. Semuanya berbuar dan mengusik tidur fiksiku
yang lelap sekian waktu tanpa bisa mengungkapkannya.
Lanting –
dalam mitos Dayak Lokasado – adalah kesederhanaan, keselarasan – bahkan
kebebasan. Di mana orang bisa melabuh ego nyali – mengeleminasi kepenatan
ragawi – tempat untuk mengetemudapatjumpasuakan esensi diri – di mana orang
bisa berpetualang dengan bebas dan bercengkerama lepas dengan alam. Tak ada
ketergesaan – (mencapai tujuan) – bahkan “silaturrahim” dengan si tukang rakit
bisa terjalin secara spontanitas. Dan aku malah bukan mengalami petualangan,
tetapi menikmati suatu pariwisata.
Ketika rakit
mulai terpental-pental dan terkadang tertelan air, si tukang rakit sibuk
mengendalikan rakit dengan pinanjak[15]
untuk menghindarkan rakit dari batu-batu besar yang bertonjolan dari dasar
sungai. Ada semacam ketenangan dan rasa percaya-mempercayai yang harus tumbuh
antara aku sebagai penumpang dengan tukang rakit, antara tukang rakit dengan
rakitnya, antara tukang rakit dengan daya tahan dan kewaspadaannya, antara
kemahiran dan pengalaman “menyopir” si tukang rakit dengan arus tak pasti dan
serba tak terduga dan mendadaknya nasib lanting-nya, penumpang dan
dirinya.
Dan karenanya,
mau tak mau, harus selalu ada jalinan komunikasi dan rasa percaya-mempercayai
(mungkin juga hanya “tempat mempercayakan diri”) antara aku (sebagai penumang)
dan tukang rakit yang menjadikan tumbuhnya keakraban dan keintiman. Sekaligus
jalinan komunikasi dan rasa percaya-mempercayai (lebih tepatnya memang “tempat
untuk mempercayakan diri”) antara “sopir” khususnya dan para “penumpang”
umumnya (karena sebuah rakit bisa saja dimuati enam sampai tujuh orang) dengan
Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Menentukan. Dengan Allah
SWT, dan karenanya petualangan pun jadi zikir yang intens.
Sungai yang
berkelokan menembus hutan lebat, tebing-tebing yang menjulang, bahaya yang
serasa mengancam dari segala penjuru, dan pepohonan besar tinggi serta belukar
bambu yang berdiri tak bergerak bagai barisan mambang yang menakutkan, adalah
prolog bagi satu perjalanan ketika melintasi sungai Amandit dengan
jeram-jeramnya yang curam sejak Lokado ke Kandangan. Sebuah pemandangan fisik,
sebuah momen puitik yang khayali – meski kesannya terus melekat –
sebelum memasuki momen puitik yang lebih batiniah – sebuah momen religik. Momen
religik dalam petualangan, yang terkadang luput dan tak terhayati karena
tuntutan zaman yang menagih serba siap, serba instan, serba tepat waktu dengan
kepastian dan kecepatan tinggi. Taksi, bus cepat ber-AC, dan bahkan kereta api
– selain mobil pribadi dengan sopir terpercaya – adalah kesempatan untuk
melakukan perjalanan tanpa momen religik, tanpa kekentalan zikir di satu sisi dan tanpa keakraban antara sesama
manusia – “penumpang” dan “sopir” – seperti di lanting. Satu
pengeleminasian emosi yang tak tertakar oleh mitos piknik, rekreasi,
petualangan atau bahkan pariwisata.
Enam jam berada
dalam kecemasan, ketegangan, kelelahan dan “ketakutan”, akhirnya lanting meluncur meninggalkan pegunungan
Meratus. Di desa Lumpangi rakit bersandar, setelah memenangkan jeram-jeram
sungai Amandit. Dari situ, ojek gunung telah menanti, siap mengobok-obok tubuhku
lagi menuju Kandangan.
Semakin jauh
dari Loksado, semakin kental keindahan desa itu membingkas dalam kenangan. Semakin jauh dari Loksado, semakin sampak
momen puitik menumbuk dalam nostalgik. Ý
ORKESTRA WAYANG
Oleh Burhanuddin Soebely
1
Hampir
tengah malam. Suara gamelan terus mengalun, menggetarkan serbuk-serbuk udara :
kadang melembut bagai langkah peri di akar malam, kadang pula menyentak laksana
derap kaki-kaki kuda berpacu. Angin semilir. Dedaunan risik. Sindin
menyusup, nestapa nadanya. Dan kemudian kedengaran suara sang dalang, agak
serak tapi nyaring :
“
Jadi rupanya, sudah hampai wayahnya. Sangiyang Wanang punya mau, Diwa
marastuakan. Nang ngaran bujur wan jujur sudah kada baharaga. Rata-rata tunjuk
lurus kalingking bakait. Nang ngaran adil wan bijaksana tinggal kambang
pandiran. Babuih di muntung tapi nang kaya batu di hati…. “[16]
Sosok-sosok
pemimpin yang cuma berpikir tentang diri sendiri nampak bertitah ini-itu di kalir[17].
Ksatria-ksatria yang tak berperilaku satria, linjang-linjang[18] mendominasi
pagelaran. Jilat-menjilat, sikut-menyikut, injak-menginjak, dan sekian intrik
kekuasaan lainnya diceritakan sang dalang dengan amat memikat. Lihatlah,
Semar--sang pengayom-nampak marista[19]
di bawah sebatang pohon miskin daun yang tumbuh di tengah padang Lara Cinta Dilaga. Darmakusuma
tercenung di Kayangan Tunjung Maya. Arjuna membawa hati dengan bertapa di peratapan[20]
Arga Samiru.
2
Tengah
malam. Irama ayakan miring[21] dan
sindin[22]
nestapa kian menyigi hati. Di bawah sebatang nyiur gading, di atas daun pisang
lapik duduk, mendadak saja aku disungkup suasana misterius yang khayali. Aku
seperti dibungkus balut kedap suara. Pikiran dan perasaanku mati beku. Lalu
kulihat uap pikiran dan perasaan itu bergerak membawa ingatan. Membubung.
Menipis. Dan lenyap.
Lalu
kulihat sebuah kursi : anggun, antik dan cantik. Kursi yang biasa kududuki.
Kursi tempatku menyanggah dan menghempang arus pemikiran maupun perbuatan yang
kuanggap sudah ke luar dari rel cita-cita kemerdekaan negeri ini. Kursi yang
terbahak dan mengejekku lantaran aku kemudian ditendang darinya melalui alasan
paling populer dan klasik : telah ke luar dari garis partai, tak bisa bekerja
sama dengan anggota dewan lain dan para Muspida.
Kemudian,
sekonyong-konyong gendang telingaku digetarkan oleh suara tangis. Tangis siapa
ini? Kenapa begitu banyak suara tangis, seakan orang berjuta menangis bersama?
Apa yang ditangisi? Menangisi siapa?
3
Lewat
pukul satu. Gamelan sirap. Waktu istirah tiba. Dalam seringai bulan tanduk, aku
melangkah menuju panggung. Para nayaga duduk
santai, menikmati kopi. Asap rokok berkepulan, mengiring asap balincung[23].
Aku naik ke panggung, duduk dekat jajaran wayang. Sang dalang menoleh. Kami
bertatapan. Keningku berkerut. Senyum renyah yang dilemparkannya kusambut
dengan mulut ternganga. Betapa tidak, manusia di depanku itu adalah manusia
yang muncul dari kepingan masa lalu : seorang tokoh kampus yang dulu begitu
populer di Yogya.
“
Apa kabar, Bung? “ sapanya sambil mengulurkan tangan.
“
Terus terang saja, aku kaget…” sahutku setelah jabat tangan kami lepas. “ Kau
nampak sedemikian berubah…”
Ia
tersenyum halus. Tangannya menjangkau bungkus rokok. Kebiasaan menyulut rokok
sebelum memulai pembicaraan serius agaknya masih bersisa di dirinya.
“
Sekeluar dari kehidupan kampus, aku mencari ilmu yang lebih dekat dengan
kenyataan kehidupan. “ ujarnya setelah menghembuskan asap rokok. “ Aku berguru
pada mendiang Dalang Tulur di Barikin, mencari nilai-nilai hakiki untuk
menjangkau kesunyataan. “
“
Dan engkau kemudian menjadi dalang? “
Ia
mengangguk berkali-kali. Aku pun menarik nafas panjang berkali-kali. Mmhh,
seorang sarjana sosial-politik yang lulus dengan predikat summa cum laude
ternyata memilih kehidupan yang sama sekali tak pernah kubayangkan akan terjadi
padanya. Seorang lelaki yang dadanya dibuncahi idealisme ternyata membiarkan
ijazah sarjana yang dikejarnya bertahun-tahun lapuk dimakan rayap. Seorang
tokoh yang sering berorasi di berbagai mimbar dan podium, yang memimpin sekian
banyak demonstrasi mahasiswa, kini tampil di belakang lintangan gadang[24],
di antara jejeran wayang, di bawah latat[25]
balincung.
Selintas
terbayang saat-saat kami bergelut di kampus dulu. Tahun-tahun yang sibuk,
keberanian-keberanian yang mengagumkan. Ah,
di manakah sekarang idealisme yang membuncah bak gelombang mendampar
karang itu? Di manakah tersimpannya bekas-bekas pamflet yang berujar tentang
kebenaran dan keadilan itu? Hilang ke mana gelegar pekik kemanusiaan yang
senantiasa memadu dengan derai-derai cemara Bulak Sumur dulu? Di manakah
lenyapnya perdebatan-perdebatan pada malam-malam Malioboro?
Kusulut
rokok. Dari balik tabir asap kupandangi wajahnya. “ Nampaknya pekerjaanmu
sekarang ini jauh berbeda dengan hal yang kau iming-imingkan semasa di kampus
dulu. “ ucapanku bernada menuding. Sebuah hal yang biasa muncul pada
malam-malam Malioboro dulu. “ Kau bilang bahwa nanti kau akan menjadikan dirimu
sebagai start point dalam perubahan kemasyarakatan. Kau bilang akan
mencoba menumbuhkan paradigma sosial baru. “ Mataku lekat ke matanya. “ Tapi
apa yang kau lakukan sekarang ini? Kau lari, Bung! Bergegas meminggir ketika
roda zaman deras menggelinding! “
Ia
ketawa perlahan. “ Kau salah, Bung! “ sahutnya tenang seraya menjentikkan abu
rokok. “ Aku malah amat setia dengan apa yang kita iming-imingkan dulu. Cuma
jalan yang kuambil berbeda. “ Diisap dan dihembuskannya asap rokok. “ Dengan
menjadi dalang, aku merasa amat dekat dengan rakyat jelata. Aku kian mengerti
akan mereka. Aku kian banyak menimba kehidupan mereka… “
“
Apa kaitannya dengan iming-iming kita dulu? “ tukasku.
“
Lewat wayang, aku memberikan berbagai suluh. Lewat wayang, aku menuturkan
perlunya perubahan-perubahan pandangan. Semuanya berlangsung secara tak
langsung, lewat jalinan cerita, lewat amsal-ibarat, lewat contoh soal
kehidupan. Kujadikan diriku sebagai penerjemah zaman, penuntun ke masa depan. “
Ia
berhenti sejenak, meneliti penerimaanku. “ Kupikir hasilnya jauh lebih bagus
tinimbang aku datang ke suatu desa macam pejabat yang memberikan pidato resmi.
Pidato yang kadang membosankan serta bikin mengantuk karena disampaikan dengan
bahasa formal. “
Aku
diam. Dulu kupikir aku merasa amat mengenal ABC-hidupnya, tapi nampaknya ada
satu titik halus yang luput dari pengamatan. Dan titik halus itulah yang
menimbulkan adanya jarak sekarang ini, sebuah jarak psikologis.
“
Apa engkau merasa bahagia dengan kehidupanmu sekarang ini? “ tanyaku kemudian.
“
Ya, amat bahagia…”
“
Maksudku…secara materi…”
“
Kebahagiaan tidak bisa diukur dengan materi semata, Bung!. Agaknya kau telah
melupakan kaidah itu! “ suaranya terdengar tajam. Ujung bibirnya terjungkit,
seperti mengejek. Aku merasa bagai kena tampar. Kubuang wajah, pura-pura
menjentik abu rokok ke bawah panggung.
“
Kau sendiri bagaimana? “ ia balas bertanya. “ Kudengar kau telah berhasil duduk
di Dewan…”
Aku
tersenyum sempil. Kaca-kaca diriku serentak kembali memantul bayang.
“
Baru seminggu aku dicopot dari situ…”
Ia
ketawa. “ Kenapa, Bung? “
“
Yaahh, karena mencoba setia dengan iming-iming masa lalu itu…”
Ia
ketawa lagi. “ Wajahmu nampak rusuh. Agaknya hal itu memukulmu. Kau menyesal? “
nada suaranya terasa menghunjam ke hati.
Aku
cuma mengangkat bahu. Menenggelamkan diri ke dalam asap rokok.
“
Tahukah kau kenapa Tuhan menciptakan akal, pikiran, serta perasaan pada
manusia? “
Pertanyaan
itu membuat keningku berkerut. Ia menepuk bahuku, berdiri sejenak, memilih
beberapa wayang, lalu duduk kembali.
“
Lihatlah, Bung. “ katanya sambil menancapkan sebuah wayang ke gadang. “
Ini Rahwana, perlambang keangkara-murkaan. Ini Durna, perlambang kelicikan. Ini
Suyudana, perlambang keserakahan. Ini Sangkuni, perlambang kemunafikan. Ini
Bisma, perlambang kesetiaan pada negeri. Ini Darmakusuma, perlambang kekudusan.
Ini Janaka, perlambang keberanian. Ini Gatotkaca, perlambang pengorbanan. Ini
Semar, perlambang pengayom dan pengabdian tanpa pamrih….”
Ia
menyebut sekian banyak nama wayang dengan perlambangnya masing-masing. Aku
termangu, disungkup rasa tak mengerti. Mataku menatap sekian banyak wayang yang
berdiri tumpang-tindih sehingga membuat bayang-bayang campur-baur di kalir.
“
Dan dirimu, Bung, hatimu, adalah kalir itu. “
Keningku
tambah berkerut. Kutatap ia dengan pandangan orang bodoh yang sama sekali tak
mengerti terhadap hal yang dibicarakan dan diinginkannya.
“
Wayang-wayang penuh perlambang itu hidup dalam dirimu. Hidup dalam batinmu.
Berwujud nafsu. Nafsu itu mengomando dirimu, menyetir tindak-tandukmu. Saat
Rahwana berkuasa, kau pun jadi orang yang penuh angkara murka. Saat Durna
berkuasa, kau jadi manusia selicin belut. Saat Sangkuni berkuasa, kau menjadi
orang munafik nomor wahid. Begitu pula jika wayang-wayang lain yang berkuasa.
Kadang, sejumlah wayang itu melakukan kolaborasi. Jika Suyudana berkolaborasi
dengan Semar, misalnya, kau pun jadi manusia yang nampak sebagai pengayom tapi
menyimpan keserakahan dalam diri. “
Aku
memeras otak. Mencoba mengurai kalimat-kalimat berbau filsafat itu.
“
Nah, Bung, dirimu sebenarnya tak lebih dari ajang pagelaran wayang, sebuah
orkestra wayang yang bermain tanpa henti. Di dalam orkestra wayang itulah Tuhan
memberimu akal, pikiran dan perasaan. Jika pemberian itu kau pergunakan dengan
baik maka kau akan bisa menguasai pagelaran, menjadi dirigen orkestra. Kau yang
menguasai wayang-wayang itu, bukan menjadi orang dikuasai.
“
Untuk menggunakan akal, pikiran, dan perasaan, secara baik, kau harus punya
pegangan mapan : sesuatu yang diredhai-Nya, sesuatu yang tak lepas dari jalan
lurus-Nya. Kalimasada, Bung, jimat Darmakusuma. Kalimasada, Kalimah Allah. “
Kubuang
puntung rokok dan menggantinya dengan batang yang baru. Ia menjangkau sebotol
air mineral, menyodorkannya padaku. Aku cepat menyambut, meminumnya. Sehempas
arus sejuk mengaliri kerongkongan, menjelujur urat darah, berlabuh ke dada.
4
Hampir subuh. Kapas-kapas embun
turun perlahan, mengiringi turunnya Darmakusuma dari Kayangan Tunjung Maya.
Sang pemegang Kalimasada mengurai segala intrik, menepis semua pernik. Lalu
gunungan menari-nari, pertanda kehidupan terus berlangsung. Orkestra wayang
terus bermain dalam diri. Dalam diri.
“ bangayu manis raga mambi
manurutakan lalakun diri
hiyaiii… “[26]
TARIAN DARAH
Oleh Burhanuddin Soebely
1
Melewati pengadilan penuh sandiwara yang sengaja dibikin
bertele-tele, tuduhan terorisme
dibuktikan. Vonis hukuman mati pun diketuk.
Hadirin diam. Tak ada protes apa-apa, juga dari tim pembela yang di awal
persidangan nampak garang bagai macan kelaparan.
Dua orang berseragam menyeretku ke mobil tahanan, membawaku kembali ke
penjara. Semula kupikir aku akan ditempatkan di sel yang dulu kuhuni semasa
pemeriksaan. Ternyata tidak, aku akan ditempatkan di sel yang lain.
“Anda akan ditempatkan di sebuah ruang khusus…” kata Kepala Penjara
dengan ramah, jauh berbeda dari biasanya. Apakah itu karena dalam hitungan hari
aku akan mati?
“Boleh aku membawa buku-buku dan catatan-catatanku?“ tanyaku.
“Tentu saja boleh.“ bibirnya berulas senyum. Sebuah senyum tulus? Ataukah
itu senyum mengejek? Aku tak sempat memikirkannya sebab aku terlanjur
membayangkan kenikmatan menunggu hari eksekusi sambil membaca atau menulis
catatan-catatan yang aku sendiri tak tahu akan diwariskan kepada siapa.
Maka sambil membawa buku dan catatan, aku digiring oleh beberapa sipir
menuju ruang khusus itu. Sepanjang jalan, keningku berkerut, terlebih setelah
kami menuruni undakan dan senter dinyalakan. Rupanya ruang itu merupakan ruang
bawah tanah.
“Selamat menikmati ruang ini. Semoga Anda
senang.” ujar seorang sipir diiringi sebuah seringai yang menyakitkan hati.
Lalu tendangan sepatu larsa singgah di punggung, membuatku terjerembab ke dalam
ruang itu. Pintu dengan cepat ditutup. Gelap pun melingkup.
2
Adakah
ruang yang lebih gelap dari ini? Mereka menyebutnya ruang pengeraman : sebuah
ruang seukuran 2 m x 1,5 m, berdinding beton, berdaun pintu dari besi, tanpa
dipan, tanpa alas tidur, tanpa lampu, tanpa ventilasi, bahkan kadang tanpa
makanan tanpa minuman. Sedemikian gelapnya ruang ini sehingga jika kau dekatkan
telapak tanganmu ke depan mata pun engkau takkan bisa melihatnya. Satu-satunya
cahaya yang muncul adalah apabila engkau pejamkan matamu rapat-rapat : setitik
cahaya akan muncul dan membingkas. Persis seperti yang digambarkan Jack Abbot
dalam bukunya In the Belly of the Beast : “Bila kusentuh mataku,
keduanya pun meledak dalam cahaya, dalam curah kilauan yang putih”.
Di sini, kau tak akan tahu apakah di
langit bulan sudah membayang atau matahari masih sengangar. Di sini, waktu
berhenti, arah tak ada. Di sini, kau cuma bisa menduga-duga : apakah waktu
shalat sudah tiba, apakah debu di lantai
tetap boleh dijadikan sarana tayamum, apakah kekotoran lantai tetap suci untuk
dijadikan tempat shalat. Selebihnya, dugaan lain : tentang kapan mereka akan
menjemputmu, menggelandangmu ke luar, menggiringmu ke tempat hukuman mati.
Selebihnya lagi, juga dugaan, tentang bagaimana caramu mati : apakah kau akan
dibakar hidup-hidup, apakah kau akan membuang nyawa dengan leher terjerat tali
di tiang gantungan, apakah tubuhmu akan berlubang-lubang oleh terjangan peluru
regu tembak, apakah kepalamu akan menggelinding akibat tebasan di leher, apakah
ke dalam nadimu akan disuntikkan serum yang membuat jantungmu pecah, apakah
tubuhmu akan berkelojotan oleh sengatan arus listrik, apakah bagian-bagian
tubuhmu diikat kepada 6 ekor kuda yang akan berlari ke arah berbeda sehingga
tubuhmu tercabik-cabik, apakah….apakah….
Begitulah ruang pengeraman. Tapi jika kau
menduga bahwa aku demikian menderita di ruang pengeraman ini maka kau salah.
Pada mulanya penderitaan itu memang ada, bahkan pernah membuatku membenturkan
kepala ke tembok. Dalam simbahan darah, dalam deraan rasa sakit, aku menggigit bibir dan memejamkan mata
rapat-rapat. Cahaya bingkas, meledak dalam diri. Dan ketika ledakan itu
kuiringi dengan lafaz zikir, darahku tiba-tiba mengombak, menari-nari seperti
tariannya Rumi, mengelilingi pusat semesta, perlahan mengalif, lalu membawaku
mikraj ke nun, menyirnakan segala derita. Pengalaman itu kemudian menyadarkanku
bahwa derita dan bahagia, jauh-dekat Dialah sumbernya. Maka aku pun tak lagi
peduli dengan waktu, tak lagi peduli dengan pernik. Seluruh diriku tenggelam
dalam khusuk zikir. Bahkan dalam tidur pun zikir tetap menyuara dalam diriku,
serupa musik, membuat darahku menari-nari, membuat aku mengalif, dan mikraj ke
nun.
3
Saat eksekusi agaknya telah tiba.
Dengarlah, ada bunyi derap sepatu-sepatu larsa. Diikuti bunyi pergeseran engsel
pintu besi yang dimakan karat. Berkas cahaya yang muncul dari senter menerpa.
Aku melolong. Benar-benar melolong. Cahaya itu berubah menjadi batangan besi
yang telah direndam berabad-abad di neraka, menusuk ke pusat mata. Perih tak
bertara. Air mataku muncrat. Mereka terbahak. Lalu sepatu larsa bergantian
hinggap di punggung dan pantat, memaksaku berjalan.
Subuh putih sekali. Kapas embun turun
perlahan, mengecupi pucuk-pucuk daun, membaluti dedahan dan reranting, kemudian
jatuh membasahi bumi. Juga membasahi tubuhku yang terikat pada sebuah tonggak
kayu bulat berwarna coklat kehitaman.
Kubayangkan, sebentar lagi kesunyian
tempat itu bakal retas oleh derap-derap sepatu larsa Sepasukan regu tembak akan
berbaris bersaf menghadap kearahku. Sesaat
kemudian akan kedengaran aba-aba. Bunyi senapan yang dikokang. Dan
akhirnya dentuman serempak, menghamburkan butiran peluru ke tubuhku. Mungkin
akan sempat kulihat darahku muncrat dan kepak sayap burung yang terbang
menjauh. Mungkin pula akan sempat kurasakan sengatan rasa sakit. Selebihnya,
punya Dia akan kembali ke Dia. Yang berasal dari tiada akan kembali pada tiada.
“Waktu Anda tinggal sepuluh menit lagi.“
ujar komandan eksekusi.
Aku mengangguk, menyembulkan seulas senyum.
Mata komandan eksekusi menatapku, lekat. Aku balas menatapnya, lekat. Entah
kenapa dia membuang pandang. Barangkali dia merasa agak iba padaku. Barangkali
pula dia merasa takut kalau aku nanti menjadi setan gentayangan yang bakal
menerornya habis-habisan.
“Aaa…aapakah Anda memerlukan ulama untuk
membacakan doa penghabisan?“ suaranya terbata-bata.
“Terima kasih, itu tidak perlu.“ sahutku.
“Dalam saat seperti ini aku tak memerlukan perantara untuk berbicara kepada
Tuhan.“
Komandan eksekusi mengangguk. Menengok jam
tangan. Mengeluarkan kain hitam dan menutup mataku. Seperti saat di ruang
pengeraman, dalam kegelapan yang sempurna cahaya bingkas dari mata, bersambut
dengan gemuruh zikir di hatiku, membuat darahku menari, mengiramakan langit dan
bumi. Sesaat kemudian, tarian darah itu mengalif. Tegak lurus. Menjadi tangga.
Aku pun mikraj ke nun. Ke Nun.
BANSAU
oleh
: Iwan Yusi
Pukul sepuluh siang acara keramaian itu dimulai.
Bunyi babun
ditabuh kian gegap gempita. Seorang
penari kuda gipang lenggang-lenggoknya semakin panas mengikut irama. Apalagi setelah acara bananaikan
batang pinang atau panjat pohon pinang dimulai. Enam orang anak mengenakan
topeng lucu membuat sorak-sorai penonton tambah riuh rendah menggemai.
Penontonpun tua muda semakin berdatangan dan berjejal-jejal seperti semut
merubung manis gula.
Keramaian ini digelar di halaman rumah Pak Haji Abas.
Orang tua terpandang yang sering
dipanggil Juragan Bansau itu
sengaja menggelar acara keramaian ini dalam rangka menyambut kepulangan anak
semata wayangnya yang baru menyelesaikan kuliah di Pulau Jawa.
Sebuah mobil sedan perlahan memasuki lawang sakiping
atau pintu gerbang yang berhias janur kuning dan aneka warna bunga-bunga. Mobil
berhenti, dan diparkir di tengah halaman. Seorang pemuda gagah keluar dari
dalam mobil. Pak Haji Abas lekas menyambut dan memeluk sang pemuda yang tak
lain adalah anak tunggal kebanggaannya. Lalu perlahan pemuda itu dibimbing
menaiki sebuah panggung kecil yang telah disiapkan. Selanjutnya orang tua itu
dengan penuh semangat menyampaikan semacam kata-kata sambutan, sebagaimana
layaknya sebuah acara resmi di kelurahan.
Pertunjukan seni kuda gipang dan bananaikan
batang pinangpun dihentikan sementara. Perhatian mereka pun tumpah ke arah
panggung.
“ Saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan
Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudari, serta anak-anak, ikut hadir meramaikan
penyambutan anak tunggal saya si Muhransyah. Ingat, Bapak-bapak, Ibu-ibu,
Saudara-saudari, serta anak-anak, …
sejak hari ini Muhransyah sudah berada di tengah-tengah kita kembali setelah
hampir empat tahun ia kuliah di Pulau
Jawa. Muhransyah sekarang adalah lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia,
yaitu IPB, singkatan dari Institut Pertanian Bogor. Muhransyah sekarang sudah
menyandang gelar Insinyur, jadi kalian harus memanggilnya Insinyur Muhransyah,
“ ujar Pak Haji Abas berapi-api dengan pelantang suara yang erat di
genggamannya.
Sementara itu si pemuda bernama Muhransyah tampak seperti
cacing kepanasan. Ia duduk gelisah bagai seorang anak kecil kebelet buang air kecil tapi tak tahu di mana
tempat semestinya. Wajahnya kelihatan kemerah-merahan, sesekali menunduk tersipu malu.
“ Sudahlah Abah, … sudah …sudah, tak perlu
basa-basi dan puja-puji seperti itu. Aku jadi malu,” ucap pemuda itu tak
tenang.
Berkali-kali pemuda itu meminta agar ayahnya menghentikan
celotehannya yang semakin tak terkendali. Sebagian orang dapat memaklumi kalau
itu adalah sebuah ungkapan kegembiraan seorang ayah terhadap keberhasilan
anaknya. Namun sebagian pengunjung ada pula yang secara diam-diam mencibir
mengolok-olok atas sikap berlebih-lebihan orang tua itu. Tapi orang tua itu tak
bergeming dari atas panggung.
Besok harinya Pak Haji Abas mengajak anaknya
berputar-putar berkeliling kampung. Satu per satu ia menunjukkan tanah sawah,
tanah pematangan, dan usaha band saw atau penggergajian kayu miliknya.
Mobil sedan warna hitam itu berhenti di sisi jalan, dekat
tumpukan kayu-kayu gelondong. Pak Haji Abas dan anak kebanggaannya keluar dari
mobilnya. Sesekali orang tua itu menunjuk-nunjuk ke arah tumpukan kayu
gelondong. Sesekali pula ia berujar-ujar nyaring karena suaranya kalah lantang
oleh bunyi suara mesin yang menderu tak henti-henti. Dengan langkah seperti
pejabat penting keduanya mendekati mesin-mesin pemotong kayu yang sedang
dioperasikan oleh beberapa pekerja.
“ Ini band saw kita yang paling besar dan baru,
Ran. Di bansaw ini paling banyak
menghasilkan kayu olahan. Karena produksinya banyak dan kualitasnya terbaik, maka dari band saw ini kita
khususkan untuk mengirim kayu balok ke Pulau Jawa dan luar negeri. Sedang dari
produk band saw yang lain kita pasarkan di daerah sendiri,” ujar Pak
Haji Abas nyaring, seperti berbicara dengan orang tuli. Sedang pemuda itu
tampak mengangguk-angguk, menyimak serius ujaran ayahnya.
“ Saya bisa mengerti itu, Bah. Tapi yang saya
belum mengerti, bagaimana caranya Abah mengumpulkan kayu-kayu gelondong
sebanyak itu ? Bukankah, dari berita yang santer akhir-akhir ini, 50 persen
dari kekayaan kayu di hutan Pegunungan Meratus sudah hilang oleh pelaku illegal
loging atau para perambah liar,” sahut Muhransyah dengan serius pula.
“ Husss ! Kamu jangan berujar-ujar seenaknya dengan
istilah-istilah menakut-nakuti begitu. Abahmu
ini sudah mengantongi surat
izin usaha dari Dinas Kehutanan, dari Pemerintah Daerah, ” kata orang tua itu
sangat serius untuk meyakinkan anaknya.
“ Bukan maksud saya menuduh Abah sebagai pelaku illegal
loging, atau menakut-nakuti Abah. Tapi saya ingin tahu, bagaimana
cara Abah mendapatkan kayu-kayu gelondong berukuran besar-besar begitu ?
“ kata Muhransyah tersenyum-senyum sambil membelai-belai bahu ayahnya.
“ Hmmm, … nanti akan saya tunjukkan bagaimana cara
mendapatkan kayu-kayu besar itu. Ingat, … kamulah nanti yang akan meneruskan usaha
besar ini, Muhran,” kata orang tua itu bangga seraya menatap wajah anak
tunggalnya.
Mobil sedan itu kembali meluncur menelusuri jalan sempit
berbatu-batu, menuju ke arah hulu kampung. Muhran merasa sangat senang dapat
kembali melintasi jalan-jalan sempit
yang masih termasuk wilayah kampung halamannya. Namun perasaannya sedikit
gundah manakala di kiri-kanan jalan tak lagi tampak olehnya jejeran batang-batang pohon sungkai
yang bercabang rampak meneduhi sepanjang jalan. Agak menjorok ke dalam dahulu
banyak tegak menjulang berbagai jenis pohon-pohon tinggi besar, seperti durian,
hambawang, binjai, tarap, katapi, banyu-banyu, ketapang, serta pohon
kelapa. Tapi sekarang pemandangan telah berubah meranggas, miskin pepohonan.
Kecuali sungai yang berawal dari
pegunungan Meratus itu airnya masih saja mengalir. Di kawasan inilah dahulu
semasa remaja Muhran dan teman-teman sebayanya dalam kelompok Pencinta Alam
sering datang mendirikan tenda berekreasi, terutama pada musim libur. Ia ingat
betul, setiap anggota dilarang memotong tumbuhan yang masih hidup dalam
kelompok Pencinta Alam mereka. Larangan itu bahkan menjadi syarat untuk masuk
anggota Kelompok Pencinta Alam mereka.
Sebelum mobil menaiki jalan agak menanjak, mereka
berhenti di bawah serumpun bambu. Agak menjorok dari jalan tampak sebuah
rumah kecil. Di halaman rumah itu tampak
seorang lelaki tua sedang sibuk
memotong-motong dahan kering, sepertinya untuk dibuat kayu bakar.
“ Selamat siang, Pak Jumberi,” ujar pak Haji Abas menegur
lebih dulu.
Orang tua itu menghentikan pekerjaannya. Tampaknya ia
sangat senang melihat kedatangan pak Haji Abas yang lebih dikenal warga dengan Bos
Bansau untuk sebutan kata band saw yang berarti gergaji mesin itu.
Sejenak Pak Haji Abas mendongak-dongak memandangi
sebatang pohon binjai yang tegak
tinggi besar di belakang rumah. Pohon itu tidak berbuah karena memang belum
musimnya. Namun cabang-cabangnya yang
berdaun lebat menaung lindap hingga ke halaman rumah.
“ Pak Jumberi, … pohon binjai itu kan tak ada hasil dan
manfaatnya juga. Bagaimana kalau dijual saja?
Niiih,… tiga puluh ribu rupiah,
sore nanti pohon itu saya tebang. Bagaimana? “ ujar Bos Bansau seraya
memperlihatkan tiga lembaran merah uang puluhan ribu rupiah.
Sejenak orang tua itu tersenyum.
“ Pohon binjai itu tinggi besar, lurus pula, … masa cuma
tiga puluh ribu rupiah, Pak. Tambahlah dua puluh ribu rupiah lagi, Pak,” pinta orang tua itu.
Haji Abas mengeluarkan selembar uang harga sepuluh ribu
rupiah.
“ Nih, saya tambah sepuluh ribu rupiah. Jadi empat puluh ribu rupiah, sudahlah terima
saja. Ini sudah tergolong mahal, Pak. Di kampung sebelah pohon binjai sebesar
ini juga saya beli cuma tiga puluh ribu rupiah,” bujuk Haji Abas bersilat
lidah.
“ Ya,” sahut orang tua itu singkat seraya menyambut
sejumlah uang yang disodorkan ke tangannya. Uang itu memang tergolong banyak
bagi ukuran ekonomi rumah tangga pak Jumberi. Maka pohon tinggi besar
itupun telah berganti milik, hanya dalam
sekejap.
Pak Haji Abas lekas mengeluarkan pesawat HP-nya dari saku
celana. Lalu sebentar kemudian ia sudah berhubungan dengan salah seorang
anak-buahnya di salah satu lokasi band saw atau tempat penggergajian.
“ Saya dapat satu batang pohon binjai berukuran tinggi
besar di belakang rumah Pak Jumberi di hulu kampung. Segera tebang nanti sore,
ya ?! Ajak empat atau lima
orang buruh dengan mobil pick up untuk mengangkutnya,” sejenak Bos Band
Saw berbincang dengan salah seorang pembantunya.
Muhran manggut-manggut pertanda ia dapat mengerti
bagaimana cara ayahnya mendapatkan kayu gelondong. Betapa mudahnya transaksi
itu dilakukan. Sungguh tidaklah terlalu sulit usaha penggergajian yang selama
ini dijalankan oleh ayahnya.
Hari itu Muhransyah terus diajak meninjau ke beberapa
lokasi penggergajian kayu atau band saw milik ayahnya. Tak hanya itu, ia
juga menyaksikan langsung bagaimana cara ayahnya mendapatkan batang-batang kayu
sebagai bahan baku
selama ini.
Tahulah sudah Muhran bagaimana kiat jitu ayahnya
berbisnis kayu. Rupanya usaha itulah yang menopang kuliahnya selama ini. Pantas
saja ayahnya sukses dan tergolong jadi orang kaya, paling tidak terkaya di
kampungnya. Ia mengakui ayahnya memang pintar berbisnis, sayang ia tidak
sependapat.
Setiap hari itu Muhran mundar-mandir dengan sebuah sepeda
motor baru, dari satu lokasi penggergajian ke lokasi penggergajian di lain
tempat. Ayahnya memang sengaja memintanya mengawasi usaha penggergajian itu,
dengan maksud agar anaknya cepat memahami dan menguasai proses pengelolaan
usaha besar yang selama ini dirintisnya. Dari pengumpulan bahan baku, memproses jadi kayu
balok, hingga pemasarannya ke luar daerah bahkan luar negeri.
“ Nah, sudah hampir dua bulan kamu melihat-lihat usaha
besarku itu. Tentu kamu sudah sangat paham bagaimana cara mengelola usaha ini,
Ran,” kata Pak Haji Abas suatu malam.
“ Saya sangat mengerti, Bah.”
“ Bagus. Itu artinya tak sia-sia aku menyekolahkanmu
jauh-jauh ke Pulau Jawa dengan ongkos yang mahal. Nah, kuliahmu sudah selesai,
dan kamu sudah dewasa dengan banyak pengalaman. Selanjutnya aku ingin istirahat
menikmati hidup di masa tua ini. Jadi mulai minggu depan usaha ini kuserahkan
kepadamu. Seluruh assetku telah menjadi milikmu. Silakan kamu kelola dengan
baik, dengan terobosan-terobosan baru. Aku yakin ilmu pengetahuan yang kau
peroleh selama kuliah akan menjadikan usaha ini lebih maju,” ujar orang tua itu
serius seraya tersenyum-senyum bangga.
Sejenak Muhran terdiam. Ada perasaan asing bergemuruh di dadanya.
Beberapa hari lagi ada tanggung jawab besar dibebankan ke pundaknya. Yaitu
sebagai pimpinan usaha di bidang perkayuan. Demi ketenangan ayahnya ia harus
menerima amanah berat itu meski bertentangan dengan hati kecilnya. Namun ada
harapan, dengan cara ini pula ke depan ia akan dapat melakukan sesuatu yang
terbaik untuk masyarakat kampung
halamannya.
Sejak menerima asset secara resmi dari orang tuanya,
pemuda lulusan IPB itu tidak seceria hari-hari sebelumnya. Ada
beban teramat besar mengganjal di pikirannya. Betapa tidak, ia menghendaki
kebijakan baru berupa perubahan besar pada usaha warisan ayahnya. Namun ia
sangat yakin kebijakan yang ada di benaknya itu ditolak mentah ayahnya. Dan itu
juga berarti mengusik ketenangan sekaligus kesehatan ayahnya. Tidakkah itu
sebuah perbuatan keliru terhadap orang tua. Tidakkah nantinya ia akan dicela
sebagai anak durhaka ? Tapi apa salahnya kebijakan mulia ini disampaikan?
Bukankah dahulu ayahnya pernah
memberinya lampu hijau untuk membuat terobosan-terobosan baru.
Suatu hari Muhran dengan segala keberaniannya
menyampaikan rencana perubahan besar-besaran itu. Semula ia berharap ayahnya
menyambutnya dengan senang hati, dan menganggapnya sebagai sebuah terobosan
baru. Atau bahkan memujinya sebagai sebuah upaya cerdas demi memajukan usaha
yang dahulu dirintis orang tua itu. Paling tidak orang tua itu bisa memahami
pemikiran baru seorang pemuda yang baru menyandang gelar sarjana.
“ Saya akan menutup seluruh usaha band saw, sebab
menurut saya prosfeknya sudah tidak menjanjikan lagi, Bah. Dan sebagai
penggantinya, saya akan mengembangkan usaha perkebunan, pertanian, dan perikanan
di daerah kita ini sebagai penyangga ekonomi keluarga kita sekaligus ekonomi
masyarakat,” kata Muhran serius.
Kalimat itu bagi telinga pak Haji Abas seolah gelegar
suara petir, yang membakar dada tuanya, mengusik ketenangan jiwanya selama ini.
Sama sekali ia tak menduga, pemikiran anak tunggalnya yang baru menyandang
gelar sarjana pertanian itu begitu menyakitkan. Seolah hendak meruntuhkan
menara yang tinggi tegak yang selama ini ia bangun dengan kerja keras dan susah
payah.
“ Apa katamu?! Kamu akan menutup band saw, usaha
yang selama ini kurintis?! “ ujar pak Haji Abas dengan geram. Dengan perasaan
kesal ia berdiri sambil mencak-mencak. “ Hei ! Untuk kamu ketahui, … dari usaha
band saw itulah aku mendapatkan banyak uang untuk membiayai kuliahmu
selama ini. Dasar anak tidak tahu diri, tidak tahu membalas budi.”
Belum pernah Muhran melihat ayahnya semarah itu.
“ Maaf, Abah. Bukan maksud saya hendak
menghancurkan usaha yang selama ini Abah rintis. Tapi sesuai keinginan Abah,
memberi keleluasaan pada saya belajar mengembangkan usaha sesuai ilmu
pegetahuan yang saya peroleh selama di bangku kuliah. Bukankah itu sebuah balas budi pada usaha Abah?”
“ Itu bukan balas budi, itu namanya menghancurkan ! “
Orang tua itu semakin marah. Sebagai ungkapan
kekesalanya, ia lekas menghindar dari anak yang tadi menjadi kebanggaannya. Ia
tak hendak lagi mendengar kata-kata yang keluar dari mulut anaknya, apapun
dalihnya.
Muhran jadi sedih. Ia tak dapat berbuat banyak, karena
orang tua itu berhari-harian mengurung diri dalam kamar. Muhran berkali-kali
membujuk orang tua itu agar keluar dari kamarnya, untuk merembukkannya kembali
secara baik- baik. Namun usahanya sama sekali tak ditanggapi. Nyata benar orang
tua itu teramat marah. Betapa tidakkan kecewa, selama ini ia sangat
membangga-banggakan anak tunggalnya sebagai penerus usahanya, di mana ia
mengobrol selalu menjadi buah bibir pujiannya, namun ternyata pikiran anak itu
jauh bertolak belakang dengan pemikirannya. Tidakkah pula ia akan menjadi bahan
olok-olokan orang? Sungguh ini sangat menyakitkan hati pak Haji Abas.
Seminggu sudah berlalu.
Bos bansaw itu sepertinya membatalkan niat menyerahkan assetnya kepada
anaknya. Dan ia mencapnya sebagai anak yang tak tahu balas budi.
Bulan Oktober pohon jenis asam-asaman mengurak bunga.
Hujan semakin sering turun mengguyur. Sungai yang melintasi desa airnya mulai
melimpah, warnanya kuning kecokelatan setelah menggerus dinding-dinding bukit
untuk seterusnya turun ke kali. Suaranya mengguruh bergelora menerjang apa saja
yang menghalangi. Sebuah jembatan kayu di hilir desa telah ambruk dan hanyut
terbawa arus deras. Debet air sungai terus bertambah hingga kedalaman sungai
tak mampu menampung. Banjir telah malanda, melebar hingga ke beberapa desa,
merendam apa saja, termasuk menenggelamkan
mesin-mesin band saw milik Muhran. Hal yang paling menyedihkan,
mobil sedan kesayangan Pak Haji Abas ikut ditenggelamkan banjir. Dan tak hanya
itu, barang mahal itu telah rengsek oleh terjangan sebatang kayu gelondong yang
hanyut terbawa arus deras.
Di hilir kampung terdengar kabar ada dua anak-beranak
hanyut dan tenggelam terbawa arus banjir. Sementara warga lain sibuk
mengamankan barang dan hewan piaraan
mereka.
“ Ini banjir paling tinggi, ini banjir paling membuat
sakit hati ” keluh seorang warga.
Kawasan Pegunungan Meratus sudah tak mampu menyerap air
hujan. Pohon-pohon besar yang dahulu akar-akarnya berfungsi menyerap guyuran
air hujan sekarang hanya tinggal tonggak –tonggak mati bekas sayatan shain saw atau gergaji mesin yang akhir-akhir ini membabi
buta.
Pak Haji Abas dengan terpaksa keluar dari
persembunyiannya, karena kamarnya dipenuhi oleh air kuning kecoklatan setinggi
pinggang. Lemari, ranjang, dan lain-lain perabotan rumah telah tenggelam oleh
banjir. Dengan perasaan galau ia menemui Muhransyah minta segera diungsikan
bersama beberapa warga lainnya ke tempat yang aman.
Banjir kiriman dari pehuluan memang kerap terjadi
terutama pada musim hujan, tapi tidak sampai menenggelamkan rumah penduduk,
kebun, dan sawah hingga berhari-hari. Dahulu ketika Muhran masih anak-anak,
banjir hanya setinggi lutut dan tidak sampai menenggelamkan beranda rumah. Bagi
anak-anak banjir adalah kesempatan bermain air di halaman. Menghela rakit
batang pisang dari hulu ke hilir kampung begitu menyenangkan. Tapi banjir
kiriman dari pehuluan tahun ini betul-betul menyengsarakan.
Akibat banjir kali ini pemerintah daerah menyatakan
kerugian ratusan juta rupiah atas rusaknya beberapa sarana prasarana. Belum
terhitung ribuan hektar sawah dan kebun yang gagal karena padi terendam air
berminggu-minggu lamanya. Luapan air ini tak hanya merepotkan masyarakat, tapi
juga membuat pemerintah sibuk menurunkan Tim SAR, mendistribusi bantuan
makanan, obat-obatan, dan lain-lainnya yang tak sedikit dananya.
“ Ketika kecil jadi kawan, ketika besar menjadi lawan,
apakah itu ? “ celotehan seseorang di antara kerumunan para pengungsi.
“ Aah, sempat-sempatnya kamu main tebak-tebakan,” sahut
salah seorang di dekatnya. “ Pada saat-saat seperti ini, enaknya kita
makan-makan. Perut sudah sangat lapar. Masa sudah sesiang begini nasi bungkus
bantuan itu belum kunjung datang juga,” sambungnya lagi sambil tertawa-tawa.
“ Ini semua karena ulah para pembalak kayu di
kawasan hutan pegunungan,” salah seorang pula menyinggung soal penebangan
pepohonan yang akhir-akhir ini merajalela.
“ Yaa, setelah habis pohon-pohon di hutan pegunungan,
dengan rakusnya pula para pemilik band saw menebangi pohon-pohon rakyat
di pinggiran kota.
Pohon-pohon rakyat yang terdapat di halaman dan belakang rumah, di kebun dan di
sisi sawah mereka tebangi dengan hanya iming-iming puluhan ribu rupiah, “ salah
seorang menyahut pula. “ Yaah, …yang namanya orang miskin tentu saja uang tak
seberapa banyak tersebut sangat menggiurkan. Yaa, diterima laaah.”
“ Naah, tragisnya mereka itu tanpa memikirkan usaha
menanami kembali. Itulah sebabnya kampung-kampung bahkan pinggiran kota kehilangan pohon-pohon besar. Itulah
sebabnya pula, terik matahari terasa sangat menyengat, serasa membakar kulit,
karena tak ada daun hijau yang berfungsi menyerap sinar ultra violet. Udara
pagi pun terasa tidak sejuk seperti dahulu lagi. Angin kencang berhembus
leluasa karena pohon tinggi besar yang berfungsi sebagai penyangga sudah tak
ada. Lingkungan kita telah rusak. Maka tidak heran, bencana banjir, kemarau
panjang, angin puting beliung, dan lain-lain datang mendera bertubi-tubi.”
“ Hmm, … jadi terlepas dari legal atau illegal, berizin
atau tanpa izin, menebangi pohon secara membabi buta itu adalah kegiatan buruk
yang merusak lingkungan,” sahut seseorang pula, seolah ingin menutup
pembicaraan. Namun ternyata masih
disambut oleh seseorang pula.
“ Kesimpulannya, orang yang menebangi pohon-pohon semata
untuk memperkaya diri sendiri, dan tanpa memikirkan usaha mereboisasi adalah
penjahat lingkungan. Dan orang semacam itu patut mendapat hukuman
seberat-beratnya ! Bagaimana Saudara-saudara ?! “
“ Akuuuuur !! “
Derai tawa para korban banjir itupun terdengar
semakin ramai.
Muhran yang sejak tadi
ikut bergabung membantu membagikan obat-obatan, telinganya terasa panas
mendengar celotehan itu. Maka ia lekas
menjauhi kerumunan warga pengungsi itu. Betapa pedas ujaran-ujaran itu di
pendengarannya. Orang-orang itu memang dengan sengaja menyinggung-nyinggung
dirinya, tentang sepak terjang ayahnya dalam berbisnis kayu selama ini. Dan ia
tak berhak marah atau menyalahkan mereka itu. Orang-orang itu adalah korban
bencana alam yang dipicu oleh para perusak lingkungan. Termasuk ayahnya yang
selama ini telah banyak melakukan dosa terhadap lingkungan.
Seminggu setelah banjir melanda kampung-kampung, setelah
kegiatan masyarakat kembali menggeliat, pemuda lulusan IPB itu menemui ayahnya.
“ Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Abah,
saya mohon sekali lagi Abah merestui
kebijakan baru yang saya gagas beberapa waktu lalu,” ucap Muhran perlahan di
teras depan rumahnya yang sebagian masih berlepotan lumpur. Ujaran itu
dilontarkannya dengan harap-harap cemas.
“ Mengembangkan pertanian, perkebunan, dan perikanan, …
lalu menutup usaha bansau itu? “ ujar orang tua itu dengan suara serak
berat.
“ Ya,” sahut pemuda itu singkat tegas. Wajahnya tampak
kemerah-merahan seperti menyimpan tenaga
begitu kuat yang hendak segera dimuntahkan.
Sunyi sejenak.
“ Muhran, apa yang akan kau lakukan itu sangatlah pantas.
Engkau kuliah dengan uang dari bisnis usaha bansau. Sementara usaha itu
ternyata pemicu kerusakan lingkungan. Maka sangat tepat ilmu yang kau dapat
seyogyanya disumbangsihkan kembali untuk kemaslahatan lingkungan. Aku sudah
terlanjur berbuat salah, maka di pundakmulah aku berharap engkau bisa
menebuskan dosa-dosaku terhadap lingkungan itu,” ucap orang tua itu
terbata-bata.
Selembar senyum tersungging di wajah Muhran. Lantas ia
memeluk orang tua itu dengan segenap sukacitanya. Ada kebanggaan tersendiri di hatinya terhadap
orang tua itu. Begitu pula, ada kebanggaan tersendiri di hati orang tua itu
terhadap anak sematawayangnya.
Sebatang pohon ketapang kurus kerdil di sudut halaman,
daunnya yang masih jarang bergoyang-goyang lembut diterpa angin, seolah turut
tersenyum menyaksikan.
Kandangan, 19 Agustus 2007
JURU TULIS
Oleh : Iwan Yusi
Matahari baru saja mengurak senyum. Kayi Busra menghirup
udara sepenuh rongga paru-parunya, hingga ia tampak sangat lega. Lalu perlahan
ia menyulut sebatang kretek sambil duduk bersandar di tiang pelataran. Sesekali
tatap matanya menerawang, seperti jauh ke masa silam, masa ketika ia masih muda
di desa tempat kelahirannya ini. Di sekelilingnya duduk-duduk pula beberapa
keponakannya sendiri, dan anak-anak remaja tetangga sekitar. Mereka asyik
mengobrol seputar pengalaman Kayi Busra setelah selama lebih empat puluh tahun
tak pulang-pulang ke kampung halaman tanah tumpahan rindu.
Sanak keluarga menyambut hangat dan gembira kedatangan
Kayi Busra. Kehangatan sangat terasa sejak kepulangan lelaki tua itu seminggu
yang lalu, ramai warga berdatangan mengajaknya
berbincang-bincang atau sekadar ingin tahu bagaimana raut rupa Kayi
Busra sekarang. Terlebih-lebih bagi anak-anak remaja yang sama sekali tak
pernah kenal dengan orang tua itu. Kecuali dari mendengar cerita orang-orang
tua mereka, apa sebab Kayi Busra harus meninggalkan kampung halaman dan sanak
keluarganya hingga berpuluh- puluh tahun lamanya.
Di tahun enam puluhan. Busra adalah seorang pemuda yang
rajin. Ketika itu umurnya sudah tiga puluhan tahun. Selain mengerjakan kebun
dan sawah orang tuanya, ia juga menyadap air nira dari pohon enau yang banyak
tumbuh di tanah pematang di belakang rumahnya. Air nira itu dikumpulkan untuk
dijadikan gula aren atau gula merah. Oleh ibunya, gula aren itu dijual ke pasar
untuk membeli keperluan sehari-hari. Namun, sejak suatu peristiwa yang sama
sekali tidak penting bagi dirinya dan berlangsung sangat singkat, ia terpaksa
harus terbuang dari kampung halaman, terpisah dari sanak keluarga dalam waktu
teramat panjang dan sangat menyiksa
batinnya.
“ Kejadian apakah itu gerangan, Kek? “ tanya salah
seorang dengan bersahaja.
“ Itu bermula karena aku menganggap sesuatu itu sepele,”
ujar Kayi Busra santai dan senyum ramah, seperti tak ada beban, tak ada rasa
sesal.
“ Bagaimana ceritanya, Kek?” pinta salah seorang lagi.
Kayi Busra tanpa merasa terbebani mulai bercerita tentang
dirinya di masa silam, di masa empat puluhan tahun yang lalu.
Setiap pagi, selesai sholat Subuh, Busra muda dengan
langkah bergegas mendatangi pohon-pohon enau yang menjadi kegiatan
pekerjaannya. Sebatang bambu yang rantingnya dibiarkan sebagai tangga pijakan,
disandarkan pada sebatang pohon enau. Dengan gerakan cekatan ia menaiki tangga
bambu atau sigai itu, hingga hanya dalam hitungan detik ia sudah berada
di atas pohon enau. Dengan cekatan pula
tangannya mengulur bumbung yang penuh berisi air nira untuk dibawa pulang.
Namun sebelum bumbung-bumbung bersisi air nira itu dibawa pulang, terlebih
dahulu dengan sebilah pisau tandan enau tadi sedikit dipangkas ulang, lalu
dipukul berulang-ulang dengan kayu, hingga tetes-tetes air nira terkumpul di
bumbung yang baru dipasangnya. Dan dibiarkan hingga besok pagi berikutnya.
Busra muda tak sekadar terampil memanjat sigai
menaiki pohon enau, atau pintar mencari uang. Tapi juga fasih mengaji
melantunkan ayat-ayat Al-Qur`an. Suaranya yang merdu, enak di pendengaran.
Karena itulah ia sering disuruh orang tua-tua adzan di surau dekat rumahnya.
Begitulah pekerjaan Busra
setiap hari mengisi hari-harinya. Meniti
hari-hari meniti anak sigai, memanjati batang-batang enau yang sama
baginya dengan memanjati pekerjaan sebagai ungkapan cinta pada kehidupan. Lambat laun uang hasil
jerih payahnya mulai terkumpul.
Sebagai seorang pemuda yang
tumbuh berkembang, sangat manusiawi dan lumrah ia terpikat pada seorang gadis
pautan rasa. Gadis itu keponakan Pak
Lamberi seorang tokoh terpandang di kampungnya. Seorang gadis berambut panjang
berkulit kuning langsat, bak bunga mengurak warna dan harum semerbak. Kembang desa yang banyak diincar banyak
kumbang. Sungguh tak salah Busra sebagai salah satu dari sekian kumbang jatuh
hati pada perempuan incaran banyak mata pemuda itu.
Semula ia tak percaya kalau
ungkapan perasaannya itu ternyata bersambut, bersahut di hati si kembang
impian. Maka orang tua dan sanak keluarganya pun terlibat dan bertanggung jawab
datang berpatut pembicaraan atau menyunting sang kembang. Gayung pun bersambut,
maka apalah lagi kalau bukan mencarikan hari piturun atau penanggalan
yang baik untuk pelaksanaan perhelatan perkawinan Busra dengan Siti Rukayah.
Atas kesepakatan kedua
keluarga, dipilihlah penanggalan naik bulan Hijriah yaitu bulan Rabi`ul Awwal,
dengan harapan rumah tangga Busra dan isterinya banyak berkah banyak rezeki.
Busra pun harus bersabar tiga bulan lagi.
Busra muda yang rajin,
semakin rajin. Tenggang waktu tiga bulan
adalah kesempatan baik mengumpulkan uang, untuk biaya perhelatan
perkawinannya nanti.
Suatu hari. Matahari baru
berajak naik. Pagi-pagi benar Busra sudah melintasi jalan setapak di belakang
desa. Beberapa bumbung yang tergantung di tandan enau tentu sudah penuh berisi
air nira untuk diturunkan dan dibawa pulang. Ibunya pun akan sibuk menjerang
dan mencetaknya di atas lumpang kayu untuk dijadikan gula merah. Lalu
dibungkus dengan daun pisang kering atau kalaras untuk dijual ke pasar
besok pagi.
Sesekali ia bernyanyi-nyanyi
serupa pantun mantra. Konon, kata almarhum ayahnya dahulu, pantun mantra itu
disenandungkan agar tandan enau bisa memberi banyak air nira. Maka dengan wajah
berseri-seri ia memukul-mukul tandan enau itu dengan perasaan riang. Ia
berharap malam nanti dari tandan ini air nira akan mengucur deras. Itu berarti
penghasilannya bertambah.
“ Kasisiur tarabang siang
Baracak tarabang malam
Mangucur banyunya bila siang
Manggarabak di waktu malam “
Tengah asyiknya ia
bersenandung sambil memukul-mukul tandan enau, tiba-tiba dari bawah terdengar
suara seruan seseorang nyaring menjura.
“ Hei, Bus ! “
Busra lekas menoleh ke
bawah, ke arah sumber suara. Tampaklah olehnya, seorang lelaki bertubuh tinggi
besar tegak berdiri tak jauh dari pokok pohon enau. yang tengah dipanjatnya.
Lelaki itu adalah pak Lamberi, julak oleh calon isterinya, karena lelaki
itu masih terhitung saudara sepupu oleh
ayah Siti Rukayah.
Sejenak dadanya
berdebar-debar begitu melihat lelaki itu datang dengan sikap tergesak-gesak dan
seperti dengan sengaja mencarinya. Betapa tidak, lelaki itulah dahulu yang
menghalang-halangi hubungannya dengan Siti Rukayah. Pernah pula lelaki itu
menghadangnya dengan sebilah golok di tangan, untung waktu itu ada Pak Haji
Darham menengahi dan memberi pemahaman. Tapi kali ini ia ter;lihat ramah
sekali. Di tangan lelaki itu terpegang sebuah buku catatan, bukan sebilah golok
panjang mengkilat seperti peristiwa lalu.
“ Oo, Julak. Ada kabar apa Julak?
“ sambut Busra sambil menebar senyum dari atas pohon enau. Lantas kakinya
hendak menuruni anak sigai di bawahnya. Namun lelaki itu lekas pula
melarangnya, seraya berujar nyaring.
“ Bus, tak usah kamu turun.
Biar saja engkau berdiri di situ. Aku hanya perlu sedikit jawabanmu, cukuplah
sudah,” sahut pak Lamberi sambil menyiapkan buku catatan dan pena.
“ Apa yang bisa saya Bantu, Julak?”
“ Kamu, saya catat sebagai
juru tulis partai, ya?” ujar lelaki itu nyaring sambil mendongak.
“ Tapi saya tidak mengerti
urusan partai, Julak? Apalagi sebagai juru tulis,” balas Busra bersahaja
sambil berpijakan pada anak sigai dan kedua tangannya berpegangan pada
pelepah enau di atas kepalanya.
“ Aah, itu urusan gampang.
Nanti saya yang mengaturnya. Kamu cukup mengiyakan saja, namamu terdaftar di
buku ini. Tidak susah kan?
”
“ Masa, bisa begitu, Julak?”
“ Eh, Bus. Dengar baik-baik,
…sebagai anggota partai saja nanti akan dapat pembagian paung atau bibit padi terbaik, dan peralatan bekerja di
sawah seperti parang, tajak. Apalagi kalau tercatat sebagai juru
tulis, nanti engkau akan dapat tambahan sarung, kopiah, dan baju serta celana
baru,” ujar pak Lamberi dengan iming-iming sangat menggiurkan.
“ Tapi Julak, saya
tidak mengerti urusan tulis-menulis. Es Er saja saya tidak tamat,” sahut Busra
tersipu-sipu di hadapan calon julaknya itu.
“ Aah, itu urusan gampang.
Masalah kecil itu nanti saya yang mengaturnya. Pokoknya hari ini aku ingin
mendengar dari mulutmu, bahwa kamu bersedia dicatat sebagai orang partai,”
desak lelaki itu sambil memperlihatkan buku catatan.
“ Ya, sudahlah kalau
begitu,” sahut Busra sambil tersenyum. Di benaknya sudah terbayang-bayang baju,
celana, sarung, dan kopiah baru pemberian partai.
Pak Lamberi tampak mencatat
nama Busra di buku catatan khusus. Lalu ia lekas berlalu dari tempat itu dengan
tergesak-gesak menuju ke hilir desa. Hari itu pak Lamberi tampak sibuk sekali.
Busra pulang ke rumah dengan
wajah riang sambil memanggul tiga buah bumbung berisi penuh air nira. Setiba di
rumah, diceritakannya semua kejadian dengan pak Lamberi tadi kepada ibunya.
Wajah ibunya pun jadi berseri-seri sambil menuangkan air nira dari bumbung-bumbung
itu ke kuali yang sudah sejak tadi siap di atas tungku.
“ Ada empat hal, ada pada setiap diri manusia,
yang manusia itu sendiri tidak mengetahui sebelumnyanya, Nak,” ujar ibunya
seraya menghidupkan api di bawah kuali dengan kayu bakar. Seperti kebiasaannya,
ada saja ujaran berupa petuah dari mulut perempuan tua itu kepada anak
tunggalnya.
“ Apa itu, Ma? ”
“ Pertama, jodoh,” kata
ibunya seraya menyorong batangan kayu bakar ke dalam tungku yang apinya mulai
memarak nyala.
Busra tak bisa
menyembunyikan senyum ketika kata jodoh terlontar dari mulut ibunya. Sepotong
kata itu serasa larik puisi teramat indah di pendengarannya, yang mampu
menggetarkan segenap simpul-simpul rasa di sekujur tubuhnya.
“ Kedua, rezeki. Ketiga,
langkah,…”
“ Apa maksudnya langkah itu,
Ma? “ Busra memotong ujaran ibunya.
“ Maksudnya adalah,
seseorang tidak tahu nasibnya ke depan, akan ke mana dan di mana saja semasa
hidupnya di muka bumi ini ia berada atau tinggal. Seperti sekarang, kita
tinggal di desa ini. Tapi besok atau lusa, mungkin kita berada di tempat lain
karena sesuatu hal.”
“ Ooo, begitu.” Busra
mengangguk-angguk. Terlintas di benaknya, nasib teman-teman sepermainannya
dahulu. Misal, si Sapri sahabat sepermainannya sejak kecil yang sekarang malang melintang sudah sukses dengan membuka warung makan
di Banjarmasin. Juga si
Judin hidup nyaman sebagai pedagang kelontongan di kota
Kapuas.
“ Nah, yang keempat adalah
maut atau mati,” sambung ibunya. “ Kita semua akan mati, akan menemui ajal.
Oleh karena itu, kewajiban kita sebagai hamba-Nya janganlah ditinggalkan. Dan
janganlah berbuat kerusakan. Serta niatkanlah setiap pekerjaan kita untuk
ibadah. Sebab sewaktu-waktu kita akan dijemput maut. Maut itu tak pandang kaya
atau miskin, tua atau muda. Ingat, tak hanya buah kelapa masak yang jatuh dari
tangkainya karena sudah kering, tapi katilambung atau bakal buah pun tak
terkecuali kerap terlepas dari tangkai karena layu. “
Busra mengangguk-angguk
mendengari ujaran demi ujaran ibunya yang sarat makna itu. Ujaran-ujaran
seperti demikian sudah terbiasa bagi telinganya. Sebagaimana kebiasaannya
setiap hari mendatangi pohon-pohon enau, memanjati anak sigai,
memukul-mukul tandan enau sambil menyenandungkan puisi mantra, menurunkan
bumbung berisi air nira, dan membawanya pulang untuk dijerang di kuali
besar di atas marak api tungku, hingga dicetak dalam lumpangan menjadi
gula merah.
Hari-hari terus merayap.
Sebagaimana langkah-langkahnya mendatangi pohon-pohon enau. Seperti
kaki-kakinya meniti anak sigai. Tak terasa, hari persandingannya sudah
semakin dekat. Busra sudah menyiapkan sarung, kemeja putih, dan kopiah baru
dari uang hasil menjual gula merah jerih payahnya. Karena sarung, baju, dan
kopiah baru yang dijanjikan pak Lamberi sebulan lalu belum juga kunjung
diterimanya.
Suatu siang, sebuah siang
yang betul-betul sangat berbeda dengan siang-siang sebelumnya bagi Busra.
Sepulang ia dari memunguti bumbung air nira, rumahnya didatangi beberapa orang
polisi dengan senjata lengkap. Hari itu Busra muda ditangkap. Dengan berlinang
air mata ibunya menangisi anaknya diborgol dan digiring ke kota di depan matanya.
Sejak hari itu, Busra tak
ada lagi di desa kelahirannya. Kabar yang sampai ke desa, Busra diisolasi di
penjara Nusakambangan, karena tercatat sebagai juru tulis partai yang oleh
pemerintah saat itu dinyatakan dilarang hidup di negara Indonesia yang menganut azas berketuhanan yang mahaesa.
“ Nah, kalian bisa hitung
sendiri, sejak tahun 1965 aku sudah tidak tinggal di desa ini lagi, …
sekaranglah baru aku bisa menikmati harum dan indahnya tanah kampung halaman,
tanah kelahiran, tempat menumpahkan rindu dendam,” kata Kayi Busra.
Tak ada lagi terdengar
pertanyaan usil dari anak-anak remaja itu, kecuali helaan napas. Sementara Kayi
Busra begitu menikmati sisa potongan kreteknya, yang tinggal sedikit lagi
sambil memandangi pucuk-pucuk enau yang bergoyang-goyangan lembut dipermainkan
angin senja.
Kandangan, 16 Agustus 2007
SANGKAR KENANGAN
Oleh MIZIANSYAH J.
Kematangan Mang Rozak dan istri menyiapkan lahan tegalan, di penghujung musim panas,
memang sudah diperhitungkan, sejak jauh hari. Lahan yang terletak di Gunung
Layang-Layang , anak Pegunungan Meratus. Seperti tradisi kebanyakan , awal
pembukaannya, pertama, menentukan luas
areal, dengan menaruh patok di tiap
sudutnya. Tradisi itupun
dilakukan secara singkat, maka
terprediksi, luas areal yang terbuka 1,5
ha. Kalau dipandang sepintas dari
jurusan manapun, areal yang dipatok tidak seberapa luasnya. Ah, mungkin pandangan
orang yang terlalu, serakah, bernafsu, sehingga antara kemauan dan kemampuan
tak bisa terukur.
Biasanya,
setelah patok ditancapkan, tidak berapa lama, areal pun dibabat. Sekira cuaca
terus panas, rumput-rumput sudah mengering, tentu tinggal menentukan harinya
untuk pembakaran.
Seperti
tradisi, sebelum pembakaran, si pemilik lahan mestilah menyampaikan
permakluman, terutama kepada para tetangga pemilik lahan, sebagai ajakan kerja
bakti, paling tidak ikut atensi demi keselamatan areal milik mereka sendiri.
Atas kehadiran para tetangga, maka tentu lebih cepat menyediakan jalur kosong,
pembatas api, dengan maksud tidak menjalar ke areal orang lain.
Pada
saat pembakaran, Mang Rozak benar-benar
mengalami sukses. Seluruh areal gundul terbakar karena rumputnya telah
terjemur merata dari terik panas.
Mang
Rozak dan istri telah mengadakan pembersihan. Seluruh sisa akar ilalang dan
akar-akar semak, disatukan dalam beberapa tumpukan, lalu dimusnahkan. Jika
masih terdapat sisa-sisa akar yang silang seling, atau berbentuk mencuat
dipermukaan, maka Mang Rozak melowongkan waktunya kira-kira satu minggu untuk
membersihkannya, dengan golok atau pacul (memanduk).
Begitu masa memanduk selesai pemilik
tinggal menentukan, hari manugal.
Biasanya menurut tradisi pada waktu bulan purnama (bulan sabuku).
Ketika
harinya ditentukan. Si pemilik, memaklumatkan bagi kepada seluruh penduduk,
agar manugal dilakukan secara kerja
bakti. Maka berdatanganlah para penduduk kampung, tua-muda, laki, perempuan.
Dengan tugas masing-masing, ada yang menyemai atau memasukan benih ke dalam
lubang (ma umang), dan ada pula yang
membuat lubang (ma asak), biasanya
dari kaum laki-laki. Kira-kira sepuluh hari kemudian, tegalan sudah terlihat
tumbuh, namun di antara yang tumbuh, masih terdapat yang tidak merata.
Begitu tumbuh merata, rasa senang dan damba
telah merasuki hati dan batin pemilik tegalan, yaitu Mang Rozak dan isterinya.
Setiap hari sejak pagi-pagi mereka menyusuri jalan menuju objek tegalan, ia
hanya sekedar memuaskan rasa rindu terhadap tegalan yang nampak begitu kian
hijau merata. Sementara kalau rumput peganggu pada ikut tumbuh, maka Mang Rozak
dan istri dengan serta merta membasminya.
* * *
Hama penganggu belum
begitu nampak. Kecuali burung balam (tekukur) ada dua tiga ekor, dan itu pun
tampak tidak selalu mengganggu benih tegalan yang pada tumbuh merata. Tapi dua
ekor balam tepat bertengger di persemaian bibit
padi sawah milik pak Huzair yang disemai kemarin. Di seputar teradak
ini, sepasang balam bermain riang, sambil membunyikan sayap dan ekornya “
Kelapak… Kelapak! “ Kadang mengetitir “
Tekukur….. Tekukur…….Tekukur… “.
Dan
seperti kebetulan, setelah istri Huzair tiba di tempat, dua ekor balam langsung
terbang, sementara keadaan benih teradak, bekas diharu biru oleh kedua balam,
semua bibit benihnya, habis dikais-kais oleh kedua balam itu.
Maka
seperti tak mampu menahan emosi, istri Huzair terus bersungut-sungut “ Waduuuh,
sampai hati benar burung tekukur terhadap kami! Nanti pada suatu saat, ada
saja balasannya “. Begitu kerasnya sumpah
serapah istri Huzair.
Tapi
sumpah serapah ini jadi hanya sia-sia, karena gangguan burung bukannya
berhenti, malahan tambah meraja lela. Seperti ketika sehabis melakukan tambal
sulam. Seluruh benih yang tersemai, telah habis dikais dan diharu oleh kedua
pasang balam. Maka setelah mengetahui situasinya sumpah serapah istri Huzair
berganti dengan tangis histerisnya menjadi-jadi. Namun begitu disaksikan suami,
lantas ia menghibur istrinya, bahwa apa gunanya menangis, lebih baik dibawa
bersabar. Usaha yang sudah mereka
lakukan, jika tidak memberi hasil, itu namanya sudah takdir. “ Kita hanya bisa
mengusahakan, tapi yang memberikan hasilnya adalah Allah. “ Begitu bijaknya
sang suami memberi penyegar rohani sang istri.
* * *
Untuk
kesekian kalinya bibit semai (taradak) kembali diperbaharui oleh keluarga Pak
Huzair. Sejak pagi sekali, lahan penyemaian itu, benar telah disiapkan dan
media tanahnya mulai digemburkan. Akhirnya hampir setengah hari, tambal sulam
persemaian pun telah usai. Bahkan hingga setiap harinya tidak pernah
terlewatkan dari penjagaan gangguan balam. Dan balam pun selama terjaga, tidak
pernah terlihat mengganggu persemaian Pak Huzair.
Kendati
pun sepasang balam itu selalu hadir dengan tidak diketahui asal muasalnya.
Sepasang balam baru diketahui setelah ia berada di sekitar persemaian. Maka
dengan serta merta istri Huzair pun menghalau kedua balam dengan disertai
teriakan “ Husysy……. Husysy….! “ Kedua balam pun segera mengepakkan sayapnya ‘
Kelapak…. Kelapak “. Terus mereka beranjak terbang jauh.
Tapi
masih ada bunyi mengetitir. “ Tekukur…..tekukur”. Bunyi seekor balam. Ia agak
menjauh dari persemaian Pak Huzair. Balam yang berjenis kelamin jantan ini,
hidupnya menyendiri, tanpa pasangan. Agaknya burung ini lebih jinak, dibanding
dengan balam yang selalu menunggu teradaknya Pak Huzair. Sejak jam 7.00 pagi
istri Pak Huzair lebih dini datang menjaga persemaian padi Tak dinyana sepasang
balam itu sudah ada di sekitar taradak,
yang satu berjalan-jalan sedang yang satunya bersimpuh sambil menelesik.
Suasana taradak yang merasa terganggu
oleh kedua balam ini menyebabkan Pak Huzair, tergerak idenya untuk memasang
pulut. Yaitu alat penangkap berupa lidi yang disalut getah.
Besok
harinya satu ekor balam telah menjadi korban pulut. Seluruh bulunya menyatu
tersalut pulut, balam tak bergerak, kecuali hanya mengeluarkan bunyi “
Ceaat….ceaaat…ceaaat! “ Yang terkena pulut berkelamin jantan. Sedang yang
betina setelah membunyikan sayap Kelepak! Kelepak! Ia menjauh, terbang. Sambil
memutar ruangan areal tegalan dengan beberapa kali putaran. Seakan-akan
merindukan dan mengharap kebersamaan balam jantan untuk sama-sama meninggalkan
tempat berbahaya itu. Tapi apa hendak dikata yang jantan lebih duluan,
tertangkap bencana.
Begitu
burung balam berhasil terlekat pulut. Tidak berantara satu hingga dua menit,
langsung dipungut, bahkan langsung dipotong oleh Pak Huzair. Dengan serta merta
bulu-bulunya dicerubut, hingga berhamburan di sana-sini, bekas darah yang
muncrat di tanah, menyebabkan pesta semut ramai menghisap dan menjilatnya.
Untuk dijadikan cadangan bahan makan. Mereka berkelompok, dan sebagian di garis
jalur yang menuju sarang mereka. Tergambarlah suasana semut dengan santun,
saling jabat tangan pada saat mereka berpapasan
di sepanjang jalur yang mereka lalui.
Konon,
dari bulu-bulu yang berhamburan, serta percikan darah di tanah, kata orang tua pamali, apalagi berada di pinggiran
tegalan, alamat tegalan itu akan terancam gangguan bala. Kecuali diadakan
tepung tawar.
Setelah
peristiwa ini diketahui oleh Mang Rozak, pemilik tegalan, ia pun mendesah. Dan
dengan ketus ia bertanya kepada Pak Huzair “ Ini kenapa? Bulu-bulu
dihambur-hamburkan begini, kata orang bahari,
hal ini bisa kepamalian “.
“
Maaf, Pak Rozak, saya kurang mengetahui akan hal ini “ . Selanjutnya, Pak Huzair
menimpal usul pertanyaannya “ Sebaiknya, kita ambil tindakan apa atas peristiwa
ini, Pak Rozak? “
“
Yah! Kita adakan tepung tawar. Sebab kalau tidak, gangguan dan cobaan akan
mengancam pehumaan kita ini. “ jawab
Mang Rozak.
Pada
besok harinya, Pak Rozak dengan dibantu Pak Huzair, mengadakan ucapara
sederhana, tepung tawar. Lalu diteruskan dengan siraman air Shalawat atas Nabi
sebanyak tiga keliling, dimulai dari jihat tengah hingga kembali lagi ke
tengah. Selepas Tepung Tawar dilangsungkan, suasana pehumaan serasa sejuk, tenang seakan-akan benar terjamin dari
gangguan.
* * *
Dua
hari setelah tepung tawar, Pak Huzair berupaya untuk mendapatkan balam yang
masih tinggal, yaitu si betina yang kadang-kadamg pada waktu pagi sudah memutar-mutar di udara, di bagian atas areal
tegalan. Tetapi penjagaan di sekitar persemaian masih dilakukan dengan ketat
oleh istri Pak Huzair. Maka balam itu pun segan mendarat.
Sejak
petang Pak Huzair masih memasang pulut, dengan harapan akan berhasil lagi
memungut sang betina secara kebetulan, ketika matahari condong ke barat,
pulut Pak Huzair berhasil merebut
bulu-bulu sayap balam sang betina. Kali ini Pak Huzair, merasa enggan untuk
langsung menyembelihnya. Tapi langsung dibawa pulang. Biar dibersihkan di
rumah.
Setelah
kedua balam ini, berhasil dibekuk hingga
kini tidak tampak lagi sepasang balam berkeliaran di situ. Sebelumnya hanya
sepasang itu. Tapi menurut keterangan Mang Rozak. Di sekitar areal tegalannya
masih ada balam yang lain. Walaupun ia menyendiri, balam ini tidak nakal dan
tidak mau mengganggu, benih-benih semaian orang. Karena itu Pak Rozak berharap.
Balam yang satu ini tidak perlu diawasi. Apalagi kalau untuk pulut. Ia terlalu
jinak, dan selalu mudah bersuara ketitiran.
Jika
masih ingat dengan Almarhum Pak Rozikon, masih terbilang kakak tua dari Pak
Rozak. Beliau ini adalah seorang pemiara balam yang cukup terkenal di
daerahnya. Balam piaraannya, adalah balam pilihan, ketika almarhum masih hidup,
berkali-kali Akung datang ke rumah dengan maksud akan membelinya. Tentu dengan
harga yang tinggi, Tapi Pak Rozikon enggan menjualnya.
Balam
Pak Rozikon yang diberi julukan Gusti ini pada mulanya, sering dipinjam Akung
untuk disabung, serta sering meraup taruhan yang tidak sedikit. Makanya kalau
dijual, sejak dulu kepada Akung saja. Berapa pun harganya bagi Akung, tidak
jadi masalah. Tapi Pak Rozikon tidak bermaksud menjualnya. Malahan sebelum
Almarhum meninggal, ia pernah menyampaikan wasiat sama isterinya, agar
sepeninggalnya nanti sang Gusti, balam kesayangannya itu, harus di lepas ke
alam bebas.
Benarlah
setelah Pak Rozikon meninggal, hingga sekarang sudah berlangsung satu tahun
lebih. Maka Pak Rozak amat yakin, kalau balam satu-satunya yang sering nongol
di sekitar tegalan itu pastilah sang Gusti, bekas piaraan almarhum Pak Rozikon.
Pak Rozak pun berinisiatif untuk meminjam sangkar bekas Gusti. Pak Rozak
menaruh sangkar dengan pintu terbuka di tempat yang strategis. Dengan sabar
menunggu Pak Rozak, sambil menguntit sang gusti, yang tiba-tiba masuk sangkar,
nampaknya ia lebih suka diam, enggan berontak mau keluar. Berhasilnya
diperangkap seekor balam, menyebabkan cepat tersebarnya berita bahkan sampai ke
telinga Akung, sehingga Akung sangat berkeinginan akan membelinya. Namun
sebelum di adakan transaksi, isteri Almarhum buru-buru memberitahu bahwa
Almarhum telah mewasiatkan sepeninggal Almarhum balam tersebut harus di
lepaskan ke alam bebas. Yang tinggal hanya sangkarnya, jadi kenangan.
* * *
Kdg, Januari 2007
TOLAK KAPUHUNAN
Oleh Miziansyah J
Kerumunan
para petani ladang di depan rumah Pak Kardi nampak berdesakan, seperti ada
sesuatu yang mereka hajatkan, sehingga menimbulkan suasana sedikit gaduh. Tapi
di tengah kerumunan itu tiba-tiba mereka dikejutkan oleh munculnya pak Kardi
dengan senyum khasnya. Seketika itu suasana pun jadi hening. Kecuali ada dua
tiga orang saling berbisik, sambil mendekatkan kepala masing-masing untuk
memperjelas pendengaran mereka.
Pak
Kardi melemparkan pertanyaan : “Kira-kira dari kotoran apa pupuk yang paling okey itu?”
Secara
serentak, mereka pun menjawab, tetapi dengan berbagai macam ucapan: ada yang
dari kotoran sapi, kotoran kambing, kotoran ayam dan lain-lain.
“Semuanya
tidak tepat! yang tepat itu kotoran manusia”. Kata pak Kardi.
“
Huuiii…. jorok!” Sahut mereka sambil celoteh.
Di
tempat-tempat tertentu di Singapore, kotoran
manusia selalu jadi incaran. Karena ada orang yang mengusahakannya, untuk
diproses menjadi pupuk. Tapi di negeri kita, kotoran masih menjadi image yang
menjijikkan. Seolah-olah setiap wujud kotoran merupakan sumber bibit penyakit.
Sekalipun kotoran diproses dalam bentuk dan aroma yang menarik namun bagi mental Indonesia biasanya terlalu akrab dengan rasa mual.
Tapi
buat kita di sini, masih tersedia kotoran hewan yang tidak kalah mutunya
dibanding kototan hewan lainnya, sebagai penggembur lahan pertanian, kotoran
itu adalah kotoran kelelawar. Konon kelebihan tahi kelelawar ini memang mengandung zat nitrogen dan kalium,
unsur yang sangat diperlukan oleh pertumbuhan tanaman.
“Tapi.
Bapak-bapak disini, apakah memang membutuhkan pupuk yang saya maksudkan?” Ucap
Pak Kardi sembari menawarkan.
“ Tentu….!”
“
Tapi persediaan di tempat saya terlalu sedikit, kira-kira tidak cukup untuk
dibagikan buat Bapak-bapak yang ada di sini. Kalau tidak ada aral Insya Allah
besok saya akan mencari sekadar memenuhi stok yang akan diperlukan. Jadi dua
tiga hari lagi kebutuhan Bapak-bapak Insya Allah akan terpenuhi.” Demikian
penjelasan pak Kardi kepada para petani.
Pak
Kardi yang juga seorang praktisi tani palawija, di samping sebagai penumpuk
sekaligus penyalur pupuk kandang yang amat dibutuhkan oleh para petani lainnya.
Keberadaan pupuk kandang di gudang Pak Kardi cukup menumpuk, sejak dari kotoran
sapi hingga kotoran ayam, kecuali yang terbatas dari tahi kelelawar. Pupuk yang satu ini cukup digemari oleh
petani palawija. Bahannya memang langka. Objek pengambilannya pun harus melalui
tingkat perjuangan yang cukup berat.
Pengambilan di gua-gua batu. Di tempat ini, kotoran kelelawar bertumpuk-tumpuk
dan selalu menjadi sasaran pencarian para petani. Seperti di gua kelelawar
gunung Batu Bini. Kondisi gua ini cukup menantang bagi pengais pupuk. Siapa pun
yang berminat untuk mengambilnya harus terlebih dahulu menyiapkan bahan;
beberapa pohon bambu, sebagai alat untuk memanjat dan turun (sigai). Sigai ini harus sambung dua, panjangnya lebih kurang 50m dari bawah
lalu dari puncak ke bawah (bagian dalam) dikasih sigai lagi dan inipun sambung dua dari atas ke bawah.
Perlengkapan
lainnya berupa tambang, sebagai alat pertanda dari luar maupun dari dalam,
sekaligus sebagai alat untuk penarik (uluran). Pada ujung uluran diikat keranjang atau kampil, yang fungsinya sebagai penampung
bahan. Setelah tempat penampung penuh diberi isyarat dengan jalan
digerak-gerakkan ini menandakan siap untuk ditarik.
Menurut
keterangan penduduk setempat, gua tempat kelelawar mangkal terdapat di desa Mandapai. Sedang gua
yang ada jumlahnya dua. Satu tempat mangkalnya kelelawar, satunya lagi gua Batu
Bini tempat rekreasi. Di gua ini terdapat ornamen atau patung sepasang singa.
Konon patung ini ada hubungannya dengan awal
terjadinya gunung Batu Bini yang berasal dari kapal seorang anak yang
durhaka Raja Angui, Raden Pengantin. Berawal dari terlanjur jatuhnya sumpah
serapah seorang Ibu tua (Diyang Ingsun) terhadap anak kandungnya Raden
Pengantin. Yang lagi singgah di pelabuhan. Ketika Raden Pengantin beserta
istrinya tengah berlayar, dari negeri seberang menuju ke suatu tempat (entah ke
mana). Tiba-tiba ia singgah di sebuah pelabuhan. Pada saat kedua bahtera bersandar
di pelabuhan, Raden Pengantin bersua dengan seorang ibu yang sedang merindukan
kedatangan anaknya. Sesuai dengan perasaan ibu itu bahwa Raden Pengantin yang
sedang menambat kapal di pelabuhan itulah anak kandungnya yang ia rindukan.
Namun Raden Pengantin tidak mengenal latar belakang orang yang sedang
menantinya ini. Orang tua ini terus berusaha, sembari mengemukakan bukti-bukti
yang menunjukkan bahwa Ia adalah benar-benar orang tua kandung dari seorang
anak yang bernama Raden Pengantin. Berkali-kali seorang ibu menunjukkan bukti
: “Hai…. Anakku Raja ! Raden Pengantin, ini bukti bahwa kau anak kandungku.” Selanjutnya sang ibu : “Inilah ikan gabus
yang kau minta piarakan sejak dulu,
sekarang ia sudah besar, dulu belum ada lumut
di atas kepalanya , sekarang penuh dengan lumut.”
Seterusnya
sang ibu menyatakan .” Hal ini menunjukkan bahwa ikan gabusmu, selalu berkembang dari hari ke hari, dulu kau
piara awalnya hanya sebesar jari, sekarang lebih besar dari pergelangan.”
“Tidak….tidak!.....Aku
tidak punya ikan sebesar itu.”
Selanjutnya ia katakan ”Karena kau bukan ibuku, ibuku lebih muda dari kau, sedang kau terlalu tua untuk itu“
Diyang
Insun berteriak dan terus berteriak
sampai tujuh kali, menyeru anaknya
agar Sang anak berkenan mengakui
sebagai orang tuanya. Sebanyak tujuh kali teriakan itu, tujuh kali pula
keengganan anaknya seruan orang tuanya.
Ketika
itu cuaca masih cerah, angin pun berhembus dengan lembutnya, seekor burung
elang mengepakkan sayap, di angkasa
berputar-putar sambil mengeluarkan
suara: ”ngoooweeek….ngooooweeek……” Bunyi elang seakan-akan turut mencegah, agar kutukan Diyang
Ingsun terhadap anaknya sebaiknya
tidak perlu dijatuhkan, atau tunggu saja waktu yang tepat . Namun di saat
seruan ketujuh kalinya tidak dihargai sang anak, seketika itu darahnya makin tersirap. Jantungnya kian
berdetak. Panas hatinya tambah membubung. Buruan nafsu amarahnya pun tak tertahankan. Pada saat itulah sesuatu
yang tak patut diucapkan,
terpaksa meluncur dari bibirnya : “ Hai Anakku Raden Pengantin, karena kau
enggan mengakui aku sebagai ibumu, maka
dengan ini kau akan menjadi batu!”
Seketika itu, terdengar bunyi gemuruh, langit mendung, nampaknya badai mulai menyerang. Tiba-tiba bahtera yang sedang berlabuh itu, menjadi batu. Kapal
yang satu dimulai dari Sungai
Amandit (Batu Laki) hingga mencapai Pagat Talikur, Miawa Kabupaten Tapin,
berjarak lebih kurang 18 Km. Juga diawali dari Sungai Amandit hingga ke
Mandapai, Kecamatan Padang Batung, Hulu Sungai Selatan, berjarak lebih kurang 8
Km. (disebut Gunung Batu Bini).
Sepanjang
Gunung Batu Bini inilah terdapat banyak jendela. Jendela kapal dan tingkap
(pada lambung) yang menjelma menjadi gua (tempat peristirahatan kelelawar). Tingkap yang
terbilang besar, tentu saja Gua
Kelelawar yang terletak di Mandapai. Konon di Gua Kelelawar persediaan kotoran hampir tidak ada batasnya , berapapun kita mau asal jangan
melebih-lebihi, pasti akan mudah didapat. Caranya sesuai dengan niat yang kita hajatkan. Kalau kita punya niat 3
kwintal, maka yang kita dapatkan hanya 3 kwintal . Kalau mau lebih, maka yang 3 kwintal harus dihabiskan lebih dulu. Kotoran kelelawar yang boleh kita ambil hanya bersifat indo,
sebagai bahan kombinasi dengan bahan
yang lain, misalnya dengan tanah kolongan. Jika digunakan melulu indo, kotoran ini terlalu keras unsur harnya, bisa mengakibatkan kematian,
maka harus diperlemah dengan campuran
tanah kolongan. Tujuan Pak Kardi untuk menumpuk kotoran kelelawar ini, bukan
melulu untuk dijual, tapi rencananya untuk dipakai sendiri.
Dengan
dibantu oleh kaki tangannya, Jumberi
yang siap mengais kotoran
kelelawar. Jika tempat penampung sudah penuh, Jumberi menggunakan isyarat dengan jalan menarik (menggerak-gerakkan) tali yang membentang
dari atas ke bawah. Dengan demikian orang yang di bawah pun menarik bahan yang terisi penuh itu. Tumpukan pupuk yang didapat oleh Pak
Kardi dan kawan-kawan ini, sudah
berhasil kira-kira ¾ kwintal. Namun
setelah itu tidak ada lagi gerakan tali dari dalam. Sekalipun berteriak juga tidak
terdengar oleh Jumberi yang lagi mengais kotoran dalam gua, mungkin juga
kehabisan oksigen.
Mulailah
sigai dipanjat oleh Insan dan Ahmad
dengan hati-hati sekali . Agaknya sudah mulai mendekati pintu gua, sambil
menggunakan lampu sinter. “ Oh,
suatu tebing yang curam, kearah dasar gua ini.” Kata
Ahmad. Begitu mereka turun mendekati dasar, tampaklah Si Jumberi
terbaring telentang di dasar gua.
Nampaknya Jumberi lagi semaput. Mereka
perhatikan dengan menyalakan sinter kalau-kalau ada penyengat atau binatang
berbisa lainnya. Dan ternyata tidak ada
apa-apa. Si Jumberi hanya mengalami pingsan biasa. Apakah akibat kelelahan atau kekurangan oksigen.
Maka
timbul pemikiran. Jika tubuh Jumberi
dibiarkan tergeletak di dalam goa, hingga menunggu siuman, tentu amat
merugikan karena dalam goa cukup tertutup, sebaiknya harus dikeluarkan dari
goa, secepatnya. Hingga diambil keputusan untuk mengangkat tubuh Jumberi
secepatnya, pertama supaya dipersiapkan kerangka pengikat. Kedua dengan
mengangkat, dan yang yang ketiga cara mengeluarkannya. Ketika tubuh Jumberi masih di bawah, berarti harus
dengan cara diangkat, tapi setelah tubuh mengambang di atas, berarti harus
diturunkan perlahan. Pada saat penurunan kebetulan berjalan lancar. Setelah
tubuh mencapai tanah, ia segera dibaringkan. Sementara kondisi masih mengalami
pingsan. Tapi pada jidat dan lehernya nampak mulai meriap keringatnya. Lalu dikasih air tawar yang
dimintakan dari seorang tuan guru (ulama). Pertama harus diusap bagian
wajahnya. Kemudian kedua tangannya, bagian dadanya lalu kedua kakinya. Setelah
diusap, tampaknya sinar wajahnya mulai berubah. Beberapa saat kemudian, Jumberi
betul-betul siuman. Setelah ditanya, ia menceritakan bahwa dirinya telah
bermimpi persis seperti awal kejadian, atau ketika terjadinya peristiwa sumpah
serapah Diyang Ingsung terhadap anaknya Raden Pangeran.
Maka
dari dari kejadian ini, atas inisiatif Pak Kardi. Jumberi akan ditapung tawari
(Badudus) supaya jangan kepuhunan
atau diganggu orang halus.
* * *
Kdg, April 2007
Tentang Istri Rahman
dan Tembok Pagar yang Kotor
Oleh: Muhammad Faried
Ditendangnya
botol plastik kosong bekas air mineral tak berdosa itu, sehingga melesat
terbang dan jatuh ke dalam got, yang mengagetkan kerumunan lalat di air selokan
kotor tersebut. Mungkin, ada beberapa ekor lalat benar-benar tertimpa botol
plastik bekas tadi, atau setidaknya ketenangan lalat-lalat yang sedang asik
berkerumun di air comberan telah terusik, menjadi korban kesewenang-wenangan si
Rahman.
”Yah..., bagi seorang suami terkadang
memang sulit untuk menerima kesuksesan yang berhasil diraih istrinya. Memang
wajar jika kau, sebagai kepala keluarga merasa tersaingi atau terancam
eksistensinya”, imbau Kadir pelan, meniru-niru gaya seorang psikolog.
Rahman cuma menyahut dengan dengusan nafas
berat. Lalu dia bangkit berdiri. Kadir mengira, Rahman hendak menendang ember
butut yang berada di tepi selokan. Ternyata Rahman cuma hendak meluruskan
kakinya yang sudah terasa pegal atau kesemutan lantaran sudah hampir satu jam
duduk mendungkung di trotoar depan rumah Kadir. Tetapi, Kadir kembali merasa
cemas karena Rahman tak lekas kembali duduk. Oleh sebab itu pula, Kadir merasa
perlu untuk menambah kewaspadaan. Siapa tahu tiba-tiba saja Rahman menendang
ember tadi dan pastilah air kotor yang berada di dalamnya akan muncrat
membasahi pagar rumah yang baru saja setengah kering, selesai dia cat.
”Akan
aku ceraikan si Nikmah”, gumam Rahman berdesis seperti ban kempes.
”Apa...? Nikmah mau kau ceraikan ?. Istri
sehebat si Nikmah akan kau ceraikan ?. Setan apa yang mendadak bikin kau
menjadi bodoh, Man ?. Oh Tuhan...betapa kerdilnya laki-laki yang bermaksud
menceraikan istrinya yang pandai mencari penghasilan banyak !”, berondong Kadir,
menyerbu dengan kalimat yang cukup menyesalkan niat tololnya Rahman. Tetapi
itulah kesalahan fatal satu-satunya yang pernah Kadir lakukan. Lantaran terlalu
bersemangat memberondong Rahman dengan kata-kata hujatan itu, maka dengan
begitu Kadir tidak melihat kaki Rahman yang panjang berkelebat, dan...byuuur !.
Air kotor di dalam ember muncrat, hingga sebagian besar menodai tembok pagar.
Kadir pun tertegun karena telah merasa gagal menjadi petugas keamanan yang
seharusnya selalu waspada.
”Biarlah dianggap bodoh, asalkan aku tidak
beristrikan wanita seperti Nikmah”,
sanggah Rahman memendam kekecewaan.
Kadir
masih tertegun tidak percaya. Dia pandangi dengan sedih cat tembok pagar
rumahnya yang telah ternoda air kotor. Dan sengaja untuk menghibur dirinya
sendiri, Kadir mengangan-angankan bahwa cipratan air kotor itu adalah merupakan sebuah lukisan
abstak karya seniman besar, almarhum Affandi.
”Aku tidak sanggup lagi hidup bersama
dengan Nikmah. Aku tidak sanggup lagi terus-menerus dipaksa menipu diri sendiri
!”, erang si Rahman terdengar parau.
”Demi para sufi yang telah wafat !. Aku
bilang padamu, Man..., kau hanya takut hidup di bawah bayang-bayang kebesaran
istrimu. Kau cemas karena merasa kalah pamor dengan Nikmah. Maka, makin kau
tidak menerima dan mengakui sukses serta kebesarannya, kau akan semakin
menderita”, tuding Kadir agak keras, sebab dibarengi amarah akibat tembok pagar
rumahnya telah kotor ternoda.
”Nama besar, sukses, keberhasilan yang
mencelakakan !”, sahut Rahman dengan lebih sengit.
”Mencelakakan...?. Dasar sapi !. Kau lupa,
Man ?. Kau lupa bahwa kau pun ikut andil dalam sukses istri mu itu !”, cerca
Kadir menjadi-jadi.
”Apa..., aku ?. Aku ikut andil ?”, tanya
Rahman menuding dadanya sendiri.
”Ingatlah !. Kaulah yang semula mengajukan
ide serta mengasih modal awal untuk memulai usaha Nikmah. Kau ingat hal
tersebut ?”, desak Kadir lagi.
Rahman hanya tertegun dan makin tertunduk,
karena dia semakin merasa tertekan oleh pernyataan Kadir tadi. Kemudian Rahman
mendongak ke atas langit, lalu menggelengkan kepalanya lemah sambil
menggerakkan kakinya. Kadir telah siap mencegah dan berusaha siaga agar Rahman
tidak menendang tong sampah yang terletak di tepi trotoar jalan.
”Keputusanku tidak akan pernah berubah !”,
tegas Rahman sambil mengeloyor pergi.
”Rahman...!”, seru Kadir cemas memasang
kuda-kuda, sebab Rahman benar-benar mendekati tong sampah. Sampai akhirnya dia
dapat menghela nafas dengan lega ketika dia melihat Rahman hanya melewati tong
sampah tersebut, tanpa menendangnya.
Setelah
Rahman hilang di tikungan jalan, Kadir berpaling dan memandang tembok pagar
rumahnya yang sekarang kotor. Namun sebenarnya yang ada dalam pikiran Kadir
adalah bagaimana caranya dia harus menyelamatkan bahtera perkawinan Rahman dan
Nikmah yang diambang kehancuran. Betapa tidak, Rahman serta Nikmah sudah
dikenal Kadir semenjak mereka sama-sama kecil. Mereka lama bersahabat, bahkan mungkin sudah saling menganggap
seperti halnya saudara sendiri. Dan andaikan Kadir tidak ikut-ikutan prihatin
untuk menyadarkan Rahman yang berniat menceraikan Nikmah, tentulah dia akan
senantiasa diburu peasaan bersalah seumur hidupnya karena telah membiarkan dua
sahabatnya mengalami bencana kehancuran rumah-tangga.
Sepanjang
perjalanan menuju ke rumah Rahman, benak Kadir masih diliputi berbagai macam
pertanyaan di dalam hatinya. Khususnya tentang apa yang menjadi kekurangan
Nikmah, sehingga Rahman hendak menceraikannya. Kadir berpendapat, Nikmah adalah
merupakan sosok seorang istri yang ideal. Cantik, cerdas, cekatan, dan terutama
sekali kepintarannya membuka peluang usaha. Pokoknya bagi Kadir, Rahman
benar-benar telah keliru dalam mengambil sebuah keputusan. Mungkin dikarenakan
terlalu keasikan memikirkan permasalahan yang tengah dihadapi sahabatnya, Kadir
pun tidak menyadari kalau rumah Rahman nyaris saja terlewati. Hingga dengan
bergegas, dia kembali memutar balik arah.
Keadaan
rumah Rahman kali ini sungguh terasa asing bagi Kadir. Lain dari biasanya,
tampak suram dan sunyi. Sedangkan Rahman sendiri, selaku tuan-rumah, termanggu
diam dengan tatapan matanya yang teramat sarat oleh beban pikiran.
”Nikmah ke mana, Man ?”.
”Pergi, ke luar daerah...”.
”Seharusnya kau berbahagia, Man. Juga
harusnya bangga mempunyai istri yang merupakan seorang wanita karier, yang
sukses. Pikirkanlah kembali masak-masak !. Jika engkau menceraikan Nikmah, tentulah
kau tidak akan sedikitpun merasakan kemewahan seperti sekarang ini”, himbau
Kadir pelan sangat hati-hati sambil menunggu reaksi dari Rahman, yang cuma
terdiam sambil menarik nafasnya dalam-dalam. Rahman beranjak meninggalkan Kadir,
masuk menuju ke dalam ruang kerjanya. Dan sekembalinya dari ruangan kerjanya,
Rahman langsung membanting dengan keras setumpuk foto tepat di depan hidung
Kadir, yang jelas-jelas membuatnya gelagapan terkaget-kaget.
”Foto
apa ini, Man ?”, tanya Kadir yang masih belum sadar dari rasa terkejutnya.
Namun dia kontan berjongkok untuk memunguti foto-foto yang berserakan di
hadapannya.
”Kau lihat saja sendiri, dengan
sejelas-jelasnya”, rutuk Rahman terdengar hambar. Bersamaan dengan itu pula,
mata Kadir pun terbelalak, melotot, seperti mau copot karena di foto-foto
tersebut nampak Nikmah berfose sangatlah binal dengan pasangannya yang
berganti-ganti.
”Dari mana kau dapatkan foto-foto semacam
ini?”, inguh Kadir seperti tidak percaya dengan foto-foto yang berada di
tangannya.
”Aku sendiri yang memotretnya secara
diam-diam. Dan dua tahun sudah aku pun mencoba bersabar serta terus bertahan”,
jelas Rahman tanpa ekspresi. Sedang Kadir sendiri tertegun diam seribu bahasa.
Dia seperti merasakan sesuatu yang aneh dan dingin mengepung dari segala penjuru.
”Aku tak ingin menghancurkan kesuksesan
serta nama baiknya. Maka oleh karena itulah, aku mesti menceraikannya. Walau
aku pun masih tetap mencintainya, sebab biar bagaimanapun juga, Nikmah adalah istri dan ibu dari anak-anakku”, lirih suara Rahman terdengar kelu, tanpa
mampu meneruskan ucapannya lagi. Dia terisak-isak dalam tangisannya yang pilu.
Sampai-sampai Kadir berpaling, karena dia tidak tahan melihat tangisan
sahabatnya. Dan bersamaan dengan itu pula, dari balik pintu kamar yang terbuka,
mata Kadir pun membentur pada sosok kedua anak perempuan Rahman yang baru
terbangun dari tidur mereka.
”Papa...!. Mama pergi lagi ya...?”.
Suara anak Rahman itu terdengar serasa
mengiris daun telinga Kadir.
Tentang
Teman Seperjalanan
Oleh : Muhammad Faried
Buatku,
sekarang adalah perjalanan laut yang kesekian kalinya. Dan tetap saja
keadaannya masih sama seperti pertama kali aku naik perahu motor besar ini.
Seperti perasaan yang memberikan perasaan simpang-siur, muncul melompat-lompat saling
mendesak-desak, berebut tempat, berganti-ganti menguasai diriku. Hingga di atas
perasaan itu, rasa ketergantungan akan nasib kecemasan akan bencana, harapan
akan keselamatan, dan ketidakberdayaan terhadap kebesaran alam, hadir dalam
bentuknya yang paling sempurna.
Kemudian
aku mencoba menoleh ke sekeliling untuk melihat orang-orang di luar diriku,
orang-orang yang begitu asing bagi diriku. Di geladak, di lorong-lorong,
bergeletakan, terbaring, duduk, seperti benda-benda yang dihamburkan begitu
saja. Sampai pada akhirnya aku mencoba menghela nafas. Dan rupanya, suara
helaan nafas beratku tadi menarik minat seorang perempuan yang sudah sejak lama
tadi berdiri di sebelahku, lalu dia menoleh serta memandang diriku.
Walau
sekilas, dalam keremangan, aku menangkap pancaran sinar mata perempuan itu,
seperti bercahaya, menawarkan persahabatan, mengundang pembicaraan. Aku pun
senang menerima itu. Dengan pasti, aku mendekati si perempuan. Karena dalam
ketidak tentuan hati seperti sekarang ini, aku lebih banyak mengikuti saja
dorongan yang muncul dalam benakku. Dan dorongan yang muncul saat itu adalah
berbicara dalam arti sebenar-benarnya. Dengan kata-kata, dengan suara.
”Tidak bisa tidur ?” tanyaku membuka
pembicaraan.
”Iya, masih belum ngantuk.” jawab suara
yang terdengar amat merdu dan mendayu di telingaku.
”Sama. Bagaimana kalau kita ngobrol,
setuju ?” ajakku lebih ramah, penuh gairah.
Si
perempuan tidak langsung menjawab. Tetapi mengangguk buat menyatakan
persetujuannya. Lalu, dia bergeser sedikit, memberi peluang lebih besar pada
ruang di sebelahnya. Menandakan undangan resmi terhadapku. Setelah itupun,
pandanganku segera menyergap profil si perempuan dengan seksama. Hingga
memberikan penilaian sendiri tentang dirinya
di dalam benakku.
”Seorang
yang menarik dan cantik. Rambutnya panjang terurai, matanya berbinar laksana
bintang kejora, hidung mancung, dengan bibir tipis memerah-merekah, dan ketika
tersenyum, tampak giginya yang kecil-kecil tersusun rapi, bersih sekali, putih
mengkilat. Benar-benar memenuhi ukuran keindahan dari seluruh keadaannya.
Ditambah penampilan yang tenang serta lembut, cukup sesuai dengan perpaduan
warna biru yang dominan melekat pada tubuhnya” komentar
suara batinku.
”Mau
kemana ?” tanyaku.
”Saya kira kapal ini hanya punya satu
tujuan.” jawab si perempuan itu cerdik, tanpa menoleh. Aku pun tertawa kecil,
membenarkannya.
”Maksudku, tujuanmu setelah ini.”
”Langsung pulang. Ke rumah.”
”Sudah sering berlayar ?”.
”Tidak. Baru kali ini, kamu ?” ujar si
perempuan balik bertanya.
”Sering. Bahkan teramat sering. Bagaimana
perasaanmu ?”
Si
perempuan itu mengangkat bahunya. Tidak jelas apa maksudnya.
”Dengan siapa ?” buruku lagi.
”Sendirian.”
”Sendirian ?” aku terkejut sesaat.
Kemudian sadar, untuk tidak ada yang perlu diherankan. Wajar saja.
”Kenapa ?. Kau terkejut ?”.
”Akh, tidak. Cuma...”.
”Barangkali kurang pantas, seorang wanita
melakukan perjalanan seorang diri. Orang tuaku juga bilang begitu!” lanjut
perempuan itu. Kali ini dengan nada yang kurang menyenangkan. Ada sebersit duka
tersirat di dalam ucapannya.
Gemuruh
suara mesin kapal samar-samar sampai ke telingaku. Malam pun terus turun
perlahan-lahan, semakin dalam menyusup ke laut, ke hitam kelam, ke gelap malam.
”Ngomong-ngomong, nama kamu siapa ?”
sengaja aku berinisiatif memecah kesunyian yang sempat menyelimuti kami berdua.
”Rani. Kamu ?” ucap si perempuan tanpa
mengalihkan pandangan kosong matanya yang seakan ingin menembus kegelapan
malam.
”Aku Jul” spontan saja kujawab. Lalu
percakapan kembali terhenti dengan seketika, sampai beberapa saat lamanya.
”Sudah memiliki seseorang. Kekasih, atau
suami ?” sengaja aku memburu keterdinginan yang sebetulnya sudah mulai merambat
ngilu menggerogoti tulang-belulang pada sekujur tubuhku.
”Aku seorang janda. Akh, sebetulnya tidak
dapat dikatakan begitu, karena dia tidak pernah menikahiku secara resmi.” hela
Rani dengan terlalu terus-terang.
Kembali
aku tidak mampu mengatasi rasa terkejut. Nampaknya, si perempuan yang bernama
Rani ini selalu saja mampu untuk membuatku melongo kaget, sampai-sampai tidak
sadar sudah beberapa saat lamanya, aku tidak bisa menyembunyikan rasa
keterkejutan dan ragu-ragu untuk dapat mempercayai kata-kata dari Rani barusan
tadi.
”Kau tidak percaya ?” imbau Rani seolah
menangkap keraguanku.
”Iya, kau terlalu berterus-terang.”
sanggahku jujur.
”Apa keterus-terangan tidak bisa dipercaya
?”
”Bukan, bukannya begitu. Tetapi...”
”Hanya karena kita baru saja berkenalan.
Jadi tidak wajar untuk berkata jujur. Begitu ?” dengan cepat Rani melanjutkan
ucapannya yang sempat terpotong dengan pandangan dingin menatap tajam.
Sedangkan aku merasa tersudut serta gelisah dibuatnya. Sementara si perempuan
cantik dengan wajah dingin itu tampak tenang-tenang saja, menikmati hasil
sebuah kejujurannya.
Aku
merasa menyesal telah menanyakan hal itu, yang telah memberi peluang buat Rani
untuk mengungkapkan hal-hal pribadinya. Dan bersamaan dengan itu pula, muncul
kekhawatiran, kalau-kalau si perempuan ini akan lebih banyak lagi mengungkapkan
keadaan dirinya.
”Tidak,
kau jangan memberi peluang lagi, Jul. Lebih baik kau tinggalkan saja dia
sekarang ! Dan ingat Jul, kaukan punya etika.” suara batinku kembali menyeruak, menguap.
”Kadang-kadang aku merasa dituntut untuk
tidak berkata jujur. Dan yah..., itu lebih sering membuatku malu sendiri, juga
gelisah karenanya.” gumam Rani sambil menghela nafas pelan-pelan di ujung
kata-katanya.
”Aku
bisa mengerti. Hanya saja aku tidak siap. Aku tidak menduga akan
keterus-teranganmu”, aku pun mencoba untuk jujur.
”Ah...itu adalah hal yang wajar, Jul. Dan
memang, sebagian orang akan menafsirkan jawabanku itu merupakan suatu isyarat
untuk mengajak supaya lebih intim lagi. Karena di mata mereka, aku seakan
merupakan wanita yang pantas untuk dibirahikan. Sikap yang sangat meluakaiku.
Apakah pernyataan aku seorang janda
begitu buruk citranya, Jul ?” getir nada pemberontakan bergetar, mendesak di
dalam dada Rani.
”Kukira..., kukira tidak !. Kau terlalu
berprasangka”.
Agak
lama keheningan itu pun berlangsung tak terusik. Deru suara mesin kapal yang
terus-menerus begitu-begitu saja, berbaur dengan angin dan waktu. Tidakkah itu
merupakan deru sang waktu sendiri. Bergeser dengan laut, kapal, angin, dan
langit.
”Kau kelihatan sangat letih, Jul”, teguran
Rani menembus deru angin, juga deru suara mesin kapal. Sambil tetap saja,
matanya menerawang kosong pada kegelapan malam yang sepertinya begitu akrab
dengannya. Aku hanya menunduk, mengiyakan
dalam hati dengan sedikit gerakan bibir, ”Kau tidak keberatan, kalau aku...”.
”Tidak, sama sekali tidak Jul. Sedikit pun
aku tidak keberatan, karena aku sudah terbiasa begini. Dan juga, terima kasih
banyak Jul. Kau telah sudi menjadi teman bicaraku malam ini”, lirih suara Rani
mengantarkan langkah kakiku menuju peraduan untuk sekedar melenakan keletihan
jiwaku.
Rabaan
nakal sang raja pagi membangunkanku akan ketertiduran yang lumayan pulas.
Seketika, pandanganku langsung tertuju ke tempat di mana aku dan Rani sempat
menghabiskan sebagian malam temaram. Bergegas aku beranjak dari rebahku serta
berharap kalau-kalau Rani masih berada di sekitar situ.
Tak jauh dari tempatku berdiri, seorang
anak buah kapal (ABK) sedang membersihkan sebagian lantai kapal yang memang
sangat kotor. Tanpa diperintah aku mendekati ABK itu, untuk menanyakan tentang
keberadaan Rani dengan memberikan sedikit gambaran beserta ciri-cirinya. Akan
tetapi di luar dugaanku, si ABK malah balik bertanya, ”Namanya Rani, kan...?”.
”Ya...iya, be...betul. Na...namanya Rani”,
jawabku terbata-bata dipenuhi kegugupan.
”Oh, kalau Rani yang Bung sebutkan itu.
Dia telah meninggal setahun yang lalu, bunuh diri, terjun ke laut sewaktu malam
buta, tepat dimana tadi Bung berada”.
Mendadak aku pun terbisu dalam kelu di
bibir, dengan tubuh bergetar. Bahkan kelanjutan kata-kata si ABK seterusnya
tidaklah kupedulikan lagi, karena di dalam batin dan benakku sedang terjadi
peperangan yang maha dahsyat, menguasai seluruh pikiran yang berkecamuk pada
seluruh persendian di sekujur tubuhku.
(15032007)bersama
Kandangan kuucapkan
makasih
yang sebesar-besarnya buat
sobatku:
Kasful Anwar ’dudhuy’ & Muslim
di
rumah Allah ”Taqwa”.
INDROKUNESIA
Oleh M. Fuad Rahman
“REVOLUSI!!!”
Lantang gemuruh suara dari beratus bibir yang bergerombol seraya membawa
spanduk-spanduk bertuliskan bermacam-macam hujatan dan cacian. Demonstrasi besar-besaran
mengalami puncaknya pada hari ini. Kekesalan yang ditunjukan para demonstran
dengan melakukan teriakan dan yel-yel revolusi terus menggema di seluruh antero
negeri Indrokunesia. Krisis multidimensi melanda negeri ini, apalagi sejak
dulu, sejak negeri ini mulai dinamakan Indrokunesia tak pernah rakyatnya
merasakan kesejahteraan. Yang ada malah terjadi berbagai macam
ketimpangan-ketimpangan. Sistem pemerintahan yang sangat berbau nepotisme juga
menambah semaraknya ‘ke-anehan’ di negeri Indrokunesia yang pada dasarnya
memang aneh.
Rakyatnya mulai bosan dengan pemimpin mereka yang dikenal otoriter,
bengis, dan segala macam hal-hal yang bikin gemes lainnya. Entah
bagaimana cerita dan sejarahnya, yang namanya Drakula dan para konco-konconya
yang sejenis termasuk Vampire menguasai negeri ini. Mulai dari struktur
pemerintahan pusat sampai ke daerah-daerah. Padahal yang namanya Drakula dan
Vampire itu bukan makhluk dari negeri sini asalnya. Mereka dari sono,
jauuuh sekale! Sampai nggak kebayang jauhnya Mungkin ini
juga yang jadi asbab kenapa negeri ini dinamakan Indrokunesia. Karena
yang memimpin para Drakula, mungkin!? Sedang mahluk yang asli di negeri
ini cuman jadi peran pembantu doang. Kerjanya, ya, iseng-in
manusia-lah, kalau ada juga yang agak berpendidikan, bisa
berkongsi ria ama manusia yang diberi gelar dukun. Itupun juga mesti ikut
seleksi ketat! Ketat gimana? Ketat banget dah pokoknya!. Yah…, ada juga yang lebih beruntung, mereka
bisa ikut casting maen film ‘join-an’ ama manusia. Lumayan lah
buat nambah ‘tabungan’ ( dosa ), biar nanti ketika nenek moyangnya, si
burung belibis, eh, si Iblis sadis, berkudis, bau amis, pake kumis and
ceriwis (maaf, ya, Blis. Sengaja!) nanya-in mereka, “Udah bikin
apa saja buat saya?”, mereka udah punya black list-nya. Nah karena
hal itulah demo ini dilakukan. Bersama-sama mereka turun jalan, mulai dari
golongan Tuyul, Kolor Ijo, Genderowo yang kurang serem (karena yang serem udah
jadi polisinya Drakula), Sundel bolong, Kuntilanak, Wewe Gombel, Pocong,
Kuyang, Pulasit, Tanggalanan, Hantu beranak, Jenglot, Muka rata, Hantu bekisut,
Mayat hidup, Demit, dan berbagai siluman jejadian, serta tak ketinggalan Mak
Lampir ama Nini Pelet juga ikut dalam demo akbar itu.
“Bagaimanapun, kita mesti melakukan Revolusi! Itu jalan satu-satunya!”
Teriak seorang, eh, se-hantu pocong dari atas podium dengan
lantang menggunakan pengeras suara.
“Booo…!!!” Jawab hadirin serentak yang berarti menyetujui.
Itulah salah satu ‘anehnya’ negeri Indrokunesia. Mereka mempunyai bahasa
persatuan yang menjadi bahasa nasional mereka. Padahal masing-masing jenis
mahluk yang ‘hidup’ di dalamnya mempunyai bahasa sendiri-sendiri.Yang
kadang-kadang saja sih mereka pergunakan. Sebenarnya jauuuh… sebelumnya,
pemerintah menganjurkan untuk berbahasa Indrokunesia dengan baik dan benar. Emang
gue pikirin! Begitu yang sering dilontarkan para hantu. Apalagi bagi bu
Kuntilanak yang taunya cuman ketawa-ketiwi doang. Ditanya manusia; “lu
siapa?”, eh, dijawabnya; “hi…hi…hi…” sambil mamerin taring yang
kuning kagak pernah gosok gigi. Nah, lu!
Back to the situation. Massa
yang semakin beringas berusaha merengsek masuk ke dalam istana kepresidenan
para Drakula. Tentu saja itu menimbulkan reaksi keras dari para Drakula dan
konconya. Gimana tidak marah, wong lagi uenak-uenak duduk di kursi empuk
trus ada yang ngegoyangin ini kursi? Emang ini kursi goyang apa? Mungkin
seperti itu yang ada dalam kepala tuh Drakula-drakula. Namun massa yang semakin banyak
saja tetap tak peduli, mereka terus berusaha masuk. Walau istana itu di batasi
pagar anti hantu, tapi mereka tak peduli. Yang penting usaha, yang penting
masuk! Kalau udah di dalam mau ngapain, kagak ada yang tahu.
Pokoknya masuk dulu, urusan mau ngapa-ngapain, ntar aja! Serbu!
“Apakah kita perlu menambah personil lagi, Sir?” Tanya mahluk
bertubuh besar tinggi hitam dengan wajah dingin kepada si Presiden Drakula
setelah berada dalam ruangan Presiden. Tanpa ketuk pintu lagi.
Si Drakula menatap tajam pada mahluk yang berdiri dihadapannya, setajam
taring yang memanjang di sela bibirnya, lantas dia berdiri dan berucap keras, “Sit!
Apa kau tidak lihat itu para mahluk sialan pada makin banyak?!”
“Siap, sir. Saya akan melaksanakan perintah!” jawabnya dengan nada
sedikit bersalah. Lalu dia pun segera beranjak keluar lagi. Tapi belum sampai
di pintu si Presiden memberi perintah lagi.
“Kalau perlu tempatkan para sniper, bunuh saja yang kira-kira akan
membahayakan!”
“Siap, sir!” angguknya ragu.
“Genderowo bodoh!” sumpah drakula
itu setelah pimpinan militernya keluar dari ruangan.
“Drakula sialan!” si genderowo balas nyumpah, tapi saking kagak
beraninya, dia cuman ngedumel dalam hati. Badannya doang gede,
nyalinya? Sepet!
“Enak aja lu bilang gua sepet! Gua nunggu kesempatan aja. Awas
nanti, gua bukti-in. Emang enak, di suruh ngebunuh sodara
sebangsa dan setanah air sendiri?! Maaf, ye. Biar imut (item mutlak!)
gini, gua juga masih punya hati nurani tauk!”
Trus kenapa mau-maunya jadi tentaranya tuh Drakula?
“Kepaksa tauk! Daripada gua kagak ada pekerjaan,
sekarang susah nyari pekerjaan! Anak bini gua mau diberi makan apaan? Huh!
Eh, gua barusan ngomong ama siapa tadi? Bangsat! Gila juga nih
otak ‘ntar…!!”
Beberapa Drakula lain dan para Vampire yang sejak tadi memang sudah
berada di ruangan itu membisu dan tak berani mengeluarkan kalimat apapun. Entah
karena takut dengan Drakula yang satu itu, atau memang sudah kehabisan akal,
entahlah. Namun yang pasti di luar istana para demonstran terlibat saling
dorong dengan para genderowo-genderowo pilihan yang bertubuh tinggi besar hitam
berwajah seram dan kagak pernah senyum, apalagi nyengir (kuda dong?!).
Mungkin sudah bawaan dari orok kali, ya?! Mereka memang sengaja
dijadikan pasukan pengawal presiden atau kerennya dikenal dengan sebutan
PASPAMPRES, dan dijadi-in polisinya negeri Indrokunesia ini karena dianggap
mahluk yang paling guede dan paling kuat.
“Pokoknya kita harus melaksanakan
pemilu ulang yang lebih adil dan ber-demokrasi! Betul kawan-kawan?” teriak
seorang Kolor ijo yang saat itu juga ditunjuk jadi orator.
“Booo…!!!”. Hadirin mengiyakan.
“Selama ini kita telah tertindas, sudah berapa generasi kita merasakan
penderitaan. Kita tak bisa lagi dengan leluasa ke dunia manusia karena
kebijaksanaan sepihak dari pemerintah yang melakukan kerjasama bilateral dengan
manusia. Para tuyul sejati tak bisa dengan
leluasa nilep uang, trus manusia kagak takut lagi ama si otong, eh,
si pocong, bu Kunti (Kuntilanak maksudnya) udah kehilangan wibawanya
ampe kutilan, sedang dari kaum gue sendiri jadi bahan tertawaan manusia!
Malah manusia itu makin berani nantang ketemu ama kita yang dulu dikenal
seremnya minta ampun! Apalagi gue dianggap tidak eksis oleh mereka …”
teriak si Kolor ijo lagi dengan perasaan haru. Badannya ikut ijo ngikutin
warna kolornya yang udah mulai kedodoran. Lalu dia melanjutkan orasinya, “Kaum gue
kagak ada lagi mata pencaharian! Padahal ‘adik’ gue udah kagak
tahan lagi! Sedang para pemerintah enak ngisapin darah manusia
terus, bahkan ada aja yang ngisap darah rakyatnya sendiri ampe
ludes…des! kayak kasus bu Wewe Gombel yang dadanya makin kempes…!?!
Apalagi kite tau semua, di negeri ini, drakula itu para imigran gelap
karena mereka pakai baju item terus! Eh, apa gue kagak salah, nih?
Sekarang BBM (Bahan Bakar Menyan) pada naik lagi! Pokoknya harus ada revolusi. Kagak
adil…dil…dil…!!!”
“Ijo…, Ijo…, Ijo…!!!” koor para pendemo dengan irama kaya iklan di
televisinya manusia.
Massa
yang makin membludak memaksa pasukan anti huru-hara siaga penuh. Penambahan
personil dilakukan guna mencegah hal yang tidak di inginkan, bahkan kali ini
dilengkapi dengan berbagai atribut dan pakaian anti kerasukan hantu karena
dikhawatirkan ada hantu yang bisa merasuki para polisi Genderowo gendeng. Namun
desakan para demonstran juga tak kalah hebatnya, yang membuat para aparat
semakin kewalahan menghadapi desakan-desakan itu. Sedang gemuruh yel-yel anti Malaysia,
eh, anti Drakula semakin riuh seiring bertambahnya para hantu yang ikut
demo.
Situasi dalam istana semakin mencekam. Kebingungan melanda ruang
pertemuan para pejabat Drakula.
“Bagaimana sebaiknya ini, penasihat?” Tanya si presiden Drakula pada
seorang penasihat dari jenis Vampire.
Penasihat yang dulunya berasal dari yang negeri tetangga RRC (Republik
Rakyat Civampina) lalu migrasi ke Indrokunesia dan langsung diangkat menjabat
penasihat itupun tertunduk sebentar. Lalu dia mengangkat dagunya dan berjalan, eh,
meloncat-loncat ke arah meja presiden sembari berbisik. “Sebaiknya kita halus
membicalakan ini ha pada pala anggota dewan dan melaksanakan lapat
teltutup…” katanya dengan logat yang khas.
“Kau yakin, penasihat, kalau ini jalan yang terakhir? Tapi bagaimana
dengan para mahluk sialan di luar itu?”
“Hayya…! Bapak Dlakula yang telholmat, untuk mengatasi massa di lual, cukup anda
pelintahkan kepada oe dan bebelapa olang untuk melakukan diskusi dengan
pemimpin meleka.”
Drakula mikir sebentar. “Baik! Semuanya saya serahkan padamu, penasihat.”
Sang Drakula pun kemudian beranjak dari kursi kebesarannya, namun sebelum itu
dia menunjuk dua orang, aduh! Maaf kesalahan penulis! Dua hantu
lainnya maksudnya. Satu dari kaumnya sendiri, Drakula juga, yang kedua dari
bangsa Vampire tapi bukan dari jenis si penasihat yang notebane dari
Civampina.
Para pejabat pemerintahan Drakula pun
membubarkan diri bersama-sama menuju ke ruang para dewan. Sedang si penasihat
dan dua mahluk penghisap darah tadi menuju keluar istana dengan dikawal
beberapa genderowo. Agak keder juga tuh penasihat melihat muka para
demonstran yang marah. Udah emang dari sononya serem kini jadi
tambah serem, kagak kebayang dah kaya apa seremnya. Saking
seremnya!
“Tenang, tenang, tenang sodala-sodala sesama hantu!” ucap penasihat dari
balik pagar pembatas. Namun massa
yang terlanjur kesel abis tetep aja kagak mau tenang. Melihat massa seperti itu, si
penasihat minta bantuan. “Hayya…!Tolong kamu bilang kami mau membelikan
pelnyataan!” katanya pada komandan genderowo.
Tanpa basa-basi, perintah langsung dilaksanakan. “Saudaraku setanah air,
mohon tenang sebentar. Penasihat ingin bicara!”
Nada suara yang kayak ledakan gunung Krakatau itu akhirnya bisa
mendiamkan kehiruk-pikukan massa.
Untung aja tadi nih komendan batal minta bantuan dari para dukun
manusia. Kalau jadi, hiii… kagak kebayang bakal gimana
para hantu-hantu yang lagi demo. Ngebayanginnya aja kagak
sanggup!
“Sodala-sodala. Kami faham dengan
maksud sodala semua. maka dari itu kami bersedia melakukan dialog, tapi kami
meminta hanya bebelapa olang saja sebagai pelwakilan dali semuanya untuk masuk
dan duduk satu meja dengan kami. Bagaimana?”
Massa
yang tadi beberapa jenak sunyi kembali gaduh. Tiap mulut memberi tanggapan, hanya
kaum bu Kunti aja yang tetep ketawa-ketiwi menanggapi. Namun ada aja hantu yang
sempat nyeletuk, “bicala aja gak benel, gimana mau diskusi? Dasar
pecel lele?! (gak ada hubungannya!)”.
Si penasihat yang mendengar pasang muka masem. “Walengsek!”
umpatnya.
Setelah itu terjadilah diskusi kilat para pendemo dan diputuskan empat
orang perwakilan. Yaitu si Pocong, Kolor ijo, si Tuyul, dan bu Kunti sebagai
pelengkap penderita. Sedang yang lain tetap berada di luar. Maka masuklah empat
perwakilan tersebut mengiringi loncatan penasihat dan konconya.
Dialog pun terjadi. Empat perwakilan dari rakyat Indrokunesia itu
menyampaikan point-point yang mereka jadikan tuntutan. Mulai dari
kebijakan-kebijakan sepihak pemerintah yang selalu jauh dari nilai demokrasi,
beberapa kasus korupsi dan nepotisme dalam pemerintahan serta berbagai kasus
pelanggaran HAH (Hak Asasi Hantu) yang tidak selesai-selesai seperti kasus Bu
Wewe gombel, dan tuntutan pelaksanaan ulang pemilu. Tak ketinggalan juga
perbaikan kesejahteraan secara merata di semua kalangan, tak mengenal kaum dan
golongan. Mau dia golongan pocong kek, golongan zombie kek,
golongan mak lampir kek, golongan kuyang kek, golongan kolor ijo kek,
golongan tuyul gundul pacul kek, golongan karya kek, eh,
golongan karya itu jenis hantu juga, ya? Hiii… takut!
“Pokoknya kami hanya minta keadilan
dan pemilu dilakukan ulang! Revolusi!!!” tegas si Kolor Ijo yang paling vokal
di antara yang lain.
“Ya, kami tak mau dibodohi lagi oleh kalian. Kami ingin hak kami sebagai
hantu diperhatikan! Kami sudah bosan!” sambung si pocong tak kalah tegas.
“hi…hi…hi…” bu Kunti mengiyakan diiringi anggukan tuyul gundul pacul yang
ada di sebelahnya.
Penasihat dan konconya saling berbisik mendengar pernyataan mereka
beberapa jenak sebelum menanggapi.
“Baik. Kami akan sampaikan tuntutan kalian, tapi kami minta waktu untuk
melakukan lapat…,” kata si penasihat
berusaha meyakinkan. “kami mohon kalian bubalkan dili dulu, kalena kami
khawatil ada plopokatol yang memanfaatkan momen ini…”
“Kami akan membubarkan diri apabila sampeyan-sampeyan bisa meyakinkan
kami terlebih dahulu bahwa negeri Indrokunesia yang kami cintai ini makmur
sesuai dengan harapan kami!” guntur
si pocong.
“Kalian orang saya jamin tak akan kecewa. Semua tuntutan akan ditampung
dan akan dibicarakan!” ucap si Drakula, konconya si Vampire berusaha
meyakinkan, dengan logat kebarat-baratan.
Akhirnya dengan perdebatan yang
singkat namun alot, penasihat berhasil meyakinkan Kolor ijo, Pocong, bu Kunti,
dan si tuyul gundul pacul. Mereka pun keluar lagi dan memberikan beberapa
pernyataan dari janji-janji pemerintah serta mengajak massa untuk membubarkan diri. Karena udah
yakin en percaya ama orator si Kolor Ijo, mereka pun membubarkan diri
namun tetap dengan gemuruh yel-yel revolusi. Untunglah kagak ada hantu
yang mati dibidik sniper, karena, konon kabarnya, yang namanya mati
untuk kedua kali itu sakitnya luar biasa. Heh! Emang enak jadi hantu? Kasiaa…an
deh lu!
***
Situasi di ruang dewan sedang camuh.
Berbagai suara memenuhi ruangan ketika si penasihat mengumumkan hasil dialog
dengan para demonstran. Sedang bapak Presiden Drakula yang terhormat habis
akal, nggak bisa ngomong apa-apa. Rambutnya yang biasa licin kaya jalan tol udah
awut-awutan kagak karuan mikirin nasibnya nanti bagaimana. Rapat yang
menghadirkan seluruh anggota dewan itu, rupanya kagak selesai-selesai.
Karena banyak yang beda pendapat bahkan hampir terjadi pertarungan sengit dari
beberapa anggota, namun bisa ditenangkan si ketua rapat. Rapat yang cukup alot
dan rame banget plus lucu. (bayangin aja deh, ketika nonton film
paling lucu yang pernah pembaca lihat. Nah, seperti itulah rapat di dewan ini,
dewan perwakilan rakyat Indrokunesia. He…he…he…, lucu banget dah!)
Tok! Tok! Tok!
Palu pimpinan rapat dihantamkan ke
meja.
“Perhatian seluruhnya! Berhubung
sampai ini hari tidak didapat juga kesimpulan yang berarti, maka diputuskan
bahwa akan dilakukan voting untuk menentukan apakah kita akan melakukan pemilu
ulang atau tidak! Keputusan ini tak dapat diganggu-gugat, apabila ada yang
keberatan harap berenti aja jadi dewan! Karena ini merupakan tuntutan
dari rakyat Indrokunesia juga. Dan kita akan mengundang seorang manusia untuk
saksi atas peristiwa ini, ini adalah aplikasi dari hubungan bilateral yang
telah kita sepakati bersama. Namun tuh manusia tidak berhak mengucapkan
apapun karena posisinya hanya sebagai saksi saja.”
Hadirin yang sedari tadi gaduhnya
bukan main pun akhirnya senyap sesaat. Dan mau tidak mau menerima keputusan
dari pimpinan. Keputusan itu disambut sebagian besar anggota dengan teriakan
yang sama. Booo….!!! “Biar hantu-hantu gini, kami juga tahu yang namanya
hormat pada pimpinan”. Seperti itu yang ada di benak para anggota dewan.
Yang namanya menghadirkan manusia
itu bukan hal yang mudah. Maka diutuslah mahluk hantu yang paling sakti untuk
menjemput manusia pilihan itu untuk dihadirkan dalam ruang rapat. Cukup lama
juga acara ritual penjemputan itu, hingga akhirnya berhasil juga.
Setelah situasi agak tenang,
akhirnya dilakukan voting. Sedang si Presiden yang sejak tadi hanya manggut-manggut
kagak karuan dengan berat hati terpaksa menerima keputusan itu juga.
Voting yang dilakukan cukup rahasia dan terjamin keadilannya. Hingga pada
puncaknya didapatlah hasil perhitungan voting yang disaksikan seluruh anggota
tak terkecuali si presiden Drakula yang
terhormat dan si manusia pilihan sabagai saksi.
Sang pimpinan mengetuk palu untuk
yang kedua kali minta perhatian. “Tadi sudah anda lihat hasil perhitungan dari
voting yang baru saja kita lakukan. Maka bahwasanya, menimbang, memperhatikan,
mengingat, dan memutuskan, pemilu di negeri Indrokunesia akan dilakukan ulang
yang berarti Yang Terhormat Presiden Drakula lengser dari kursi kepresidenannya
sekarang!”
Sang Drakula langsung kena stroke!
“Apes dah! Bakal disumpahin moyang gua tujuh turunan. Nasib, nasib!”.
Setelah ngedumel begitu dia langsung diantar ke peti matinya.
“Booo…!!!” koor para sebagian
anggota dewan yang delapan puluh persen menyatakan setuju. Dan diikuti sorak
sorai seluruh makhluk yang juga ikut menyaksikan jalannya rapat lewat stasiun
televisi kabel-nya hantu.
***
Setelah proses yang njelimet en
rumit dengan dana APBN Indrokunesia. Dilakukanlah pemilihan umum ulang untuk
memilih presiden baru, namun kali ini berbeda cara pemilihannya. Pemilihan
dilakukan secara langsung oleh seluruh mahkluk yang ada dan harus benar-benar
anak pribumi yang mbrojol dari perut hantu asli pribumi, keturunan hantu
pribumi dan diamnya di negeri Indrokunesia. Bukan manusia yang jadi hantu
karena ‘gigitan’ dari negaranya si Count of Drakula di sono! Jauuuhh… sekale
nuju ke arah matahari terbenam sono! Lagian hal itu juga
merupakan pasal kesekian dari tuntutan rakyat Indrokunesia.
Manusia yang dijadi-in saksi
pelaksanaan perhitungan suara dari awal rapat sampai sekarang perhitungan hasil
pemilu kerjanya diee…em aja, kaya patung. Kagak boleh ngomong
soalnya, pamali kata tetuha hantu disana. Si manusia itu manggut-manggut
doang.
Seluruh mata rakyat Indrokunesia,
kecuali hantu si muka rata yang emang kagak ada matanya, tertuju pada
satu hal, pengumuman pemenang pemilu. Siapakah dia? Sebuah pengeras suara yang
berkekuatan dahsyat disiapkan untuk mengumumkan hasil pemilu. Diharapkan
pengumuman ini akan terdengar sampai langit ke tujuh! Biar para malaikat juga
tahu. Nah, lu!
Pimpinan dewan berdiri tegak di
sebuah podium di depan istana kepresidenan sambil membawa beberapa lembar
kertas, dan dengan lantang dia mengumumkan. “Ehm! Setelah dilakukan
perhitungan dengan jujur dan seadil-adilnya, maka diperolehlah hasil pemenang
pemilu. Dan yang berhak untuk menduduki jabatan ini menurut rakyat Indrokunesia
adalah…,” pimpinan dewan itu berhenti sejenak sambil membuka lembaran halaman
selanjutnya, “ee…Bapak Yang Terhormat Genderowo!”
“Booo…. (lagi)!!!” Serentak
gemuruh suara dari rakyat Indrokunesia. Akhirnya, tercapai juga. Biar dari
militer juga nggak papa, yang penting asli anak pribumi!
Mantan presiden terdahulu yang
langsung jatuh sakit ketika mendengar dia lengser dari kursi goyangnya, eh,
kursi empuknya, seketika pingsan mendengar pengumuman itu. Taring yang dulunya
jadi kebanggaannya langsung ikut keropos. Jadilah si Drakula ompong! He…he…he…
rasain lu!
“Yah…, kagak ada bedanya dong!
Sama aja, dulu yang mimpin hantu, sekarang juga kagak jauh beda.
Hantu juga…!!!” Celetuk si manusia pilihan yang sedari tadi duduk di sudut
ruang.
Hus!
Dibilangin jangan ikut ngomong, malah ngeyel! Diem aja kenapa
sih?! Kuwalat kau nanti! Dasar lu Sumanto![]
PELACUR
Oleh M. Fuad Rahman
P
|
ancar matahari
begitu menyengat hari itu. Mungkin hanya cacing gila saja yang berani
menampakkan wujud di tengah terik matahari seperti ini. Si Zul melangkah gontai
sambil menutup kepala dengan koran hari itu untuk mengurangi peluh yang semakin
membuatnya basah kuyup karena kepanasan. Asap kendaraan yang lalu lalang
menambah hangat suasana. Mungkin tukang becak dan para abang ojek saja yang mau
kelayapan di siang bolong seperti ini, pikirnya. Terus si Zul sendiri? Dia
bermaksud ke kantor redaksi salah satu koran lokal yang saat ini menjadi
alternatif peneduh kepalanya. Cerpennya dimuat pada edisi kemaren, untuk itulah
dia bela-bela-in jalan diterik matahari untuk sekadar mengambil haknya.
Walau dia tahu, honor yang diterimanya masih tak sebanding dengan jerih
payahnya untuk menciptakan satu karya. Yah, dia tahu itu.
Si Zul terkenang ketika dia pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. Beberapa
keluarganya memang ada yang tinggal di Banjarmasin,
tapi tekadnya untuk tidak jadi benalu orang lain memaksanya untuk
tinggal sendiri dan berusaha untuk bisa hidup mandiri. Pertama menginjakkan
kaki di seputaran Kayu Tangi, dan dia tetap saja di Kayu Tangi sekarang.
Begitu banyak perubahan yang dia rasakan. Dulu, Kayu Tangi yang lebih banyak
hanya berupa padang
ilalang dan rawa kini ditumbuhi berbagai hutan beton, entah ruko atau apa.
Ramainya para anak muda yang mencoba mengais ilmu di perguruan tinggi. Dan yang
tahun demi tahun semakin bertambah. Yang akhirnya, seakan Kayu Tangi identik
dengan kotanya para mahasiswa, identik dengan kebingaran kendaraan karena
hampir saban sore atau malam para anak muda berkumpul dan beradu tangkas dalam
memacu kendaraan mereka. Dan saat ini bukan hanya antaranak-muda itu saja, tapi
sudah berubah menjadi arena bermain dengan para Polisi.
Si Zul berusaha untuk mengais serpihan masa lalu itu. Berangkat dari desa
Ambutun[27]
dengan modal semangat yang membara berusaha mencari kehidupan yang lebih baik.
Umurnya waktu itu mugkin baru delapan belas tahun atau kurang dari itu, tapi
nama Zul sudah dikenal orang, paling tidak dikenal oleh orang yang kebetulan
pernah membaca beberapa puisinya yang dikirimnya ke beberapa media cetak. Dan Alhamdulillah,
sering dimuat. Bahkan di Kandangan, dia tergabung dalam grup Mamanda. Dengan
modal nekat dan hobby-nya itulah dia memberanikan diri untuk ke Banjarmasin.
Tempat pertama yang dia datangi adalah rekan seprofesi sebagai penikmat
seni, Hamdan. Disinilah, katakanlah,
awal karirnya sebagai penulis. Hamdan yang lebih dulu tinggal di Banjarmasin dan mengelola
salah satu sanggar seni, menyuruh Zul untuk mendiami markas mereka dan dia pun bergabung dalam anggota
sanggar itu.
“Zul, kenapa kau punya rambut cepak begitu. Kulihat cuma kau yang paling gak
punya rambut di sini” ujar Damang, senior Zul waktu itu. Ya. Diantara sesama rekan, mereka punya gelar dan nama
samaran tersendiri, entah karena tidak ingin dikenal namanya atau karena mereka
punya nama nggak bagus, entahlah, tapi yang bicara pada Zul waktu itu
berbadan agak gempal, berkulit gelap lengkap dengan aksesoris gelang bahar
serta rambut panjang gak terurus. Dia dipanggil rekan-rekannya Damang.
Zul nyengir mendengar petuah sang Damang.
“Di kampung saya, rambut panjang dinilai gak etis, Mang. Bahkan
bisa-bisa dibilang garong” tanggap Zul.
“Kau tahu, Zul. Rambut yang panjang
itu bagi seorang pekerja seni melambangkan kebebasan berfikir. Kita sebagai
seorang seniman punya negara sendiri, punya pemimpin dan aturan sendiri. Kita
tidak terikat dengan sistem yang ada. Negara kita adalah kebebasan berfikir,
pemimpin kita adalah kebebasan berfikir! Kita adalah komunitas yang paling
bebas diantara komunitas yang lain. Bebas untuk berfikir. Tak ada yang
ditakuti, tak ada yang bisa memecat kita kalau bertentangan dengan sistem, tak
ada yang dapat mengambil gelar seniman kita, kita berdiri sendiri. Kita hanya
punya tugas wajib, yaitu berkarya dan berkarya…, tapi aku punya rambut panjang
bukan karena hal itu, tapi karena nggak sempat potong rambut ”
kelakarnya. Zul ikut tersenyum.
“Tapi, kebebasan yang kita miliki
tentu mempunyai batasan-batasan juga seperti yang lain kan!?” sanggah Zul.
“Ya. Sesuatu yang menjadi batasan kita dalam berkarya yang ‘bebas’ itu
hanya nilai-nilai moral yang kita pegang dan kita jadikan landasan hidup. Kita
bebas mengekspresikan sesuatu, kita bebas bersastra, kita bebas menulis apa
saja, berlakon apa saja, sistem apapun yang dibuat oleh manusia tak dapat
menghalangi kebebasan itu…,”
Zul melongo mendengar penjelasan panjang sang Damang, belum sempat Zul
menanggapi ucapan itu, Damang kembali
melanjutkan.
“...Pembatasan itu hanya bisa dilakukan apabila berlandaskan oleh dua
hal…!” Damang berhenti sejenak mengharapkan tanggapan Zul, tapi Zul lagi-lagi
hanya melongo. “Dua hal itu adalah Qur’an dan Hadist. Kita jangan lupakan itu.
sebab dua hal itulah penuntun hidup kita, sistim-sistim yang dibuat-Nya lah
yang jadi undang-undang kita…”. Zul mangut-manggut. “Apalagi kalau kita sebagai
sastrawan atau lebih khususnya penyair, kalau syair-syair yang dibuatnya itu
dikategorikan dapat menyesatkan orang yang membaca. Kau ingat kan apa yang ditegaskan Allah tentang para
penyair yang dapat menyesatkan ummat, ‘mereka menghadapkan pendengaran
kepada syaitan, dan kebanyakan mereka pembohong. Dan penyair itu diikuti oleh
orang yang sesat. Tidakkah kau lihat mereka mengembara di lembah-lembah. Bahwa
mereka suka mengatakan, padahal mereka sendiri tidak mau
berbuat,(Naudzubillahimindzalik!) kecuali – penyair yang tidak sesat dan
menyesatkan – mereka beriman, beramal sholeh, dan senantiasa menyebut dan
mengingat – sistim-sistim – Hukum Allah…”[28]
Zul kagum dengan kalimat-kalimat
yang diucapkan Damang itu, dia seakan mendapat siraman rohani tentang sastra.
Damang yang hanya dikenalnya sebagai seorang yang berperawakan sangar
namun punya rasa humor tinggi seakan menampakkan diri dalam wujud lain yang
sejak dia ikut dalam sanggar seni itu tak pernah dia temukan. Zul terpukau, dan
menghayati benar ucapan-ucapan sang Damang.
Damang menghela nafas, “Zul, kau
punya umur masih muda, banyaklah membaca, membaca dan berkarya, namun jangan
sampai kau lupakan apa tujuan kita dalam menciptakan karya itu. Ciptalah puisi
sebanyaknya, karanglah cerpen sebanyaknya, namun nilai dakwahnya jangan sampai
kau lupa. Aku bukan bermaksud menggurui kau, Zul. Karena aku pun juga hampir
sama nasibnya dengan kau. Yang membedakan kita hanya zaman, tahun dan tanggal
kita lahir. Dan satu hal lagi jangan sampai kau lupa juga, jangan yang kau
kejar hanya soal duit dan duit, apabila kau punya tujuan hanya ingin mencari
duit lewat karyamu di sini, di Banjarmasin, sebaiknya kau pikirkan kembali
eksistensimu dalam berkarya sastra. Aku yakin suatu saat kau mengerti kenapa
aku mengatakan hal ini. Kita berkarya, berkarya berarti berdakwah. Apabila kau
pegang prinsip ini, aku yakin kau akan menjadi seorang sastrawan sejati.
Apabila kau ingin dikenang sesudah matimu buatlah barang satu tulisan sastra. Sastrawan itu
adalah seorang cendikiawan, tapi cendikiawan belum tentu seorang sastrawan.
Camkan itu, Zul!”
Zul manggut manggut kembali. Dia tak bisa
berkomentar apapun tentang ucapan dan pernyataan Damang. Dia hanya merenungkan
bait demi bait kalimat-kalimat Damang tadi. Memang dia tahu, selama beberapa
tahun terakhir, karya sastra Damang baik yang telah dipublikasikan lewat koran,
majalah, dan beberapa buku antropologi berkisar masalah ke-Tuhanan.
Puisi-puisinya pun bersifat sufistik. Zul menyadari, bahwa kalimat Damang itu
sangat dan sangat dia setujui.
Dan begitulah Zul, setelah diskusi
dan mendengar petuah dari Damang itulah, karya-karyanya, baik puisi, esai, dan
terutama cerpen lebih mengarah kepada hal yang religius keislaman. Walau banyak
proses dan waktu untuk hal itu. Tapi, paling tidak kesan ketika pertama diskusi
dengan Damang itulah awal kebangkitan semangatnya untuk mengarahkan karyanya
pada hal yang bersifat religius. Dan itulah yang dilakukan Zul hingga kini.
***
Serpihan-serpihan kenangan itulah
yang saat ini menyabak di kepala Zul sambil terus membelah terik
matahari yang kian memanggang menuju kantor redaksi sebuah Koran lokal. Aspal
jalanan menciptakan fatamorgana, namun Zul tetap menyeret kakinya. Kini sosok
Damang tak lagi berada di dekatnya, namun baginya sastrawan itu tetap hidup
lewat karya-karyanya dan hatinya. Sanggar yang lima belas tahun lalu sempat menampungnya
untuk beberapa lama bubar karena masing-masing anggotanya punya pekerjaan
masing-masing. Ada
yang tetap aktif menulis atau melukis , namun hanya sebagian kecil saja. Semua
hal itu bisa terjadi hanya karena tuntutan materi belaka. Ya. Materi! Karena
materi memaksa mereka meninggalkan profesi sebagai sastrawan! Kenapa?
Kini Zul tinggal sendiri di satu
rumah sederhana di bilangan Kayu Tangi. Sampai usia yang tidak bisa dikatakan
muda ini, dia masih hidup sendiri. Ini bukan keputusan dia, tapi yang namanya
jodoh belum ada, ya, mau berkata apa. Walau kini Zul sudah dapat predikat
seorang sastrawan, namun gelar itu tidak begitu berpengaruh terhadap kondisi
ekonominya. Zul tidak begitu memperdulikan gelar itu, baginya pemberian gelar
itu hanya sesuatu yang ironis buatnya. Mungkin orang bangga dengan julukan
sebagai sastrawan, namun entah kenapa Zul tidak terlalu merasa seperti itu.
Sekarang, ada yang hanya menghasilkan satu atau dua karya yang kebetulan
di muat dalam media nasional maka, ‘sastrawan’lah dia walau setelah itu dia tak
menghasilkan suatu karya sastra lagi.
Zul hanya punya satu tekad, berkarya dan berkarya. Mungkin karena
karyanya itulah yang jadi salah satu penopang hidupnya walau dia merasakan hal
itu tak cukup untuk nilai suatu karya.
Dan dia terkadang menjadi dosen
tamu pada beberapa perguruan tinggi, ya tentu saja bicara seputar sastra yang
dia sendiri pada dasarnya tak pernah belajar secara akademis tentang hal itu.
Dan si Zul kini lebih dikenal sebagai Pak Zul atau Om Zul oleh generasi muda.
Walau dia tak merasa belum terlalu tua untuk dipanggil Pak atau Om. Tapi itulah yang terjadi.
“Bisa saya Bantu?” Tanya seorang
satpam ketika Zul memasuki halaman kantor itu,
“Saya ingin ketemu Mbak Ati, ada?”
Satpam itu menatap liar ke arah Zul
yang hanya memakai baju kaos dan celana hitam serta dengan rambut panjang yang
terikat plus tas butut. Rupanya satpam ini tak mengenal sosok Zul, padahal ini
sudah yang kesekian dia melakukan kunjungan ke kantor ini sejak honor
tulisannya tak pernah dikirimkan lagi. “Anda bisa naik lewat tangga yang di sana, silakan…, ibu Ati
ada di lantai tiga…” kata si satpam bersikap ramah, mungkin sudah mengenal
siapa yang sedang bicara dengannya.
Setelah mengucapkan terimakasih,
Zul pun berlalu dan menaiki gedung bercat biru itu.
“Ah, Pa Zul rupanya. Silakan pak…”
kata seorang wanita paruh baya yang dipanggil Zul mba Ati sambil mempersilakan
duduk. Zul mangut-manggut sambil menarik bibir berusaha senyum. “Kemaren
tulisan sampeyan ya, yang dimuat? Saya lupa judulnya”.
“Tentang Lelaki Jompo, mba”
Beritahu Zul.
Wanita itu pun mengeluarkan sebuah
buku dan selembar amplop warna kuning, sambil mencari catatan judul cerpen Zul
dan menandainya. Setelah dia dapatkan, disodorkannya amplop itu bersama dengan
lembaran kwitansi, tapi sebelum itu, dia mengatakan sesuatu. “Maaf, ya pa’ Zul.
Dari hasil rapat direksi, diambil kebijaksanaan bahwa semua honor tulisan
baik itu berupa sastra, atau yang lain dipotong pajak sebesar dua persen. Dan
hal ini berlaku sejak awal bulan tadi. Jadi kami mohon kemaklumannya. Silakan
tanda tangan..”
Zul tak berkata apa-apa.
Disimpannya amplop itu dalam saku celana, dan Zul pun melangkah meninggalkan
kantor itu setelah dia mengucapkan
terima kasih pada wanita itu.
Matahari di cakrawala langit
menyeringai makin ganas. Burung pun mungkin enggan terbang membelah awan. Hanya
Zul, ya, Si Zul yang saat ini berjalan menembus panas matahari sambil
mengantongi amplop honor tulisan yang barusan diambilnya serta menghunjam debu
dan hingar bingar kendaraan bermotor. Dia memutuskan untuk singgah di Sabilal
Muhtadin menunggu Asar tiba dan sambil beristirahat memberikan hak mata.
Kebetulan malam ini dia ingin menikmati malam di sekitar masjid Raya ini.
Zul melihat isi amplop itu, dan dia
hanya bisa menghela nafas panjang untuk mengekspresikan hal itu. Alasan Zul merasuki kehidupan malam di dekat
masjid raya Sabilal Muhtadin berharap ada sesuatu yang mungkin jadi inspirasi
bagi karyanya. Dia tahu bahwa saban malam pasti ada saja kupu-kupu malam yang
berterbangan mengharap untuk ditangkap oleh para mahkluk malam lainnya. Dan
yang lucu, mereka berkunjahang dekat area tempat ibadah!
Panas siang itu juga rupanya cukup membuat
gerah tubuhnya yang sudah kurus. Zul berlalu, mentari tetap memancarkan
sinarnya laksana sembilu.
Selamat siang!
***
Lima belas menit
sudah Isya berlalu. Zul duduk di salah satu sudut trotoar jalan yang
mengelilingi masjid raya Sabilal, berdua. Berdua dengan bayang-bayang semu.
Muda-mudi mulai berkumpul,
nangkring di kendaraan masing-masing. Mereka membikin kelompok-kelompok yang
terpisah. Dengan gaya
rambut, pakaian, dan aksesoris yang saat ini lagi trend. Mereka penuh percaya
diri dan seakan dunia ini milik mereka. Asap jagung bakar pun membubul. Zul
hanya menatap nanar kepada mereka, sembari mengisap rokok kretek kesayangannya.
Zul tidak perduli, ini memang zaman mereka, guramangnya dalam hati.
Biarlah mereka menikmati masa mereka sendiri.
Tiba-tiba mata Zul tertuju pada
seorang wanita yang bertubuh sintal yang berada tepat di seberang jalan tempat
dia bertengger. Dandanan wanita itu terlihat jelas sangat menor, walau hanya
diterangi temaram lampu jalanan. Pakaian ketat membalut tubuhnya sehingga
lekukan tubuh dari atas sampai ke bawah begitu nampak. Rok mini yang dipakainya
kadang dengan sengaja dia singkap sedikit, entah sambil mukul nyamuk-lah,
atau apalah maksudnya. Zul tertarik dengan sosok yang baru ditemukannya malam
itu. Tak berapa lama, datang dua wanita lagi, yang satu mungkin seumur dengan
wanita itu tapi yang satu lagi berperawakan lebih gemuk dan lebih tua
kelihatannya. Mereka pun asyik bicara dan bercanda, dan terkadang suara tawa
kecil mereka mampu membelah deru mesin kendaraan yang lalu lalang. Mereka
seakan berusaha mengalahkan kefanaan dengan keceriaan
abstrak dan semu. Dan Zul kadang tersenyum melihat tingkah mereka.
Selama Zul memperhatikan ketiga wanita itu, entah sudah berapa banyak pemuda
yang menggoda mereka. Dan mereka menanggapi godaan itu dengan membusungkan dada
mereka atau pamer belahan pantat yang sengaja dibuat bahenol, sebahenol
mungkin. Ya. Mereka para kupu-kupu malam, atau yang lebih tepatnya pelacur.
Pelacur! Adakah kata manis yang
lebih pahit dari itu? Tapi dia tak bisa memungkiri kenyataan kalau istilah
itu memang benar, terlepas dari sopan atau tidaknya pengistilahan itu. Mereka
menjual keindahan tubuh dengan payudara yang sintal dan pintu selangkangan yang
selalu siap untuk dibuka dan dimasuki kejantanan setiap laki-laki hidung
belang. Harga diri mungkin bukan suatu yang sakral lagi bagi mereka. Pamer
batang paha dan konser puting susu mungkin adalah jurus utamanya. Setidaknya
itulah yang dilihat Zul. Mereka hidup dari satu ranjang ke ranjang lain, tidur
dari tilam yang satu ke tilam yang lain. Alasan mereka kebanyakan cuma untuk
pemenuhan perut, tak lebih.
Zul meninggalkan pikiran yang kini
mengerogoti kepalanya untuk sesaat. Ternyata ada sebuah mobil menghampiri
mereka. Tak lama, entah apa yang terjadi atau apa yang mereka bicarakan, mobil
itu melesat menembus kelam malam. Dengan berlalunya mobil itu, dua orang wanita
telah mereka bawa serta, yang tertinggal cuma seorang wanita gemuk tadi. Dan
tak lama wanita itu pun beranjak pergi. Zul kembali bertanya-tanya, kira-kira
berapa tarif yang mereka patok. Mungkin lima
puluh ribu, seratus ribu atau malah dua puluh ribu satu malam. Kalau benar
begitu, betapa murahnya sebuah harga diri dan kehormatan. Mereka mengorbankan
sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya hanya untuk nilai materi yang
mungkin hanya bisa untuk beli kacang!? Ironis.
Zul diliputi berbagai pertanyaannya
sendiri. Pelacur, kehormatan mereka hanya seharga satu bungkus kacang!?. Mereka merelakan hal itu, bahkan mungkin
menikmati, atau mereka terlalu bosan untuk tenggelam dalam kesedihan menghadapi
kenyataan hingga menutupi semua itu dengan mencoba menikmatinya? Apakah itu
sudah jadi takdir mereka? Kalau iya, kenapa wanita yang lain tidak seperti
mereka? Atau malah mereka yang tidak bisa dan tidak mempunyai kesempatan
seperti wanita lain yang bekerja di kantoran? Atau keadaan yang memaksa mereka?
Atau karena kita yang membuat mereka seperti itu? Karena ‘kepedulian’
kita yang memaksa mereka berstatus sebagai pelacur!? Entahlah….
Aku? Zul bertanya pada dirinya
sendiri. Ya. Siapa aku? Aku hanya
seorang dari sekian banyak yang mencoba untuk hidup dengan menulis dan
menghasilkan karya. Dan melacurkan karya itu ke berbagai media demi
penyambung hidup dan kebutuhan perut. “…satu hal lagi jangan kau lupa,
jangan yang kau kejar hanya soal duit dan duit, apabila kau punya tujuan hanya
ingin mencari duit lewat karyamu, sebaiknya kau pikirkan kembali eksistensimu
dalam bersastra di sini, di Banjarmasin…” tiba-tiba kalimat Damang yang
pernah disampaikan dulu pada Zul terngiang kembali di kepalanya.
Selama ini aku terus berkarya, tapi
apa yang kudapatkan? Nilai materi yang tidak seberapa. Begitu minimkah
perhatian serta penghargaan masyarakat dan pemerintah negeri ini terhadap
sastra? Hingga kami yang harus menghidup-hidupkan sastra, bukan sastra yang
menghidupi kami!? Kami melacurkan diri, bersedia mengorbankan waktu,
tenaga, uang dan harta benda hanya untuk mengais secercah harapan? Ya. Harapan
karya kami diberi penghargaan yang sesuai!
Apakah kami perlu minta
penghargaan itu? Kalau memang begitu, kami juga tak lebih dari para PELACUR! Para wanita malam itu diasingkan, kami pun diasingkan!
Mereka tidak diperhatikan, kami pun termasuk di dalamnya! Mereka menjual harga
diri dan kerhormatan mereka dengan harga yang teramat murah, kami pun
menjual sesuatu yang – mungkin – paling berharga pada diri kami – karya
sastra – dengan harga yang tak lebih mahal dari harga sebungkus nasi! Mereka
dianggap sampah masyarakat, kami
dianggap orang tak lebih dari itu! Mereka pelacur! Burhanudin Soebely, Eza
Thabery Husano, Rifani Djamhari, Jamal T. Suryanata, ASA, Aliman Syahrani, aku,
dan yang lainnya, apakah kami juga pelacur? Atau bahkan lebih parah?
Atau malah lebih baik…??
Malam semakin kelam berkelahi
dengan dingin. Rembulan pucat redup dirasuki kabut yang membelut. Kerisik arus
sungai yang membentang melantunkan lagu melankolis nan syahdu namun pilu. Dan
makhluk malam tetap sibuk dengan aktivitas masing-masing. Zul? Zul masih
termenung dan larut dengan pertanyaan-pertanyaan itu sambil memegang lembaran
uang honor tulisan yang tinggal separuh.
Selamat Malam! []
ALIMAN SYAHRANI
Lahir di Datar Balimbing, sebuah
kampung di hunjur kaki gunung Kantawan, HSS, tanggal 30 Desember 1976.
Mulai menulis sejak 1991. Bukunya
yang telah diterbitkan antara lain novel Palas
(Pustaka Banua, Banjarmasin, 2004), Misteri Terbunuhnya Seorang Hakim
(novel detektif) terdiri dari dua buku, Misteri Pesan Orang Mati,
Detektif Kocak vs Penjahat Romantis (kumpulan cerpen detektif), Catatan
yang Tersisa, Lingkaran-Lingkaran Retak (novel), Senja Kala, Suci (kumpulan
cerpen), Nyanyian Sepi, Shiluet Senja, Sajak Lampu dan Stanza (antologi
puisi).
BURHANUDDIN
SOEBELY
Lahir di Kandangan, pada tanggal 2
Januari 1957. Menulis sejak tahun 1979. Karya yang telah diterbitkan antara
lain Mata Air Goa Pulangka Pitu (bersama H. Zubir Mukti, Djumri Obeng,
dan Surasono, Penerbit PT Aries Lima, Jakarta, 1984), Cerita Rakyat
Kalimantan Selatan 2 (Grasindo, Jakarta, 1997, bersama Djarani EM
dan Iwan Yusie), La Ventre de Kandangan:
Mosaik Sastra HSS 1937 – 2003(Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Hulu Sungai Selatan, 2004), Bahara
Mingsang Idang Siritan (2005)
IWAN YUSI
Lahir di Kandangan, tanggal 2 Desember
1960. Mulai menulis tahun 1979, namun baru mempublikasikan-nya tahun 1981.
Sering memenangkan sayembara penulisan yang diselenggarakan oleh Depdikbud dan
LIPI.
Bukunya yang telah terbit antara
lain, Misteri Padang Galam (Penerbit Balai Pustaka, Jakarta),
Anak-Anak Balai (Penerbit Mitra Gama Widya, Yogyakarta, 1996), Mungkur
Kambing (Penerbit Mitra Gama Widya, Yogyakarta), Cerita Rakyat Kalimantan Selatan 2 (Penerbit Grasindo, Jakarta,
1997, bersama Djarani E.M. dan Burhanuddin Soebely)
MIZIANSYAH. J
Lahir di Tanah Bangkang, Kandangan,
2 Juni 1957. Menulis sejak tahun 1972, tetapi baru mempublisir karyanya di
tahun 1980. Antologi puisi yang sudah diterbitkan adalah Tanah yang Terbatas
(penerbit HPMB, Banjarmasin,
1982) dan Rumah Kecil (1984). Antologi puisi bersama yang memuat
puisinya antara lain Dahaga - B. Post 1981 (Penerbit Biro Informasi
Sastra Banjarmasin, 1982), dan Palangsaran (Penerbit Posko La-Bastari
Kandangan, 1982.
MUHAMMAD FARIED
Lahir di Kandangan
tanggal 19 Juni 1975. Mulai menulis sejak di SMAN Kandangan, tahun 1991.
P:ublikasi karyanya berupa cerpen dan puisi di tabloid Wanyi, tabloid Gerbang, SKH
Radar Banjarmasin dan SKH Banjarmasin Post.
Selain menulis
aktif di DPD KNPI Kab. HSS.
M. FUAD
RAHMAN
Lahir di Kandangan, tanggal 22
September 1983. Mulai menulis sejak masih bersekolah di STM Negeri Kandangan.
Publikasi karyanya antara lain pada tabloid Gerbang (Kandangan), SKH Banjarmasin
Post, dan SKH Radar Banjar
Selain menulis juga aktif berteater
bersama komunitas Posko La-Bastari Kandangan.
JONI
WIJAYA
Lahir di Kandangan, tanggal 15
Januari 1986. Tahun 2002, cerpennya Bintang di Atas Lanting menjadi
Pemenang I Lomba Menulis Cerita Pendek tingkat SLTA se-Provinsi Kalimantan Selatan yang diadakan oleh Lembaga Balai
Bahasa Banjarmasin.
[3] tas keranjang dari anyaman
rotan atau bambu yang disangkutkan di pundak
[4] tangguk: anyaman bilah-bilah bambu berbentuk melengkung yang
digunakan untuk menangkap ikan
[5] tumbu
[6] engrang
[8] rumah adat berbentuk panggung besar
[11] arwah para leluhur. Datu diyakini tidak mati, tetapi “mendewata”
[16] Jadi rupanya, sudah sampai waktunya. Sangiyang Wenang menetukan,
Dewa merestukan. Yang namanya benar dan jujur sudah tidak berharga. Rata-rata
telunjuk lurus kelingking berkait. Yang namanya adil dan bijaksana tinggal
kembang pembicaraan. Berbuih di mulut tapi seperti batu di hati.
[17] Kelir, layar wayang
[18] hilir-mudik
[19] bersedih; meratap
[20] pertapaan
[21] nama salah satu irama karawitan Banjar
[22] sinden; suluk
[23] belencong, lampu minyak pada pergelaran wayang
[24] gedebong pisang
[25] jelaga
[26] salah satu bait suluk wayang Banjar
[27] Salah satu desa di pinggiran kota
Kandangan
[28] Al Qur’an, Asy Syu’ara
(223-227)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar