dewan kesenian hulu sungai selatan

dewan kesenian hulu sungai selatan
logo

Kumpulan Cerpen





ORKESTRA
WAYANG


Aliman Syahrani
Burhanuddin Soebely
Iwan Yusi
Joni Wijaya
Miziansyah J
Muhammad Faried
M. Fuad Rahman
YS. Agus Suseno





















Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
2007

Tradisi penulisan cerpen di Kabupaten Hulu Sungai Selatan sudah terbilang tua. Penghujung tahun 1930-an, Maseri Matali dan Artum Artha telah menulis dan memublikasikan cerpen mereka, tidak cuma di media lokal tetapi juga di media luar daerah seperti Jakarta, Medan, Surabaya. Langkah mereka kemudian diikuti oleh Haspan Hadna, Hassan Basry, Merah Danil Bangsawan, Mohammad Arsyad, Mazdan Rozhany. Tahun 1950-an, D. Zauhidhie, Salim Fachry, Eza Thabry Husano, mengikuti jejak para pendahulu itu. Tahun 1960-an, A. Rasyidi Umar, Djarani EM., menyusul. Tahun 1970-an, Burhanuddin Soebely, Iwan Yusi, Muhammad Radi, menyambut estafeta. Tahun 1980-an, muncul Miziansyah J. Tahun 1990-an, ada Aan Maulana Bandara dan Aliman Syahrani. Tahun 2000-an, M. Fuad Rahman, Muhammad Faried, Joni Wijaya, menyeruak ke permukaan.
Dari data itu terlihat bahwa konsistensi penulisan cerpen di Hulu Sungai Selatan tetap terjaga. Paling tidak, di tiap dasawarsa ada saja muncul cerpenis yang ikut mewarna dunia sastra Indonesia, terutama dunia sastra Kalimantan Selatan. Hal ini tentu saja merupakan hal yang membanggakan, sebab tidak semua daerah bisa seperti itu.
Perjalanan cerpen dan cerpenis tersebut dirasa perlu dipetakan ke dalam sebuah antologi sebagai penanda keberadaan. Walaupun tidak selengkap yang diinginkan setidaknya pencarian dan semangat zaman dari berbagai “angkatan”. Sebagai sebuah antologi maka gaya cerpen dalam buku ini cukup beragam, mulai dari realis, ironistik, karikatural, sampai surealis. Tema yang diangkat juga bermacam-macam, memunguti masalah-masalah yang muncul di masyarakat, terutama masyarakat pada zaman di mana cerpenis itu hidup.

Neurosis

Oleh Aliman Syahrani


D
AN lelaki itu terpaksa dirawat di rumah sakit. Ia mendapat serangan penyakit aneh di kepalanya dan harus menjalani operasi secepatnya. Ia pun sudah pasrah. “Apapun yang bakal terjadi, ya, terjadilah,” cicit hatinya. Ia memang benar-benar telah pasrah.
“Jika saya masih boleh meminta, ya, Tuhan…,” suaranya tersisa pada saat zat anestesi mengaliri darahnya dan mengeleminasi semua-mua ingatannya. Tapi walau pun demikian, telinganya masih jelas menangkap suara-suara yang menggaung di sekitarnya. Ia merasa pikirannya masih terang. Bahkan tiba-tiba ia menyaksikan jasadnya sendiri terbaring di atas meja operasi itu, tak bergerak.
“Ya, Tuhan. Apakah operasi ini tidak berhasil?”
Ia terlengak menyaksikan jasadnya itu, yang tak bergerak sama sekali. Tapi tidakkah ia masih jelas mendengar gaung suara-suara di sekitarnya? Ia dapat menyaksikan kesibukan para dokter dan sejumlah perawat yang tengah menggerumuti jasadnya itu dan tampaknya begitu cekatan melaksanakan tugasnya masing-masing. Ia dapat mendengar detak halus monitor jantung di atas kepalanya, yang memecah kesunyian dan melahirkan kecemasan yang berkepanjangan. Bunyi ventilator yang membantu pernapasannya masih jelas tertangkap pula oleh telinganya. Dan gegas para perawat itu, sungguh jelas dalam auranya.
“Apakah saya masih hidup, ya, Tuhan? Bukankah saya tengah melakukan operasi?”

* * *
TAK pelak lagi, Ibram yakin kalau ada benjolan di kepalanya. Benjolan itu semakin kentara bila ia membaca surat kabar, mendengar radio, menonton televisi dan menggunakan heandphone.
“Bagai ada yang hendak tumbuh di kepalaku, dok. Dan benjolan itu membuat kepalaku seolah mau bertanduk,” cucur Ibram beberapa waktu lalu sebelum dioperasi pada Dr. Mugni, kawan akrabnya sewaktu kuliah dulu.
“Apa benar begitu, Bram?” tanggap Dr. Mugni setengah tak percaya.
“Benar, dok!” tekan Ibram dengan wajah serius. “Rasanya kepalaku ini akan bertanduk seperti kepala kerbau.”
“Jika memang seperti itu keadaannya, saya untuk saat ini belum bisa membantu banyak kepadamu. Saya cuma bisa menyarankan satu resep yaitu hindari saja keempat benda penyebab itu. Jauhi surat kabar, hindari radio, tinggalkan televisi dan lupakan handphone.”
“Dasar dokter, bisanya cuma memberikan resep tapi tak berani mengobati!” rutuk Ibram dongkol ketika pulang, hatinya masygul. “Mending aku cari dukun, walau pun tidak tahu penyakitnya, tapi dukun selalu berani untuk mengobati,” gerutu Ibram lagi setengah frustrasi.
Namun Ibram membatalkan niatnya untuk pergi ke dukun. Memang sejak dulu dia apriori perihal dukun-dukunan. Dia adalah seorang yang analis dan cenderung berpikir kritis, semua hal yang berbau mistis dan tidak realistis dia eleminasi jauh-jauh, sedangkan untuk menuruti anjuran Dr. Mugni dia ogah.
“Jika obatnya seperti yang dianjurkan dokter Mugni itu, untuk apa aku berkonsultasi dengannya. Toh yang demikian itu sudah terpikir juga olehku,” kesah Ibram sembari bermegah diri. “Ironisnya adalah, mustahil di abad David Beckham ini orang mampu bertahan hidup dan bisa sukses tanpa keempat benda itu. Dunia tanpa surat kabar, tanpa radio, tanpa televisi dan tanpa handphone adalah dunia yang tandus, dunia yang gersang, dunia yang mati. Tak ubahnya dengan planet-planet lainnya, planet yang tak ada kehidupan.”
Tapi dari hari ke hari benjolan di kepala Ibram kian tumbuh menonjol. Sekarang tak ada lagi sebuah topi pun yang dapat dikenakan dengan pas di kepala Ibram. Artinya benjolan di kepalanya tak bisa lagi disembunyikan, dan benjolan itu kini benar-benar tumbuh menjadi dua buah tunas tanduk seperti di kepala kerbau. Akhirnya, meski dengan perasaan setengah-setengah, Ibram kembali mendatangi Dr. Mugni. Dorongan untuk kembali memenumui Dr. Mugni adalah semata karena Mugni adalah kawan baiknya sedangkan kepercayaannya kepada mitos dokter yang serba bisa, serba ahli, serba tahu sudah lama sirna. Ia apatis terhadap segala yang mapan-mapan.
“Kebanyakan pasien memang orang bebal,” sindir Dr. Mugni sinis menyambut kedatangan Ibram. “Saya pernah mempunyai seorang pasien penderita serangan jantung dan tekanan darah tinggi serta penyakit kronis lainnya. Satu-satunya obat yang bisa saya berikan adalah, berhenti merokok dan jangan makan makanan yang berkadar lemak tinggi. Tapi pasien langganan saya itu tak menggubrisnya. Dia menginginkan saya menjadi tukang sulap dan menyulap penyakitnya agar sembuh total. Akhirnya dia kuberi kapsul. Memang kapsul itu bisa mengatasi serangan jantung tapi itu cuma sementara. Dan bila penyakitnya kambuh, dia datang lagi ke sini dan kuberikan lagi kapsul yang sama plus beberapa resep hiburan. Ya, aku cuma memberikan beberapa resep hiburan. Dokter-dokter sekarang harus mampu menjadi tukang hibur, kalau tidak, dia tak akan punya langganan tetap,” Dr. Mugni berhenti sebentar. Tangannya menghunus sebatang rokok, menyulut ujungnya dan kemudian menyesapnya dalam-dalam. Asap segera mengepul keluar dari dua lubang hidungnya dan mengembang memenuhi ruangan. Dr. Mugni menatap Ibram dengan pandangan hiba, dia kemudian menyambung, “Nah, seperti itu juga denganmu, kau telah kuberi obat yang sebenarnya tapi kau tidak melaksanakannya. Sekarang kau akan kuberikan resep lain, yakni kau harus menggergaji tanduk di kepalamu itu. Kau harus melaksanakan operasi. Sekarang terserah apa pendapatmu. Setuju atau tidak itu urusanmu. Ingat, aku hanya seorang dokter, bukan tukang sulap.”
Pulang dari klinik Dr. Mugni, Ibram tambah mendongkol.
“Kepalaku digergaji? Ah, dasal sial! Kalau hanya itu resepnya, untuk apa aku berkonsultasi segala? Toh pikiran seperti itu sudah lama terbayangkan olehku. Ah, dasar dokter. Dia hanya mampu menjelaskan apa yang sudah dipikirkan pasiennya,” salak Ibram memuntahkan serapah.
“Tak seorang pun berhak mengatur kepalaku. Aku merdeka sepenuhnya atas milikku yang satu-satunya ini. Aku bebas menentukan potongan rambutku, bebas menentukan jenis topi dan segala macamnya. Pokoknya, sebelum ada undang-undang yang melarang orang yang mempunyai tanduk di kepalanya melaksanakan kegiatan rutinnya, aku akan tetap bekerja. Kalau toh nanti keluar juga undang-undang demikian; yang melarang orang yang mempunyai tanduk di kepalanya berkeliaran; yang melarang orang-orang yang kepalanya bertanduk melaksanakan aktivitasnya, aku akan tetap melaksanakan aktivitas rutinku. Akan kubuktikan bahwa aku mempunyai kepala, bahwa aku berhak penuh atas kepalaku. Pokoknya, kepalaku ini adalah satu-satunya milikku yang paling berharga dan aku berhak penuh atas perlakuan apa pun yang akan kuberikan padanya,” tekad Ibram.

* * *

BEGITULAH. Akhirnya Ibram membiarkan saja kepalanya ditumbuhi tanduk. Dengan tanduk di kepala, dia berusaha untuk bersikap objektif. Dia mengeleminasi semua cemoohan orang lain, dia cuek dengan tertawaan orang lain, dia tidak ambil peduli keprihatinan orang lain. Pokoknya dia berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah hak prerogatifnya sebagai seorang yang punya kepala; apa yang dilakukannya adalah bukti kemerdekaannya.
Ibram pun tetap melaksanakan aktivitasnya. Dia tetap masuk ke kantor di mana ia bekerja, dia tetap minum kopi dan ngobrol di warung kopi, dia tetap membaca surat kabar, mendengarkan radio, menonton televisi dan menggunakan handphone.
Namun konsekuensi logisnya tanduk di kepala Ibram juga semakin tumbuh membesar. Beberapa bulan kemudian, tanduk itu menjadi bercabang seperti tanduk menjangan. Kini di kepalanya sudah menancap sepasang tanduk bercabang yang begitu kokoh.
Ibram benar-benar kehilangan semua kepercayaan dirinya, semuanya. Dia benar-benar kehilangan gairah. Dia frustrasi! Dia tak tahu apa yang harus diperbuat atas kepalanya. Memang, sebenarnya masih ada keinginannya untuk menemui Dr. Mugni, tetapi niat itu diurungkannya. Dia apatis terhadap semua nasehat.
“Dokter Mugni tak memberiku apa-apa. Dia hanyalah seorang dokter. Dokter, di mana pun di dunia ini, tidak lebih dari orang-orang yang sok tahu tapi tak benar-benar mengetahui,” rutuknya pahit.
Walau sepasang tanduk yang tumbuh di kepalanya telah bercabang-cabang seperti tanduk menjangan, tapi pertumbuhan itu tetap saja bertambah. Kian hari pertumbuhan itu semakin menjadi.
“Tindakan apa yang harus kulakukan sekarang? Dengan sepasang tanduk di kepala yang terus tumbuh tanpa dapat dikendalikan, apakah aku masih bisa berkata bahwa aku punya hak penuh atas kepalaku? Apakah aku masih bisa berteriak bahwa aku merdeka sepenuhnya atas kepalaku? Ah, semakin banyak saja hal yang tak bisa kuatasi meski hanya untuk diriku sendiri. Aku mesti berbuat sesuatu atas kepalaku ini,” pikir Ibram benar-benar frustrasi.
“Biarlah. Biarlah dokter Mugni merasa besar kepala karena aku mengikuti anjurannya. Apa boleh buat, kejujuran, apa pun bentuknya, harus berhadapan dengan kejujuran lain, dan untuk mengatakannya harus ada polesan, harus ada bedak. Tak ada kejujuran yang benar-benar jujur. Tak ada kejujuran yang berdiri sendiri. Meski aku jujur mengatakan bahwa aku mengoperasi kepalaku karena inisiatifku sendiri tapi klaim dokter Mugni yang mengatakan bahwa dialah yang menyarankannya tak dapat aku bantah,” gerucau Ibram semakin frustrasi.

* * *

TAPI operasi yang dilaksanakan Ibram sungguh di luar dugaan. Ia tak mau sepenuhnya operasi itu persis seperti apa yang dianjurkan Dr. Mugni. Operasi itu adalah manifestasi lain dari inisiatifnya sendiri.
Ibram merakit sebuah bom kecil dan memasangnya dalam mulutnya. Kepada kawan-kawan dekat dan rekan-rekan sekerja serta beberapa relasi yang diundangnya, dia berkata:
“Aku yakin, kita semua pernah mengalami hal yang sama. Apa yang aku alami ini mungkin juga pernah kawan-kawan alami. Tetapi masing-masing kita menimbulkan efek yang berbeda. Mungkin masing-masing kita mempunyai cara tersendiri untuk mengatasinya. Kawan-kawan tidak menimbulkan efek seperti yang aku alami karena kalian mempunyai cara untuk mengatasinya. Aku tak bisa mengatasinya maka beginilah jadinya. Namun apa pun yang terjadi biarlah terjadi dan aku tak akan menyesalinya. Aku mengambil jalan ini semata-mata untuk membuktikan bahwa tak seorang pun berhak atas kepalaku. Akhirnya kepada kawan-kawan aku hanya bisa  minta maaf. Mudah-mudahan apa yang kita lakukan adalah amal yang bernilai ibadah untuk kita. Kita, pada akhirnya, hanyalah menanggung apa-apa yang kita lakukan. Apakah itu dosa atau pahala. Dan kita, pada akhirnya, hanyalah berhak memanen buah dari benih yang kita semai.”
Kemudian dengan tenang Ibram menarik picu bom yang ditanam di mulutnya itu. Maka tak ayal, dengan bunyi gedebyar, kepalanya yang bertanduk itu meledak bagai balon kena tusuk. Tapi aneh! Meski kepalanya telah berai berkeping-keping, jantung Ibram tetap berdetak. Diyakini Ibram masih hidup, oleh keluarga dan kawan-kawannya tubuh Ibram segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Ibram sendiri tak habis pikir, ia dapat melihat dengan jelas keluarga dan kawan-kawan dekatnya yang mengangkut tubuhnya dalam mobil ambulance dengan wajah-wajah tegang, dan akhirnya tubuh itu dibaringkan di bangsal rumah sakit begitu senyap.
“Ya, Tuhan, mengapa saya masih hidup? Bukankah saya telah meledakkan kepalaku?”
Sementara itu, di antara tetelan-tetelan daging kepala Ibram yang hangus bagai disate itu para dokter dan perawat menemukan juga lempengan-lempengan kecil seperti cip komputer.
Ketika dibaca ternyata di dalamnya tersimpan memori yang bertuliskan beberapa nama. Tumpukan nama-nama di dalam cip memori itulah, yang, berdasarkan tulisan terakhirnya yang tersimpan di dalam laci meja kerja Ibram, menyebabkan kepalanya sampai ditumbuhi tanduk sedemikian rupa.
“Setiap aku menonton televisi, membaca surat kabar, mendengarkan radio dan menggunakan handphone,” demikian isi tulisan itu, “Di kepalaku seakan teronggok taik. Taik itulah yang menyebabkan kepalaku tumbuh dan bertanduk. Aku berusaha mengeleminasi agar nama-nama itu tak disebutkan, tapi di mana dan kapan pun aku berada nama-nama itu selalu ada. Dia dijadikan ‘jimat’ oleh sebagian orang untuk menghalalkan apa yang mereka inginkan. Aku muak. Kepalaku dijadikan WC untuk menampung nama-nama itu. Aku tak mau hal itu terus berlanjut. Kepalaku bukan WC yang bisa menampung apa saja; untuk mendengarkan kata-kata taik, untuk menyimpan nama-nama taik, untuk mengamankan rahasia-rahasia taik, untuk menyembunyikan rencana-rencana taik, untuk memback up data-data taik. Sekali lagi kukatakan bahwa kepalaku bukanlah WC!”
Akhirnya jenazah Ibram dikebumikan tanpa prosesi dan upacara. Orang-orang yang hadir melayat tercenung. Tiba-tiba saja di kepala mereka seakan teronggok taik, tapi untunglah mereka semua memakai peci. M

Petualangan Zikir

oleh Aliman Syahrani



ADA momen puitik dalam petualangan yang tidak bisa kueleminasi dan sekaligus tak dapat kuungkapkan lewat fiksi, ketika aku mengadakan perjalanan ke Loksado.
Perjalanan menuju Lokasado adalah perjalanan menuju kenangan. Menuju Loksado berarti mendatangi tanah tumpah kelahiran. Trenyuh juga perasaanku melihatnya sekian lama masih dibiarkan terlelap dalam tidur di alam keterbelakangan. Padahal hutan-hutannya sudah mulai dirambah, dan buminya semakin digaruk karena memendam harta. Apapun dalih yang akan dikatakan orang tentang desa itu, Loksado adalah tanah tumpah kelahiranku. Bumi Loksado telah cukup banyak memberikan miliknya yang paling berharga untuk kemakmuran daerah ini.
Terletak 185 kilometer dari Banjarmasin dan 40 kilometer dari Kandangan, desa Loksado berada dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, terpencil di lereng bukit. Sungguh, inilah perjalanan penyiksaan, terutama setelah jarak 165 kilometer dari Banjarmasin ditambah 25 kilometer dari Kandangan kutempuh dengan naik mobil. Lima belas kilometer selebihnya, jika hari tidak hujan, bisa dilalui dengan ojek gunung. Kata orang pedalaman Loksado, bukah baduduk. Artinya, duduk berlari dengan ojek di alam terbuka.
Selama tiga atau empat jam menunggang ojek, perjalanan berubah jadi petualangan, karena jalan setapak hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Naik turun bukit, menerobos hutan tropis basah di kaki gunung Kantawan. Kawanan burung berkicauan menyejukkan hati. Tapi, ketika jalan menyempit curam dan semakin terjal, dengan jurang menyeringai di kanan-kiri, hiiih… kuduk bergidik jadinya. Pebukitan, padang ilalang, hutan karet, berganti dengan sungai-sungai kecil, terkadang melintasi jalan. Lalu hutan berpohon tinggi lebat dan besar-besar menunggu, siap menelan. Aroma bumi basah rain forest[1] – karena sinar matahari tak kuat menembus dedaunan – menyergap hidung. Tubuh terasa segar dan telinga menangkap gemersik daun bambu, membuat semua ilusi masa kecilku kembali menguar.
Sungai Amandit menggemercik. Jalan meliuk-liuk, mengitari perbukitan. Sesekali aku berpapasan dengan penduduk setempat, yang lelaki menyelipkan parang[2] di pinggang, sedang yang wanita menggendong sambil menyusui bayinya. Mereka selalu membawa butah.[3] Terkadang mereka sekeluarga kupergoki di sungai kecil, tengah manangguk[4] atau memasang lukah,[5] mencari ikan dan udang.
Desa Hulu Banyu terlewati, kemudian Ni’ih. Berarti sudah setengah jalan. Semua desa di sini bersuasana sama. Sunyi. Hanya anak-anak yang bermain tungkau[6] atau gundu dari batu, dan wanita penjaga warung atau pencari kutu rambut serta orang-orang tua mahambit rumbia.[7] Tapi mereka ramah, tak mencurigai setiap pendatang. Polos, bersahabat.
Melewati desa Kukundu, di sana ada sebuah rumah adat berbentuk panggung besar yang dinamakan rumah balai[8] yang ditempati beberapa keluarga sekaligus. Di waktu senja hari penghuni balai tersebut berkumpul di ruang tengah di dalam balai, mendiskusikan apa saja yang akan dikerjakan esok hari. Malam harinya, sang damang[9] sibuk merapal dan mendaras mamang,[10] mantera-mantera serta do’a-do’a keselamatan bagi arwah para Datu[11] di alam surga. Mereka juga terbiasa memberi sesajen bagi para Datu, demi kesuburan ladang berpindah yang ditanami padi.
Dua kilometer lagi Loksado tergapai. Namun, jalan tanah merah menurun amat curam. Menanjak sedikit. Jembatan kayu gantung berada tinggi dari permukaan sungai Amandit yang jernih berarus keras. Hiih…, terasa gamang ketika melewatinya. Lepas dari sini, keindahan dan keramahan segera menyilak di depan mata.

* * *

BERKIBLATKAN keperawanan pegunungan Meratus, Loksado berada di buaian lembah dan bukit. Sewajana mata menatap, hutan lebat meriap hingga jauh. Sore hari, Loksado berselimut dingin. Malamnya, desa disungkup kelambu gelap. Listrik tak ada, petromak pun jarang. Hanya lampu culuk[12] atau senter berkelipan lemah. Untunglah, malam itu ada pagelaran wayang urang Banjar, yang ditanggap setahun sekali, menjelang hari pasar esoknya.
Penduduk mengalir berbondong dari segala penjuru desa untuk menyaksikan karasmin[13] wayang, keluar dari rumah-rumah yang merapat padat. Semua tumpah ke tanah lapang balai desa, bertahan hingga wayang berakhir menjelang pagi.
Begitu bubar, orang-orang kembali melesap dalam kegelapan. Tinggallah kesunyian mendenyut dalam gelap. Langit kelam. Kabut luruh. Angin berdetas. Bulan tiada. Rasa sepi amat mencengkram. Suara jengkrik mengkerik menyayat telinga. Di kejauhan, sungai Amandit tak henti berkecipak. Aroma daun kayu manis yang menyengat membuat suasana keterpencilan serasa semakin meracik. Segala berubah saat pagi merobek gelap. Penduduk kembali bergerak, menuju pasar. Keadaan hiruk pikuk menyemplak di sana.
Loksado sungguh indah bagi pendatang. Loksado memang bagaikan dua sisi uang logam yang masing-masing menawarkan harga bagi para wisman mau pun turis lokal. Perjalanan menuju Loksado berarti perjalanan menuju keindahan. Loksado dengan dua daya pikat keperawanan alamnya yang eskotis serta tradisi adat yang begitu dramatik sungguh potensial sebagai obyek wisata. Loksado dengan dua daya pikat tersebut tak urung membuat wisman dan turis lokal datang tidak hanya sekali. Dilihat dari usianya, kebanyakan dari mereka memang berjiwa petualang.

* * *

UJI keberanian sesungguhnya adalah, tentu dengan mengeleminasi semua rasa gentar, aku meninggalkan Loksado lewat sungai Amandit. Mendengar gemuruh suaranya saja, hatiku sudah menguncup. Apalagi perjalanan ditempuh dengan lanting,[14] yang telah kupesan sehari sebelumnya. Baru menjejakkan kaki di lanting saja aku sudah memindai keganasan arusnya. Dalam sebentar, lanting sudah melesat.
Aku bergidik. Tapi si tukang rakit malah tersenyum. Akhirnya kami bersitatap dalam diam. Ini bisnis macam apa? Itu negosiasi macam apa? Pertanyaan metropolitan itu membaur dengan deru arus sungai yang keras – pegunungan yang tegak menjulang – dan suasana batin yang khas petualang. Semuanya berbuar dan mengusik tidur fiksiku yang lelap sekian waktu tanpa bisa mengungkapkannya. 
Lanting – dalam mitos Dayak Lokasado – adalah kesederhanaan, keselarasan – bahkan kebebasan. Di mana orang bisa melabuh ego nyali – mengeleminasi kepenatan ragawi – tempat untuk mengetemudapatjumpasuakan esensi diri – di mana orang bisa berpetualang dengan bebas dan bercengkerama lepas dengan alam. Tak ada ketergesaan – (mencapai tujuan) – bahkan “silaturrahim” dengan si tukang rakit bisa terjalin secara spontanitas. Dan aku malah bukan mengalami petualangan, tetapi menikmati suatu pariwisata.
Ketika rakit mulai terpental-pental dan terkadang tertelan air, si tukang rakit sibuk mengendalikan rakit dengan pinanjak[15] untuk menghindarkan rakit dari batu-batu besar yang bertonjolan dari dasar sungai. Ada semacam ketenangan dan rasa percaya-mempercayai yang harus tumbuh antara aku sebagai penumpang dengan tukang rakit, antara tukang rakit dengan rakitnya, antara tukang rakit dengan daya tahan dan kewaspadaannya, antara kemahiran dan pengalaman “menyopir” si tukang rakit dengan arus tak pasti dan serba tak terduga dan mendadaknya nasib lanting-nya, penumpang dan dirinya.
Dan karenanya, mau tak mau, harus selalu ada jalinan komunikasi dan rasa percaya-mempercayai (mungkin juga hanya “tempat mempercayakan diri”) antara aku (sebagai penumang) dan tukang rakit yang menjadikan tumbuhnya keakraban dan keintiman. Sekaligus jalinan komunikasi dan rasa percaya-mempercayai (lebih tepatnya memang “tempat untuk mempercayakan diri”) antara “sopir” khususnya dan para “penumpang” umumnya (karena sebuah rakit bisa saja dimuati enam sampai tujuh orang) dengan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Menentukan. Dengan Allah SWT, dan karenanya petualangan pun jadi zikir yang intens.
Sungai yang berkelokan menembus hutan lebat, tebing-tebing yang menjulang, bahaya yang serasa mengancam dari segala penjuru, dan pepohonan besar tinggi serta belukar bambu yang berdiri tak bergerak bagai barisan mambang yang menakutkan, adalah prolog bagi satu perjalanan ketika melintasi sungai Amandit dengan jeram-jeramnya yang curam sejak Lokado ke Kandangan. Sebuah pemandangan fisik, sebuah momen puitik yang khayali – meski kesannya terus melekat – sebelum memasuki momen puitik yang lebih batiniah – sebuah momen religik. Momen religik dalam petualangan, yang terkadang luput dan tak terhayati karena tuntutan zaman yang menagih serba siap, serba instan, serba tepat waktu dengan kepastian dan kecepatan tinggi. Taksi, bus cepat ber-AC, dan bahkan kereta api – selain mobil pribadi dengan sopir terpercaya – adalah kesempatan untuk melakukan perjalanan tanpa momen religik, tanpa kekentalan zikir  di satu sisi dan tanpa keakraban antara sesama manusia – “penumpang” dan “sopir” – seperti di lanting. Satu pengeleminasian emosi yang tak tertakar oleh mitos piknik, rekreasi, petualangan atau bahkan pariwisata.
Enam jam berada dalam kecemasan, ketegangan, kelelahan dan “ketakutan”, akhirnya lanting meluncur meninggalkan pegunungan Meratus. Di desa Lumpangi rakit bersandar, setelah memenangkan jeram-jeram sungai Amandit. Dari situ, ojek gunung telah menanti, siap mengobok-obok tubuhku lagi menuju Kandangan.
Semakin jauh dari Loksado, semakin kental keindahan desa itu membingkas dalam kenangan. Semakin jauh dari Loksado, semakin sampak momen puitik menumbuk dalam nostalgik. Ý































ORKESTRA WAYANG


Oleh Burhanuddin Soebely




1


Hampir tengah malam. Suara gamelan terus mengalun, menggetarkan serbuk-serbuk udara : kadang melembut bagai langkah peri di akar malam, kadang pula menyentak laksana derap kaki-kaki kuda berpacu. Angin semilir. Dedaunan risik. Sindin menyusup, nestapa nadanya. Dan kemudian kedengaran suara sang dalang, agak serak tapi nyaring :
Jadi rupanya, sudah hampai wayahnya. Sangiyang Wanang punya mau, Diwa marastuakan. Nang ngaran bujur wan jujur sudah kada baharaga. Rata-rata tunjuk lurus kalingking bakait. Nang ngaran adil wan bijaksana tinggal kambang pandiran. Babuih di muntung tapi nang kaya batu di hati…. [16]
Sosok-sosok pemimpin yang cuma berpikir tentang diri sendiri nampak bertitah ini-itu di kalir[17]. Ksatria-ksatria yang tak berperilaku satria, linjang-linjang[18] mendominasi pagelaran. Jilat-menjilat, sikut-menyikut, injak-menginjak, dan sekian intrik kekuasaan lainnya diceritakan sang dalang dengan amat memikat. Lihatlah, Semar--sang pengayom-nampak marista[19] di bawah sebatang pohon miskin daun yang tumbuh di tengah padang Lara Cinta Dilaga. Darmakusuma tercenung di Kayangan Tunjung Maya. Arjuna membawa hati dengan bertapa di peratapan[20] Arga Samiru.

2

Tengah malam. Irama ayakan miring[21] dan sindin[22] nestapa kian menyigi hati. Di bawah sebatang nyiur gading, di atas daun pisang lapik duduk, mendadak saja aku disungkup suasana misterius yang khayali. Aku seperti dibungkus balut kedap suara. Pikiran dan perasaanku mati beku. Lalu kulihat uap pikiran dan perasaan itu bergerak membawa ingatan. Membubung. Menipis. Dan lenyap.
Lalu kulihat sebuah kursi : anggun, antik dan cantik. Kursi yang biasa kududuki. Kursi tempatku menyanggah dan menghempang arus pemikiran maupun perbuatan yang kuanggap sudah ke luar dari rel cita-cita kemerdekaan negeri ini. Kursi yang terbahak dan mengejekku lantaran aku kemudian ditendang darinya melalui alasan paling populer dan klasik : telah ke luar dari garis partai, tak bisa bekerja sama dengan anggota dewan lain dan para Muspida.
Kemudian, sekonyong-konyong gendang telingaku digetarkan oleh suara tangis. Tangis siapa ini? Kenapa begitu banyak suara tangis, seakan orang berjuta menangis bersama? Apa yang ditangisi? Menangisi siapa?


3

Lewat pukul satu. Gamelan sirap. Waktu istirah tiba. Dalam seringai bulan tanduk, aku melangkah menuju panggung. Para nayaga duduk santai, menikmati kopi. Asap rokok berkepulan, mengiring asap balincung[23]. Aku naik ke panggung, duduk dekat jajaran wayang. Sang dalang menoleh. Kami bertatapan. Keningku berkerut. Senyum renyah yang dilemparkannya kusambut dengan mulut ternganga. Betapa tidak, manusia di depanku itu adalah manusia yang muncul dari kepingan masa lalu : seorang tokoh kampus yang dulu begitu populer di Yogya.
“ Apa kabar, Bung? “ sapanya sambil mengulurkan tangan.
“ Terus terang saja, aku kaget…” sahutku setelah jabat tangan kami lepas. “ Kau nampak sedemikian berubah…”
Ia tersenyum halus. Tangannya menjangkau bungkus rokok. Kebiasaan menyulut rokok sebelum memulai pembicaraan serius agaknya masih bersisa di dirinya.
“ Sekeluar dari kehidupan kampus, aku mencari ilmu yang lebih dekat dengan kenyataan kehidupan. “ ujarnya setelah menghembuskan asap rokok. “ Aku berguru pada mendiang Dalang Tulur di Barikin, mencari nilai-nilai hakiki untuk menjangkau kesunyataan. “
“ Dan engkau kemudian menjadi dalang? “
Ia mengangguk berkali-kali. Aku pun menarik nafas panjang berkali-kali. Mmhh, seorang sarjana sosial-politik yang lulus dengan predikat summa cum laude ternyata memilih kehidupan yang sama sekali tak pernah kubayangkan akan terjadi padanya. Seorang lelaki yang dadanya dibuncahi idealisme ternyata membiarkan ijazah sarjana yang dikejarnya bertahun-tahun lapuk dimakan rayap. Seorang tokoh yang sering berorasi di berbagai mimbar dan podium, yang memimpin sekian banyak demonstrasi mahasiswa, kini tampil di belakang lintangan gadang[24], di antara jejeran wayang, di bawah latat[25] balincung.
Selintas terbayang saat-saat kami bergelut di kampus dulu. Tahun-tahun yang sibuk, keberanian-keberanian yang mengagumkan. Ah,  di manakah sekarang idealisme yang membuncah bak gelombang mendampar karang itu? Di manakah tersimpannya bekas-bekas pamflet yang berujar tentang kebenaran dan keadilan itu? Hilang ke mana gelegar pekik kemanusiaan yang senantiasa memadu dengan derai-derai cemara Bulak Sumur dulu? Di manakah lenyapnya perdebatan-perdebatan pada malam-malam Malioboro?
Kusulut rokok. Dari balik tabir asap kupandangi wajahnya. “ Nampaknya pekerjaanmu sekarang ini jauh berbeda dengan hal yang kau iming-imingkan semasa di kampus dulu. “ ucapanku bernada menuding. Sebuah hal yang biasa muncul pada malam-malam Malioboro dulu. “ Kau bilang bahwa nanti kau akan menjadikan dirimu sebagai start point dalam perubahan kemasyarakatan. Kau bilang akan mencoba menumbuhkan paradigma sosial baru. “ Mataku lekat ke matanya. “ Tapi apa yang kau lakukan sekarang ini? Kau lari, Bung! Bergegas meminggir ketika roda zaman deras menggelinding! “
Ia ketawa perlahan. “ Kau salah, Bung! “ sahutnya tenang seraya menjentikkan abu rokok. “ Aku malah amat setia dengan apa yang kita iming-imingkan dulu. Cuma jalan yang kuambil berbeda. “ Diisap dan dihembuskannya asap rokok. “ Dengan menjadi dalang, aku merasa amat dekat dengan rakyat jelata. Aku kian mengerti akan mereka. Aku kian banyak menimba kehidupan mereka… “
“ Apa kaitannya dengan iming-iming kita dulu? “ tukasku.
“ Lewat wayang, aku memberikan berbagai suluh. Lewat wayang, aku menuturkan perlunya perubahan-perubahan pandangan. Semuanya berlangsung secara tak langsung, lewat jalinan cerita, lewat amsal-ibarat, lewat contoh soal kehidupan. Kujadikan diriku sebagai penerjemah zaman, penuntun ke masa depan. “
Ia berhenti sejenak, meneliti penerimaanku. “ Kupikir hasilnya jauh lebih bagus tinimbang aku datang ke suatu desa macam pejabat yang memberikan pidato resmi. Pidato yang kadang membosankan serta bikin mengantuk karena disampaikan dengan bahasa formal. “
Aku diam. Dulu kupikir aku merasa amat mengenal ABC-hidupnya, tapi nampaknya ada satu titik halus yang luput dari pengamatan. Dan titik halus itulah yang menimbulkan adanya jarak sekarang ini, sebuah jarak psikologis.
“ Apa engkau merasa bahagia dengan kehidupanmu sekarang ini? “ tanyaku kemudian.
“ Ya, amat bahagia…”
“ Maksudku…secara materi…”
“ Kebahagiaan tidak bisa diukur dengan materi semata, Bung!. Agaknya kau telah melupakan kaidah itu! “ suaranya terdengar tajam. Ujung bibirnya terjungkit, seperti mengejek. Aku merasa bagai kena tampar. Kubuang wajah, pura-pura menjentik abu rokok ke bawah panggung.
“ Kau sendiri bagaimana? “ ia balas bertanya. “ Kudengar kau telah berhasil duduk di Dewan…”
Aku tersenyum sempil. Kaca-kaca diriku serentak kembali memantul bayang.
“ Baru seminggu aku dicopot dari situ…”
Ia ketawa. “ Kenapa, Bung? “
“ Yaahh, karena mencoba setia dengan iming-iming masa lalu itu…”
Ia ketawa lagi. “ Wajahmu nampak rusuh. Agaknya hal itu memukulmu. Kau menyesal? “ nada suaranya terasa menghunjam ke hati.
Aku cuma mengangkat bahu. Menenggelamkan diri ke dalam asap rokok.
“ Tahukah kau kenapa Tuhan menciptakan akal, pikiran, serta perasaan pada manusia? “
Pertanyaan itu membuat keningku berkerut. Ia menepuk bahuku, berdiri sejenak, memilih beberapa wayang, lalu duduk kembali.
“ Lihatlah, Bung. “ katanya sambil menancapkan sebuah wayang ke gadang. “ Ini Rahwana, perlambang keangkara-murkaan. Ini Durna, perlambang kelicikan. Ini Suyudana, perlambang keserakahan. Ini Sangkuni, perlambang kemunafikan. Ini Bisma, perlambang kesetiaan pada negeri. Ini Darmakusuma, perlambang kekudusan. Ini Janaka, perlambang keberanian. Ini Gatotkaca, perlambang pengorbanan. Ini Semar, perlambang pengayom dan pengabdian tanpa pamrih….”
Ia menyebut sekian banyak nama wayang dengan perlambangnya masing-masing. Aku termangu, disungkup rasa tak mengerti. Mataku menatap sekian banyak wayang yang berdiri tumpang-tindih sehingga membuat bayang-bayang campur-baur di kalir.
“ Dan dirimu, Bung, hatimu, adalah kalir itu. “
Keningku tambah berkerut. Kutatap ia dengan pandangan orang bodoh yang sama sekali tak mengerti terhadap hal yang dibicarakan dan diinginkannya.
“ Wayang-wayang penuh perlambang itu hidup dalam dirimu. Hidup dalam batinmu. Berwujud nafsu. Nafsu itu mengomando dirimu, menyetir tindak-tandukmu. Saat Rahwana berkuasa, kau pun jadi orang yang penuh angkara murka. Saat Durna berkuasa, kau jadi manusia selicin belut. Saat Sangkuni berkuasa, kau menjadi orang munafik nomor wahid. Begitu pula jika wayang-wayang lain yang berkuasa. Kadang, sejumlah wayang itu melakukan kolaborasi. Jika Suyudana berkolaborasi dengan Semar, misalnya, kau pun jadi manusia yang nampak sebagai pengayom tapi menyimpan keserakahan dalam diri. 
Aku memeras otak. Mencoba mengurai kalimat-kalimat berbau filsafat itu.
“ Nah, Bung, dirimu sebenarnya tak lebih dari ajang pagelaran wayang, sebuah orkestra wayang yang bermain tanpa henti. Di dalam orkestra wayang itulah Tuhan memberimu akal, pikiran dan perasaan. Jika pemberian itu kau pergunakan dengan baik maka kau akan bisa menguasai pagelaran, menjadi dirigen orkestra. Kau yang menguasai wayang-wayang itu, bukan menjadi orang dikuasai.
“ Untuk menggunakan akal, pikiran, dan perasaan, secara baik, kau harus punya pegangan mapan : sesuatu yang diredhai-Nya, sesuatu yang tak lepas dari jalan lurus-Nya. Kalimasada, Bung, jimat Darmakusuma. Kalimasada, Kalimah Allah. “
Kubuang puntung rokok dan menggantinya dengan batang yang baru. Ia menjangkau sebotol air mineral, menyodorkannya padaku. Aku cepat menyambut, meminumnya. Sehempas arus sejuk mengaliri kerongkongan, menjelujur urat darah, berlabuh ke dada.

4

Hampir subuh. Kapas-kapas embun turun perlahan, mengiringi turunnya Darmakusuma dari Kayangan Tunjung Maya. Sang pemegang Kalimasada mengurai segala intrik, menepis semua pernik. Lalu gunungan menari-nari, pertanda kehidupan terus berlangsung. Orkestra wayang terus bermain dalam diri. Dalam diri.

bangayu manis raga mambi
  manurutakan lalakun diri
  hiyaiii… “[26]

 















































TARIAN DARAH

Oleh Burhanuddin Soebely




1

Melewati pengadilan penuh sandiwara yang sengaja dibikin bertele-tele,  tuduhan terorisme dibuktikan. Vonis hukuman mati pun diketuk.  Hadirin diam. Tak ada protes apa-apa, juga dari tim pembela yang di awal persidangan nampak garang bagai macan kelaparan.
Dua orang berseragam menyeretku ke mobil tahanan, membawaku kembali ke penjara. Semula kupikir aku akan ditempatkan di sel yang dulu kuhuni semasa pemeriksaan. Ternyata tidak, aku akan ditempatkan di sel yang lain.
“Anda akan ditempatkan di sebuah ruang khusus…” kata Kepala Penjara dengan ramah, jauh berbeda dari biasanya. Apakah itu karena dalam hitungan hari aku akan mati?
“Boleh aku membawa buku-buku dan catatan-catatanku?“ tanyaku.
“Tentu saja boleh.“ bibirnya berulas senyum. Sebuah senyum tulus? Ataukah itu senyum mengejek? Aku tak sempat memikirkannya sebab aku terlanjur membayangkan kenikmatan menunggu hari eksekusi sambil membaca atau menulis catatan-catatan yang aku sendiri tak tahu akan diwariskan kepada siapa.
Maka sambil membawa buku dan catatan, aku digiring oleh beberapa sipir menuju ruang khusus itu. Sepanjang jalan, keningku berkerut, terlebih setelah kami menuruni undakan dan senter dinyalakan. Rupanya ruang itu merupakan ruang bawah tanah.
 “Selamat menikmati ruang ini. Semoga Anda senang.” ujar seorang sipir diiringi sebuah seringai yang menyakitkan hati. Lalu tendangan sepatu larsa singgah di punggung, membuatku terjerembab ke dalam ruang itu. Pintu dengan cepat ditutup. Gelap pun melingkup.

2

Adakah ruang yang lebih gelap dari ini? Mereka menyebutnya ruang pengeraman : sebuah ruang seukuran 2 m x 1,5 m, berdinding beton, berdaun pintu dari besi, tanpa dipan, tanpa alas tidur, tanpa lampu, tanpa ventilasi, bahkan kadang tanpa makanan tanpa minuman. Sedemikian gelapnya ruang ini sehingga jika kau dekatkan telapak tanganmu ke depan mata pun engkau takkan bisa melihatnya. Satu-satunya cahaya yang muncul adalah apabila engkau pejamkan matamu rapat-rapat : setitik cahaya akan muncul dan membingkas. Persis seperti yang digambarkan Jack Abbot dalam bukunya In the Belly of the Beast : “Bila kusentuh mataku, keduanya pun meledak dalam cahaya, dalam curah kilauan yang putih”.
Di sini, kau tak akan tahu apakah di langit bulan sudah membayang atau matahari masih sengangar. Di sini, waktu berhenti, arah tak ada. Di sini, kau cuma bisa menduga-duga : apakah waktu shalat sudah tiba, apakah  debu di lantai tetap boleh dijadikan sarana tayamum, apakah kekotoran lantai tetap suci untuk dijadikan tempat shalat. Selebihnya, dugaan lain : tentang kapan mereka akan menjemputmu, menggelandangmu ke luar, menggiringmu ke tempat hukuman mati. Selebihnya lagi, juga dugaan, tentang bagaimana caramu mati : apakah kau akan dibakar hidup-hidup, apakah kau akan membuang nyawa dengan leher terjerat tali di tiang gantungan, apakah tubuhmu akan berlubang-lubang oleh terjangan peluru regu tembak, apakah kepalamu akan menggelinding akibat tebasan di leher, apakah ke dalam nadimu akan disuntikkan serum yang membuat jantungmu pecah, apakah tubuhmu akan berkelojotan oleh sengatan arus listrik, apakah bagian-bagian tubuhmu diikat kepada 6 ekor kuda yang akan berlari ke arah berbeda sehingga tubuhmu tercabik-cabik, apakah….apakah….
Begitulah ruang pengeraman. Tapi jika kau menduga bahwa aku demikian menderita di ruang pengeraman ini maka kau salah. Pada mulanya penderitaan itu memang ada, bahkan pernah membuatku membenturkan kepala ke tembok. Dalam simbahan darah, dalam deraan rasa sakit,  aku menggigit bibir dan memejamkan mata rapat-rapat. Cahaya bingkas, meledak dalam diri. Dan ketika ledakan itu kuiringi dengan lafaz zikir, darahku tiba-tiba mengombak, menari-nari seperti tariannya Rumi, mengelilingi pusat semesta, perlahan mengalif, lalu membawaku mikraj ke nun, menyirnakan segala derita. Pengalaman itu kemudian menyadarkanku bahwa derita dan bahagia, jauh-dekat Dialah sumbernya. Maka aku pun tak lagi peduli dengan waktu, tak lagi peduli dengan pernik. Seluruh diriku tenggelam dalam khusuk zikir. Bahkan dalam tidur pun zikir tetap menyuara dalam diriku, serupa musik, membuat darahku menari-nari, membuat aku mengalif, dan mikraj ke nun.
3
Saat eksekusi agaknya telah tiba. Dengarlah, ada bunyi derap sepatu-sepatu larsa. Diikuti bunyi pergeseran engsel pintu besi yang dimakan karat. Berkas cahaya yang muncul dari senter menerpa. Aku melolong. Benar-benar melolong. Cahaya itu berubah menjadi batangan besi yang telah direndam berabad-abad di neraka, menusuk ke pusat mata. Perih tak bertara. Air mataku muncrat. Mereka terbahak. Lalu sepatu larsa bergantian hinggap di punggung dan pantat, memaksaku berjalan.
Subuh putih sekali. Kapas embun turun perlahan, mengecupi pucuk-pucuk daun, membaluti dedahan dan reranting, kemudian jatuh membasahi bumi. Juga membasahi tubuhku yang terikat pada sebuah tonggak kayu bulat berwarna coklat kehitaman.
Kubayangkan, sebentar lagi kesunyian tempat itu bakal retas oleh derap-derap sepatu larsa Sepasukan regu tembak akan berbaris bersaf menghadap kearahku. Sesaat  kemudian akan kedengaran aba-aba. Bunyi senapan yang dikokang. Dan akhirnya dentuman serempak, menghamburkan butiran peluru ke tubuhku. Mungkin akan sempat kulihat darahku muncrat dan kepak sayap burung yang terbang menjauh. Mungkin pula akan sempat kurasakan sengatan rasa sakit. Selebihnya, punya Dia akan kembali ke Dia. Yang berasal dari tiada akan kembali pada tiada.
“Waktu Anda tinggal sepuluh menit lagi.“ ujar komandan eksekusi.
Aku mengangguk, menyembulkan seulas senyum. Mata komandan eksekusi menatapku, lekat. Aku balas menatapnya, lekat. Entah kenapa dia membuang pandang. Barangkali dia merasa agak iba padaku. Barangkali pula dia merasa takut kalau aku nanti menjadi setan gentayangan yang bakal menerornya habis-habisan.
“Aaa…aapakah Anda memerlukan ulama untuk membacakan doa penghabisan?“ suaranya terbata-bata.
“Terima kasih, itu tidak perlu.“ sahutku. “Dalam saat seperti ini aku tak memerlukan perantara untuk berbicara kepada Tuhan.“
Komandan eksekusi mengangguk. Menengok jam tangan. Mengeluarkan kain hitam dan menutup mataku. Seperti saat di ruang pengeraman, dalam kegelapan yang sempurna cahaya bingkas dari mata, bersambut dengan gemuruh zikir di hatiku, membuat darahku menari, mengiramakan langit dan bumi. Sesaat kemudian, tarian darah itu mengalif. Tegak lurus. Menjadi tangga. Aku pun mikraj ke nun. Ke Nun.



















BANSAU
oleh : Iwan Yusi

       Pukul sepuluh siang acara keramaian itu dimulai. Bunyi babun ditabuh kian  gegap gempita. Seorang penari kuda gipang lenggang-lenggoknya semakin panas mengikut  irama. Apalagi setelah acara bananaikan batang pinang atau panjat pohon pinang dimulai. Enam orang anak mengenakan topeng lucu membuat sorak-sorai penonton tambah riuh rendah menggemai. Penontonpun tua muda semakin berdatangan dan berjejal-jejal seperti semut merubung manis gula.
            Keramaian ini digelar di halaman rumah Pak Haji Abas. Orang tua terpandang  yang sering dipanggil Juragan Bansau  itu sengaja menggelar acara keramaian ini dalam rangka menyambut kepulangan anak semata wayangnya yang baru menyelesaikan kuliah di Pulau Jawa.
            Sebuah mobil sedan perlahan memasuki lawang sakiping atau pintu gerbang yang berhias janur kuning dan aneka warna bunga-bunga. Mobil berhenti, dan diparkir di tengah halaman. Seorang pemuda gagah keluar dari dalam mobil. Pak Haji Abas lekas menyambut dan memeluk sang pemuda yang tak lain adalah anak tunggal kebanggaannya. Lalu perlahan pemuda itu dibimbing menaiki sebuah panggung kecil yang telah disiapkan. Selanjutnya orang tua itu dengan penuh semangat menyampaikan semacam kata-kata sambutan, sebagaimana layaknya sebuah acara resmi di kelurahan.
            Pertunjukan seni kuda gipang dan bananaikan batang pinangpun dihentikan sementara. Perhatian mereka pun tumpah ke arah panggung.
            “ Saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudari, serta anak-anak, ikut hadir meramaikan penyambutan anak tunggal saya si Muhransyah. Ingat, Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudari, serta anak-anak,  … sejak hari ini Muhransyah sudah berada di tengah-tengah kita kembali setelah hampir empat tahun ia kuliah di  Pulau Jawa. Muhransyah sekarang adalah lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia, yaitu IPB, singkatan dari Institut Pertanian Bogor. Muhransyah sekarang sudah menyandang gelar Insinyur, jadi kalian harus memanggilnya Insinyur Muhransyah, “ ujar Pak Haji Abas berapi-api dengan pelantang suara yang erat di genggamannya.
            Sementara itu si pemuda bernama Muhransyah tampak seperti cacing kepanasan. Ia duduk gelisah bagai seorang anak kecil  kebelet buang air kecil tapi tak tahu di mana tempat semestinya. Wajahnya kelihatan kemerah-merahan, sesekali menunduk  tersipu malu.
            “ Sudahlah Abah, … sudah …sudah, tak perlu basa-basi dan puja-puji seperti itu. Aku jadi malu,” ucap pemuda itu tak tenang.
            Berkali-kali pemuda itu meminta agar ayahnya menghentikan celotehannya yang semakin tak terkendali. Sebagian orang dapat memaklumi kalau itu adalah sebuah ungkapan kegembiraan seorang ayah terhadap keberhasilan anaknya. Namun sebagian pengunjung ada pula yang secara diam-diam mencibir mengolok-olok atas sikap berlebih-lebihan orang tua itu. Tapi orang tua itu tak bergeming dari atas panggung.
            Besok harinya Pak Haji Abas mengajak anaknya berputar-putar berkeliling kampung. Satu per satu ia menunjukkan tanah sawah, tanah pematangan, dan usaha band saw atau penggergajian kayu miliknya.
            Mobil sedan warna hitam itu berhenti di sisi jalan, dekat tumpukan kayu-kayu gelondong. Pak Haji Abas dan anak kebanggaannya keluar dari mobilnya. Sesekali orang tua itu menunjuk-nunjuk ke arah tumpukan kayu gelondong. Sesekali pula ia berujar-ujar nyaring karena suaranya kalah lantang oleh bunyi suara mesin yang menderu tak henti-henti. Dengan langkah seperti pejabat penting keduanya mendekati mesin-mesin pemotong kayu yang sedang dioperasikan oleh beberapa pekerja.
            “ Ini band saw kita yang paling besar dan baru, Ran. Di bansaw ini  paling banyak menghasilkan kayu olahan. Karena produksinya banyak dan kualitasnya  terbaik, maka dari band saw ini kita khususkan untuk mengirim kayu balok ke Pulau Jawa dan luar negeri. Sedang dari produk band saw yang lain kita pasarkan di daerah sendiri,” ujar Pak Haji Abas nyaring, seperti berbicara dengan orang tuli. Sedang pemuda itu tampak mengangguk-angguk, menyimak serius ujaran ayahnya.
            “ Saya bisa mengerti itu, Bah. Tapi yang saya belum mengerti, bagaimana caranya Abah mengumpulkan kayu-kayu gelondong sebanyak itu ? Bukankah, dari berita yang santer akhir-akhir ini, 50 persen dari kekayaan kayu di hutan Pegunungan Meratus sudah hilang oleh pelaku illegal loging atau para perambah liar,” sahut Muhransyah dengan serius pula.
            “ Husss ! Kamu jangan berujar-ujar seenaknya dengan istilah-istilah menakut-nakuti  begitu. Abahmu ini sudah mengantongi surat izin usaha dari Dinas Kehutanan, dari Pemerintah Daerah, ” kata orang tua itu sangat serius untuk meyakinkan anaknya.
            “ Bukan maksud saya menuduh Abah sebagai pelaku illegal loging, atau menakut-nakuti Abah. Tapi saya ingin tahu, bagaimana cara Abah mendapatkan kayu-kayu gelondong berukuran besar-besar begitu ? “ kata Muhransyah tersenyum-senyum sambil membelai-belai bahu ayahnya.
            “ Hmmm, … nanti akan saya tunjukkan bagaimana cara mendapatkan kayu-kayu besar itu. Ingat, … kamulah nanti yang akan meneruskan usaha besar ini, Muhran,” kata orang tua itu bangga seraya menatap wajah anak tunggalnya.
            Mobil sedan itu kembali meluncur menelusuri jalan sempit berbatu-batu, menuju ke arah hulu kampung. Muhran merasa sangat senang dapat kembali melintasi jalan-jalan  sempit yang masih termasuk wilayah kampung halamannya. Namun perasaannya sedikit gundah manakala di kiri-kanan jalan tak lagi tampak olehnya  jejeran batang-batang pohon sungkai yang bercabang rampak meneduhi sepanjang jalan. Agak menjorok ke dalam dahulu banyak tegak menjulang berbagai jenis pohon-pohon tinggi besar, seperti durian, hambawang, binjai, tarap, katapi, banyu-banyu, ketapang, serta pohon kelapa. Tapi sekarang pemandangan telah berubah meranggas, miskin pepohonan. Kecuali  sungai yang berawal dari pegunungan Meratus itu airnya masih saja mengalir. Di kawasan inilah dahulu semasa remaja Muhran dan teman-teman sebayanya dalam kelompok Pencinta Alam sering datang mendirikan tenda berekreasi, terutama pada musim libur. Ia ingat betul, setiap anggota dilarang memotong tumbuhan yang masih hidup dalam kelompok Pencinta Alam mereka. Larangan itu bahkan menjadi syarat untuk masuk anggota Kelompok Pencinta Alam mereka.
            Sebelum mobil menaiki jalan agak menanjak, mereka berhenti di bawah serumpun bambu. Agak menjorok dari jalan tampak sebuah rumah  kecil. Di halaman rumah itu tampak seorang lelaki tua  sedang sibuk memotong-motong dahan kering, sepertinya untuk dibuat kayu bakar.
            “ Selamat siang, Pak Jumberi,” ujar pak Haji Abas menegur lebih dulu.
            Orang tua itu menghentikan pekerjaannya. Tampaknya ia sangat senang melihat kedatangan pak Haji Abas yang lebih dikenal warga dengan Bos Bansau untuk sebutan kata band saw yang berarti gergaji mesin itu.
            Sejenak Pak Haji Abas mendongak-dongak memandangi sebatang pohon binjai  yang tegak tinggi besar di belakang rumah. Pohon itu tidak berbuah karena memang belum musimnya. Namun cabang-cabangnya  yang berdaun lebat menaung lindap hingga ke halaman rumah.
            “ Pak Jumberi, … pohon binjai itu kan tak ada hasil dan manfaatnya juga. Bagaimana kalau dijual saja?  Niiih,… tiga puluh  ribu rupiah, sore nanti pohon itu saya tebang. Bagaimana? “ ujar Bos Bansau seraya memperlihatkan tiga lembaran merah uang puluhan ribu rupiah.
            Sejenak orang tua itu tersenyum.
            “ Pohon binjai itu tinggi besar, lurus pula, … masa cuma tiga puluh ribu rupiah, Pak. Tambahlah dua puluh  ribu rupiah lagi, Pak,” pinta orang tua itu.
            Haji Abas mengeluarkan selembar uang harga sepuluh ribu rupiah.
            “ Nih, saya tambah sepuluh ribu rupiah.  Jadi empat puluh ribu rupiah, sudahlah terima saja. Ini sudah tergolong mahal, Pak. Di kampung sebelah pohon binjai sebesar ini juga saya beli cuma tiga puluh ribu rupiah,” bujuk Haji Abas bersilat lidah.
            “ Ya,” sahut orang tua itu singkat seraya menyambut sejumlah uang yang disodorkan ke tangannya. Uang itu memang tergolong banyak bagi ukuran ekonomi rumah tangga pak Jumberi. Maka pohon tinggi besar itupun  telah berganti milik, hanya dalam sekejap.
            Pak Haji Abas lekas mengeluarkan pesawat HP-nya dari saku celana. Lalu sebentar kemudian ia sudah berhubungan dengan salah seorang anak-buahnya di salah satu lokasi band saw atau tempat penggergajian.
            “ Saya dapat satu batang pohon binjai berukuran tinggi besar di belakang rumah Pak Jumberi di hulu kampung. Segera tebang nanti sore, ya ?! Ajak empat atau lima orang buruh dengan mobil pick up untuk mengangkutnya,” sejenak Bos Band Saw berbincang dengan salah seorang pembantunya.
            Muhran manggut-manggut pertanda ia dapat mengerti bagaimana cara ayahnya mendapatkan kayu gelondong. Betapa mudahnya transaksi itu dilakukan. Sungguh tidaklah terlalu sulit usaha penggergajian yang selama ini dijalankan oleh ayahnya.   
            Hari itu Muhransyah terus diajak meninjau ke beberapa lokasi penggergajian kayu atau band saw milik ayahnya. Tak hanya itu, ia juga menyaksikan langsung bagaimana cara ayahnya mendapatkan batang-batang kayu sebagai bahan baku selama ini.
            Tahulah sudah Muhran bagaimana kiat jitu ayahnya berbisnis kayu. Rupanya usaha itulah yang menopang kuliahnya selama ini. Pantas saja ayahnya sukses dan tergolong jadi orang kaya, paling tidak terkaya di kampungnya. Ia mengakui ayahnya memang pintar berbisnis, sayang ia tidak sependapat.
            Setiap hari itu Muhran mundar-mandir dengan sebuah sepeda motor baru, dari satu lokasi penggergajian ke lokasi penggergajian di lain tempat. Ayahnya memang sengaja memintanya mengawasi usaha penggergajian itu, dengan maksud agar anaknya cepat memahami dan menguasai proses pengelolaan usaha besar yang selama ini dirintisnya. Dari pengumpulan bahan baku, memproses jadi kayu balok, hingga pemasarannya ke luar daerah bahkan luar negeri.
            “ Nah, sudah hampir dua bulan kamu melihat-lihat usaha besarku itu. Tentu kamu sudah sangat paham bagaimana cara mengelola usaha ini, Ran,” kata Pak Haji Abas suatu malam.
            “ Saya sangat mengerti, Bah.”
            “ Bagus. Itu artinya tak sia-sia aku menyekolahkanmu jauh-jauh ke Pulau Jawa dengan ongkos yang mahal. Nah, kuliahmu sudah selesai, dan kamu sudah dewasa dengan banyak pengalaman. Selanjutnya aku ingin istirahat menikmati hidup di masa tua ini. Jadi mulai minggu depan usaha ini kuserahkan kepadamu. Seluruh assetku telah menjadi milikmu. Silakan kamu kelola dengan baik, dengan terobosan-terobosan baru. Aku yakin ilmu pengetahuan yang kau peroleh selama kuliah akan menjadikan usaha ini lebih maju,” ujar orang tua itu serius seraya tersenyum-senyum bangga.
            Sejenak Muhran terdiam. Ada perasaan asing bergemuruh di dadanya. Beberapa hari lagi ada tanggung jawab besar dibebankan ke pundaknya. Yaitu sebagai pimpinan usaha di bidang perkayuan. Demi ketenangan ayahnya ia harus menerima amanah berat itu meski bertentangan dengan hati kecilnya. Namun ada harapan, dengan cara ini pula ke depan ia akan dapat melakukan sesuatu yang terbaik untuk masyarakat  kampung halamannya.
            Sejak menerima asset secara resmi dari orang tuanya, pemuda lulusan IPB itu tidak seceria hari-hari sebelumnya.  Ada beban teramat besar mengganjal di pikirannya. Betapa tidak, ia menghendaki kebijakan baru berupa perubahan besar pada usaha warisan ayahnya. Namun ia sangat yakin kebijakan yang ada di benaknya itu ditolak mentah ayahnya. Dan itu juga berarti mengusik ketenangan sekaligus kesehatan ayahnya. Tidakkah itu sebuah perbuatan keliru terhadap orang tua. Tidakkah nantinya ia akan dicela sebagai anak durhaka ? Tapi apa salahnya kebijakan mulia ini disampaikan? Bukankah dahulu ayahnya  pernah memberinya lampu hijau untuk membuat terobosan-terobosan baru.
            Suatu hari Muhran dengan segala keberaniannya menyampaikan rencana perubahan besar-besaran itu. Semula ia berharap ayahnya menyambutnya dengan senang hati, dan menganggapnya sebagai sebuah terobosan baru. Atau bahkan memujinya sebagai sebuah upaya cerdas demi memajukan usaha yang dahulu dirintis orang tua itu. Paling tidak orang tua itu bisa memahami pemikiran baru seorang pemuda yang baru menyandang gelar sarjana.
            “ Saya akan menutup seluruh usaha band saw, sebab menurut saya prosfeknya sudah tidak menjanjikan lagi, Bah. Dan sebagai penggantinya, saya akan mengembangkan usaha perkebunan, pertanian, dan perikanan di daerah kita ini sebagai penyangga ekonomi keluarga kita sekaligus ekonomi masyarakat,” kata Muhran serius.
            Kalimat itu bagi telinga pak Haji Abas seolah gelegar suara petir, yang membakar dada tuanya, mengusik ketenangan jiwanya selama ini. Sama sekali ia tak menduga, pemikiran anak tunggalnya yang baru menyandang gelar sarjana pertanian itu begitu menyakitkan. Seolah hendak meruntuhkan menara yang tinggi tegak yang selama ini ia bangun dengan kerja keras dan susah payah.
            “ Apa katamu?! Kamu akan menutup band saw, usaha yang selama ini kurintis?! “ ujar pak Haji Abas dengan geram. Dengan perasaan kesal ia berdiri sambil mencak-mencak. “ Hei ! Untuk kamu ketahui, … dari usaha band saw itulah aku mendapatkan banyak uang untuk membiayai kuliahmu selama ini. Dasar anak tidak tahu diri, tidak tahu membalas budi.”
            Belum pernah Muhran melihat ayahnya semarah itu.
            “ Maaf, Abah. Bukan maksud saya hendak menghancurkan usaha yang selama ini Abah rintis. Tapi sesuai keinginan Abah, memberi keleluasaan pada saya belajar mengembangkan usaha sesuai ilmu pegetahuan yang saya peroleh selama di bangku kuliah. Bukankah itu sebuah  balas budi pada usaha Abah?”
            “ Itu bukan balas budi, itu namanya menghancurkan ! “
 Orang tua itu semakin marah. Sebagai ungkapan kekesalanya, ia lekas menghindar dari anak yang tadi menjadi kebanggaannya. Ia tak hendak lagi mendengar kata-kata yang keluar dari mulut anaknya, apapun dalihnya.
            Muhran jadi sedih. Ia tak dapat berbuat banyak, karena orang tua itu berhari-harian mengurung diri dalam kamar. Muhran berkali-kali membujuk orang tua itu agar keluar dari kamarnya, untuk merembukkannya kembali secara baik- baik. Namun usahanya sama sekali tak ditanggapi. Nyata benar orang tua itu teramat marah. Betapa tidakkan kecewa, selama ini ia sangat membangga-banggakan anak tunggalnya sebagai penerus usahanya, di mana ia mengobrol selalu menjadi buah bibir pujiannya, namun ternyata pikiran anak itu jauh bertolak belakang dengan pemikirannya. Tidakkah pula ia akan menjadi bahan olok-olokan orang? Sungguh ini sangat menyakitkan hati pak Haji Abas.
            Seminggu sudah berlalu.  Bos bansaw itu sepertinya membatalkan niat menyerahkan assetnya kepada anaknya. Dan ia mencapnya sebagai anak yang tak tahu balas budi.
            Bulan Oktober pohon jenis asam-asaman mengurak bunga. Hujan semakin sering turun mengguyur. Sungai yang melintasi desa airnya mulai melimpah, warnanya kuning kecokelatan setelah menggerus dinding-dinding bukit untuk seterusnya turun ke kali. Suaranya mengguruh bergelora menerjang apa saja yang menghalangi. Sebuah jembatan kayu di hilir desa telah ambruk dan hanyut terbawa arus deras. Debet air sungai terus bertambah hingga kedalaman sungai tak mampu menampung. Banjir telah malanda, melebar hingga ke beberapa desa, merendam apa saja, termasuk menenggelamkan  mesin-mesin band saw milik Muhran. Hal yang paling menyedihkan, mobil sedan kesayangan Pak Haji Abas ikut ditenggelamkan banjir. Dan tak hanya itu, barang mahal itu telah rengsek oleh terjangan sebatang kayu gelondong yang hanyut terbawa arus deras.
            Di hilir kampung terdengar kabar ada dua anak-beranak hanyut dan tenggelam terbawa arus banjir. Sementara warga lain sibuk mengamankan barang dan  hewan piaraan mereka.
            “ Ini banjir paling tinggi, ini banjir paling membuat sakit hati ” keluh seorang warga.
            Kawasan Pegunungan Meratus sudah tak mampu menyerap air hujan. Pohon-pohon besar yang dahulu akar-akarnya berfungsi menyerap guyuran air hujan sekarang hanya tinggal tonggak –tonggak mati  bekas sayatan shain saw atau  gergaji mesin yang akhir-akhir ini membabi buta.
            Pak Haji Abas dengan terpaksa keluar dari persembunyiannya, karena kamarnya dipenuhi oleh air kuning kecoklatan setinggi pinggang. Lemari, ranjang, dan lain-lain perabotan rumah telah tenggelam oleh banjir. Dengan perasaan galau ia menemui Muhransyah minta segera diungsikan bersama beberapa warga lainnya ke tempat yang aman.
            Banjir kiriman dari pehuluan memang kerap terjadi terutama pada musim hujan, tapi tidak sampai menenggelamkan rumah penduduk, kebun, dan sawah hingga berhari-hari. Dahulu ketika Muhran masih anak-anak, banjir hanya setinggi lutut dan tidak sampai menenggelamkan beranda rumah. Bagi anak-anak banjir adalah kesempatan bermain air di halaman. Menghela rakit batang pisang dari hulu ke hilir kampung begitu menyenangkan. Tapi banjir kiriman dari pehuluan tahun ini betul-betul menyengsarakan.
            Akibat banjir kali ini pemerintah daerah menyatakan kerugian ratusan juta rupiah atas rusaknya beberapa sarana prasarana. Belum terhitung ribuan hektar sawah dan kebun yang gagal karena padi terendam air berminggu-minggu lamanya. Luapan air ini tak hanya merepotkan masyarakat, tapi juga membuat pemerintah sibuk menurunkan Tim SAR, mendistribusi bantuan makanan, obat-obatan, dan lain-lainnya yang tak sedikit dananya.
            “ Ketika kecil jadi kawan, ketika besar menjadi lawan, apakah itu ? “ celotehan seseorang di antara kerumunan para pengungsi.
            “ Aah, sempat-sempatnya kamu main tebak-tebakan,” sahut salah seorang di dekatnya. “ Pada saat-saat seperti ini, enaknya kita makan-makan. Perut sudah sangat lapar. Masa sudah sesiang begini nasi bungkus bantuan itu belum kunjung datang juga,” sambungnya lagi sambil tertawa-tawa.
            “ Ini semua karena ulah para pembalak kayu di kawasan hutan pegunungan,” salah seorang pula menyinggung soal penebangan pepohonan yang akhir-akhir ini merajalela.
            “ Yaa, setelah habis pohon-pohon di hutan pegunungan, dengan rakusnya pula para pemilik band saw menebangi pohon-pohon rakyat di pinggiran kota. Pohon-pohon rakyat yang terdapat di halaman dan belakang rumah, di kebun dan di sisi sawah mereka tebangi dengan hanya iming-iming puluhan ribu rupiah, “ salah seorang menyahut pula. “ Yaah, …yang namanya orang miskin tentu saja uang tak seberapa banyak tersebut sangat menggiurkan. Yaa, diterima laaah.”
            “ Naah, tragisnya mereka itu tanpa memikirkan usaha menanami kembali. Itulah sebabnya kampung-kampung  bahkan pinggiran kota kehilangan pohon-pohon besar. Itulah sebabnya pula, terik matahari terasa sangat menyengat, serasa membakar kulit, karena tak ada daun hijau yang berfungsi menyerap sinar ultra violet. Udara pagi pun terasa tidak sejuk seperti dahulu lagi. Angin kencang berhembus leluasa karena pohon tinggi besar yang berfungsi sebagai penyangga sudah tak ada. Lingkungan kita telah rusak. Maka tidak heran, bencana banjir, kemarau panjang, angin puting beliung, dan lain-lain datang mendera bertubi-tubi.”
            “ Hmm, … jadi terlepas dari legal atau illegal, berizin atau tanpa izin, menebangi pohon secara membabi buta itu adalah kegiatan buruk yang merusak lingkungan,” sahut seseorang pula, seolah ingin menutup pembicaraan.  Namun ternyata masih disambut oleh seseorang pula.
            “ Kesimpulannya, orang yang menebangi pohon-pohon semata untuk memperkaya diri sendiri, dan tanpa memikirkan usaha mereboisasi adalah penjahat lingkungan. Dan orang semacam itu patut mendapat hukuman seberat-beratnya ! Bagaimana Saudara-saudara ?! “
            “ Akuuuuur !! “
            Derai tawa para korban banjir itupun terdengar semakin  ramai.
            Muhran yang sejak tadi  ikut bergabung membantu membagikan obat-obatan, telinganya terasa panas mendengar celotehan  itu. Maka ia lekas menjauhi kerumunan warga pengungsi itu. Betapa pedas ujaran-ujaran itu di pendengarannya. Orang-orang itu memang dengan sengaja menyinggung-nyinggung dirinya, tentang sepak terjang ayahnya dalam berbisnis kayu selama ini. Dan ia tak berhak marah atau menyalahkan mereka itu. Orang-orang itu adalah korban bencana alam yang dipicu oleh para perusak lingkungan. Termasuk ayahnya yang selama ini telah banyak melakukan dosa terhadap lingkungan.
            Seminggu setelah banjir melanda kampung-kampung, setelah kegiatan masyarakat kembali menggeliat, pemuda lulusan IPB itu menemui ayahnya.
            “ Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Abah, saya mohon sekali lagi  Abah merestui kebijakan baru yang saya gagas beberapa waktu lalu,” ucap Muhran perlahan di teras depan rumahnya yang sebagian masih berlepotan lumpur. Ujaran itu dilontarkannya dengan harap-harap cemas.   
            “ Mengembangkan pertanian, perkebunan, dan perikanan, … lalu menutup usaha bansau itu? “ ujar orang tua itu dengan suara serak berat.
            “ Ya,” sahut pemuda itu singkat tegas. Wajahnya tampak kemerah-merahan  seperti menyimpan tenaga begitu kuat yang hendak segera dimuntahkan.
            Sunyi sejenak.
            “ Muhran, apa yang akan kau lakukan itu sangatlah pantas. Engkau kuliah dengan uang dari bisnis usaha bansau. Sementara usaha itu ternyata pemicu kerusakan lingkungan. Maka sangat tepat ilmu yang kau dapat seyogyanya disumbangsihkan kembali untuk kemaslahatan lingkungan. Aku sudah terlanjur berbuat salah, maka di pundakmulah aku berharap engkau bisa menebuskan dosa-dosaku terhadap lingkungan itu,” ucap orang tua itu terbata-bata.
            Selembar senyum tersungging di wajah Muhran. Lantas ia memeluk orang tua itu dengan segenap sukacitanya. Ada kebanggaan tersendiri di hatinya terhadap orang tua itu. Begitu pula, ada kebanggaan tersendiri di hati orang tua itu terhadap anak sematawayangnya.
            Sebatang pohon ketapang kurus kerdil di sudut halaman, daunnya yang masih jarang bergoyang-goyang lembut diterpa angin, seolah turut tersenyum menyaksikan.

                                                                                      Kandangan, 19 Agustus 2007











JURU TULIS
Oleh : Iwan Yusi


            Matahari baru saja mengurak senyum. Kayi Busra menghirup udara sepenuh rongga paru-parunya, hingga ia tampak sangat lega. Lalu perlahan ia menyulut sebatang kretek sambil duduk bersandar di tiang pelataran. Sesekali tatap matanya menerawang, seperti jauh ke masa silam, masa ketika ia masih muda di desa tempat kelahirannya ini. Di sekelilingnya duduk-duduk pula beberapa keponakannya sendiri, dan anak-anak remaja tetangga sekitar. Mereka asyik mengobrol seputar pengalaman Kayi Busra setelah selama lebih empat puluh tahun tak pulang-pulang ke kampung halaman tanah tumpahan rindu.
            Sanak keluarga menyambut hangat dan gembira kedatangan Kayi Busra. Kehangatan sangat terasa sejak kepulangan lelaki tua itu seminggu yang lalu, ramai warga berdatangan mengajaknya  berbincang-bincang atau sekadar ingin tahu bagaimana raut rupa Kayi Busra sekarang. Terlebih-lebih bagi anak-anak remaja yang sama sekali tak pernah kenal dengan orang tua itu. Kecuali dari mendengar cerita orang-orang tua mereka, apa sebab Kayi Busra harus meninggalkan kampung halaman dan sanak keluarganya hingga berpuluh- puluh tahun lamanya.
            Di tahun enam puluhan. Busra adalah seorang pemuda yang rajin. Ketika itu umurnya sudah tiga puluhan tahun. Selain mengerjakan kebun dan sawah orang tuanya, ia juga menyadap air nira dari pohon enau yang banyak tumbuh di tanah pematang di belakang rumahnya. Air nira itu dikumpulkan untuk dijadikan gula aren atau gula merah. Oleh ibunya, gula aren itu dijual ke pasar untuk membeli keperluan sehari-hari. Namun, sejak suatu peristiwa yang sama sekali tidak penting bagi dirinya dan berlangsung sangat singkat, ia terpaksa harus terbuang dari kampung halaman, terpisah dari sanak keluarga dalam waktu teramat panjang  dan sangat menyiksa batinnya.
            “ Kejadian apakah itu gerangan, Kek? “ tanya salah seorang dengan bersahaja.
            “ Itu bermula karena aku menganggap sesuatu itu sepele,” ujar Kayi Busra santai dan senyum ramah, seperti tak ada beban, tak ada rasa sesal.
            “ Bagaimana ceritanya, Kek?” pinta salah seorang lagi.
            Kayi Busra tanpa merasa terbebani mulai bercerita tentang dirinya di masa silam, di masa empat puluhan tahun  yang lalu.
            Setiap pagi, selesai sholat Subuh, Busra muda dengan langkah bergegas mendatangi pohon-pohon enau yang menjadi kegiatan pekerjaannya. Sebatang bambu yang rantingnya dibiarkan sebagai tangga pijakan, disandarkan pada sebatang pohon enau. Dengan gerakan cekatan ia menaiki tangga bambu atau sigai itu, hingga hanya dalam hitungan detik ia sudah berada di atas pohon enau.  Dengan cekatan pula tangannya mengulur bumbung yang penuh berisi air nira untuk dibawa pulang. Namun sebelum bumbung-bumbung bersisi air nira itu dibawa pulang, terlebih dahulu dengan sebilah pisau tandan enau tadi sedikit dipangkas ulang, lalu dipukul berulang-ulang dengan kayu, hingga tetes-tetes air nira terkumpul di bumbung yang baru dipasangnya. Dan dibiarkan hingga besok pagi berikutnya.
            Busra muda tak sekadar terampil memanjat sigai menaiki pohon enau, atau pintar mencari uang. Tapi juga fasih mengaji melantunkan ayat-ayat Al-Qur`an. Suaranya yang merdu, enak di pendengaran. Karena itulah ia sering disuruh orang tua-tua adzan di surau dekat rumahnya.
Begitulah pekerjaan Busra setiap hari mengisi hari-harinya.  Meniti hari-hari meniti anak sigai, memanjati batang-batang enau yang sama baginya dengan memanjati pekerjaan sebagai ungkapan  cinta pada kehidupan. Lambat laun uang hasil jerih payahnya mulai terkumpul.
Sebagai seorang pemuda yang tumbuh berkembang, sangat manusiawi dan lumrah ia terpikat pada seorang gadis pautan rasa. Gadis itu  keponakan Pak Lamberi seorang tokoh terpandang di kampungnya. Seorang gadis berambut panjang berkulit kuning langsat, bak bunga mengurak warna dan harum semerbak.  Kembang desa yang banyak diincar banyak kumbang. Sungguh tak salah Busra sebagai salah satu dari sekian kumbang jatuh hati pada perempuan incaran banyak mata pemuda itu.
Semula ia tak percaya kalau ungkapan perasaannya itu ternyata bersambut, bersahut di hati si kembang impian. Maka orang tua dan sanak keluarganya pun terlibat dan bertanggung jawab datang berpatut pembicaraan atau menyunting sang kembang. Gayung pun bersambut, maka apalah lagi kalau bukan mencarikan hari piturun atau penanggalan yang baik untuk pelaksanaan perhelatan perkawinan Busra dengan Siti Rukayah.
Atas kesepakatan kedua keluarga, dipilihlah penanggalan naik bulan Hijriah yaitu bulan Rabi`ul Awwal, dengan harapan rumah tangga Busra dan isterinya banyak berkah banyak rezeki. Busra pun harus bersabar tiga bulan lagi.
Busra muda yang rajin, semakin rajin. Tenggang waktu tiga bulan  adalah kesempatan baik mengumpulkan uang, untuk biaya perhelatan perkawinannya nanti.
Suatu hari. Matahari baru berajak naik. Pagi-pagi benar Busra sudah melintasi jalan setapak di belakang desa. Beberapa bumbung yang tergantung di tandan enau tentu sudah penuh berisi air nira untuk diturunkan dan dibawa pulang. Ibunya pun akan sibuk menjerang dan mencetaknya di atas lumpang kayu untuk dijadikan gula merah. Lalu dibungkus dengan daun pisang kering atau kalaras untuk dijual ke pasar besok pagi.
Sesekali ia bernyanyi-nyanyi serupa pantun mantra. Konon, kata almarhum ayahnya dahulu, pantun mantra itu disenandungkan agar tandan enau bisa memberi banyak air nira. Maka dengan wajah berseri-seri ia memukul-mukul tandan enau itu dengan perasaan riang. Ia berharap malam nanti dari tandan ini air nira akan mengucur deras. Itu berarti penghasilannya bertambah.

“ Kasisiur tarabang siang

   Baracak tarabang malam
  Mangucur banyunya bila siang

  Manggarabak di waktu malam “

Tengah asyiknya ia bersenandung sambil memukul-mukul tandan enau, tiba-tiba dari bawah terdengar suara seruan seseorang nyaring menjura.
“ Hei, Bus ! “
Busra lekas menoleh ke bawah, ke arah sumber suara. Tampaklah olehnya, seorang lelaki bertubuh tinggi besar tegak berdiri tak jauh dari pokok pohon enau. yang tengah dipanjatnya. Lelaki itu adalah pak Lamberi, julak oleh calon isterinya, karena lelaki itu masih terhitung  saudara sepupu oleh ayah Siti Rukayah.
Sejenak dadanya berdebar-debar begitu melihat lelaki itu datang dengan sikap tergesak-gesak dan seperti dengan sengaja mencarinya. Betapa tidak, lelaki itulah dahulu yang menghalang-halangi hubungannya dengan Siti Rukayah. Pernah pula lelaki itu menghadangnya dengan sebilah golok di tangan, untung waktu itu ada Pak Haji Darham menengahi dan memberi pemahaman. Tapi kali ini ia ter;lihat ramah sekali. Di tangan lelaki itu terpegang sebuah buku catatan, bukan sebilah golok panjang mengkilat seperti peristiwa lalu.
“ Oo, Julak. Ada kabar apa Julak? “ sambut Busra sambil menebar senyum dari atas pohon enau. Lantas kakinya hendak menuruni anak sigai di bawahnya. Namun lelaki itu lekas pula melarangnya, seraya berujar nyaring.
“ Bus, tak usah kamu turun. Biar saja engkau berdiri di situ. Aku hanya perlu sedikit jawabanmu, cukuplah sudah,” sahut pak Lamberi sambil menyiapkan buku catatan dan pena.
“ Apa yang bisa saya Bantu, Julak?”
“ Kamu, saya catat sebagai juru tulis partai, ya?” ujar lelaki itu nyaring sambil mendongak.
“ Tapi saya tidak mengerti urusan partai, Julak? Apalagi sebagai juru tulis,” balas Busra bersahaja sambil berpijakan pada anak sigai dan kedua tangannya berpegangan pada pelepah enau di atas kepalanya.
“ Aah, itu urusan gampang. Nanti saya yang mengaturnya. Kamu cukup mengiyakan saja, namamu terdaftar di buku ini. Tidak susah kan? ”
“ Masa, bisa begitu, Julak?”
“ Eh, Bus. Dengar baik-baik, …sebagai anggota partai saja nanti akan dapat pembagian paung atau  bibit padi terbaik, dan peralatan bekerja di sawah seperti parang, tajak. Apalagi kalau tercatat sebagai juru tulis, nanti engkau akan dapat tambahan sarung, kopiah, dan baju serta celana baru,” ujar pak Lamberi dengan iming-iming sangat menggiurkan.
“ Tapi Julak, saya tidak mengerti urusan tulis-menulis. Es Er saja saya tidak tamat,” sahut Busra tersipu-sipu di hadapan calon julaknya itu.
“ Aah, itu urusan gampang. Masalah kecil itu nanti saya yang mengaturnya. Pokoknya hari ini aku ingin mendengar dari mulutmu, bahwa kamu bersedia dicatat sebagai orang partai,” desak lelaki itu sambil memperlihatkan buku catatan.
“ Ya, sudahlah kalau begitu,” sahut Busra sambil tersenyum. Di benaknya sudah terbayang-bayang baju, celana, sarung, dan kopiah baru pemberian partai.
Pak Lamberi tampak mencatat nama Busra di buku catatan khusus. Lalu ia lekas berlalu dari tempat itu dengan tergesak-gesak menuju ke hilir desa. Hari itu pak Lamberi tampak sibuk sekali.
Busra pulang ke rumah dengan wajah riang sambil memanggul tiga buah bumbung berisi penuh air nira. Setiba di rumah, diceritakannya semua kejadian dengan pak Lamberi tadi kepada ibunya. Wajah ibunya pun jadi berseri-seri sambil menuangkan air nira dari bumbung-bumbung itu ke kuali yang sudah sejak tadi siap di atas tungku.
“ Ada empat hal, ada pada setiap diri manusia, yang manusia itu sendiri tidak mengetahui sebelumnyanya, Nak,” ujar ibunya seraya menghidupkan api di bawah kuali dengan kayu bakar. Seperti kebiasaannya, ada saja ujaran berupa petuah dari mulut perempuan tua itu kepada anak tunggalnya.
“ Apa itu, Ma? ”
“ Pertama, jodoh,” kata ibunya seraya menyorong batangan kayu bakar ke dalam tungku yang apinya mulai memarak nyala.
Busra tak bisa menyembunyikan senyum ketika kata jodoh terlontar dari mulut ibunya. Sepotong kata itu serasa larik puisi teramat indah di pendengarannya, yang mampu menggetarkan  segenap simpul-simpul  rasa di sekujur tubuhnya.
“ Kedua, rezeki. Ketiga, langkah,…”
“ Apa maksudnya langkah itu, Ma? “ Busra memotong ujaran ibunya.
“ Maksudnya adalah, seseorang tidak tahu nasibnya ke depan, akan ke mana dan di mana saja semasa hidupnya di muka bumi ini ia berada atau tinggal. Seperti sekarang, kita tinggal di desa ini. Tapi besok atau lusa, mungkin kita berada di tempat lain karena sesuatu hal.”
“ Ooo, begitu.” Busra mengangguk-angguk. Terlintas di benaknya, nasib teman-teman sepermainannya dahulu. Misal, si Sapri sahabat sepermainannya sejak kecil yang sekarang malang melintang sudah sukses dengan membuka warung makan di Banjarmasin.  Juga si  Judin hidup nyaman sebagai pedagang kelontongan di kota Kapuas.
“ Nah, yang keempat adalah maut atau mati,” sambung ibunya. “ Kita semua akan mati, akan menemui ajal. Oleh karena itu, kewajiban kita sebagai hamba-Nya janganlah ditinggalkan. Dan janganlah berbuat kerusakan. Serta niatkanlah setiap pekerjaan kita untuk ibadah. Sebab sewaktu-waktu kita akan dijemput maut. Maut itu tak pandang kaya atau miskin, tua atau muda. Ingat, tak hanya buah kelapa masak yang jatuh dari tangkainya karena sudah kering, tapi katilambung atau bakal buah pun tak terkecuali kerap terlepas dari tangkai karena layu. “
Busra mengangguk-angguk mendengari ujaran demi ujaran ibunya yang sarat makna itu. Ujaran-ujaran seperti demikian sudah terbiasa bagi telinganya. Sebagaimana kebiasaannya setiap hari mendatangi pohon-pohon enau, memanjati anak sigai, memukul-mukul tandan enau sambil menyenandungkan puisi mantra, menurunkan bumbung berisi air nira, dan membawanya pulang untuk dijerang di kuali besar di atas marak api tungku, hingga dicetak dalam lumpangan menjadi gula merah.
Hari-hari terus merayap. Sebagaimana langkah-langkahnya mendatangi pohon-pohon enau. Seperti kaki-kakinya meniti anak sigai. Tak terasa, hari persandingannya sudah semakin dekat. Busra sudah menyiapkan sarung, kemeja putih, dan kopiah baru dari uang hasil menjual gula merah jerih payahnya. Karena sarung, baju, dan kopiah baru yang dijanjikan pak Lamberi sebulan lalu belum juga kunjung diterimanya.
Suatu siang, sebuah siang yang betul-betul sangat berbeda dengan siang-siang sebelumnya bagi Busra. Sepulang ia dari memunguti bumbung air nira, rumahnya didatangi beberapa orang polisi dengan senjata lengkap. Hari itu Busra muda ditangkap. Dengan berlinang air mata ibunya menangisi anaknya diborgol dan digiring ke kota di depan matanya.
Sejak hari itu, Busra tak ada lagi di desa kelahirannya. Kabar yang sampai ke desa, Busra diisolasi di penjara Nusakambangan, karena tercatat sebagai juru tulis partai yang oleh pemerintah saat itu dinyatakan dilarang hidup di negara Indonesia  yang menganut azas berketuhanan yang mahaesa.
“ Nah, kalian bisa hitung sendiri, sejak tahun 1965 aku sudah tidak tinggal di desa ini lagi, … sekaranglah baru aku bisa menikmati harum dan indahnya tanah kampung halaman, tanah kelahiran, tempat menumpahkan rindu dendam,” kata Kayi Busra.
Tak ada lagi terdengar pertanyaan usil dari anak-anak remaja itu, kecuali helaan napas. Sementara Kayi Busra begitu menikmati sisa potongan kreteknya, yang tinggal sedikit lagi sambil memandangi pucuk-pucuk enau yang bergoyang-goyangan lembut dipermainkan angin senja.

                                                                      Kandangan, 16 Agustus 2007



SANGKAR KENANGAN

Oleh MIZIANSYAH J.


Kematangan  Mang Rozak dan  istri menyiapkan  lahan tegalan, di penghujung musim panas, memang sudah diperhitungkan, sejak jauh hari. Lahan yang terletak di Gunung Layang-Layang , anak  Pegunungan  Meratus. Seperti tradisi kebanyakan , awal pembukaannya, pertama, menentukan  luas areal, dengan  menaruh  patok di tiap  sudutnya.  Tradisi itupun dilakukan  secara singkat, maka terprediksi, luas areal yang  terbuka 1,5 ha. Kalau dipandang  sepintas dari jurusan manapun, areal yang dipatok tidak seberapa luasnya. Ah, mungkin pandangan orang yang terlalu, serakah, bernafsu, sehingga antara kemauan dan kemampuan tak bisa terukur.
Biasanya, setelah patok ditancapkan, tidak berapa lama, areal pun dibabat. Sekira cuaca terus panas, rumput-rumput sudah mengering, tentu tinggal menentukan harinya untuk pembakaran.
Seperti tradisi, sebelum pembakaran, si pemilik lahan mestilah menyampaikan permakluman, terutama kepada para tetangga pemilik lahan, sebagai ajakan kerja bakti, paling tidak ikut atensi demi keselamatan areal milik mereka sendiri. Atas kehadiran para tetangga, maka tentu lebih cepat menyediakan jalur kosong, pembatas api, dengan maksud tidak menjalar ke areal orang lain.
Pada saat pembakaran, Mang Rozak benar-benar  mengalami sukses. Seluruh areal gundul terbakar karena rumputnya telah terjemur merata dari terik panas.
Mang Rozak dan istri telah mengadakan pembersihan. Seluruh sisa akar ilalang dan akar-akar semak, disatukan dalam beberapa tumpukan, lalu dimusnahkan. Jika masih terdapat sisa-sisa akar yang silang seling, atau berbentuk mencuat dipermukaan, maka Mang Rozak melowongkan waktunya kira-kira satu minggu untuk membersihkannya, dengan golok atau pacul (memanduk). Begitu masa memanduk selesai pemilik tinggal menentukan, hari manugal. Biasanya menurut tradisi pada waktu bulan purnama (bulan sabuku).
Ketika harinya ditentukan. Si pemilik, memaklumatkan bagi kepada seluruh penduduk, agar manugal dilakukan secara kerja bakti. Maka berdatanganlah para penduduk kampung, tua-muda, laki, perempuan. Dengan tugas masing-masing, ada yang menyemai atau memasukan benih ke dalam lubang (ma umang), dan ada pula yang membuat lubang (ma asak), biasanya dari kaum laki-laki. Kira-kira sepuluh hari kemudian, tegalan sudah terlihat tumbuh, namun di antara yang tumbuh, masih terdapat yang tidak merata.
 Begitu tumbuh merata, rasa senang dan damba telah merasuki hati dan batin pemilik tegalan, yaitu Mang Rozak dan isterinya. Setiap hari sejak pagi-pagi mereka menyusuri jalan menuju objek tegalan, ia hanya sekedar memuaskan rasa rindu terhadap tegalan yang nampak begitu kian hijau merata. Sementara kalau rumput peganggu pada ikut tumbuh, maka Mang Rozak dan istri dengan serta merta membasminya.

* * *
Hama penganggu belum begitu nampak. Kecuali burung balam (tekukur) ada dua tiga ekor, dan itu pun tampak tidak selalu mengganggu benih tegalan yang pada tumbuh merata. Tapi dua ekor balam tepat bertengger di persemaian bibit  padi sawah milik pak Huzair yang disemai kemarin. Di seputar teradak ini, sepasang balam bermain riang, sambil membunyikan sayap dan ekornya “ Kelapak… Kelapak! “ Kadang mengetitir  “ Tekukur….. Tekukur…….Tekukur… “.
Dan seperti kebetulan, setelah istri Huzair tiba di tempat, dua ekor balam langsung terbang, sementara keadaan benih teradak, bekas diharu biru oleh kedua balam, semua bibit benihnya, habis dikais-kais oleh kedua balam itu.
Maka seperti tak mampu menahan emosi, istri Huzair terus bersungut-sungut “ Waduuuh, sampai hati benar burung tekukur terhadap kami! Nanti pada suatu saat, ada saja  balasannya “. Begitu kerasnya sumpah serapah istri Huzair.
Tapi sumpah serapah ini jadi hanya sia-sia, karena gangguan burung bukannya berhenti, malahan tambah meraja lela. Seperti ketika sehabis melakukan tambal sulam. Seluruh benih yang tersemai, telah habis dikais dan diharu oleh kedua pasang balam. Maka setelah mengetahui situasinya sumpah serapah istri Huzair berganti dengan tangis histerisnya menjadi-jadi. Namun begitu disaksikan suami, lantas ia menghibur istrinya, bahwa apa gunanya menangis, lebih baik dibawa bersabar. Usaha yang sudah  mereka lakukan, jika tidak memberi hasil, itu namanya sudah takdir. “ Kita hanya bisa mengusahakan, tapi yang memberikan hasilnya adalah Allah. “ Begitu bijaknya sang suami memberi penyegar rohani sang istri.

* * *

Untuk kesekian kalinya bibit semai (taradak) kembali diperbaharui oleh keluarga Pak Huzair. Sejak pagi sekali, lahan penyemaian itu, benar telah disiapkan dan media tanahnya mulai digemburkan. Akhirnya hampir setengah hari, tambal sulam persemaian pun telah usai. Bahkan hingga setiap harinya tidak pernah terlewatkan dari penjagaan gangguan balam. Dan balam pun selama terjaga, tidak pernah terlihat mengganggu persemaian Pak Huzair.
Kendati pun sepasang balam itu selalu hadir dengan tidak diketahui asal muasalnya. Sepasang balam baru diketahui setelah ia berada di sekitar persemaian. Maka dengan serta merta istri Huzair pun menghalau kedua balam dengan disertai teriakan “ Husysy……. Husysy….! “ Kedua balam pun segera mengepakkan sayapnya ‘ Kelapak…. Kelapak “. Terus mereka beranjak terbang jauh.
Tapi masih ada bunyi mengetitir. “ Tekukur…..tekukur”. Bunyi seekor balam. Ia agak menjauh dari persemaian Pak Huzair. Balam yang berjenis kelamin jantan ini, hidupnya menyendiri, tanpa pasangan. Agaknya burung ini lebih jinak, dibanding dengan balam yang selalu menunggu teradaknya Pak Huzair. Sejak jam 7.00 pagi istri Pak Huzair lebih dini datang menjaga persemaian padi Tak dinyana sepasang balam itu sudah ada di sekitar taradak, yang satu berjalan-jalan sedang yang satunya bersimpuh sambil menelesik. Suasana taradak yang merasa terganggu oleh kedua balam ini menyebabkan Pak Huzair, tergerak idenya untuk memasang pulut. Yaitu alat penangkap berupa lidi yang disalut getah.
Besok harinya satu ekor balam telah menjadi korban pulut. Seluruh bulunya menyatu tersalut pulut, balam tak bergerak, kecuali hanya mengeluarkan bunyi “ Ceaat….ceaaat…ceaaat! “ Yang terkena pulut berkelamin jantan. Sedang yang betina setelah membunyikan sayap Kelepak! Kelepak! Ia menjauh, terbang. Sambil memutar ruangan areal tegalan dengan beberapa kali putaran. Seakan-akan merindukan dan mengharap kebersamaan balam jantan untuk sama-sama meninggalkan tempat berbahaya itu. Tapi apa hendak dikata yang jantan lebih duluan, tertangkap bencana.
Begitu burung balam berhasil terlekat pulut. Tidak berantara satu hingga dua menit, langsung dipungut, bahkan langsung dipotong oleh Pak Huzair. Dengan serta merta bulu-bulunya dicerubut, hingga berhamburan di sana-sini, bekas darah yang muncrat di tanah, menyebabkan pesta semut ramai menghisap dan menjilatnya. Untuk dijadikan cadangan bahan makan. Mereka berkelompok, dan sebagian di garis jalur yang menuju sarang mereka. Tergambarlah suasana semut dengan santun, saling jabat tangan pada saat mereka berpapasan  di sepanjang jalur yang mereka lalui.
Konon, dari bulu-bulu yang berhamburan, serta percikan darah di tanah, kata orang tua pamali, apalagi berada di pinggiran tegalan, alamat tegalan itu akan terancam gangguan bala. Kecuali diadakan tepung tawar.
Setelah peristiwa ini diketahui oleh Mang Rozak, pemilik tegalan, ia pun mendesah. Dan dengan ketus ia bertanya kepada Pak Huzair “ Ini kenapa? Bulu-bulu dihambur-hamburkan begini, kata orang bahari, hal ini bisa kepamalian “.
“ Maaf, Pak Rozak, saya kurang mengetahui akan hal ini “ . Selanjutnya, Pak Huzair menimpal usul pertanyaannya “ Sebaiknya, kita ambil tindakan apa atas peristiwa ini, Pak Rozak? “
“ Yah! Kita adakan tepung tawar. Sebab kalau tidak, gangguan dan cobaan akan mengancam pehumaan kita ini. “ jawab Mang Rozak.
Pada besok harinya, Pak Rozak dengan dibantu Pak Huzair, mengadakan ucapara sederhana, tepung tawar. Lalu diteruskan dengan siraman air Shalawat atas Nabi sebanyak tiga keliling, dimulai dari jihat tengah hingga kembali lagi ke tengah. Selepas Tepung Tawar dilangsungkan, suasana pehumaan serasa sejuk, tenang seakan-akan benar terjamin dari gangguan.
* * *

Dua hari setelah tepung tawar, Pak Huzair berupaya untuk mendapatkan balam yang masih tinggal, yaitu si betina yang kadang-kadamg pada waktu pagi sudah  memutar-mutar di udara, di bagian atas areal tegalan. Tetapi penjagaan di sekitar persemaian masih dilakukan dengan ketat oleh istri Pak Huzair. Maka balam itu pun segan mendarat.
Sejak petang Pak Huzair masih memasang pulut, dengan harapan akan berhasil lagi memungut sang betina secara kebetulan, ketika matahari condong ke barat, pulut  Pak Huzair berhasil merebut bulu-bulu sayap balam sang betina. Kali ini Pak Huzair, merasa enggan untuk langsung menyembelihnya. Tapi langsung dibawa pulang. Biar dibersihkan di rumah.
Setelah kedua balam ini, berhasil  dibekuk hingga kini tidak tampak lagi sepasang balam berkeliaran di situ. Sebelumnya hanya sepasang itu. Tapi menurut keterangan Mang Rozak. Di sekitar areal tegalannya masih ada balam yang lain. Walaupun ia menyendiri, balam ini tidak nakal dan tidak mau mengganggu, benih-benih semaian orang. Karena itu Pak Rozak berharap. Balam yang satu ini tidak perlu diawasi. Apalagi kalau untuk pulut. Ia terlalu jinak, dan selalu mudah bersuara ketitiran.
Jika masih ingat dengan Almarhum Pak Rozikon, masih terbilang kakak tua dari Pak Rozak. Beliau ini adalah seorang pemiara balam yang cukup terkenal di daerahnya. Balam piaraannya, adalah balam pilihan, ketika almarhum masih hidup, berkali-kali Akung datang ke rumah dengan maksud akan membelinya. Tentu dengan harga yang tinggi, Tapi Pak Rozikon enggan menjualnya.
Balam Pak Rozikon yang diberi julukan Gusti ini pada mulanya, sering dipinjam Akung untuk disabung, serta sering meraup taruhan yang tidak sedikit. Makanya kalau dijual, sejak dulu kepada Akung saja. Berapa pun harganya bagi Akung, tidak jadi masalah. Tapi Pak Rozikon tidak bermaksud menjualnya. Malahan sebelum Almarhum meninggal, ia pernah menyampaikan wasiat sama isterinya, agar sepeninggalnya nanti sang Gusti, balam kesayangannya itu, harus di lepas ke alam bebas.
Benarlah setelah Pak Rozikon meninggal, hingga sekarang sudah berlangsung satu tahun lebih. Maka Pak Rozak amat yakin, kalau balam satu-satunya yang sering nongol di sekitar tegalan itu pastilah sang Gusti, bekas piaraan almarhum Pak Rozikon. Pak Rozak pun berinisiatif untuk meminjam sangkar bekas Gusti. Pak Rozak menaruh sangkar dengan pintu terbuka di tempat yang strategis. Dengan sabar menunggu Pak Rozak, sambil menguntit sang gusti, yang tiba-tiba masuk sangkar, nampaknya ia lebih suka diam, enggan berontak mau keluar. Berhasilnya diperangkap seekor balam, menyebabkan cepat tersebarnya berita bahkan sampai ke telinga Akung, sehingga Akung sangat berkeinginan akan membelinya. Namun sebelum di adakan transaksi, isteri Almarhum buru-buru memberitahu bahwa Almarhum telah mewasiatkan sepeninggal Almarhum balam tersebut harus di lepaskan ke alam bebas. Yang tinggal hanya sangkarnya, jadi kenangan.

* * *

Kdg, Januari 2007






TOLAK KAPUHUNAN

Oleh Miziansyah J

Kerumunan para petani ladang di depan rumah Pak Kardi nampak berdesakan, seperti ada sesuatu yang mereka hajatkan, sehingga menimbulkan suasana sedikit gaduh. Tapi di tengah kerumunan itu tiba-tiba mereka dikejutkan oleh munculnya pak Kardi dengan senyum khasnya. Seketika itu suasana pun jadi hening. Kecuali ada dua tiga orang saling berbisik, sambil mendekatkan kepala masing-masing untuk memperjelas pendengaran mereka.  
Pak Kardi melemparkan pertanyaan : “Kira-kira dari kotoran apa pupuk yang paling okey  itu?”
Secara serentak, mereka pun menjawab, tetapi dengan berbagai macam ucapan: ada yang dari kotoran sapi, kotoran kambing, kotoran ayam dan lain-lain.
“Semuanya tidak tepat! yang tepat itu kotoran manusia”. Kata pak Kardi.
“ Huuiii…. jorok!” Sahut mereka sambil celoteh.
Di tempat-tempat tertentu di Singapore, kotoran manusia selalu jadi incaran. Karena ada orang yang mengusahakannya, untuk diproses menjadi pupuk. Tapi di negeri kita, kotoran masih menjadi image yang menjijikkan. Seolah-olah setiap wujud kotoran merupakan sumber bibit penyakit. Sekalipun kotoran diproses dalam bentuk dan aroma yang menarik  namun bagi mental Indonesia  biasanya terlalu akrab dengan rasa mual.
Tapi buat kita di sini, masih tersedia kotoran hewan yang tidak kalah mutunya dibanding kototan hewan lainnya, sebagai penggembur lahan pertanian, kotoran itu adalah kotoran kelelawar. Konon kelebihan tahi kelelawar  ini  memang mengandung zat nitrogen dan kalium, unsur yang sangat diperlukan oleh pertumbuhan tanaman.
“Tapi. Bapak-bapak disini, apakah memang membutuhkan pupuk yang saya maksudkan?” Ucap Pak Kardi sembari menawarkan.
 “ Tentu….!”
“ Tapi persediaan di tempat saya terlalu sedikit, kira-kira tidak cukup untuk dibagikan buat Bapak-bapak yang ada di sini. Kalau tidak ada aral Insya Allah besok saya akan mencari sekadar memenuhi stok yang akan diperlukan. Jadi dua tiga hari lagi kebutuhan Bapak-bapak Insya Allah akan terpenuhi.” Demikian penjelasan pak Kardi kepada para petani.
Pak Kardi yang juga seorang praktisi tani palawija, di samping sebagai penumpuk sekaligus penyalur pupuk kandang yang amat dibutuhkan oleh para petani lainnya. Keberadaan pupuk kandang di gudang Pak Kardi cukup menumpuk, sejak dari kotoran sapi hingga kotoran ayam, kecuali yang terbatas dari tahi kelelawar. Pupuk yang satu ini cukup digemari oleh petani palawija. Bahannya memang langka. Objek pengambilannya pun harus melalui tingkat  perjuangan yang cukup berat. Pengambilan di gua-gua batu. Di tempat ini, kotoran kelelawar bertumpuk-tumpuk dan selalu menjadi sasaran pencarian para petani. Seperti di gua kelelawar gunung Batu Bini. Kondisi gua ini cukup menantang bagi pengais pupuk. Siapa pun yang berminat untuk mengambilnya harus terlebih dahulu menyiapkan bahan; beberapa pohon bambu, sebagai alat untuk memanjat dan turun (sigai). Sigai ini harus sambung dua, panjangnya lebih kurang 50m dari bawah lalu dari puncak ke bawah (bagian dalam) dikasih sigai lagi dan inipun sambung dua dari atas ke bawah.
Perlengkapan lainnya berupa tambang, sebagai alat pertanda dari luar maupun dari dalam, sekaligus sebagai alat untuk penarik (uluran). Pada ujung uluran diikat keranjang atau kampil, yang fungsinya sebagai penampung bahan. Setelah tempat penampung penuh diberi isyarat dengan jalan digerak-gerakkan ini menandakan siap untuk ditarik.
Menurut keterangan penduduk setempat, gua tempat kelelawar  mangkal terdapat di desa Mandapai. Sedang gua yang ada jumlahnya dua. Satu tempat mangkalnya kelelawar, satunya lagi gua Batu Bini tempat rekreasi. Di gua ini terdapat ornamen atau patung sepasang singa. Konon patung ini ada hubungannya dengan awal  terjadinya gunung Batu Bini yang berasal dari kapal seorang anak yang durhaka Raja Angui, Raden Pengantin. Berawal dari terlanjur jatuhnya sumpah serapah seorang Ibu tua (Diyang Ingsun) terhadap anak kandungnya Raden Pengantin. Yang lagi singgah di pelabuhan. Ketika Raden Pengantin beserta istrinya tengah berlayar, dari negeri seberang menuju ke suatu tempat (entah ke mana). Tiba-tiba ia singgah di sebuah pelabuhan. Pada saat kedua bahtera bersandar di pelabuhan, Raden Pengantin bersua dengan seorang ibu yang sedang merindukan kedatangan anaknya. Sesuai dengan perasaan ibu itu bahwa Raden Pengantin yang sedang menambat kapal di pelabuhan itulah anak kandungnya yang ia rindukan. Namun Raden Pengantin tidak mengenal latar belakang orang yang sedang menantinya ini. Orang tua ini terus berusaha, sembari mengemukakan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Ia adalah benar-benar orang tua kandung dari seorang anak yang bernama Raden Pengantin. Berkali-kali seorang ibu menunjukkan  bukti  : “Hai…. Anakku Raja ! Raden Pengantin, ini bukti  bahwa kau anak kandungku.”  Selanjutnya sang ibu : “Inilah ikan gabus yang kau minta piarakan  sejak dulu, sekarang ia sudah besar, dulu belum ada lumut  di atas kepalanya , sekarang penuh dengan lumut.”
Seterusnya sang ibu menyatakan .” Hal ini menunjukkan bahwa ikan gabusmu, selalu  berkembang dari hari ke hari, dulu kau piara  awalnya  hanya sebesar jari, sekarang  lebih besar dari pergelangan.”  
“Tidak….tidak!.....Aku tidak punya  ikan sebesar itu.” Selanjutnya ia katakan ”Karena kau bukan ibuku, ibuku lebih muda  dari kau, sedang kau terlalu tua  untuk itu“
Diyang Insun berteriak dan terus berteriak  sampai tujuh kali, menyeru anaknya  agar Sang anak  berkenan mengakui sebagai orang tuanya. Sebanyak tujuh kali teriakan itu, tujuh kali pula keengganan  anaknya  seruan orang tuanya.
Ketika itu cuaca masih cerah, angin pun berhembus dengan lembutnya, seekor burung elang  mengepakkan sayap, di angkasa berputar-putar  sambil mengeluarkan suara: ”ngoooweeek….ngooooweeek……” Bunyi elang seakan-akan  turut mencegah, agar kutukan  Diyang  Ingsun terhadap anaknya  sebaiknya tidak perlu dijatuhkan, atau tunggu saja waktu yang tepat . Namun di saat seruan ketujuh kalinya tidak dihargai sang anak, seketika itu  darahnya makin tersirap. Jantungnya kian berdetak. Panas hatinya tambah membubung. Buruan nafsu amarahnya pun  tak tertahankan. Pada saat itulah  sesuatu  yang tak patut  diucapkan, terpaksa meluncur dari bibirnya : “ Hai Anakku Raden Pengantin, karena kau enggan mengakui  aku sebagai ibumu, maka dengan ini kau akan menjadi  batu!” Seketika itu, terdengar bunyi gemuruh, langit mendung, nampaknya badai  mulai menyerang. Tiba-tiba bahtera  yang sedang berlabuh itu, menjadi batu. Kapal yang satu dimulai dari  Sungai Amandit  (Batu Laki) hingga mencapai  Pagat Talikur, Miawa Kabupaten Tapin, berjarak lebih kurang 18 Km. Juga diawali dari Sungai Amandit hingga ke Mandapai, Kecamatan Padang Batung, Hulu Sungai Selatan, berjarak lebih kurang 8 Km. (disebut Gunung Batu Bini).
Sepanjang Gunung Batu Bini inilah terdapat banyak jendela. Jendela kapal dan tingkap (pada lambung) yang menjelma menjadi gua (tempat  peristirahatan kelelawar). Tingkap yang terbilang besar, tentu saja  Gua Kelelawar yang terletak di Mandapai. Konon di Gua Kelelawar  persediaan kotoran hampir tidak ada  batasnya , berapapun kita mau asal jangan melebih-lebihi, pasti akan mudah didapat. Caranya sesuai dengan niat  yang kita hajatkan. Kalau kita punya niat 3 kwintal, maka yang kita dapatkan hanya 3 kwintal . Kalau mau lebih, maka  yang 3 kwintal harus dihabiskan lebih  dulu. Kotoran kelelawar yang  boleh kita ambil hanya bersifat indo, sebagai  bahan kombinasi dengan bahan yang lain, misalnya dengan tanah kolongan. Jika  digunakan melulu indo,  kotoran ini terlalu keras  unsur harnya, bisa mengakibatkan kematian, maka harus diperlemah  dengan campuran tanah kolongan. Tujuan Pak Kardi untuk menumpuk kotoran kelelawar ini, bukan melulu untuk dijual, tapi rencananya untuk dipakai sendiri.
Dengan dibantu oleh kaki tangannya, Jumberi  yang siap mengais kotoran  kelelawar. Jika tempat penampung sudah penuh, Jumberi menggunakan  isyarat dengan jalan menarik  (menggerak-gerakkan) tali yang membentang dari atas ke bawah. Dengan demikian orang yang di bawah pun  menarik bahan yang terisi penuh itu.  Tumpukan pupuk yang didapat oleh Pak Kardi  dan kawan-kawan ini, sudah berhasil kira-kira  ¾ kwintal. Namun setelah itu tidak ada lagi gerakan tali dari dalam. Sekalipun berteriak juga tidak terdengar oleh Jumberi yang lagi mengais kotoran dalam gua, mungkin juga kehabisan oksigen.
Mulailah sigai dipanjat oleh Insan dan Ahmad dengan hati-hati sekali . Agaknya sudah mulai mendekati pintu gua, sambil menggunakan lampu  sinter. “ Oh, suatu  tebing  yang curam, kearah dasar gua ini.” Kata Ahmad. Begitu mereka turun mendekati dasar, tampaklah  Si Jumberi  terbaring  telentang di dasar gua. Nampaknya  Jumberi lagi semaput. Mereka perhatikan dengan menyalakan sinter kalau-kalau ada penyengat atau binatang berbisa lainnya.  Dan ternyata tidak ada apa-apa. Si Jumberi hanya mengalami pingsan biasa. Apakah  akibat kelelahan atau kekurangan oksigen.
Maka timbul pemikiran. Jika tubuh Jumberi  dibiarkan tergeletak di dalam goa, hingga menunggu siuman, tentu amat merugikan karena dalam goa cukup tertutup, sebaiknya harus dikeluarkan dari goa, secepatnya. Hingga diambil keputusan untuk mengangkat tubuh Jumberi secepatnya, pertama supaya dipersiapkan kerangka pengikat. Kedua dengan mengangkat, dan yang yang ketiga cara mengeluarkannya. Ketika  tubuh Jumberi masih di bawah, berarti harus dengan cara diangkat, tapi setelah tubuh mengambang di atas, berarti harus diturunkan perlahan. Pada saat penurunan kebetulan berjalan lancar. Setelah tubuh mencapai tanah, ia segera dibaringkan. Sementara kondisi masih mengalami pingsan. Tapi pada jidat dan lehernya nampak mulai meriap  keringatnya. Lalu dikasih air tawar yang dimintakan dari seorang tuan guru (ulama). Pertama harus diusap bagian wajahnya. Kemudian kedua tangannya, bagian dadanya lalu kedua kakinya. Setelah diusap, tampaknya sinar wajahnya mulai berubah. Beberapa saat kemudian, Jumberi betul-betul siuman. Setelah ditanya, ia menceritakan bahwa dirinya telah bermimpi persis seperti awal kejadian, atau ketika terjadinya peristiwa sumpah serapah Diyang Ingsung terhadap anaknya Raden Pangeran.
Maka dari dari kejadian ini, atas inisiatif Pak Kardi. Jumberi akan ditapung tawari (Badudus) supaya jangan kepuhunan atau diganggu orang halus.

* * *

Kdg, April 2007
    

















Tentang Istri Rahman
dan Tembok Pagar yang Kotor


Oleh: Muhammad Faried



            Ditendangnya botol plastik kosong bekas air mineral tak berdosa itu, sehingga melesat terbang dan jatuh ke dalam got, yang mengagetkan kerumunan lalat di air selokan kotor tersebut. Mungkin, ada beberapa ekor lalat benar-benar tertimpa botol plastik bekas tadi, atau setidaknya ketenangan lalat-lalat yang sedang asik berkerumun di air comberan telah terusik, menjadi korban kesewenang-wenangan si Rahman.
”Yah..., bagi seorang suami terkadang memang sulit untuk menerima kesuksesan yang berhasil diraih istrinya. Memang wajar jika kau, sebagai kepala keluarga merasa tersaingi atau terancam eksistensinya”, imbau Kadir pelan, meniru-niru gaya seorang psikolog.
Rahman cuma menyahut dengan dengusan nafas berat. Lalu dia bangkit berdiri. Kadir mengira, Rahman hendak menendang ember butut yang berada di tepi selokan. Ternyata Rahman cuma hendak meluruskan kakinya yang sudah terasa pegal atau kesemutan lantaran sudah hampir satu jam duduk mendungkung di trotoar depan rumah Kadir. Tetapi, Kadir kembali merasa cemas karena Rahman tak lekas kembali duduk. Oleh sebab itu pula, Kadir merasa perlu untuk menambah kewaspadaan. Siapa tahu tiba-tiba saja Rahman menendang ember tadi dan pastilah air kotor yang berada di dalamnya akan muncrat membasahi pagar rumah yang baru saja setengah kering, selesai dia cat.
            ”Akan aku ceraikan si Nikmah”, gumam Rahman berdesis seperti ban kempes.
”Apa...? Nikmah mau kau ceraikan ?. Istri sehebat si Nikmah akan kau ceraikan ?. Setan apa yang mendadak bikin kau menjadi bodoh, Man ?. Oh Tuhan...betapa kerdilnya laki-laki yang bermaksud menceraikan istrinya yang pandai mencari penghasilan banyak !”, berondong Kadir, menyerbu dengan kalimat yang cukup menyesalkan niat tololnya Rahman. Tetapi itulah kesalahan fatal satu-satunya yang pernah Kadir lakukan. Lantaran terlalu bersemangat memberondong Rahman dengan kata-kata hujatan itu, maka dengan begitu Kadir tidak melihat kaki Rahman yang panjang berkelebat, dan...byuuur !. Air kotor di dalam ember muncrat, hingga sebagian besar menodai tembok pagar. Kadir pun tertegun karena telah merasa gagal menjadi petugas keamanan yang seharusnya selalu waspada.
”Biarlah dianggap bodoh, asalkan aku tidak beristrikan wanita seperti Nikmah”, sanggah Rahman memendam kekecewaan.
            Kadir masih tertegun tidak percaya. Dia pandangi dengan sedih cat tembok pagar rumahnya yang telah ternoda air kotor. Dan sengaja untuk menghibur dirinya sendiri, Kadir mengangan-angankan bahwa cipratan  air kotor itu adalah merupakan sebuah lukisan abstak karya seniman besar, almarhum Affandi.
”Aku tidak sanggup lagi hidup bersama dengan Nikmah. Aku tidak sanggup lagi terus-menerus dipaksa menipu diri sendiri !”, erang si Rahman terdengar parau.
”Demi para sufi yang telah wafat !. Aku bilang padamu, Man..., kau hanya takut hidup di bawah bayang-bayang kebesaran istrimu. Kau cemas karena merasa kalah pamor dengan Nikmah. Maka, makin kau tidak menerima dan mengakui sukses serta kebesarannya, kau akan semakin menderita”, tuding Kadir agak keras, sebab dibarengi amarah akibat tembok pagar rumahnya telah kotor ternoda.
”Nama besar, sukses, keberhasilan yang mencelakakan !”, sahut Rahman dengan lebih sengit.
”Mencelakakan...?. Dasar sapi !. Kau lupa, Man ?. Kau lupa bahwa kau pun ikut andil dalam sukses istri mu itu !”, cerca Kadir menjadi-jadi.
”Apa..., aku ?. Aku ikut andil ?”, tanya Rahman menuding dadanya sendiri.
”Ingatlah !. Kaulah yang semula mengajukan ide serta mengasih modal awal untuk memulai usaha Nikmah. Kau ingat hal tersebut ?”, desak Kadir lagi.
Rahman hanya tertegun dan makin tertunduk, karena dia semakin merasa tertekan oleh pernyataan Kadir tadi. Kemudian Rahman mendongak ke atas langit, lalu menggelengkan kepalanya lemah sambil menggerakkan kakinya. Kadir telah siap mencegah dan berusaha siaga agar Rahman tidak menendang tong sampah yang terletak di tepi trotoar jalan.
”Keputusanku tidak akan pernah berubah !”, tegas Rahman sambil mengeloyor pergi.
”Rahman...!”, seru Kadir cemas memasang kuda-kuda, sebab Rahman benar-benar mendekati tong sampah. Sampai akhirnya dia dapat menghela nafas dengan lega ketika dia melihat Rahman hanya melewati tong sampah tersebut, tanpa menendangnya.
            Setelah Rahman hilang di tikungan jalan, Kadir berpaling dan memandang tembok pagar rumahnya yang sekarang kotor. Namun sebenarnya yang ada dalam pikiran Kadir adalah bagaimana caranya dia harus menyelamatkan bahtera perkawinan Rahman dan Nikmah yang diambang kehancuran. Betapa tidak, Rahman serta Nikmah sudah dikenal Kadir semenjak mereka sama-sama kecil. Mereka lama bersahabat,  bahkan mungkin sudah saling menganggap seperti halnya saudara sendiri. Dan andaikan Kadir tidak ikut-ikutan prihatin untuk menyadarkan Rahman yang berniat menceraikan Nikmah, tentulah dia akan senantiasa diburu peasaan bersalah seumur hidupnya karena telah membiarkan dua sahabatnya mengalami bencana kehancuran rumah-tangga.
            Sepanjang perjalanan menuju ke rumah Rahman, benak Kadir masih diliputi berbagai macam pertanyaan di dalam hatinya. Khususnya tentang apa yang menjadi kekurangan Nikmah, sehingga Rahman hendak menceraikannya. Kadir berpendapat, Nikmah adalah merupakan sosok seorang istri yang ideal. Cantik, cerdas, cekatan, dan terutama sekali kepintarannya membuka peluang usaha. Pokoknya bagi Kadir, Rahman benar-benar telah keliru dalam mengambil sebuah keputusan. Mungkin dikarenakan terlalu keasikan memikirkan permasalahan yang tengah dihadapi sahabatnya, Kadir pun tidak menyadari kalau rumah Rahman nyaris saja terlewati. Hingga dengan bergegas, dia kembali memutar balik arah.
            Keadaan rumah Rahman kali ini sungguh terasa asing bagi Kadir. Lain dari biasanya, tampak suram dan sunyi. Sedangkan Rahman sendiri, selaku tuan-rumah, termanggu diam dengan tatapan matanya yang teramat sarat oleh beban pikiran.
”Nikmah ke mana, Man ?”.
”Pergi, ke luar daerah...”.
”Seharusnya kau berbahagia, Man. Juga harusnya bangga mempunyai istri yang merupakan seorang wanita karier, yang sukses. Pikirkanlah kembali masak-masak !. Jika engkau menceraikan Nikmah, tentulah kau tidak akan sedikitpun merasakan kemewahan seperti sekarang ini”, himbau Kadir pelan sangat hati-hati sambil menunggu reaksi dari Rahman, yang cuma terdiam sambil menarik nafasnya dalam-dalam. Rahman beranjak meninggalkan Kadir, masuk menuju ke dalam ruang kerjanya. Dan sekembalinya dari ruangan kerjanya, Rahman langsung membanting dengan keras setumpuk foto tepat di depan hidung Kadir, yang jelas-jelas membuatnya gelagapan terkaget-kaget.
            ”Foto apa ini, Man ?”, tanya Kadir yang masih belum sadar dari rasa terkejutnya. Namun dia kontan berjongkok untuk memunguti foto-foto yang berserakan di hadapannya.
”Kau lihat saja sendiri, dengan sejelas-jelasnya”, rutuk Rahman terdengar hambar. Bersamaan dengan itu pula, mata Kadir pun terbelalak, melotot, seperti mau copot karena di foto-foto tersebut nampak Nikmah berfose sangatlah binal dengan pasangannya yang berganti-ganti.
”Dari mana kau dapatkan foto-foto semacam ini?”, inguh Kadir seperti tidak percaya dengan foto-foto yang berada di tangannya.
”Aku sendiri yang memotretnya secara diam-diam. Dan dua tahun sudah aku pun mencoba bersabar serta terus bertahan”, jelas Rahman tanpa ekspresi. Sedang Kadir sendiri tertegun diam seribu bahasa. Dia seperti merasakan sesuatu yang aneh dan dingin mengepung dari segala penjuru.
”Aku tak ingin menghancurkan kesuksesan serta nama baiknya. Maka oleh karena itulah, aku mesti menceraikannya. Walau aku pun masih tetap mencintainya, sebab biar bagaimanapun juga, Nikmah adalah istri dan ibu dari anak-anakku”, lirih suara Rahman terdengar kelu, tanpa mampu meneruskan ucapannya lagi. Dia terisak-isak dalam tangisannya yang pilu. Sampai-sampai Kadir berpaling, karena dia tidak tahan melihat tangisan sahabatnya. Dan bersamaan dengan itu pula, dari balik pintu kamar yang terbuka, mata Kadir pun membentur pada sosok kedua anak perempuan Rahman yang baru terbangun dari tidur mereka.
”Papa...!. Mama pergi lagi ya...?”.
Suara anak Rahman itu terdengar serasa mengiris daun telinga Kadir.
   


                                                           


Tentang Teman Seperjalanan

Oleh : Muhammad Faried


            Buatku, sekarang adalah perjalanan laut yang kesekian kalinya. Dan tetap saja keadaannya masih sama seperti pertama kali aku naik perahu motor besar ini. Seperti perasaan yang memberikan perasaan simpang-siur, muncul melompat-lompat saling mendesak-desak, berebut tempat, berganti-ganti menguasai diriku. Hingga di atas perasaan itu, rasa ketergantungan akan nasib kecemasan akan bencana, harapan akan keselamatan, dan ketidakberdayaan terhadap kebesaran alam, hadir dalam bentuknya yang paling sempurna.
            Kemudian aku mencoba menoleh ke sekeliling untuk melihat orang-orang di luar diriku, orang-orang yang begitu asing bagi diriku. Di geladak, di lorong-lorong, bergeletakan, terbaring, duduk, seperti benda-benda yang dihamburkan begitu saja. Sampai pada akhirnya aku mencoba menghela nafas. Dan rupanya, suara helaan nafas beratku tadi menarik minat seorang perempuan yang sudah sejak lama tadi berdiri di sebelahku, lalu dia menoleh serta memandang diriku.
            Walau sekilas, dalam keremangan, aku menangkap pancaran sinar mata perempuan itu, seperti bercahaya, menawarkan persahabatan, mengundang pembicaraan. Aku pun senang menerima itu. Dengan pasti, aku mendekati si perempuan. Karena dalam ketidak tentuan hati seperti sekarang ini, aku lebih banyak mengikuti saja dorongan yang muncul dalam benakku. Dan dorongan yang muncul saat itu adalah berbicara dalam arti sebenar-benarnya. Dengan kata-kata, dengan suara.
”Tidak bisa tidur ?” tanyaku membuka pembicaraan.
”Iya, masih belum ngantuk.” jawab suara yang terdengar amat merdu dan mendayu di telingaku.
”Sama. Bagaimana kalau kita ngobrol, setuju ?” ajakku lebih ramah, penuh gairah.
            Si perempuan tidak langsung menjawab. Tetapi mengangguk buat menyatakan persetujuannya. Lalu, dia bergeser sedikit, memberi peluang lebih besar pada ruang di sebelahnya. Menandakan undangan resmi terhadapku. Setelah itupun, pandanganku segera menyergap profil si perempuan dengan seksama. Hingga memberikan penilaian sendiri tentang dirinya di dalam benakku.
”Seorang yang menarik dan cantik. Rambutnya panjang terurai, matanya berbinar laksana bintang kejora, hidung mancung, dengan bibir tipis memerah-merekah, dan ketika tersenyum, tampak giginya yang kecil-kecil tersusun rapi, bersih sekali, putih mengkilat. Benar-benar memenuhi ukuran keindahan dari seluruh keadaannya. Ditambah penampilan yang tenang serta lembut, cukup sesuai dengan perpaduan warna biru yang dominan melekat pada tubuhnya”  komentar suara batinku.
            ”Mau kemana ?” tanyaku.
”Saya kira kapal ini hanya punya satu tujuan.” jawab si perempuan itu cerdik, tanpa menoleh. Aku pun tertawa kecil, membenarkannya.
”Maksudku, tujuanmu setelah ini.”
”Langsung pulang. Ke rumah.”
”Sudah sering berlayar ?”.
”Tidak. Baru kali ini, kamu ?” ujar si perempuan balik bertanya.
”Sering. Bahkan teramat sering. Bagaimana perasaanmu ?”
            Si perempuan itu mengangkat bahunya. Tidak jelas apa maksudnya.
”Dengan siapa ?” buruku lagi.
”Sendirian.”
”Sendirian ?” aku terkejut sesaat. Kemudian sadar, untuk tidak ada yang perlu diherankan. Wajar saja.
”Kenapa ?. Kau terkejut ?”.
”Akh, tidak. Cuma...”.
”Barangkali kurang pantas, seorang wanita melakukan perjalanan seorang diri. Orang tuaku juga bilang begitu!” lanjut perempuan itu. Kali ini dengan nada yang kurang menyenangkan. Ada sebersit duka tersirat di dalam ucapannya.
            Gemuruh suara mesin kapal samar-samar sampai ke telingaku. Malam pun terus turun perlahan-lahan, semakin dalam menyusup ke laut, ke hitam kelam, ke gelap malam.
”Ngomong-ngomong, nama kamu siapa ?” sengaja aku berinisiatif memecah kesunyian yang sempat menyelimuti kami berdua.
”Rani. Kamu ?” ucap si perempuan tanpa mengalihkan pandangan kosong matanya yang seakan ingin menembus kegelapan malam.
”Aku Jul” spontan saja kujawab. Lalu percakapan kembali terhenti dengan seketika, sampai beberapa saat lamanya.
”Sudah memiliki seseorang. Kekasih, atau suami ?” sengaja aku memburu keterdinginan yang sebetulnya sudah mulai merambat ngilu menggerogoti tulang-belulang pada sekujur tubuhku.
”Aku seorang janda. Akh, sebetulnya tidak dapat dikatakan begitu, karena dia tidak pernah menikahiku secara resmi.” hela Rani dengan terlalu terus-terang.
            Kembali aku tidak mampu mengatasi rasa terkejut. Nampaknya, si perempuan yang bernama Rani ini selalu saja mampu untuk membuatku melongo kaget, sampai-sampai tidak sadar sudah beberapa saat lamanya, aku tidak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan dan ragu-ragu untuk dapat mempercayai kata-kata dari Rani barusan tadi.
”Kau tidak percaya ?” imbau Rani seolah menangkap keraguanku.
”Iya, kau terlalu berterus-terang.” sanggahku jujur.
”Apa keterus-terangan tidak bisa dipercaya ?”
”Bukan, bukannya begitu. Tetapi...”
”Hanya karena kita baru saja berkenalan. Jadi tidak wajar untuk berkata jujur. Begitu ?” dengan cepat Rani melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong dengan pandangan dingin menatap tajam. Sedangkan aku merasa tersudut serta gelisah dibuatnya. Sementara si perempuan cantik dengan wajah dingin itu tampak tenang-tenang saja, menikmati hasil sebuah kejujurannya.
            Aku merasa menyesal telah menanyakan hal itu, yang telah memberi peluang buat Rani untuk mengungkapkan hal-hal pribadinya. Dan bersamaan dengan itu pula, muncul kekhawatiran, kalau-kalau si perempuan ini akan lebih banyak lagi mengungkapkan keadaan dirinya.
”Tidak, kau jangan memberi peluang lagi, Jul. Lebih baik kau tinggalkan saja dia sekarang ! Dan ingat Jul, kaukan punya etika.” suara batinku kembali menyeruak, menguap.
”Kadang-kadang aku merasa dituntut untuk tidak berkata jujur. Dan yah..., itu lebih sering membuatku malu sendiri, juga gelisah karenanya.” gumam Rani sambil menghela nafas pelan-pelan di ujung kata-katanya.
            ”Aku bisa mengerti. Hanya saja aku tidak siap. Aku tidak menduga akan keterus-teranganmu”, aku pun mencoba untuk jujur.
”Ah...itu adalah hal yang wajar, Jul. Dan memang, sebagian orang akan menafsirkan jawabanku itu merupakan suatu isyarat untuk mengajak supaya lebih intim lagi. Karena di mata mereka, aku seakan merupakan wanita yang pantas untuk dibirahikan. Sikap yang sangat meluakaiku. Apakah pernyataan aku seorang janda begitu buruk citranya, Jul ?” getir nada pemberontakan bergetar, mendesak di dalam dada Rani.
”Kukira..., kukira tidak !. Kau terlalu berprasangka”.
            Agak lama keheningan itu pun berlangsung tak terusik. Deru suara mesin kapal yang terus-menerus begitu-begitu saja, berbaur dengan angin dan waktu. Tidakkah itu merupakan deru sang waktu sendiri. Bergeser dengan laut, kapal, angin, dan langit.
”Kau kelihatan sangat letih, Jul”, teguran Rani menembus deru angin, juga deru suara mesin kapal. Sambil tetap saja, matanya menerawang kosong pada kegelapan malam yang sepertinya begitu akrab dengannya. Aku hanya menunduk, mengiyakan dalam hati dengan sedikit gerakan bibir, ”Kau tidak keberatan, kalau aku...”.
”Tidak, sama sekali tidak Jul. Sedikit pun aku tidak keberatan, karena aku sudah terbiasa begini. Dan juga, terima kasih banyak Jul. Kau telah sudi menjadi teman bicaraku malam ini”, lirih suara Rani mengantarkan langkah kakiku menuju peraduan untuk sekedar melenakan keletihan jiwaku.
            Rabaan nakal sang raja pagi membangunkanku akan ketertiduran yang lumayan pulas. Seketika, pandanganku langsung tertuju ke tempat di mana aku dan Rani sempat menghabiskan sebagian malam temaram. Bergegas aku beranjak dari rebahku serta berharap kalau-kalau Rani masih berada di sekitar situ.
Tak jauh dari tempatku berdiri, seorang anak buah kapal (ABK) sedang membersihkan sebagian lantai kapal yang memang sangat kotor. Tanpa diperintah aku mendekati ABK itu, untuk menanyakan tentang keberadaan Rani dengan memberikan sedikit gambaran beserta ciri-cirinya. Akan tetapi di luar dugaanku, si ABK malah balik bertanya, ”Namanya Rani, kan...?”.
”Ya...iya, be...betul. Na...namanya Rani”, jawabku terbata-bata dipenuhi kegugupan.
”Oh, kalau Rani yang Bung sebutkan itu. Dia telah meninggal setahun yang lalu, bunuh diri, terjun ke laut sewaktu malam buta, tepat  dimana tadi Bung berada”.
Mendadak aku pun terbisu dalam kelu di bibir, dengan tubuh bergetar. Bahkan kelanjutan kata-kata si ABK seterusnya tidaklah kupedulikan lagi, karena di dalam batin dan benakku sedang terjadi peperangan yang maha dahsyat, menguasai seluruh pikiran yang berkecamuk pada seluruh persendian di sekujur tubuhku.
        

(15032007)bersama Kandangan kuucapkan
makasih yang sebesar-besarnya buat 
sobatku: Kasful Anwar ’dudhuy’ & Muslim
di rumah Allah ”Taqwa”.
           


















INDROKUNESIA
Oleh M. Fuad Rahman
“REVOLUSI!!!”
Lantang gemuruh suara dari beratus bibir yang bergerombol seraya membawa spanduk-spanduk bertuliskan bermacam-macam hujatan dan cacian. Demonstrasi besar-besaran mengalami puncaknya pada hari ini. Kekesalan yang ditunjukan para demonstran dengan melakukan teriakan dan yel-yel revolusi terus menggema di seluruh antero negeri Indrokunesia. Krisis multidimensi melanda negeri ini, apalagi sejak dulu, sejak negeri ini mulai dinamakan Indrokunesia tak pernah rakyatnya merasakan kesejahteraan. Yang ada malah terjadi berbagai macam ketimpangan-ketimpangan. Sistem pemerintahan yang sangat berbau nepotisme juga menambah semaraknya ‘ke-anehan’ di negeri Indrokunesia yang pada dasarnya memang aneh.
Rakyatnya mulai bosan dengan pemimpin mereka yang dikenal otoriter, bengis, dan segala macam hal-hal yang bikin gemes lainnya. Entah bagaimana cerita dan sejarahnya, yang namanya Drakula dan para konco-konconya yang sejenis termasuk Vampire menguasai negeri ini. Mulai dari struktur pemerintahan pusat sampai ke daerah-daerah. Padahal yang namanya Drakula dan Vampire itu bukan makhluk dari negeri sini asalnya. Mereka dari sono, jauuuh sekale! Sampai nggak kebayang jauhnya Mungkin ini juga yang jadi asbab kenapa negeri ini dinamakan Indrokunesia. Karena yang memimpin para Drakula, mungkin!? Sedang mahluk yang asli di negeri ini cuman jadi peran pembantu doang. Kerjanya, ya, iseng-in manusia-lah, kalau ada juga yang agak berpendidikan, bisa berkongsi ria ama manusia yang diberi gelar dukun. Itupun juga mesti ikut seleksi ketat! Ketat gimana? Ketat banget dah pokoknya!.  Yah…, ada juga yang lebih beruntung, mereka bisa ikut casting maen film ‘join-an’ ama manusia. Lumayan lah buat nambah ‘tabungan’ ( dosa ), biar nanti ketika nenek moyangnya, si burung belibis, eh, si Iblis sadis, berkudis, bau amis, pake kumis and ceriwis (maaf, ya, Blis. Sengaja!) nanya-in mereka, “Udah bikin apa saja buat saya?”, mereka udah punya black list-nya. Nah karena hal itulah demo ini dilakukan. Bersama-sama mereka turun jalan, mulai dari golongan Tuyul, Kolor Ijo, Genderowo yang kurang serem (karena yang serem udah jadi polisinya Drakula), Sundel bolong, Kuntilanak, Wewe Gombel, Pocong, Kuyang, Pulasit, Tanggalanan, Hantu beranak, Jenglot, Muka rata, Hantu bekisut, Mayat hidup, Demit, dan berbagai siluman jejadian, serta tak ketinggalan Mak Lampir ama Nini Pelet juga ikut dalam demo akbar itu.
“Bagaimanapun, kita mesti melakukan Revolusi! Itu jalan satu-satunya!” Teriak seorang, eh, se-hantu pocong dari atas podium dengan lantang menggunakan pengeras suara.
“Booo…!!!” Jawab hadirin serentak yang berarti menyetujui.
Itulah salah satu ‘anehnya’ negeri Indrokunesia. Mereka mempunyai bahasa persatuan yang menjadi bahasa nasional mereka. Padahal masing-masing jenis mahluk yang ‘hidup’ di dalamnya mempunyai bahasa sendiri-sendiri.Yang kadang-kadang saja sih mereka pergunakan. Sebenarnya jauuuh… sebelumnya, pemerintah menganjurkan untuk berbahasa Indrokunesia dengan baik dan benar. Emang gue pikirin! Begitu yang sering dilontarkan para hantu. Apalagi bagi bu Kuntilanak yang taunya cuman ketawa-ketiwi doang. Ditanya manusia; “lu siapa?”, eh, dijawabnya; “hi…hi…hi…” sambil mamerin taring yang kuning kagak pernah gosok gigi. Nah, lu!
Back to the situation. Massa yang semakin beringas berusaha merengsek masuk ke dalam istana kepresidenan para Drakula. Tentu saja itu menimbulkan reaksi keras dari para Drakula dan konconya. Gimana tidak marah, wong lagi uenak-uenak duduk di kursi empuk trus ada yang ngegoyangin ini kursi? Emang ini kursi goyang apa? Mungkin seperti itu yang ada dalam kepala tuh Drakula-drakula. Namun massa yang semakin banyak saja tetap tak peduli, mereka terus berusaha masuk. Walau istana itu di batasi pagar anti hantu, tapi mereka tak peduli. Yang penting usaha, yang penting masuk! Kalau udah di dalam mau ngapain, kagak ada yang tahu. Pokoknya masuk dulu, urusan mau ngapa-ngapain, ntar aja! Serbu!
“Apakah kita perlu menambah personil lagi, Sir?” Tanya mahluk bertubuh besar tinggi hitam dengan wajah dingin kepada si Presiden Drakula setelah berada dalam ruangan Presiden. Tanpa ketuk pintu lagi.
Si Drakula menatap tajam pada mahluk yang berdiri dihadapannya, setajam taring yang memanjang di sela bibirnya, lantas dia berdiri dan berucap keras, “Sit! Apa kau tidak lihat itu para mahluk sialan pada makin banyak?!”
“Siap, sir. Saya akan melaksanakan perintah!” jawabnya dengan nada sedikit bersalah. Lalu dia pun segera beranjak keluar lagi. Tapi belum sampai di pintu si Presiden memberi perintah lagi.
“Kalau perlu tempatkan para sniper, bunuh saja yang kira-kira akan membahayakan!”
“Siap, sir!” angguknya ragu.
“Genderowo bodoh!” sumpah drakula itu setelah pimpinan militernya keluar dari ruangan.
“Drakula sialan!” si genderowo balas nyumpah, tapi saking kagak beraninya, dia cuman ngedumel dalam hati. Badannya doang gede, nyalinya? Sepet!
“Enak aja lu bilang gua sepet! Gua nunggu kesempatan aja. Awas nanti, gua bukti-in. Emang enak, di suruh ngebunuh sodara sebangsa dan setanah air sendiri?! Maaf, ye. Biar imut (item mutlak!) gini, gua juga masih punya hati nurani tauk!”
Trus kenapa mau-maunya jadi tentaranya tuh Drakula?
“Kepaksa tauk! Daripada gua kagak ada pekerjaan, sekarang susah nyari pekerjaan! Anak bini gua mau diberi makan apaan? Huh! Eh, gua barusan ngomong ama siapa tadi? Bangsat! Gila juga nih otak ‘ntar…!!”
Beberapa Drakula lain dan para Vampire yang sejak tadi memang sudah berada di ruangan itu membisu dan tak berani mengeluarkan kalimat apapun. Entah karena takut dengan Drakula yang satu itu, atau memang sudah kehabisan akal, entahlah. Namun yang pasti di luar istana para demonstran terlibat saling dorong dengan para genderowo-genderowo pilihan yang bertubuh tinggi besar hitam berwajah seram dan kagak pernah senyum, apalagi nyengir (kuda dong?!). Mungkin sudah bawaan dari orok kali, ya?! Mereka memang sengaja dijadikan pasukan pengawal presiden atau kerennya dikenal dengan sebutan PASPAMPRES, dan dijadi-in polisinya negeri Indrokunesia ini karena dianggap mahluk yang paling guede dan paling kuat.
“Pokoknya kita harus melaksanakan pemilu ulang yang lebih adil dan ber-demokrasi! Betul kawan-kawan?” teriak seorang Kolor ijo yang saat itu juga ditunjuk jadi orator.
“Booo…!!!”. Hadirin mengiyakan.
“Selama ini kita telah tertindas, sudah berapa generasi kita merasakan penderitaan. Kita tak bisa lagi dengan leluasa ke dunia manusia karena kebijaksanaan sepihak dari pemerintah yang melakukan kerjasama bilateral dengan manusia. Para tuyul sejati tak bisa dengan leluasa nilep uang, trus manusia kagak takut lagi ama si otong, eh, si pocong, bu Kunti (Kuntilanak maksudnya) udah kehilangan wibawanya ampe kutilan, sedang dari kaum gue sendiri jadi bahan tertawaan manusia! Malah manusia itu makin berani nantang ketemu ama kita yang dulu dikenal seremnya minta ampun! Apalagi gue dianggap tidak eksis oleh mereka …” teriak si Kolor ijo lagi dengan perasaan haru. Badannya ikut ijo ngikutin warna kolornya yang udah mulai kedodoran. Lalu dia melanjutkan orasinya, “Kaum gue kagak ada lagi mata pencaharian! Padahal ‘adik’ gue udah kagak tahan lagi! Sedang para pemerintah enak ngisapin darah manusia terus, bahkan ada aja yang ngisap darah rakyatnya sendiri ampe ludes…des! kayak kasus bu Wewe Gombel yang dadanya makin kempes…!?! Apalagi kite tau semua, di negeri ini, drakula itu para imigran gelap karena mereka pakai baju item terus! Eh, apa gue kagak salah, nih? Sekarang BBM (Bahan Bakar Menyan) pada naik lagi! Pokoknya harus ada revolusi. Kagak adil…dil…dil…!!!”
“Ijo…, Ijo…, Ijo…!!!” koor para pendemo dengan irama kaya iklan di televisinya manusia.
Massa yang makin membludak memaksa pasukan anti huru-hara siaga penuh. Penambahan personil dilakukan guna mencegah hal yang tidak di inginkan, bahkan kali ini dilengkapi dengan berbagai atribut dan pakaian anti kerasukan hantu karena dikhawatirkan ada hantu yang bisa merasuki para polisi Genderowo gendeng. Namun desakan para demonstran juga tak kalah hebatnya, yang membuat para aparat semakin kewalahan menghadapi desakan-desakan itu. Sedang gemuruh yel-yel anti Malaysia, eh, anti Drakula semakin riuh seiring bertambahnya para hantu yang ikut demo.
Situasi dalam istana semakin mencekam. Kebingungan melanda ruang pertemuan para pejabat Drakula.
“Bagaimana sebaiknya ini, penasihat?” Tanya si presiden Drakula pada seorang penasihat dari jenis Vampire.
Penasihat yang dulunya berasal dari yang negeri tetangga RRC (Republik Rakyat Civampina) lalu migrasi ke Indrokunesia dan langsung diangkat menjabat penasihat itupun tertunduk sebentar. Lalu dia mengangkat dagunya dan berjalan, eh, meloncat-loncat ke arah meja presiden sembari berbisik. “Sebaiknya kita halus membicalakan ini ha pada pala anggota dewan dan melaksanakan lapat teltutup…” katanya dengan logat yang khas.
“Kau yakin, penasihat, kalau ini jalan yang terakhir? Tapi bagaimana dengan para mahluk sialan di luar itu?”
Hayya…! Bapak Dlakula yang telholmat, untuk mengatasi massa di lual, cukup anda pelintahkan kepada oe dan bebelapa olang untuk melakukan diskusi dengan pemimpin meleka.”
Drakula mikir sebentar. “Baik! Semuanya saya serahkan padamu, penasihat.” Sang Drakula pun kemudian beranjak dari kursi kebesarannya, namun sebelum itu dia menunjuk dua orang, aduh! Maaf kesalahan penulis! Dua hantu lainnya maksudnya. Satu dari kaumnya sendiri, Drakula juga, yang kedua dari bangsa Vampire tapi bukan dari jenis si penasihat yang notebane dari Civampina.
Para pejabat pemerintahan Drakula pun membubarkan diri bersama-sama menuju ke ruang para dewan. Sedang si penasihat dan dua mahluk penghisap darah tadi menuju keluar istana dengan dikawal beberapa genderowo. Agak keder juga tuh penasihat melihat muka para demonstran yang marah. Udah emang dari sononya serem kini jadi tambah serem, kagak kebayang dah kaya apa seremnya. Saking seremnya!
“Tenang, tenang, tenang sodala-sodala sesama hantu!” ucap penasihat dari balik pagar pembatas. Namun massa yang terlanjur kesel abis tetep aja kagak mau tenang. Melihat massa seperti itu, si penasihat minta bantuan. “Hayya…!Tolong kamu bilang kami mau membelikan pelnyataan!” katanya pada komandan genderowo.
Tanpa basa-basi, perintah langsung dilaksanakan. “Saudaraku setanah air, mohon tenang sebentar. Penasihat ingin bicara!”
Nada suara yang kayak ledakan gunung Krakatau itu akhirnya bisa mendiamkan kehiruk-pikukan massa. Untung aja tadi nih komendan batal minta bantuan dari para dukun manusia. Kalau jadi, hiii… kagak kebayang bakal gimana para hantu-hantu yang lagi demo. Ngebayanginnya aja kagak sanggup!
“Sodala-sodala. Kami faham dengan maksud sodala semua. maka dari itu kami bersedia melakukan dialog, tapi kami meminta hanya bebelapa olang saja sebagai pelwakilan dali semuanya untuk masuk dan duduk satu meja dengan kami. Bagaimana?”
Massa yang tadi beberapa jenak sunyi kembali gaduh. Tiap mulut memberi tanggapan, hanya kaum bu Kunti aja yang tetep ketawa-ketiwi menanggapi. Namun ada aja hantu yang sempat nyeletuk, “bicala aja gak benel, gimana mau diskusi? Dasar pecel lele?! (gak ada hubungannya!)”.
Si penasihat yang mendengar pasang muka masem. “Walengsek!” umpatnya.
Setelah itu terjadilah diskusi kilat para pendemo dan diputuskan empat orang perwakilan. Yaitu si Pocong, Kolor ijo, si Tuyul, dan bu Kunti sebagai pelengkap penderita. Sedang yang lain tetap berada di luar. Maka masuklah empat perwakilan tersebut mengiringi loncatan penasihat dan konconya.
Dialog pun terjadi. Empat perwakilan dari rakyat Indrokunesia itu menyampaikan point-point yang mereka jadikan tuntutan. Mulai dari kebijakan-kebijakan sepihak pemerintah yang selalu jauh dari nilai demokrasi, beberapa kasus korupsi dan nepotisme dalam pemerintahan serta berbagai kasus pelanggaran HAH (Hak Asasi Hantu) yang tidak selesai-selesai seperti kasus Bu Wewe gombel, dan tuntutan pelaksanaan ulang pemilu. Tak ketinggalan juga perbaikan kesejahteraan secara merata di semua kalangan, tak mengenal kaum dan golongan. Mau dia golongan pocong kek, golongan zombie kek, golongan mak lampir kek, golongan kuyang kek, golongan kolor ijo kek, golongan tuyul gundul pacul kek, golongan karya kek, eh, golongan karya itu jenis hantu juga, ya? Hiii… takut!
“Pokoknya kami hanya minta keadilan dan pemilu dilakukan ulang! Revolusi!!!” tegas si Kolor Ijo yang paling vokal di antara yang lain.
“Ya, kami tak mau dibodohi lagi oleh kalian. Kami ingin hak kami sebagai hantu diperhatikan! Kami sudah bosan!” sambung si pocong tak kalah tegas.
“hi…hi…hi…” bu Kunti mengiyakan diiringi anggukan tuyul gundul pacul yang ada di sebelahnya.
Penasihat dan konconya saling berbisik mendengar pernyataan mereka beberapa jenak sebelum menanggapi.
“Baik. Kami akan sampaikan tuntutan kalian, tapi kami minta waktu untuk melakukan lapat…,”  kata si penasihat berusaha meyakinkan. “kami mohon kalian bubalkan dili dulu, kalena kami khawatil ada plopokatol yang memanfaatkan momen ini…”
“Kami akan membubarkan diri apabila sampeyan-sampeyan bisa meyakinkan kami terlebih dahulu bahwa negeri Indrokunesia yang kami cintai ini makmur sesuai dengan harapan kami!” guntur si pocong.
“Kalian orang saya jamin tak akan kecewa. Semua tuntutan akan ditampung dan akan dibicarakan!” ucap si Drakula, konconya si Vampire berusaha meyakinkan, dengan logat kebarat-baratan.
Akhirnya dengan perdebatan yang singkat namun alot, penasihat berhasil meyakinkan Kolor ijo, Pocong, bu Kunti, dan si tuyul gundul pacul. Mereka pun keluar lagi dan memberikan beberapa pernyataan dari janji-janji pemerintah serta mengajak massa untuk membubarkan diri. Karena udah yakin en percaya ama orator si Kolor Ijo, mereka pun membubarkan diri namun tetap dengan gemuruh yel-yel revolusi. Untunglah kagak ada hantu yang mati dibidik sniper, karena, konon kabarnya, yang namanya mati untuk kedua kali itu sakitnya luar biasa. Heh! Emang enak jadi hantu? Kasiaa…an deh lu!

***
Situasi di ruang dewan sedang camuh. Berbagai suara memenuhi ruangan ketika si penasihat mengumumkan hasil dialog dengan para demonstran. Sedang bapak Presiden Drakula yang terhormat habis akal, nggak bisa ngomong apa-apa. Rambutnya yang biasa licin kaya jalan tol udah awut-awutan kagak karuan mikirin nasibnya nanti bagaimana. Rapat yang menghadirkan seluruh anggota dewan itu, rupanya kagak selesai-selesai. Karena banyak yang beda pendapat bahkan hampir terjadi pertarungan sengit dari beberapa anggota, namun bisa ditenangkan si ketua rapat. Rapat yang cukup alot dan rame banget plus lucu. (bayangin aja deh, ketika nonton film paling lucu yang pernah pembaca lihat. Nah, seperti itulah rapat di dewan ini, dewan perwakilan rakyat Indrokunesia. He…he…he…, lucu banget dah!)
Tok! Tok! Tok!
Palu pimpinan rapat dihantamkan ke meja.
“Perhatian seluruhnya! Berhubung sampai ini hari tidak didapat juga kesimpulan yang berarti, maka diputuskan bahwa akan dilakukan voting untuk menentukan apakah kita akan melakukan pemilu ulang atau tidak! Keputusan ini tak dapat diganggu-gugat, apabila ada yang keberatan harap berenti aja jadi dewan! Karena ini merupakan tuntutan dari rakyat Indrokunesia juga. Dan kita akan mengundang seorang manusia untuk saksi atas peristiwa ini, ini adalah aplikasi dari hubungan bilateral yang telah kita sepakati bersama. Namun tuh manusia tidak berhak mengucapkan apapun karena posisinya hanya sebagai saksi saja.”
Hadirin yang sedari tadi gaduhnya bukan main pun akhirnya senyap sesaat. Dan mau tidak mau menerima keputusan dari pimpinan. Keputusan itu disambut sebagian besar anggota dengan teriakan yang sama. Booo….!!! “Biar hantu-hantu gini, kami juga tahu yang namanya hormat pada pimpinan”. Seperti itu yang ada di benak para anggota dewan.
Yang namanya menghadirkan manusia itu bukan hal yang mudah. Maka diutuslah mahluk hantu yang paling sakti untuk menjemput manusia pilihan itu untuk dihadirkan dalam ruang rapat. Cukup lama juga acara ritual penjemputan itu, hingga akhirnya berhasil juga. 
Setelah situasi agak tenang, akhirnya dilakukan voting. Sedang si Presiden yang sejak tadi hanya manggut-manggut kagak karuan dengan berat hati terpaksa menerima keputusan itu juga. Voting yang dilakukan cukup rahasia dan terjamin keadilannya. Hingga pada puncaknya didapatlah hasil perhitungan voting yang disaksikan seluruh anggota tak terkecuali si presiden  Drakula yang terhormat dan si manusia pilihan sabagai saksi.
Sang pimpinan mengetuk palu untuk yang kedua kali minta perhatian. “Tadi sudah anda lihat hasil perhitungan dari voting yang baru saja kita lakukan. Maka bahwasanya, menimbang, memperhatikan, mengingat, dan memutuskan, pemilu di negeri Indrokunesia akan dilakukan ulang yang berarti Yang Terhormat Presiden Drakula lengser dari kursi kepresidenannya sekarang!”
Sang Drakula langsung kena stroke! “Apes dah! Bakal disumpahin moyang gua tujuh turunan. Nasib, nasib!”. Setelah ngedumel begitu dia langsung diantar ke peti matinya. 
“Booo…!!!” koor para sebagian anggota dewan yang delapan puluh persen menyatakan setuju. Dan diikuti sorak sorai seluruh makhluk yang juga ikut menyaksikan jalannya rapat lewat stasiun televisi kabel-nya hantu.

***
Setelah proses yang njelimet en rumit dengan dana APBN Indrokunesia. Dilakukanlah pemilihan umum ulang untuk memilih presiden baru, namun kali ini berbeda cara pemilihannya. Pemilihan dilakukan secara langsung oleh seluruh mahkluk yang ada dan harus benar-benar anak pribumi yang mbrojol dari perut hantu asli pribumi, keturunan hantu pribumi dan diamnya di negeri Indrokunesia. Bukan manusia yang jadi hantu karena ‘gigitan’ dari negaranya si Count of Drakula di sono! Jauuuhh… sekale nuju ke arah matahari terbenam sono! Lagian hal itu juga merupakan pasal kesekian dari tuntutan rakyat Indrokunesia.
Manusia yang dijadi-in saksi pelaksanaan perhitungan suara dari awal rapat sampai sekarang perhitungan hasil pemilu kerjanya diee…em aja, kaya patung. Kagak boleh ngomong soalnya, pamali kata tetuha hantu disana. Si manusia itu manggut-manggut doang.
Seluruh mata rakyat Indrokunesia, kecuali hantu si muka rata yang emang kagak ada matanya, tertuju pada satu hal, pengumuman pemenang pemilu. Siapakah dia? Sebuah pengeras suara yang berkekuatan dahsyat disiapkan untuk mengumumkan hasil pemilu. Diharapkan pengumuman ini akan terdengar sampai langit ke tujuh! Biar para malaikat juga tahu. Nah, lu!
Pimpinan dewan berdiri tegak di sebuah podium di depan istana kepresidenan sambil membawa beberapa lembar kertas, dan dengan lantang dia mengumumkan. “Ehm! Setelah dilakukan perhitungan dengan jujur dan seadil-adilnya, maka diperolehlah hasil pemenang pemilu. Dan yang berhak untuk menduduki jabatan ini menurut rakyat Indrokunesia adalah…,” pimpinan dewan itu berhenti sejenak sambil membuka lembaran halaman selanjutnya, “ee…Bapak Yang Terhormat Genderowo!”
“Booo…. (lagi)!!!” Serentak gemuruh suara dari rakyat Indrokunesia. Akhirnya, tercapai juga. Biar dari militer juga nggak papa, yang penting asli anak pribumi!
Mantan presiden terdahulu yang langsung jatuh sakit ketika mendengar dia lengser dari kursi goyangnya, eh, kursi empuknya, seketika pingsan mendengar pengumuman itu. Taring yang dulunya jadi kebanggaannya langsung ikut keropos. Jadilah si Drakula ompong! He…he…he… rasain lu!
“Yah…, kagak ada bedanya dong! Sama aja, dulu yang mimpin hantu, sekarang juga kagak jauh beda. Hantu juga…!!!” Celetuk si manusia pilihan yang sedari tadi duduk di sudut ruang.
Hus! Dibilangin jangan ikut ngomong, malah ngeyel! Diem aja kenapa sih?! Kuwalat kau nanti! Dasar lu Sumanto![]


   









PELACUR
Oleh M. Fuad Rahman
P

ancar matahari begitu menyengat hari itu. Mungkin hanya cacing gila saja yang berani menampakkan wujud di tengah terik matahari seperti ini. Si Zul melangkah gontai sambil menutup kepala dengan koran hari itu untuk mengurangi peluh yang semakin membuatnya basah kuyup karena kepanasan. Asap kendaraan yang lalu lalang menambah hangat suasana. Mungkin tukang becak dan para abang ojek saja yang mau kelayapan di siang bolong seperti ini, pikirnya. Terus si Zul sendiri? Dia bermaksud ke kantor redaksi salah satu koran lokal yang saat ini menjadi alternatif peneduh kepalanya. Cerpennya dimuat pada edisi kemaren, untuk itulah dia bela-bela-in jalan diterik matahari untuk sekadar mengambil haknya. Walau dia tahu, honor yang diterimanya masih tak sebanding dengan jerih payahnya untuk menciptakan satu karya. Yah, dia tahu itu.
Si Zul terkenang ketika dia pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. Beberapa keluarganya memang ada yang tinggal di Banjarmasin, tapi tekadnya untuk tidak jadi benalu orang lain memaksanya untuk tinggal sendiri dan berusaha untuk bisa hidup mandiri. Pertama menginjakkan kaki di seputaran Kayu Tangi, dan dia tetap saja di Kayu Tangi sekarang. Begitu banyak perubahan yang dia rasakan. Dulu, Kayu Tangi yang lebih banyak hanya berupa padang ilalang dan rawa kini ditumbuhi berbagai hutan beton, entah ruko atau apa. Ramainya para anak muda yang mencoba mengais ilmu di perguruan tinggi. Dan yang tahun demi tahun semakin bertambah. Yang akhirnya, seakan Kayu Tangi identik dengan kotanya para mahasiswa, identik dengan kebingaran kendaraan karena hampir saban sore atau malam para anak muda berkumpul dan beradu tangkas dalam memacu kendaraan mereka. Dan saat ini bukan hanya antaranak-muda itu saja, tapi sudah berubah menjadi arena bermain dengan para Polisi.
Si Zul berusaha untuk mengais serpihan masa lalu itu. Berangkat dari desa Ambutun[27] dengan modal semangat yang membara berusaha mencari kehidupan yang lebih baik. Umurnya waktu itu mugkin baru delapan belas tahun atau kurang dari itu, tapi nama Zul sudah dikenal orang, paling tidak dikenal oleh orang yang kebetulan pernah membaca beberapa puisinya yang dikirimnya ke beberapa media cetak. Dan Alhamdulillah, sering dimuat. Bahkan di Kandangan, dia tergabung dalam grup Mamanda. Dengan modal nekat dan hobby-nya itulah dia memberanikan diri untuk ke Banjarmasin.
Tempat pertama yang dia datangi adalah rekan seprofesi sebagai penikmat seni, Hamdan.  Disinilah, katakanlah, awal karirnya sebagai penulis. Hamdan yang lebih dulu tinggal di Banjarmasin dan mengelola salah satu sanggar seni, menyuruh Zul untuk mendiami markas mereka dan dia pun bergabung dalam anggota sanggar itu.
“Zul, kenapa kau punya rambut cepak begitu. Kulihat cuma kau yang paling gak punya rambut di sini” ujar Damang, senior Zul waktu itu. Ya. Diantara  sesama rekan, mereka punya gelar dan nama samaran tersendiri, entah karena tidak ingin dikenal namanya atau karena mereka punya nama nggak bagus, entahlah, tapi yang bicara pada Zul waktu itu berbadan agak gempal, berkulit gelap lengkap dengan aksesoris gelang bahar serta rambut panjang gak terurus. Dia dipanggil rekan-rekannya Damang.
Zul nyengir mendengar petuah sang Damang.
“Di kampung saya, rambut panjang dinilai gak etis, Mang. Bahkan bisa-bisa dibilang garong” tanggap Zul.
“Kau tahu, Zul. Rambut yang panjang itu bagi seorang pekerja seni melambangkan kebebasan berfikir. Kita sebagai seorang seniman punya negara sendiri, punya pemimpin dan aturan sendiri. Kita tidak terikat dengan sistem yang ada. Negara kita adalah kebebasan berfikir, pemimpin kita adalah kebebasan berfikir! Kita adalah komunitas yang paling bebas diantara komunitas yang lain. Bebas untuk berfikir. Tak ada yang ditakuti, tak ada yang bisa memecat kita kalau bertentangan dengan sistem, tak ada yang dapat mengambil gelar seniman kita, kita berdiri sendiri. Kita hanya punya tugas wajib, yaitu berkarya dan berkarya…, tapi aku punya rambut panjang bukan karena hal itu, tapi karena nggak sempat potong rambut ” kelakarnya. Zul ikut tersenyum.
“Tapi, kebebasan yang kita miliki tentu mempunyai batasan-batasan juga seperti yang lain kan!?” sanggah Zul.
“Ya. Sesuatu yang menjadi batasan kita dalam berkarya yang ‘bebas’ itu hanya nilai-nilai moral yang kita pegang dan kita jadikan landasan hidup. Kita bebas mengekspresikan sesuatu, kita bebas bersastra, kita bebas menulis apa saja, berlakon apa saja, sistem apapun yang dibuat oleh manusia tak dapat menghalangi kebebasan itu…,”
Zul melongo mendengar penjelasan panjang sang Damang, belum sempat Zul menanggapi ucapan itu,  Damang kembali melanjutkan.
“...Pembatasan itu hanya bisa dilakukan apabila berlandaskan oleh dua hal…!” Damang berhenti sejenak mengharapkan tanggapan Zul, tapi Zul lagi-lagi hanya melongo. “Dua hal itu adalah Qur’an dan Hadist. Kita jangan lupakan itu. sebab dua hal itulah penuntun hidup kita, sistim-sistim yang dibuat-Nya lah yang jadi undang-undang kita…”. Zul mangut-manggut. “Apalagi kalau kita sebagai sastrawan atau lebih khususnya penyair, kalau syair-syair yang dibuatnya itu dikategorikan dapat menyesatkan orang yang membaca.  Kau ingat kan apa yang ditegaskan Allah tentang para penyair yang dapat menyesatkan ummat, ‘mereka menghadapkan pendengaran kepada syaitan, dan kebanyakan mereka pembohong. Dan penyair itu diikuti oleh orang yang sesat. Tidakkah kau lihat mereka mengembara di lembah-lembah. Bahwa mereka suka mengatakan, padahal mereka sendiri tidak mau berbuat,(Naudzubillahimindzalik!) kecuali – penyair yang tidak sesat dan menyesatkan – mereka beriman, beramal sholeh, dan senantiasa menyebut dan mengingat – sistim-sistim – Hukum Allah…”[28]
Zul kagum dengan kalimat-kalimat yang diucapkan Damang itu, dia seakan mendapat siraman rohani tentang sastra. Damang yang hanya dikenalnya sebagai seorang yang berperawakan sangar namun punya rasa humor tinggi seakan menampakkan diri dalam wujud lain yang sejak dia ikut dalam sanggar seni itu tak pernah dia temukan. Zul terpukau, dan menghayati benar ucapan-ucapan sang Damang.
Damang menghela nafas, “Zul, kau punya umur masih muda, banyaklah membaca, membaca dan berkarya, namun jangan sampai kau lupakan apa tujuan kita dalam menciptakan karya itu. Ciptalah puisi sebanyaknya, karanglah cerpen sebanyaknya, namun nilai dakwahnya jangan sampai kau lupa. Aku bukan bermaksud menggurui kau, Zul. Karena aku pun juga hampir sama nasibnya dengan kau. Yang membedakan kita hanya zaman, tahun dan tanggal kita lahir. Dan satu hal lagi jangan sampai kau lupa juga, jangan yang kau kejar hanya soal duit dan duit, apabila kau punya tujuan hanya ingin mencari duit lewat karyamu di sini, di Banjarmasin, sebaiknya kau pikirkan kembali eksistensimu dalam berkarya sastra. Aku yakin suatu saat kau mengerti kenapa aku mengatakan hal ini. Kita berkarya, berkarya berarti berdakwah. Apabila kau pegang prinsip ini, aku yakin kau akan menjadi seorang sastrawan sejati. Apabila kau ingin dikenang sesudah matimu buatlah  barang satu tulisan sastra. Sastrawan itu adalah seorang cendikiawan, tapi cendikiawan belum tentu seorang sastrawan. Camkan itu, Zul!”
 Zul manggut manggut kembali. Dia tak bisa berkomentar apapun tentang ucapan dan pernyataan Damang. Dia hanya merenungkan bait demi bait kalimat-kalimat Damang tadi. Memang dia tahu, selama beberapa tahun terakhir, karya sastra Damang baik yang telah dipublikasikan lewat koran, majalah, dan beberapa buku antropologi berkisar masalah ke-Tuhanan. Puisi-puisinya pun bersifat sufistik. Zul menyadari, bahwa kalimat Damang itu sangat dan sangat dia setujui.
Dan begitulah Zul, setelah diskusi dan mendengar petuah dari Damang itulah, karya-karyanya, baik puisi, esai, dan terutama cerpen lebih mengarah kepada hal yang religius keislaman. Walau banyak proses dan waktu untuk hal itu. Tapi, paling tidak kesan ketika pertama diskusi dengan Damang itulah awal kebangkitan semangatnya untuk mengarahkan karyanya pada hal yang bersifat religius. Dan itulah yang dilakukan Zul hingga kini.

***
Serpihan-serpihan kenangan itulah yang saat ini menyabak di kepala Zul sambil terus membelah terik matahari yang kian memanggang menuju kantor redaksi sebuah Koran lokal. Aspal jalanan menciptakan fatamorgana, namun Zul tetap menyeret kakinya. Kini sosok Damang tak lagi berada di dekatnya, namun baginya sastrawan itu tetap hidup lewat karya-karyanya dan hatinya. Sanggar yang lima belas tahun lalu sempat menampungnya untuk beberapa lama bubar karena masing-masing anggotanya punya pekerjaan masing-masing. Ada yang tetap aktif menulis atau melukis , namun hanya sebagian kecil saja. Semua hal itu bisa terjadi hanya karena tuntutan materi belaka. Ya. Materi! Karena materi memaksa mereka meninggalkan profesi sebagai sastrawan! Kenapa?
Kini Zul tinggal sendiri di satu rumah sederhana di bilangan Kayu Tangi. Sampai usia yang tidak bisa dikatakan muda ini, dia masih hidup sendiri. Ini bukan keputusan dia, tapi yang namanya jodoh belum ada, ya, mau berkata apa. Walau kini Zul sudah dapat predikat seorang sastrawan, namun gelar itu tidak begitu berpengaruh terhadap kondisi ekonominya. Zul tidak begitu memperdulikan gelar itu, baginya pemberian gelar itu hanya sesuatu yang ironis buatnya. Mungkin orang bangga dengan julukan sebagai sastrawan, namun entah kenapa Zul tidak terlalu merasa seperti itu. Sekarang, ada yang hanya menghasilkan satu atau dua karya yang kebetulan di muat dalam media nasional maka, ‘sastrawan’lah dia walau setelah itu dia tak menghasilkan suatu karya sastra lagi.  Zul hanya punya satu tekad, berkarya dan berkarya. Mungkin karena karyanya itulah yang jadi salah satu penopang hidupnya walau dia merasakan hal itu tak cukup untuk nilai suatu karya.
Dan dia terkadang menjadi dosen tamu pada beberapa perguruan tinggi, ya tentu saja bicara seputar sastra yang dia sendiri pada dasarnya tak pernah belajar secara akademis tentang hal itu. Dan si Zul kini lebih dikenal sebagai Pak Zul atau Om Zul oleh generasi muda. Walau dia tak merasa belum terlalu tua untuk dipanggil Pak atau Om. Tapi itulah yang terjadi.
“Bisa saya Bantu?” Tanya seorang satpam ketika Zul memasuki halaman kantor itu,
“Saya ingin ketemu Mbak Ati, ada?”
Satpam itu menatap liar ke arah Zul yang hanya memakai baju kaos dan celana hitam serta dengan rambut panjang yang terikat plus tas butut. Rupanya satpam ini tak mengenal sosok Zul, padahal ini sudah yang kesekian dia melakukan kunjungan ke kantor ini sejak honor tulisannya tak pernah dikirimkan lagi. “Anda bisa naik lewat tangga yang di sana, silakan…, ibu Ati ada di lantai tiga…” kata si satpam bersikap ramah, mungkin sudah mengenal siapa yang sedang bicara dengannya.
Setelah mengucapkan terimakasih, Zul pun berlalu dan menaiki gedung bercat biru itu.
“Ah, Pa Zul rupanya. Silakan pak…” kata seorang wanita paruh baya yang dipanggil Zul mba Ati sambil mempersilakan duduk. Zul mangut-manggut sambil menarik bibir berusaha senyum. “Kemaren tulisan sampeyan ya, yang dimuat? Saya lupa judulnya”.
Tentang Lelaki Jompo, mba” Beritahu Zul.
Wanita itu pun mengeluarkan sebuah buku dan selembar amplop warna kuning, sambil mencari catatan judul cerpen Zul dan menandainya. Setelah dia dapatkan, disodorkannya amplop itu bersama dengan lembaran kwitansi, tapi sebelum itu, dia mengatakan sesuatu. “Maaf, ya pa’ Zul. Dari hasil rapat direksi, diambil kebijaksanaan bahwa semua honor tulisan baik itu berupa sastra, atau yang lain dipotong pajak sebesar dua persen. Dan hal ini berlaku sejak awal bulan tadi. Jadi kami mohon kemaklumannya. Silakan tanda tangan..”
Zul tak berkata apa-apa. Disimpannya amplop itu dalam saku celana, dan Zul pun melangkah meninggalkan kantor itu setelah dia  mengucapkan terima kasih pada wanita itu.
Matahari di cakrawala langit menyeringai makin ganas. Burung pun mungkin enggan terbang membelah awan. Hanya Zul, ya, Si Zul yang saat ini berjalan menembus panas matahari sambil mengantongi amplop honor tulisan yang barusan diambilnya serta menghunjam debu dan hingar bingar kendaraan bermotor. Dia memutuskan untuk singgah di Sabilal Muhtadin menunggu Asar tiba dan sambil beristirahat memberikan hak mata. Kebetulan malam ini dia ingin menikmati malam di sekitar masjid Raya ini.
Zul melihat isi amplop itu, dan dia hanya bisa menghela nafas panjang untuk mengekspresikan hal itu.  Alasan Zul merasuki kehidupan malam di dekat masjid raya Sabilal Muhtadin berharap ada sesuatu yang mungkin jadi inspirasi bagi karyanya. Dia tahu bahwa saban malam pasti ada saja kupu-kupu malam yang berterbangan mengharap untuk ditangkap oleh para mahkluk malam lainnya. Dan yang lucu, mereka berkunjahang dekat area tempat ibadah!
 Panas siang itu juga rupanya cukup membuat gerah tubuhnya yang sudah kurus. Zul berlalu, mentari tetap memancarkan sinarnya laksana sembilu.
Selamat siang!
***
Lima belas menit sudah Isya berlalu. Zul duduk di salah satu sudut trotoar jalan yang mengelilingi masjid raya Sabilal, berdua. Berdua dengan bayang-bayang semu.
Muda-mudi mulai berkumpul, nangkring di kendaraan masing-masing. Mereka membikin kelompok-kelompok yang terpisah. Dengan gaya rambut, pakaian, dan aksesoris yang saat ini lagi trend. Mereka penuh percaya diri dan seakan dunia ini milik mereka. Asap jagung bakar pun membubul. Zul hanya menatap nanar kepada mereka, sembari mengisap rokok kretek kesayangannya. Zul tidak perduli, ini memang zaman mereka, guramangnya dalam hati. Biarlah mereka menikmati masa mereka sendiri.
Tiba-tiba mata Zul tertuju pada seorang wanita yang bertubuh sintal yang berada tepat di seberang jalan tempat dia bertengger. Dandanan wanita itu terlihat jelas sangat menor, walau hanya diterangi temaram lampu jalanan. Pakaian ketat membalut tubuhnya sehingga lekukan tubuh dari atas sampai ke bawah begitu nampak. Rok mini yang dipakainya kadang dengan sengaja dia singkap sedikit, entah sambil mukul nyamuk-lah, atau apalah maksudnya. Zul tertarik dengan sosok yang baru ditemukannya malam itu. Tak berapa lama, datang dua wanita lagi, yang satu mungkin seumur dengan wanita itu tapi yang satu lagi berperawakan lebih gemuk dan lebih tua kelihatannya. Mereka pun asyik bicara dan bercanda, dan terkadang suara tawa kecil mereka mampu membelah deru mesin kendaraan yang lalu lalang. Mereka seakan berusaha mengalahkan kefanaan dengan keceriaan abstrak dan semu. Dan Zul kadang tersenyum melihat tingkah mereka. Selama Zul memperhatikan ketiga wanita itu, entah sudah berapa banyak pemuda yang menggoda mereka. Dan mereka menanggapi godaan itu dengan membusungkan dada mereka atau pamer belahan pantat yang sengaja dibuat bahenol, sebahenol mungkin. Ya. Mereka para kupu-kupu malam, atau yang lebih tepatnya pelacur.
Pelacur! Adakah kata manis yang lebih pahit dari itu? Tapi dia tak bisa memungkiri kenyataan kalau istilah itu memang benar, terlepas dari sopan atau tidaknya pengistilahan itu. Mereka menjual keindahan tubuh dengan payudara yang sintal dan pintu selangkangan yang selalu siap untuk dibuka dan dimasuki kejantanan setiap laki-laki hidung belang. Harga diri mungkin bukan suatu yang sakral lagi bagi mereka. Pamer batang paha dan konser puting susu mungkin adalah jurus utamanya. Setidaknya itulah yang dilihat Zul. Mereka hidup dari satu ranjang ke ranjang lain, tidur dari tilam yang satu ke tilam yang lain. Alasan mereka kebanyakan cuma untuk pemenuhan perut, tak lebih.
Zul meninggalkan pikiran yang kini mengerogoti kepalanya untuk sesaat. Ternyata ada sebuah mobil menghampiri mereka. Tak lama, entah apa yang terjadi atau apa yang mereka bicarakan, mobil itu melesat menembus kelam malam. Dengan berlalunya mobil itu, dua orang wanita telah mereka bawa serta, yang tertinggal cuma seorang wanita gemuk tadi. Dan tak lama wanita itu pun beranjak pergi. Zul kembali bertanya-tanya, kira-kira berapa tarif yang mereka patok. Mungkin lima puluh ribu, seratus ribu atau malah dua puluh ribu satu malam. Kalau benar begitu, betapa murahnya sebuah harga diri dan kehormatan. Mereka mengorbankan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya hanya untuk nilai materi yang mungkin hanya bisa untuk beli kacang!? Ironis.
Zul diliputi berbagai pertanyaannya sendiri. Pelacur, kehormatan mereka hanya seharga satu bungkus kacang!?.  Mereka merelakan hal itu, bahkan mungkin menikmati, atau mereka terlalu bosan untuk tenggelam dalam kesedihan menghadapi kenyataan hingga menutupi semua itu dengan mencoba menikmatinya? Apakah itu sudah jadi takdir mereka? Kalau iya, kenapa wanita yang lain tidak seperti mereka? Atau malah mereka yang tidak bisa dan tidak mempunyai kesempatan seperti wanita lain yang bekerja di kantoran? Atau keadaan yang memaksa mereka? Atau karena kita yang membuat mereka seperti itu? Karena ‘kepedulian’ kita yang memaksa mereka berstatus sebagai pelacur!? Entahlah….
Aku? Zul bertanya pada dirinya sendiri.  Ya. Siapa aku? Aku hanya seorang dari sekian banyak yang mencoba untuk hidup dengan menulis dan menghasilkan karya. Dan melacurkan karya itu ke berbagai media demi penyambung hidup dan kebutuhan perut. “…satu hal lagi jangan kau lupa, jangan yang kau kejar hanya soal duit dan duit, apabila kau punya tujuan hanya ingin mencari duit lewat karyamu, sebaiknya kau pikirkan kembali eksistensimu dalam bersastra di sini, di Banjarmasin…” tiba-tiba kalimat Damang yang pernah disampaikan dulu pada Zul terngiang kembali di kepalanya.
Selama ini aku terus berkarya, tapi apa yang kudapatkan? Nilai materi yang tidak seberapa. Begitu minimkah perhatian serta penghargaan masyarakat dan pemerintah negeri ini terhadap sastra? Hingga kami yang harus menghidup-hidupkan sastra, bukan sastra yang menghidupi kami!? Kami melacurkan diri, bersedia mengorbankan waktu, tenaga, uang dan harta benda hanya untuk mengais secercah harapan? Ya. Harapan karya kami diberi penghargaan yang sesuai!
Apakah kami perlu minta penghargaan itu? Kalau memang begitu, kami juga tak lebih dari para PELACUR! Para wanita malam itu diasingkan, kami pun diasingkan! Mereka tidak diperhatikan, kami pun termasuk di dalamnya! Mereka menjual harga diri dan kerhormatan mereka dengan harga yang teramat murah, kami pun menjual sesuatu yang – mungkin – paling berharga pada diri kami – karya sastra – dengan harga yang tak lebih mahal dari harga sebungkus nasi! Mereka dianggap  sampah masyarakat, kami dianggap orang tak lebih dari itu! Mereka pelacur! Burhanudin Soebely, Eza Thabery Husano, Rifani Djamhari, Jamal T. Suryanata, ASA, Aliman Syahrani, aku, dan yang lainnya, apakah kami juga pelacur? Atau bahkan lebih parah? Atau malah lebih baik…??
Malam semakin kelam berkelahi dengan dingin. Rembulan pucat redup dirasuki kabut yang membelut. Kerisik arus sungai yang membentang melantunkan lagu melankolis nan syahdu namun pilu. Dan makhluk malam tetap sibuk dengan aktivitas masing-masing. Zul? Zul masih termenung dan larut dengan pertanyaan-pertanyaan itu sambil memegang lembaran uang honor tulisan yang tinggal separuh.
Selamat Malam! []


  
    
     
 

























ALIMAN SYAHRANI

Lahir di Datar Balimbing, sebuah kampung di hunjur kaki gunung Kantawan, HSS, tanggal 30 Desember 1976.

Mulai menulis sejak 1991. Bukunya yang telah diterbitkan antara lain novel Palas (Pustaka Banua, Banjarmasin, 2004), Misteri Terbunuhnya Seorang Hakim (novel detektif) terdiri dari dua buku, Misteri Pesan Orang Mati, Detektif Kocak vs Penjahat Romantis (kumpulan cerpen detektif), Catatan yang Tersisa, Lingkaran-Lingkaran Retak (novel), Senja Kala, Suci (kumpulan cerpen), Nyanyian Sepi, Shiluet Senja, Sajak Lampu dan Stanza (antologi puisi).

BURHANUDDIN SOEBELY

Lahir di Kandangan, pada tanggal 2 Januari 1957. Menulis sejak tahun 1979. Karya yang telah diterbitkan antara lain Mata Air Goa Pulangka Pitu (bersama H. Zubir Mukti, Djumri Obeng, dan Surasono, Penerbit PT Aries Lima, Jakarta, 1984), Cerita Rakyat Kalimantan Selatan 2 (Grasindo, Jakarta, 1997, bersama Djarani EM dan Iwan Yusie), La Ventre de Kandangan: Mosaik Sastra HSS 1937 – 2003(Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 2004), Bahara Mingsang Idang Siritan (2005)

IWAN YUSI


Lahir di Kandangan, tanggal 2 Desember 1960. Mulai menulis tahun 1979, namun baru mempublikasikan-nya tahun 1981. Sering memenangkan sayembara penulisan yang diselenggarakan oleh Depdikbud dan LIPI.

Bukunya yang telah terbit antara lain, Misteri Padang Galam (Penerbit Balai Pustaka, Jakarta), Anak-Anak Balai (Penerbit Mitra Gama Widya, Yogyakarta, 1996), Mungkur Kambing (Penerbit Mitra Gama Widya, Yogyakarta), Cerita Rakyat Kalimantan Selatan 2 (Penerbit Grasindo, Jakarta, 1997, bersama Djarani E.M. dan Burhanuddin Soebely)

MIZIANSYAH. J


Lahir di Tanah Bangkang, Kandangan, 2 Juni 1957. Menulis sejak tahun 1972, tetapi baru mempublisir karyanya di tahun 1980. Antologi puisi yang sudah diterbitkan adalah Tanah yang Terbatas (penerbit HPMB, Banjarmasin, 1982) dan Rumah Kecil (1984). Antologi puisi bersama yang memuat puisinya antara lain Dahaga - B. Post 1981 (Penerbit Biro Informasi Sastra Banjarmasin, 1982), dan Palangsaran (Penerbit Posko La-Bastari Kandangan, 1982.


MUHAMMAD FARIED

Lahir di Kandangan tanggal 19 Juni 1975. Mulai menulis sejak di SMAN Kandangan, tahun 1991. P:ublikasi karyanya berupa cerpen dan puisi di tabloid Wanyi, tabloid Gerbang, SKH Radar Banjarmasin dan SKH Banjarmasin Post.

Selain menulis aktif di DPD KNPI Kab. HSS.

M. FUAD RAHMAN

Lahir di Kandangan, tanggal 22 September 1983. Mulai menulis sejak masih bersekolah di STM Negeri Kandangan. Publikasi karyanya antara lain pada tabloid Gerbang (Kandangan), SKH Banjarmasin Post, dan SKH Radar Banjar

Selain menulis juga aktif berteater bersama komunitas Posko La-Bastari Kandangan.


JONI WIJAYA

Lahir di Kandangan, tanggal 15 Januari 1986. Tahun 2002, cerpennya Bintang di Atas Lanting menjadi Pemenang I Lomba Menulis Cerita Pendek tingkat SLTA se-Provinsi Kalimantan Selatan yang diadakan oleh Lembaga Balai Bahasa Banjarmasin.



[1] hutan hujan
[2] golok
[3] tas keranjang dari anyaman rotan atau bambu yang disangkutkan di pundak
[4] tangguk: anyaman bilah-bilah bambu berbentuk melengkung yang digunakan untuk menangkap ikan
[5] tumbu
[6] engrang
[7] menjalin daun rumbia untuk dijadikan atap rumah
[8] rumah adat berbentuk panggung besar
[9] kepala suku
[10] mantera adat
[11] arwah para leluhur. Datu diyakini tidak mati, tetapi “mendewata”
[12] obor
[13] hiburan
[14] rakit bambu
[15] tongkat bambu
[16] Jadi rupanya, sudah sampai waktunya. Sangiyang Wenang menetukan, Dewa merestukan. Yang namanya benar dan jujur sudah tidak berharga. Rata-rata telunjuk lurus kelingking berkait. Yang namanya adil dan bijaksana tinggal kembang pembicaraan. Berbuih di mulut tapi seperti batu di hati.

[17] Kelir, layar wayang
[18] hilir-mudik
[19] bersedih; meratap
[20] pertapaan
[21] nama salah satu irama karawitan Banjar
[22] sinden; suluk
[23] belencong, lampu minyak pada pergelaran wayang
[24] gedebong pisang
[25] jelaga
[26] salah satu bait suluk wayang Banjar
[27] Salah satu desa di pinggiran kota Kandangan
[28] Al Qur’an,  Asy Syu’ara (223-227)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar