NYANYIAN TANPA NYANYIAN
Kumpulan
Cerita Pendek
Pengarang
Perempuan Kalimantan Selatan
Anna Fajarona
Dewi Alfianti
Dewi Yuliani
Hudan Nur
Nailiya Nikmah JFK
Nonon Djazouly
Rismiyana
Ratih Ayuningrum
Syafiqatul Machmudah
NYANYIAN TANPA NYANYIAN
Kumpulan Cerita Pendek
Hak Cipta @ penulis
Tahura Media, 03.08
Cetakan Pertama, Juni 2008
Penulis:
Anna Fajar Rona
Dewi Alfianti
Dewi Yuliani
Hudan Nur
Nailiya Nikmah JFK
Nonon Djazouly
Rismiyana
Ratih Ayuningrum
Syafiqatul Machmudah
Editor:
Y.S. Agus Suseno
Desain isi:
Hery S
Ilustrasi cover:
Hajriansyah
Penerbit Tahura Media
Jalan Sultan Adam Nomor 46 C RT 16 Banjarmasin
Telepon (0511) 3302473, Faks. (0511) 3302472
E-mail: hajrian@yahoo.co.id
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan (KDT)
...hlm.; 13 x 19 cm
Hajriansyah
NYANYIAN TANPA NYANYIAN
Banjarmasin: Tahura Media, 2008
ISBN: ...
SENARAI ISI
Prolog
Pengarang
Perempuan Kalimantan Selatan
Senarai
Isi
Anna Fajar
Rona
Subuh
Pertama di Masjidil Haram
Dewi
Alfianti
Nyanyian
Tanpa Nyanyian
Dewi
Yuliani
Pasar
Hudan Nur
Sofia,
Perpisahan Itu Mengandung Dua Arti
Nailiya
Nikmah JFK
Episode
Durian
Nonon
Djazouly
Piano
Rismiyana
Pasar Itu
Milik Ibuku
Ratih
Ayuningrum
Dongeng
Kesetiaan
Syafiqatul
Machmudah
Sebuah
Mata, Sejuta Sesal
Epilog
Burhanuddin
Soebely
Tentang
Penulis
Riwayat
Publikasi
Prolog
PENGARANG PEREMPUAN KALIMANTAN
SELATAN
Sastrawan
dan pengamat sastra Indonesia, Korrie Layun Rampan, menilai Kalimantan Selatan
sebagai “...gudang sastrawan, dibandingkan provinsi lainnya di Kalimantan, kini
daerah ini menyimpan sastrawan yang hampir sama jumlahnya dengan sastrawan asal
Jawa Tengah”[1].
Asumsi Korrie itu mungkin lebih didasari banyaknya penulis puisi di Kalimantan
Selatan, sebagaimana yang berkembang sejak Perang Kemerdekaan hingga 1980-an. Yang
tidak diketahui Korrie: sejak sekitar 1980-an di Kalimantan Selatan bermunculan
pengarang cerpen perempuan (maupun laki-laki) yang menulis di media cetak
Banjarmasin dan Jakarta.
Akan tetapi, yang mesti digarisbawahi,
berbeda dengan beberapa pengarang perempuan yang hanya “menumpang lahir” di
Kalimantan Selatan (terutama di Banjarmasin) dan menjadi pengarang ternama
setelah bermukim di luar kampung halamannya, pengarang yang dimaksud di sini (hingga
buku ini diterbitkan, masih tetap) bermukim di Kalimantan Selatan.
Pengarang perempuan yang tak lagi
bermukim di Kalimantan Selatan itu, antara lain, Farah Hidayati (Jakarta) dan
Lan Fang (Surabaya). Sebelumnya, masih ada sejumlah pengarang perempuan lain
yang, dengan berlalunya waktu, tak tampak lagi publikasi karyanya.
Sejak 1980-an hingga 1990-an,
seiring dengan adanya rubrik sastra di Media Masyarakat (dikelola
mendiang Ajamuddin Tifani) dan Dinamika Berita (kini menjadi Kalimantan
Post, dikelola Kony Fahran), sejumlah pengarang perempuan muncul dengan
sejumlah cerpen, antara lain Dewi Yuliani. Ia tidak hanya menulis cerpen, tapi,
terutama, puisi.
Ketika masih bermukim di Banjarbaru
(kemudian pindah ke Bogor), cerpen-cerpen Katarina Panji malang-melintang di Anita
Cemerlang, Gadis dan Aneka. Nanny S. adalah cerpenis lain
yang, semasa kuliah di Program Studi PBSID FKIP Unlam Banjarmasin, cerpennya
kerap dipublikasikan Anita Cemerlang.
Dengan adanya rubrik sastra Banjarmasin
Post, Radar Banjarmasin dan Serambi Ummah, para cerpenis
mendapat ruang publikasi yang lebih luas. Seperti dapat dilacak, Banjarmasin
Post (1990-an) dan Radar Banjarmasin (2000-an hingga kini) pernah
memuat cerpen S. Wahyuni, Farida Ariani, Laila Alfisah, Misfah Kh Riwandi, Dewi
Sandan, Dina, Raudah, Era S. Soemarno, Sovina Sofyan dan lain-lain.
Berbeda dengan koran lain, Radar
Banjarmasin menyediakan rubrik Cakrawala Sastra dan Budaya (berisi
cerpen, puisi, esai, resensi buku, agenda budaya) dua halaman penuh setiap
Minggu. Rubrik itu telah menjadi semacam lahan persemaian bibit cerpenis
perempuan (maupun laki-laki) Kalimantan Selatan, sekurangnya dalam sewindu ini.
Cerpenis perempuan yang
mempublikasikan karyanya di Radar Banjarmasin, antara lain, Anna Fajar
Rona, Dewi Alfianti, Hudan Nur, Nonon Djazouly, Nailiya Nikmah JFK, Rismiyana,
Ratih Ayuningrum dan Syafiqatul Machmudah.
Selain mereka, masih ada beberapa pengarang
perempuan lain yang menulis di koran lain, tapi, setelah sekali dua kali cerpennya
terbit, tak tampak lagi jejaknya.
Sembilan cerpen karya sembilan cerpenis
perempuan ini diseleksi dari Radar Banjarmasin dan Dinamika Berita
dengan pertimbangan subyektif atas tema maupun kualitasnya, sebab lebih dilandasi
niat mengumpulkan cerpen tersebut dalam antologi bersama.
Selama ini belum ada satu pun antologi
cerpen yang khusus menghimpun karya cerpenis perempuan Kalimantan Selatan. Buku
kumpulan cerpen dari seorang (atau beberapa orang) pengarang laki-laki sudah ada,
tapi antologi cerpen pengarang perempuan, dengan mutu yang relatif teruji (melalui
lomba penulisan maupun pemuatan di koran), belum pernah diterbitkan.
Korrie Layun Rampan telah menyunting
Dunia Perempuan, Antologi Cerita Pendek Wanita Cerpenis Indonesia
(1999). Akibat minimnya publikasi karya cerpenis perempuan Kalimantan Selatan di
rubrik sastra dan budaya media cetak Jakarta, juga akibat tiadanya jejaring,
buku itu tidak memuat satu pun cerpen karya cerpenis perempuan banua.
Dalam percaturan sastra Indonesia di
Kalimantan Selatan pun posisi cerpenis perempuan seakan terpinggirkan. Keberadaannya
antara ada dan tiada, atau sekadar pelengkap belaka. Lembaga, institusi dan
organisasi berkompeten tidak pernah mengakomodasi keberadaannya, baik dalam
sebuah forum sastra atau memfasilitasi penerbitan antologi (tunggal atau
bersama) mereka.
Hegemoni budaya patriarkhi tampaknya
masih menguasai masyarakat sastra Kalimantan Selatan, hingga bahkan institusi,
lembaga, organisasi sastra dan budaya, mengabaikan kehadiran mereka. Puluhan antologi
sastra (puisi, cerpen) diterbitkan, tapi sastra Indonesia modern di Kalimantan
Selatan (masih) didominasi (sastrawan) pria; dan (sastrawan) pria lebih
mengutamakan ego dan kebesaran dirinya sendiri saja, tanpa komitmen membesarkan
kaum hawa, tulang rusuknya.
Dua orang pengurus pusat dari dua
organisasi sastrawan Indonesia bermukim di Banjarmasin: Komunitas Cerpen
Indonesia (KCI) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Kedua organisasi itu diketuai
redaktur sastra Republika, Ahmadun Yosi Herfanda. Alangkah elok seandainya
dua pengurus pusat itu mengumpulkan, menyeleksi dan merekomendasikan puisi dan cerpen
karya cerpenis (perempuan maupun laki-laki) Kalimantan Selatan ke koran bos
mereka di Jakarta itu.
Memang, keputusan akhir tetap ada pada
Ahmadun (tentang laik-tidaknya dimuat). Namun, kalau langkah sederhana seperti
itu saja tidak dilakukan, apa manfaat kedudukan mereka (bagi sastra Indonesia
di Kalimantan Selatan) dalam kepengurusan organisasi sastrawan nasional?
Lihatlah Horison. Sekali
lagi, meskipun keputusan akhir tetap ada pada redaksi, tapi frekuensi publikasi
karya sastrawan Madura, Banten dan Jawa Barat di Horison tidak terlepas
dari posisi Jamal D. Rahman dan Moh. Wan Anwar sebagai redaktur.
Seperti halnya seni lukis, sastra
memang karya individual. Ia berbeda dengan seni kolektif seperti tari, musik
dan teater, yang mensyaratkan kerja sama tim dalam penggarapan dan pergelarannya.
Dalam mencipta, sastrawan menciptakan karyanya sendirian. Meskipun berkarya
secara individual, betapa elok seandainya sastrawan tidak individualistis. Analog
dengan bahasa agama: beribadah adalah kewajiban yang hablum minnallah,
bermasyarakat (bekerja sama dengan orang lain, mengayomi, tut wuri handayani,
termasuk dalam bersastra) adalah hablum minannas. Idealnya, dalam diri
siapa pun (bukan cuma sastrawan) keduanya seimbang: hablum minnallah wa
hablum minnanas.
Buku ini mustahil terbit tanpa
bantuan dan dukungan banyak pihak (hablum minnanas). Oleh karena
itu, ucapan terima kasih saja tentu tidak cukup, terutama kepada para pengarang
yang cerpennya dimuat dalam antologi ini. Terima kasih pula kepada Radar
Banjarmasin dan Dinamika Berita (dalam hal ini Kalimantan Post)
dan, terutama, kepada Maman S. Tawie; yang telah memberikan keleluasaan bagi saya
maudak, maudar dan manggulagai koleksi kliping dan dokumentasi
sastranya. Segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam buku ini,
termasuk subyektifitas dalam pemilihan cerpen, menjadi tanggung jawab pribadi
saya sepenuhnya.
Editor
SUBUH PERTAMA
DI MASJIDIL HARAM
Anna Fajar Rona
Pintu Masjidil Haram sudah di depan mata Dargi.
Beberapa langkah lagi pria 28 tahun yang sebenarnya bernama Riduan Ahmad itu
bisa melewati pintu indah tersebut. Ia tentu segera masuk melakukan tawaf
pertama dalam ibadah haji bersama jutaan umat lain. Namun sebelum kakinya
mencapai pintu, pandangannya tiba-tiba berkunang-kunang diiringi rasa sakit
yang amat sangat pada perutnya.
Dargi tak kuasa lagi
melangkah. Tubuhnya terasa digayuti beban yang amat berat. Rasa nyeri pada
perutnya tak kuasa ia tahan. Ia terduduk di lantai teras Masjidil Haram.
Tubuhnya yang berukuran sedang itu dilangkahi berpuluh-puluh jamaah bertubuh
tinggi besar, ada yang berkulit hitam, ada pula yang wajahnya dipenuhi jambang
dan jenggot.
Wajah Dargi pucat,
sepertinya tak berdarah lagi. Tak kuasa bergerak. Ia tersungkur di lantai teras
Masjidil Haram yang untuk pertama kalinya ia injak itu.
Rasa sakit pada
perutnya tambah menggila. Seluruh isi perutnya bagai beku. Membatu. Keringat
membanjir. Butirannya bagai biji-biji jagung mengucur dari seluruh tubuh. Dargi
meringis menahan sakit sambil memegangi perut. Ia mencoba berdiri, tersungkur
kembali. Mencoba lagi, tetap tersungkur lagi. Ia tak mampu menggerakkan kedua
kakinyua untuk menyangga tubuhnya sendiri. Rasa sakit yang amat sangat itu
terasa menjadi beban yang sangat berat menindih raganya. Ia merasa tak punya
harapan hidup lantaran hampir seluruh tubuhnya tak dapat ia gerakkan. Cukup
lama ia tersungkur. Menangis di bawah langkah-langkah kaki para jamaah yang tak
peduli dengan keberadaannya saat itu.
Hampir setengah jam ia
membiarkan dirinya di bawah langkah kaki para jamaah. Setelah ia merasa ada
sedikit tenaga untuk merangkak, maka merangkaklah ia. Pandangannya menyebar,
mencari-cari kamar kecil di sekitar depan Masjidil Haram. Setelah ia yakin di
arah kiri depan masjid ada kamar kecil, ke sanalah ia merangkak dengan
sisa-sisa tenaga yang ada.
Hampir 20 menit ia baru
bisa mencapai tempat buang hajat. Masih dalam keadaan merangkak sambil menahan
sakit yang luar biasa di perut, Dargi turut antri dengan jamaah lainnya di
depan pintu kamar kecil. Ia sudah tak tahu lagi rombongan jamaah yang tadinya
berangkat bersama-sama dari pemondokan. Dirinya terpisah akibat sakit yang
dideritanya itu.
Selama menunggu giliran
masuk kamar kecil, keringat terus mengucur. Kain ihram yang ia kenakan
sejak turun di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, sudah basah oleh keringat.
Keringat yang mengucur dari manahan rasa sakit di bagian dalam perut. Segenap
ususnya seperti ditusuk ribuan jarum. Sakit sekali. Menahan rasa sakit itu, air
mata Dargi kembali meleleh.
Begitu Dargi mendapat
giliran masuk kamar kecil, berliter-liter air kotor keluar dari lubang anusnya.
Air berwarna hitam dan berbau menyengat itu keluar deras seperti air kran yang
mengucur dalam keadaan normal. Hampir satu jam ia berada di dalam wc dan
selama itu pula air kotor berbau menyengat tak terhenti melewati lubang anus ke
lubang kloset.
Untung saja kain ihramnya
tak terkena kotoran itu. Sebelum ia jongkok, ia sempat mengangkat ihram
tersebut ke atas kepala. Begitu banyak air kotor ia keluarkan. Dargi sendiri
memperkirakan sudah berember-ember air berbau busuk dari dalam perutnya keluar.
“Ya Allah, ampuni
hamba. Atas kuasa-Mulah hamba bisa tiba di tempat suci ini. Untuk itu
lindungilah hamba, mudahkanlah hamba dalam menunaikan perintah-Mu. Sehatkanlah
hamba, ya Rabbi,” ucap Dargi.
Begitu mengucapkan
kalimat itu, air kotor berbau busuk yang keluar dari perutnya tiba-tiba saja
terhenti. Rasa sakit dalam sekejap sirna. Beberapa detik Dargi tercenung.
Ia kemudian
membersihkan dirinya. Setelah itu dengan mudah ia dapat berdiri tegak dan
melangkah keluar dari kamar kecil berukuran satu setengah kali dua meter itu.
Sekeluar dari ruang wc, ia menuju ruang wudhu. Bersuci diri di situ.
Selanjutnya dengan ringan ia melangkah menuju pintu Masjidil Haram. Saat itu
persis pukul dua dinihari waktu Makkah.
Sebelum melakukan tawaf pertama, ia ingat pesan seorang ulama saat
mengikuti manasik haji di tanah air, bahwa dalam berhaji yang penting
luruskan niat, kemudian perbanyak salat taubat bila menghadapi masalah di
Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi atawa di Arafah dan tempat-tempat lain.
Ingat pesan itu, bergegas Dargi melaksanakan salat taubat tepat di sebelah
timur depan Kabah.
*
Bagaimana Dargi yang
hanya calo angkutan umum di terminal kota bisa berhaji. Sementara dirinya
dikenal tak lebih sebagai lajang yang suka menenggak minuman keras sampai
mabuk. Bahkan dalam darahnya sudah bercampur alkohol. Dalam pemeriksaan
kesehatan sebagai syarat berhaji, dokter mengetahui kalau darah Dargi merupakan
darah alkoholis yang selalu ketagihan minuman mengandung alkohol.
Yang namanya kuasa
Allah, apa pun bisa terwujud. Sebagaimana juga Dargi si pemabuk, dengan kuasa
Tuhan ia bisa berangkat haji.
Awalnya, di terminal
tempat Dargi menjalani hidup sejak kanak-kanak terdapat sebuah mushala
berukuran 7 x 7 meter. Mushala tersebut hendak digusur oleh pengusaha dengan
kekuatan uangnya. Padahal keberadaan mushala tersebut sangat membantu para
penumpang angkutan maupun warga yang tiap hari beraktivitas di terminal untuk
melaksanakan salat. Juga kerap dijadikan tempat memperingati Hari-Hari Besar
Islam yang dilaksanakan warga terminal secara sederhana, misalnya memperingati
Isra Mikraj, Maulid Nabi dan lainnya. Bahkan tiap bulan Ramadhan, pengeras
suara mushala yang mengumandangkan azan Magrib dijadikan panduan ketepatan
waktu berbuka puasa warga sekitar terminal. Hingga lebih 9 tahun sudah mushala
terminal yang dibangun atas swadaya itu mendatangkan manfaat bagi warga.
Kini mushala terminal
hendak dikuasai pengusaha bahkan sudah tersiar segera digusur untuk kepentingan
bisnis.
“Kalau mushala ini
digusur, kemana kita mendirikan salat?” tanya Ibnu dengan nada protes. Ibnu
adalah salah satu warga yang kerap menjadikan mushala terminal sebagai tempat
salat berjamaah, terutama Magrib dan Isya, ia sehari-hari membuka kios rokok
dan warung kopi di terminal antarkota dalam provinsi itu.
“Masjid cukup jauh dari
sini,” Kurdi pedagang asongan menimpali.
“Tak ada cara lain,
kita mesti mencegah penggusuran mushala,” kata Hadri.
“Caranya?” sambut yang
lain.
“Kita datangi DPRD dan
Pemerintah Daerah sini. Minta agar pengusaha jangan seenaknya merampas mushala
kita,” ujar Murad berpendapat.
Kasak-kusuk soal
mushala itu juga didengar oleh Dargi, pemuda setengah preman yang yang dikenal
selain suka mabuk juga bernyali besar berhadapan dengan siapa pun. Merasa turut
memiliki mushala, meski ia tak pernah menggunakan mushala untuk salat selain
untuk tidur-tiduran, pemuda itu tampil sebagai pembela mushala.
Preman-preman yang
menjadi kaki tangan pengusaha yang memiliki modal untuk menggusur mushala untuk
memperluas toko serba ada di terminal, berhadapan dengan Dargi sang pria
bernyali besar itu. Sedikitnya ada 5 preman merasakan kekuatan Dargi dan
semuanya jadi keder bila diharuskan melawan Dargi. Pernah terjadi adu
fisik dengan preman peliharaan pengusaha, Dargilah yang menjadi pemenang meski
ia juga mengalami cidera ringan.
Atas campur tangan
Dargi, warga terminal jadi memiliki kekuatan untuk mempertahankan mushala.
Bahkan dengan gigih Dargi bersama warga lainnya mempertahankan pendapat di
hadapan anggota DPRD mengenai pentingnya mushala di terminal supaya tidak
dipindahtangankan kepada pengusaha yang di otaknya hanya mementingkan bisnis.
“Letak mushala itu
strategis. Persis di tengah-tengah terminal dan sangat gampang dijangkau tiap
orang yang memerlukannya,” ujar Dargi kepada anggota DPRD.
Saking gigihnya Dargi
mempertahankan mushala, membuat seluruh anggota dewan bersimpati. Bahkan
akhirnya berkat perjuangan Dargi, pengusaha tak berkutik. Pengusaha melepaskan
niatnya untuk memodali lahan mushala tersebut.
Dargi bagai pahlawan
mendapat pujian, bukan saja dari warga terminal juga dari para anggota DPRD.
Tak terkecuali ketua DPRD.
Dari rasa simpati
terhadap Dargi itulah, namanya dikenal di lingkungan DPRD daerah itu. Hingga
sekitar 3 bulan dan sampai pada musim menjelang pemberangkatan haji, Dargi jadi
buah bibir di lingkungan DPRD.
Begitu tiba persiapan
pemberangkatan haji, seperti tahun-tahun sebelumnya, anggota DPRD secara
bergiliran mendapat jatah berangkat haji. Tiap tahun 3 anggota dewan mendapat
biaya haji yang disisihkan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pada
pemberangkatan haji tahun itu, salah satu anggota dewan yang mendapat giliran
berangkat mengundurkan diri. Anggota itu adalah ketua DPRD, alasannya ia sudah
berhaji jauh sebelum menjadi anggota DPRD. Ia memilih mundur dan memberikan
jatahnya kepada masyarakat. Masyarakat yang dipilihnya adalah Dargi yang ia
ketahui dengan gigih mempertahankan mushala terminal untuk umat.
Dari jatah berangkat
haji ketua DPRD itulah, Dargi bisa berangkat haji tanpa keluar uang serupiah
pun. Sejak ia dipanggil dan diserahi ketua dewan jatah berhaji, sejak itu pula
pola hidup Dargi berubah. Setidaknya dalam hari-hari menunggu keberangkatan haji,
Dargi tak lagi menyentuh minuman keras.
Ia pernah menggigil dan
meradang menahan ketagihan mereguk minuman beralkohol. Sekuat kemampuannya,
ditahannya keinginan untuk mereguk minuman keras meski tubuhnya terasa
sakit-sakit.
Bahkan ia sempat sakit demam
di minggu pertama ia melewati tanpa minuman keras. Dalam demam, hampir 3 hari
Dargi serba merasa tak enak, bahkan untuk menelan makanan ia tak mampu.
Pada minggu kedua
tenggorokannya terasa dililit-lilit ingin dilewati minuman keras. Keinginan itu
begitu keras dan menggodanya. Apalagi di terminal, rekan-rekan minumnya dulu
masih melakukan aktivitas minum tiap malam usai aktivitas terminal. Dargi terus
berjuang menahan keinginan itu. Ia selalu menjauhi arena rekan-rekannya yang
dengan bebas mereguk berpuluh-puluh botol minuman keras.
Meski tubuhnya terasa
sakit-sakit lantaran tak dialiri minuman beralkohol, ia terus berjuang membunuh
rasa ketergantungannya pada minuman.
Agar betul-betul bisa
menghindari minuman keras, Dargi lebih rajin berada di mushala terminal
melaksanakan salat 5 waktu. Pelajaran mengaji yang ia khatamkan waktu
masih di sekolah dasar di lingkungan terminal, kembali ia ulang. Ia masih mampu
membaca Quran meski sudah sekian tahun tak pernah disentuhnya.
Tadinya, Dargi tak
pernah lepas dari minuman keras. Tiap malam usai aktivitas terminal ia akrab
dengan yang namanya kencing iblis alias minuman beralkohol dengan kadar tinggi
itu. Dalam semalam, tak jarang berbotol-botol minuman memabukkan ia tenggak
memenuhi rongga perut dan dadanya.
Hampir sepanjang hidup
Dargi tinggal di terminal. Ada alasan yang memaksanya hidup di terminal itu,
pertama ia dilahirkan di lingkungan terminal hingga tumbuh besar dan menamatkan
SLTA. Ketika menjelang ujian SMP, ayahnya yang menjadi sopir di terminal meninggal
dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Kehidupan di terminal itu dilanjutkan oleh
ibunya yang menjanda dengan Dargi sebagai anak tunggal. Di terminal itu pula
sang ibu bisa menyambung hidup dan menjadikan putra yang diberinya panggilan
Dargi sangat akrab dengan lingkungan terminal.
Kehidupan terminal itu
pula yang menempa perwatakan Dargi, menempa jiwanya yang selalu berhadapan
dengan kekerasan hidup. Dengan susah payah, ibu Dargi menghidupinya melalui
usaha kios pisang goreng dan jajanan kecil lainnya, hingga sang bunda mampu
menyekolahkan sang anak sampai menamatkan SLTA dengan harapan si anak kelak
bisa menjalani hidup yang lebih baik. Ternyata, ijazah SLTA yang diperoleh
Dargi hanya bisa menjadikannya calo angkutan umum. Terkadang juga menjadi sopir
cadangan alias pengganti sopir terminal. Karena Dargi dikenal sebagai peminum,
maka Organda setempat tak memberi izin bagi Dargi untuk menjadi sopir tetap.
Meski pola hidup Dargi
tak terpisahkan dari minuman keras, pria itu tak pernah mengganggu ketertiban
terminal. Apalagi sampai merugikan orang lain. Ia juga menghindari judi dan
perempuan penjaja seks komersial yang hampir tiap malam mampir di terminal. Dua
perbuatan maksiat itu memang tak pernah akrab dengan hidup Dargi, tetapi
minuman keras sudah menjadi keharusan bagi Dargi untuk selalu direguk sampai
mabuk sepanjang malam di terminal. Uang untuk membeli minuman, selain didapat
dari patungan teman-temannya, juga diperoleh dari hasil kerja calo di terminal.
Saat usia Dargi genap
21 tahun, Imah, bunda Dargi yang tak kenal lelah membesarkan sang putra,
berpulang memenuhi panggilan Illahi. Sebelumnya wanita perkasa di mata
Dargi itu terjangkit demam berdarah. Ini akibat kebersihan selokan terminal tak
terpelihara. Namun setelah Imah menjadi korban, warga terminal jadi sadar untuk
menjaga kebersihan lingkungannya.
Sepeninggal bunda,
Dargi kian tak memiliki pegangan hidup. Ia gamang menghadapi hidup. Ia seperti
diburu rasa ketakutan menghadapi kenyataan. Kegamangan itu ia tutup-tutupi
dengan caranya sendiri, minum sampai mabuk hingga untuk sesaat bisa terlupakan
kepahitan hidup.
Pernah juga kerabatnya
memberi nasihat, namun tak pernah memberi jalan keluar. Sehingga hanya membuat
Dargi merasa didikte dan itu kian membuat dirinya tenggelam pada dunia yang ia
kiblati, yaitu mabuk hampir tiap malam.
*
Kini si pemabuk Dargi
berada di dekat Kabah. Jantungnya berdebar memandang simbol kemurnian Islam
itu. Memandang rumah Tuhan. Lantas ia terduduk lunglai di sela-sela jamaah
lainnya yang juga duduk memandangi Kabah di luar dari arus jamaah yang tawaf.
Tanpa Dargi sadari air matanya menetes. Ia terbayang wajah bunda yang teduh,
wajah ayah yang tegar. Ia ingat saat ayah membimbingnya salat waktu usianya
baru 7 hingga 9 tahun. Ingat tiap Jumat sang ayah menyempatkan pergi membawanya
salat Jumat ke masjid. Juga ingat ibunya yang selalu tak kenal lelah mencari
nafkah, tak kenal bosan mengingatkannya waktu kecil untuk datang ke Taman
Pendidikan AlQuran. Ingat sang bunda menyiapkan masakan ketan untuk merayakan khatam
Quran di tempatnya belajar membaca Kitab Suci itu. Semua kenangan indah itu
melintas silih berganti.
Ketika ingatan-ingatan
itu memenuhi benaknya, secara tiba-tiba perutnya kembali terasa melilit,
padahal tawaf pertama belum lagi ia kerjakan. Ia baru saja usai
mendidikan salat taubat untuk minta ampunan Allah atas segala kekhilafannya.
Hanya dalam waktu
beberapa detik rasa sakit itu tambah menjadi. Dargi buru-buru ke luar dari
Masjidil Haram. Kain ihram di badannya disingsingkannya ketika memasuki
kamar kecil di sebelah utara teras Masjidil Haram. Kembali di dalam wc
itu berliter-liter air kotor mengucur deras keluar melewati lubang anus. Air
berbau menyengat itu keluar dengan sendirinya. Sedikit pun Dargi tidak
mengejan. Air itu seperti dikuras dari dalam perutnya.
Ia sadar betul, kalau
saat itu dirinya mendapat teguran Allah. Ia bisa meyakini kalau air kotor
berbau busuk yang keluar dari dalam perutnya itu adalah kumpulan kencing iblis
yang ia kiblati dan ia anggap sebagai penenang jiwa selama hampir 8 tahun. Kini
kencing iblis itu dikuras dari dalam perutnya. Ia meyakini pula, pengurasan kencing
iblis itu dilakukan atas kuasa Allah di Tanah Suci Makkah, di saat ia
menunaikan haji.
“Ya Allah, bila ini
cara-Mu untuk membersihkan jiwaku sebelum Engkau izinkan aku melaksanakan tawaf
memenuhi panggilan-Mu di rumah suci-Mu, maka aku sebagai hamba-Mu yang lemah
hanya dapat berpasrah sepenuhnya kepada-Mu. Kuserahkan jiwa ragaku pada
kuasa-Mu,” ucap Dargi.
Seketika rasa sakit itu
lenyap kembali.
*
Setelah membersihkan
diri dan berwudhu, Dargi kembali salat taubat. Itu ia lakukan sekitar pukul tiga
dinihari menghadap Kabah. Di rumah Tuhan itu pula ia bersumpah tak akan pernah
lagi mengotori darah dalam dirinya dengan minuman keras.
“Di hadapan-Mu, ya
Allah, dan di rumah-Mu ini, aku bertekad dan bersumpah dengan sumpah yang
sebenarnya sumpah untuk tak lagi menyentuh yang namanya minuman keras. Untuk
itu, bimbinglah hamba, ya Allah, mudahkan hamba dalam menyelesaikan ibadah atas
panggilan-Mu ini,” ucap Dargi usai melaksanakan salat taubat yang ketiga.
Sosok pemuda bertaubat
itu dengan kekuatan fisik yang diberikan Allah dengan ringan menuntaskan
gerakan haji. Tawaf pertama dan sya’i ia selesaikan dengan tanpa
ada lagi penghalang. Gerakan itu Dargi selesaikan persis azan Subuh
berkumandang di Masjidil Haram.
Subuh pertama di
Masjidil Haram Dargi tuntaskan dengan segenap doa.
Maret, 2006
NYANYIAN TANPA NYANYIAN
Dewi Alfianti
Ayah, dalam siluet di
antara senja, saat itu dia nampak seperti pohon bambu. Sosoknya yang tinggi
semampai menghalangi cahaya mentari senja masuk melalui jendela rumah. Cuma
silau cahaya senja saja yang menyelinap menerpa mataku. Ayahku seperti pohon
bambu, tinggi namun menenangkan dengan gemerisik daun yang seperti nyanyian
tanpa nyanyian.
Senja ini, seperti
senja-senja biasanya, ayah akan berkeliling rumah kami yang rimbun dengan
bermacam tetumbuhan. Almarhumah ibu yang membuat pekarangan rumah
serimbun itu. Beliau mengumpulkan tanaman sejak lama sekali, bahkan sebelum
menikah dengan ayah. Hasil ketekunan selama puluhan tahun itu membuahkan sebuah
hutan kecil di pekarangan kami. Seingatku, waktu kecil, kakak, aku dan adik
perempuanku sering main petak umpet di situ. Bagi tiga orang anak kecil,
pekarangan itu menjelma menjadi hutan rimba. Aku ingat di suatu sore adik
menangis kencang karena tersesat di antara tumbuhan paku, ia tak tahu bagaimana
keluar dari hutan kecil buatan ibu.
Ayah, dengan langkah
perlahan dalam irama yang sama, biasanya berjalan-jalan di pekarangan sambil
menggumamkan al-Matsurat, zikir yang dilantunkannya tiap sore dan pagi
juga. Menjelang azan magrib, ayah akan masuk rumah lantas menuju ruangan tempat
biasa kami sholat untuk melanjutkan zikirnya dengan wirid al-Quran.
Ketika azan berkumandang, ayah akan memastikan kami sudah siap bersama-samanya
untuk sholat.
Ayah, demikianlah.
Dialah wujud kebijaksanaan dalam diri seorang laki-laki. Ayah menjelma mata air
dalam keluarga kami. Tidak pernah mendominasi, namun dominasinya begitu terasa.
Tak ada yang sempurna tanpa sentuhan ayah, begitu pula saat ibu meninggal lima
belas tahun lalu. Ayah adalah ayah. Tatapan matanya senantiasa membisikkan
sesuatu, seolah dalam keadaan tidak berbicara pun dia selalu ingin membahasakan
sesuatu. Seperti percakapan yang tak putus-putusnya.
Adik perempuanku begitu
memujanya. Aku dan kakak lelakiku, takzim padanya sepanjang umur kami. Aku
ingat saat aku kelas 6 SD dan Kak Fahri, kakak lelakiku itu duduk di bangku
SMP. Saat itu kami bertengkar hebat. Aku menemukan catatan kecil Kak Fahri yang
kutahu akan dipakainya sebagai contekan waktu ujian. Tentu saja aku tak bisa
terima, kami terbiasa memandang bahwa satu sama lain adalah anak yang cerdas
dan tidak akan mau bergantung pada harta kaum pecundang seperti contekan itu. Saat
itu kami bertengkar hebat. Suasana saat itu begitu gaduh padahal hari sudah
larut malam. Kak Fahri berteriak padaku demikian pula aku. Ibu dan Nada, adik
perempuanku saat itu sedang menginap di rumah sakit menunggui saudara ibu yang
sakit. Malam itu di rumah cuma ada ayah.
Saat pertengkaran mulut
itu kian meruncing, tiba-tiba listrik padam. Kamar kami yang jadi arena
pertengkaran mendadak gulita. Kami terdiam sejenak. Tanpa kami sadari ayah
sudah ada di antara kami. Dipegangnya tanganku dan Kak Fahri. Dibimbingnya kami
duduk dengan bahasa yang begitu lembut dan suara yang renyah.
Dia menyuruh kami tidak
berbicara. Lama sekali kami diam sampai aku merasa kegelapan ini terasa begitu
mengganggu. Kegelapan ini menyekat pandanganku. Amat gelap. Kak Fahri yang
tidak menyukai kegelapan napasnya mulai tidak teratur. Kami merasa takut
ditindih kegelapan. Kecemasan itu mulai melemaskan pikiran. Sampai terlupa kami
pada pertengkaran tadi. Lama sampai ayah berkata agar kami melakukan
kebaikan-kebaikan ketika terang cahaya melingkupi kami sebelum cuma gelap yang
bisa kami rasakan.
Tak berapa lama lampu
mulai menyala. Sejak saat itu aku dan Kak Fahri tidak pernah lagi bertengkar,
semenjak itu pula Kak Fahri juga tidak pernah lagi mencontek. Mendalam makna
peristiwa itu buat kami dan ayah semakin menakjubkan bagi kami. Belakangan, aku
dan Kak Fahri tahu bahwa listrik itu sengaja dipadamkan ayah.
Nawa, anak sulungku,
sejak selesai sholat magrib mengurung diri di kamar. Berbeda dengan Najma
adiknya yang begitu bersemangat tiap kali diajak ke rumah ayah, Nawa tidak
menutupi keengganannya untuk berada di rumah ini. Nawa mirip sekali dengan
istriku. Jika kuajak menginap di rumah ayah mereka menjadi canggung. Seperti
tidak terbiasa dengan suasana pinggiran kota yang tak segempita tempat tinggal
kami. Nawa dan istriku adalah sosok yang dibesarkan kota besar, jiwa mereka
alir dalam nuansa kota yang gemerlap, hedonis, dan modern.
Nawa, gadis 13 tahun
itu kesal padaku karena tiba-tiba kuajak ke rumah ayah. Dia seharusnya bersama
teman-temannya jadi panitia pentas seni di sekolahnya, tapi aku dan istriku
berkeras. Akhirnya dia turut serta. Sebagai bentuk ketidaksukaannya dengan
keputusanku, sejak tadi siang sampai malam ini dia tidak mau berbicara padaku.
Ekspresi yang begitu berbeda dengan Najma. Gadis kecilku ini adalah penggemar
berat ayah. Dia begitu menyukai rumah ini dan dia sangat dekat dengan ayahku.
Sejak duduk di bangku taman kanak-kanak sampai kelas 6 sekolah dasar ini dia
selalu minta dikirim ke rumah ayah tiap kali libur.
Dan ayah, dia mencintai
keluargaku. Pandangan sayangnya pada dua cucu perempuannya begitu kentara.
Namun, Nawa seperti telah diajarkan ibunya untuk bersikap canggung dan formal.
Mereka berdua paling jarang berinteraksi dengan ayah. Tapi tentu saja hal itu
tidak menghalangi ayah untuk tetap membahasakan cinta lewat matanya.
“Nawa sakit, Diq?”
suara ayah merentang di antara kami di meja makan.
“Oh, dia sedang merajuklah,
Yah. Dia lagi sibuk-sibuknya jadi panitia pentas seni waktu saya suruh ikut ke
sini.”
“Mbak emang suka
ngambek, kek. Najma dong gak suka ngambek,” celoteh Najwa
menyela percakapan kami.
“Ya, Najma nggak
suka ngambek, tapi suka ribut,” sahut ayah sambil tersenyum pada Najma
yang berubah cemberut. Pembicaraan itu kembali ditujukan padaku, “Shiddiq,
Shiddiq, kalau Nawa sibuk ya tidak usah dipaksa ikut ke sini, biasanya juga
kamu tidak pernah memaksanya, kan? Lagipula kamu juga aneh, ini kan
bukan libur sekolah. Kenapa anak-anak kamu bawa bepergian, sejauh ini pula ke
rumah ayah. Kenapa?”
Ayah memandangiku
dengan wajah sebijak biasanya, namun matanya begitu tajam. Istriku mencuri
pandang ke arahku demikian pula aku menatap matanya. Setelah itu kami berempat
tak bicara, kecuali celoteh Najma tentang pengalamannya sore tadi menaiki pohon
rambutan di belakang rumah bersama Sauqi anak tetangga.
Di rumah ini ada empat
kamar, awalnya cuma ada tiga. Kamar ayah dan ibu, kamarku dan Kak Fahri serta
kamar Nada adik perempuanku. Namun setelah aku SMP, ayah memutuskan membuat
satu kamar lagi untukku berpisah dengan Kak Fahri. Sekarang empat kamar itu dua
di antaranya kosong, karena aku dan Kak Fahri sudah tidak tinggal di rumah ini
sejak kami menikah, ayah tinggal bersama Nada dan suaminya. Mereka berdua
sengaja menemani ayah tinggal di rumah ini. Saat ini mereka berdua malah tidak
ada di rumah, Nada menemani suaminya melakukan penelitian sosial di sebuah desa
pesisir pantai. Suaminya adalah sosiolog. Nada sendiri seorang aktivis LSM
antikorupsi. Kali ini aku dan Shila istriku menempati kamarku yang sekarang
beralih fungsi jadi kamar tamu, sedang Nawa dan Najma tidur di bekas kamar Kak
Fahri.
“Aku merasa ayah
seperti ingin menelanjangi kita, Mas. Matanya, matanya, matanya seperti
menuduh,” Shila bicara yang lebih seperti teriakan yang ditahannya.
“Cukup, Shil, ayah
tidak tau apa-apa, oke! Kau yang terlalu paranoid. Kau memang
selalu merasa ayah tidak menyukaimu, kan, jadi wajar saja kalau
pandangannya bagimu tak pernah akan terasa bersahabat,” sahutku mencoba
menenangkan, tapi suara yang keluar malah tercekat karena aku merasa
disudutkan.
“Ayahmu memang seperti
itu, kan, Mas, pandai sekali membuat orang merasa tidak enak,
canggung dan risih,” nada suara Shila meninggi.
“Sttt…Cukup,
kubilang. Kita selalu bertengkar kalau kita membicarakan ayahku. Kau tahu betul
kita perlu untuk ada di sini. Bersikap baiklah,” aku mencoba bersikap sabar
namun sepertinya Shila merasa tertekan dengan semua ini.
“Nanti kalau ayah tahu
apa yang akan ia katakan, Mas? Keluargamu terlalu mendayu-dayu memegang
prinsip. Keluargamu adalah rombongan orang-orang cerdas yang menjemukan, Mas.
Kalau ayahmu tahu ia bisa saja…”
“Diam! Dia akan tahu
kalau kau berteriak-teriak! Ayahku adalah urusanku. Dan apa pedulimu. Jika
semua sudah membaik kita pergi supaya kau tidak terus histeris seperti ini. Kau
membuatku gila!”
Malam itu, seperti
beberapa malam sebelumnya, aku dan istriku tidak bisa tidur nyenyak. Aku merasa
kepalaku diisi dengan batu-batu besar.
Selepas subuh, aku tak
menemukan ayah di rumah. Selalu begitu memang. Ayah adalah saudagar sayuran. Di
masanya sekarang, beliau cuma mengontrol pekerjanya yang berjualan di berbagai
pasar di kota ini. Biasanya beliau akan pulang ke rumah menjelang zuhur. Beliau
membawa serta Najma.
Isteriku
dan Nawa pagi-pagi sekali sudah memanggil taksi. Shila bilang dia mau mengajak
Nawa jalan-jalan agar Nawa berhenti merajuk. Tentu saja, mereka akan bisa
bernapas lega jika sudah berada di tempat-tempat yang mereka sebut pusat
peradaban, mall. Shila, isteriku yang cantik, kudapatkan dengan susah
payah. Dia adik angkatanku waktu kuliah. Ayahnya seorang pebisnis yang
belakangan mulai surut. Kami berpcaran tiga tahun. Setelah karirku menanjak
ayahnya cepat-cepat memintaku menikahi anaknya.
Keluargaku cukup merasa kaget ketika
dia kuperkenalkan. Kak Fahri yang sudah lebih dulu menikah dengan gadis yang
dikenalnya lewat ustad mengajinya yang satu profesi dengannya, dokter, tak
banyak bicara waktu itu. Almarhumah ibu dan Nada yang mengisi udara
kosong dengan percakapan dengan Shila. Dan ayah, dia jelas terlihat risih
melihat calon menantunya, cantik, elegan, berkelas dan angkuh.
Matanya berbicara dengan baik
padaku, betapa harapannya aku menikahi gadis seperti Mbak Vina, istri
Kak Fahri yang sederhana, buyar dengan menghadirkan Shila. Tapi beliau juga tahu betul apa arti cinta,
sesuatu yang mengendap dalam hati yang tak bisa dibuang begitu saja. Sesuatu
yang akhirnya membuatnya tetap tak menikah sepeninggal ibu. Dia tahu itu, itu
sebabnya dia diam. Dia tidak setuju, tapi dia juga tidak menolak.
Ketiadaan ayah membuatku leluasa di
rumah ini. Aku putuskan mengecek lagi isi dua koper yang kubawa dari Jakarta,
tempat tinggalku. Membawa-bawa koper itu membuatku benar-benar tidak merasa
tenang. Kubuka koper-koper itu, kuperiksa ulang isinya. Utuh dan memang harus
utuh.
Aku sudah akan menutup koper-koper
itu ketika ayah tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Suaranya kali ini begitu
tegas, seperti kemarahan yang menjelma menjadi kata. Bicara ayah datar, namun
menikamku, “Kau tahu kenapa aku menamaimu Shiddiq? Tahukah kau ada begitu
banyak harapan tersimpan dalam nama itu?”
Tubuhku beku, tak bisa bergerak.
Perlahan ayah duduk di pinggiran ranjang di sisiku. Aku menunduk tak berani
menoleh menatap wajahnya, apalagi matanya. Aku merasa sekelilingku membatu.
“Benar dan jujur, kata-kata itu yang
menghinggapi aku dan ibumu saat menamaimu Shiddiq. Nama tetap saja doa. Kami
menyelipkan harapan dalam nama itu. Seperti juga pada Fahri dan Nada. Selalu
ada harapan. Kau tahu benar kalau...”
“Aku bukan Fahri atau Nada, yah.
Mereka tetap bisa menjadi apa yang ayah inginkan meski telah mengalami berbagai
hal dalam hidup mereka. Mereka bisa jadi seperti apa yang ayah harapkan, saleh,
jujur, idealis. Tapi aku...Aku tidak bisa, ayah. Aku, Shiddiqmu yang kau
harapkan seperti Abu Bakar itu, itu cuma dalam cerita!” Tubuhku bergetar.
“Ayah sebenarnya sudah tahu. Nada
sudah menceritakan tentang kecurigaannya padamu. Itu sebabnya kau bawa uang
tunai itu ke sini. Karena uang itu tidak mudah terlacak, tidak seperti jika kau
minta uang itu ditransfer ke rekeningmu. Berapa uang dalam koper-koper itu? 1
milyar? 2 milyar? 3 milyar?” suara ayah bergetar.
Duniaku serasa runtuh. Betapa sulit
bernapas, tubuhku semakin membeku. Ayah seperti kekelaman yang ingin kuhindari
sejauh mungkin. Aku selalu berusaha menjadi anak ayah yang baik karena buatku
ayah begitu luar biasa. Kokoh seperti beringin, lentur seperti pohon bambu.
Dalam tiap pandangan matanya, senantiasa akan kutemukan sebuah tempat yang
nyaman untuk menetap. Matanya adalah hujan saat terik, matahari saat kelabu.
Ayah adalah ayah, aku selalu ingin membuatnya menyediakan tempat yang nyaman
untukku dalam matanya.
Tapi keputusanku untuk kuliah jauh
darinya membawaku pada dunia tanpa ayah yang begitu buas. Mengenalkanku pada
hitam yang tak kusangka bisa sepekat itu. Awalnya adalah Shila, lalu keinginan
untuk menyediakan hidup yang sempurna untuknya sampai keinginan untuk menikmati
dunia sepuasnya mulai merasukiku. Lalu uang menjadi penting. Teramat penting
dan bayangan ayah semakin kabur...
Ayah, sekarang dia mulai
mendekatiku, lalu berdiri di hadapanku. Dia menangis. Ayahku menangis. Aku
merasa hatiku sangat sakit.
“Ayah mencintaimu, sulit sekali ayah
sampaikan karena selama ini ayah ingin kau bisa membaca rasa cinta itu lewat
perbuatan ayah, bukan apa yang ayah katakan. Shiddiq...” Suara ayah pelan,
seperti kehilangan kekuatan, “Bukan siapa dirimu yang akan menunjukkan
kedudukanmu, tapi apa yang kau pilih. Kau telah memilih. Dan kau tahu betul
seperti apa risikonya. Shiddiq...Shiddiq...anak ayah.”
Perlahan diciumnya keningku,
direngkuhnya aku. Tangisku tak bisa lagi kubendung, meluncur deras bersama
airmata yang juga tak bisa kubendung. Aku seperti Shiddiq puluhan tahun lalu.
Kubenamkan kepalaku di dada ayah yang gemetar. Aku sesenggukan, tapi aku merasa
begitu lega. Ini jadi jauh lebih baik. Bertahun-tahun aku hidup dalam dunia
yang membuatku kerontang. Hidup dalam ketakutan jika tiba-tiba ayah tahu.
Sekarang ayah tahu dengan cara yang begitu sederhana, memergoki milyaran uang
dalam koper-koper itu. Uang yang diserahkan rekananku sebagai suap.
Sungguh aku merasa begitu lega dalam
pelukan ayah. Sudah puluhan tahun ia tak memelukku begini.
Menjelang sore Shila dan Nawa
pulang. Ayah sudah menelepon polisi. Najma terus saja bertanya pada kakeknya,
kenapa kakek dan ayahnya menangis saat ia pulang dari rumah Sauqi. Semua takkan
lagi sama setelah hari ini. Tapi aku telah mendapatkan lagi apa yang dulu
terasa begitu jauh...Aku lihat mata ayahku bernyanyi, nyanyian tanpa nyanyian.
PASAR
Dewi Yuliani
Suasana Pasar Ahad hari ini hiruk-pikuk. Aku
tahu sekali hari ini banyak yang datang bukan sekadar belanja untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, tapi lebih dari itu. Hari Rabu ini mendadak
orang-orang menjadi pemurah, menjadi orang yang sangat dermawan.
Bayangkan saja, dengan
uang seribu lima ratus, orang dapat menjadi kaya mendadak. Bisa jadi akan
menambah jumlah konglomerat di Indonesia. Itu kalau nasib lagi mujur, kalau
tidak? Untuk sementara mimpi jadi konglomerat pun patut disyukuri.
Aku memperhatikan
orang-orang yang berseliweran di depanku. Aku sudah hafal sekali wajah-wajah
siapa saja yang mampir di sini, sekadar tanya tentang kode buntut.
Sebenarnya aku tertawa
sendiri. Amat Tukak jualan kode buntut untuk mereka yang memasang Rabu malam
nanti. Kalau Amat Tukak tahu angka yang akan keluar, kenapa bukan Amat Tukak
sendiri yang membeli secara diam-diam agar ia tidak usah lagi berpanas-panas
jualan buntut di trotoar pasar ini.
Pernah suatu kali aku
menanyakan keberadaannya di pasar ini. Katanya, ia sudah bosan membeli kupon sugih,
tidak pernah kena. Lalu ia berinisiatif untuk jualan kode. Kalau kebetulan
angkanya cocok, syukur. Kalau tidak? Paling-paling lain hari ia sudah tidak nongkrong
di pasar ini lagi.
Waktu itu kami
sama-sama tertawa, menertawakan nasib sendiri. Aku memilih diam dan
memperhatikannya berteriak menyebutkan angka-angka sementara orang-orang yang
mengerumuninya memandangi Amat Tukak dengan terkagum-kagum.
Selain Amat Tukak, aku
juga tahu manusia yang ahli dalam keterampilan tangan, bagaimana tekniknya
sehingga orang sama sekali tidak merasakan tangan si copet yang merogoh saku
belakangnya. Tapi aku tak acuh. Biar, mereka juga cari makan seperti aku, dan
aku tidak mau berhadapan dengan gembong copetnya. Bisa-bisa habis aku
dikeroyoknya. Dan itu juga untuk menjaga stabil dan amannya caraku mencari
makan.
Aku hampir
terkantuk-kantuk ketika hari semakin panas terik, anginnya sepoi-sepoi basah.
Tetapi, cacing yang ada di ususku tak mau diajak berdamai. Ia selalu saja
menggerogoti perutku. Rupanya ia marah melihat kantong perutku hanya berisi air
putih, selebihnya hanya angin busuk saja yang tidak bisa keluar karena tidak
punya kekuatan untuk menekan perutku.
“Kasihan orang itu ya,
Bu. Lihat, kaki kanannya buntung. Hiii... banyak kudisnya, Bu!”
Aku tersentak kaget
lalu menoleh ke samping kiriku. Kulihat ada nyonya gendut berbaju merah darah.
Aku melirik lehernya yang berlipat, tapi dihiasi gandulan kalung emas. Aku
tidak habis pikir, berani sekali ibu gendut itu membawa anaknya yang juga
diliputi emas di lehernya yang tidak kalah gendut dan berdagu dua. Rupanya
kedua anak-beranak itu kelebihan gizi.
Tiba-tiba nyonya gendut
tadi melemparkan ratusan yang sudah kusam dan lusuh di kaleng bekas susu yang
sudah kusiapkan. Bah! Aku ngedumel dalam hati. Benggol
buat mengerik punggungku saja tidak sejelek ini. Aku mengira, uang itu sudah
lama terjepit di sudut dompetnya.
“Copet! Copet! Kurang
ajar!” sumpah serapah nyonya itu, kakinya dihentak-hentakkan ke trotoar.
Pantatnya yang sebesar baskom bergoyang-goyang, lucu. Aku melihatnya seperti
badut Ancol yang tengah menari.
Rupanya pencopet itu
masih perlu latihan lagi, buktinya ia dengan mudah dapat ditangkap. Ampun. Ia
dipukuli, persis memukuli ikan gabus yang sering kulihat di pasar ikan. Dahi
pencopet itu mengeluarkan darah, dompet yang dirampasnya tadi dikembalikan lagi
pada nyonya gendut yang masih merengek-rengek persis anak kecil yang kehilangan
permennya.
Aku menyumpah-nyumpah
dari jauh. Seharusnya sebelum anak itu beraksi, ia harus rajin bangun pagi
untuk latihan lari. Rupanya ia baru turun lapangan, sehingga kelihatan agak
canggung.
Udara semakin panas
saja. Aku melirik Ijum yang asyik menidurkan anaknya di kain sarung yang telah dikaitkannya
pada seutas tali rafia, lalu digantungkannya di atas kayu atap tempatnya
berdagang. Suaranya bagus. Rupanya ia bekas penyanyi dangdut. Seandainya ada
pencipta lagu yang tersesat di pasar ini mungkin ia akan tertarik mendengar
suara Ijum. Aku mengakui, soal tampang Ijum tidak kalah dengan penyanyi dangdut
terkenal. Masalah nama, ia nanti bisa mengganti namanya menjadi Voni atau Ivon,
untuk lebih komersil.
Aku hampir tertidur
mendengar suara Ijum, tapi cacing di perutku tak mau diam. Apalagi ketika suara
lagu dangdut menggema mengawani tukang jual obat mempromosikan produknya, obat
kudis dan penyakit kulit lainnya.
Sebenarnya obat itu
murah, cuma lima ratus per botol. Aku pernah beli setengah botol, tapi kudis di
leherku masih saja nakal.
Aku hampir
menggoyangkan pinggulku ketika mendengar lirik lagu Basofi Sudirman. Tidak
semua laki-laki bersalah padamu... Aku tahu kalau Basofi sekarang menjadi
gubernur Jawa Timur. Jelek-jelek aku juga baca koran. Jadi, tidak hanya basi di
dalam pasar ini, aku juga tahu kalau di Indonesia masih banyak orang yang
melarat.
Aku tahu semuanya bukan
melalui koran, tapi aku langsung berkecimpung dalam kemelaratan itu, bergumul
di dalamnya.
Dari koran bekas
sebagai alas dudukku, aku juga dapat membaca tentang Amerika dan produk-produk
politiknya. Aku pernah membaca buku filsafat hidup bahwa diam itu adalah emas.
Aku artikan saja sendiri, menurut status pendidikanku yang rendah, kalau diam
itu membuat diriku lebih aman.
“Hari ini...aku
bersumpah...akan kubuka pintu dompetmuuu...”
Tiba-tiba aku mendengar
lirik lagu Basofi berubah reff-nya. Dan aku hafal pemilik suara yang
menggelitik itu. Gurdis! Rupanya ia sudah keluar dari penjara. Pipinya masih
benjol, mungkin di sel pun ia menjadi bulan-bulanan buntat-buntat di sana.
Gurdis tertawa senang
melihat tampangku. Giginya yang agak kuning tapi tersusun rapi tersembul
kelihatan di antara bibirnya yang hitam.
Aku melirik lengan
Gurdis yang bertato burung rajawali, di dada kanannya bergambar naga. Terus
terang, aku takut sekali melihat kehadiran Gurdis kali ini.
“Sudah makan, Jon?”
tanya Gurdis sambil memandangiku tajam. Suasana pasar rasanya tambah panas. Taksi-taksi
kuning hilir-mudik mengangkut penumpang.
Aku mengalihkan
pandanganku pada televisi umum yang tengah menyiarkan berita tentang perang
etnis di Bosnia-Herzegovina.
“Sudah makan, Jon?!”
hardik Gurdis.
“Belum. Kau?” tanyaku
pelan.
“Sudah.”
Pantas saja, perutnya
agak gembul dan aku tambah iri mendengar dengkur kekenyangan cacing dari perut
Gurdis.
“Lapar?” tanya Gurdis
agak bodoh.
“Sampian ini
bagaimana? Dari pagi aku belum makan, ya laparlah...”
“Tunggu sebentar,
ya...”
Tubuh Gurdis yang
gendut tapi tinggi itu berlalu dari hadapanku. Tak berapa lama ia datang lagi
dengan sebungkus nasi. Entah, dari mana ia mendapatkannya. Setahuku, Gurdis
raja copet di pasar ini.
“Kau curi di mana?”
“Aku beli,” jawabnya
singkat.
“Ah, dusta. Mana ada
Gurdis Jagau tiba-tiba jadi makhluk yang manis...” Aku tertawa hambar, tapi
membuka juga nasi bungkus yang dibawakannya.
“Sumpah, kali ini uang
halal,” Gurdis membuka dompet lusuhnya, terlihat olehku lembaran-lembaran
ribuan.
“Uang siapa yang kau
copet, heh?” tanyaku penasaran, mulutku penuh oleh nasi kuning sehingga
berhamburan.
“Aku jadi penjaga rumah
Ta Ching,” katanya pelan.
“Wah, wah...Jadi
buldognya, ya?”
“Biar. Aku sudah bosan
keluar-masuk penjara. Besok-besok aku mau beli sepeda motor, jadi tukang ojek.”
“Ooo...,” itu saja
seterusnya yang keluar dari mulutku.
Gurdis bertobat, lalu
siapa lagi temanku bercakap kalau ia meninggalkan tempat ini.
Percakapan kami
terhenti ketika Tibum datang. Suasana pasar menjadi semrawut. Pedagang-pedagang
yang berseliweran di tengah jalan lari ketakutan. Tukang becak berusaha
menyembunyikan becaknya. Acil Ijah jatuh tertelungkup karena kainnya
yang melorot terinjak temannya sendiri ketika mereka mencoba lari.
Gurdis memandangiku
dengan sorot mata sedih, lalu menyelinap di antara lorong pasar yang gelap.
“Itu orangnya!”
tiba-tiba Tibum yang bertubuh gemuk pendek menunjuk ke arahku. Cepat-cepat
kutarik kakiku yang penuh perban yang terbenam di dalam tanah berlubang yang
sudah kusiapkan, lalu mengambil jurus seribu.
“Penipu! Buntungnya
dusta! Otak busuk!”
Entah teriakan apalagi,
tak sempat kudengar. Aku tidak peduli dengan teriakan marah mereka. Rupanya
mereka sudah tahu kedokku, yang kadang berubah jadi copet atau pengemis
buntung.
Aku tahu tempat yang
aman sebagai persembunyian. Satu bulan atau dua bulan aku tidak pernah jera
datang kesini. Tentu dengan sosok lain.
Aku tak peduli teriakan
cacing yang geram karena tidurnya terganggu disebabkan nasi si Gurdis, karena
cacing-cacing ini juga tidak peduli kalau tuannya sudah pucat pasi dan
pontang-panting lari ketakutan.
SOFIA,
PERPISAHAN ITU MENGANDUNG DUA ARTI
Hudan Nur
Dulu sekali sebelum kamu pergi. Meninggalkan
kota kecil ini, aku sering mengirimimu puisi-puisi, setiap hari malah. Aku juga
sering membaca puisi-puisi itu di Sabtu sore sambil menunggu waktu malam yang
tidak kalah indahnya. Apapun cuacanya di malam minggu tetaplah mengasyikkan
bagi kita. Kita ke warnet bersama. Makan kacang rebus di taman air mancur. Atau
kamu menonton aktingku di Taman Van Der Vijl. Kamu juga sering memarahi aku
tanpa sebab yang pasti. Kamu keluarkan umpatan-umpatan yang tidak beralasan ke
hadapanku. Tapi aku hanya diam, aku tidak kuasa membalas umpatan-umpatan itu.
Karena satu dan lain hal.
Di hari Minggunya, kita
latihan teater bersama pula. Aku selalu bilang bahwa aktingmu bagus, jika kamu
minta penilaianku. Aku tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya ingin kamu
senang, aku tidak mau ada kata-kata yang keluar dari mulutku menyakiti
perasaanmu. Kamu perempuan, Sofia, tentunya pula sensitif. Aku tidak mau kamu
tersinggung. Bukankah berbohong demi kebaikan itu dianjurkan?
Kadang, sorenya aku
mengantarkanmu berkunjung ke rumah pamanmu. Lantas aku memboncengmu bersama
kendaraan yang kupinjam dari tetangga sebelah rumahku. Aku sering ngerem mendadak.
Dan kamu memukul pundakku, kamu bilang kamu nggak suka. Tapi aku suka,
kapan lagi ada kesempatan berdekapan tanpa sengaja seperti ini, pikirku.
Senin, Selasa, Rabu
hingga Sabtu kita ke sekolah bersama. Kita diajar oleh guru-guru yang sama.
Kita melewati waktu istirahat bersama. Lalu pulang bersama. Kita tak pernah
bosan dalam kebersamaan itu, meskipun kadang-kadang kita tidak akur.
Waktu tiga tahun di
bangku SMA terasa sangat singkat, Sofia. Tiga tahun bersamamu terasa pendek,
dibandingkan waktu pelajaran yang dijalani walau cuma empat puluh lima menit di
setiap mata pelajaran. Aku merasa jenuh jika harus memperhatikan penjelasan
dari guru. Aku lebih suka merangkai kata demi kata, lalu kukirimkan kepadamu.
Pernah suatu kali, aku
ketahuan oleh guru, aku kena skors. Ia juga menyuruhku membacakan apa
yang sudah aku tulis di podium, tempat pembina upacara memberi amanahnya. Dapat
dibayangkan, bagaimana reaksi adik dan kakak kelas. Mereka me-huhui aku.
Seharusnya aku malu, tapi karena aku peteater aku tidak sedikit pun merasakan
malu. Justru aku bangga. Malah aku bermonolog di atasnya.
Kamu tidak tahu betapa
gelisahnya aku jika mataku mulai disirep kantuk. Aku takut jika harus
memejamkan mataku. Aku takut kalau-kalau di dalam mimpiku tidak ada dirimu,
atau melihatmu bersama lelaki lain. Aku begitu takut. Segeralah aku meminum
obat penolak kantuk dan kembali merangkai kata ke dalam puisi. Yang akan
kukirimkan kepadamu jika pagi menjelma. Aku lebih suka menghabiskan waktuku
dengan membuat puisi ketimbang belajar atau mengerjakan pe-er.
*
24 Juli 2005
Kukirimkan sebuah
catatan harianku yang isinya tentang aku selama dua tahun terakhir. Selepas
perpisahan itu. Bunyinya seperti ini:
Aku sudah susah membuktikan
betapa ternilainya senandung sempana jiwa di bab terakhirku. Ya. Itulah adanya.
Aku
tahu, tapi kejanggalan akan cermin yang kulihat kemarin tidak menimbulkan
bayangan, aku hanya melihat sinar yang kelambaiannya tak nampak. Pekat pula.
Sementara aku baru mempersiapkan diri untuk juga ikut pada peperangan yang
salah satu pemrakarsa serta pengrobohnya, aku.
Sementara
aku berkecamuk dalam diri, sekitar baik kawanan menuding sebagai insan yang
naif. Aku betul-betul aku. Hingga aku kehilangan bentuk, remuk di situ juga.
Redamnya utopia di mukaku adalah berkat kesetiaanku yang selalu menyerukan
senandung jiwa di bab terakhir.
Sungguh
aku malu. Maka dengan ini semua aku akan buktikan, aku akan menjauhi apa-apa
yang membikin hubungan kita merenggang. Sekali lagi. Karena itulah adanya. Aku
begitu memilukan, sebab jiwa yang pernah kujalankan pernah memaksakan ribuan
hasrat untuk menikam dan ke arah itu lagi. Aku pura-pura lupa dan tidak
mengetahuinya bahwa suatu saat akan ada balasan dari seluruh torehan yang dieja
pada sempana-sempana melodi dari jiwa yang tak berkesudahan.
Yang
menyetiamu,
*
Sudah ribuan puisi aku
pintal, Sofia. Kalau dibuat antologi sudah puluhan. Hitunganku. Semuanya aku
tulis atas dasar ketidakpahaman jiwaku. Meski aku katakan,
tidak, tapi aku tak kuasa. Aku tak mengerti, mengapa semua cita harus berujung
pengorbanan. Kalau aku berpikir lebih jauh, itulah alasanku bertahan.
Aku tahu kita berbeda, Sofia. Aku
orang kebanyakan. Sedang kamu? Apa pun mampu kamu beli. Diriku pun, kalau kau
mau? Tapi, sesiapa pun tahu bahwa perasaan tidak mengenal itu. Aku tulus,
Sofia.
*
15 Agustus 2005
Aku di sini sedang mengalami musim
liburan. Aku berencana untuk pulang. Tunggu aku ya. Oh...ya! Aku ingin
memperkenalkan kamu dengan seseorang. Aku kangen pada situasi di sana. Aku
ingin membawanya berkeliling di daerah kita. Aku dan dia sekarang sedang
menikmati musim semi. Aku ingin memperpanjang musim semi itu di sana.
*
17 Agustus 2005
Aku tidak merasa merdeka. Aku tidak
memiliki kebebasan untuk menautkan hati. Lalu kutuliskan balasan suratnya:
Benarkah, Sofia? Aku akan menunggumu. Ini
kegembiraanku yang menyeluruh. Cepatlah kembali, Sofia...
Yang menyetiaimu,
Aku pura-pura turut
berbahagia. Melalui suratmu yang kubaca berkali-kali itu, aku sebenarnya
menangis. Tapi aku bisa apa. Asalkan aku bisa melihat kamu tersenyum, aku rela
melakukan apa saja. Sekalipun mengorbankan perasaanku. Bahkan kalau kamu
menginginkan nyawaku, maka aku akan menyerahkannya.
*
Lima hari aku menunggu
kepulanganmu. Selama itu pula aku sibuk memintal kata menjadi rajutan puisi
yang akan aku berikan setibanya kau di hadapanku. Aku menyibukkan diri memilah
kata mana yang pas untuk seorang kamu, Sofia.
Dalam waktu itu, aku
terdiam. Melamun. Aku terkenang masa-masa itu lagi. Di SMA. Aku mengulang kaset
kenangan yang isinya tentang semua tingkahmu. Apa-apamu. Aku mencoba mengingat
akan dirimu, khususnya wajahmu. Aku paling suka dagumu, terbelah dua. Seperti
laba-laba kembar menggantung. Belum lagi alismu, yang seperti semut berjejer.
Kamu begitu indah.
Sebagai peteater, aku
juga memiliki paras yang bisa dikatakan... boleh juga. Namun aku tidak
terpengaruh akan kenyataan itu, karena kamu sering bilang wajahku jelek. Tapi
kalau jelek, kenapa kamu mau berteman sama aku? Kamu diam, jika aku balik
menohok macam itu. Kamu kehilangan kata-kata dan segera saja kamu alihkan
dengan tawaran. Sebuah senyuman.
*
“Apa kabar kamu?”
sapamu setelah sekian lama tidak bertemu.
“Seperti yang kamu
lihat,” jawabku sambil mengamati penampilanmu yang jauh berbeda. Dandananmu
sudah berubah. Kamu sudah gunakan pewarna bibir. Pun pakaian yang kau pakai
sudah semakin minim, apalagi rok mini dan stelan tanktop yang membaluti
tubuhmu membuatku pangling.
“Oh...Ini Dirga, yang
mau kuperkenalkan denganmu lewat suratku tempo hari,” sambungmu sambil
merengkuh tangan lelaki yang sejak tadi berdiri di sampingmu.
Aku sesenggukan saja
menyalami lelaki yang kau sebut Dirga itu. Aku merasa asing dengan kehadiranmu.
Aku tidak kenal dirimu lagi, Sofia. Tidak hanya penampilan, tetapi sifatmu.
Kamu tidak semanis dulu.
“Sofia, ini untukmu....”
Kuserahkan puisi-puisi yang sudah kubuat sebelum kepulanganmu.
“Terima kasih. Sudah
dulu, ya. Aku mau menemani Dirga jalan-jalan...” Lalu, kamu menggandeng lelaki
itu menjauh dari hadapanku. Sekali lagi, aku bisa apa?
Aku hanya bisa menelan
air liur. Pahit.
*
Seminggu kemudian
engkau datang ke rumahku. Kali ini tidak bersama lelaki itu. Kamu sendirian.
“Ada apa, Sofia?”
tanyaku karena kulihat air mukanya memancarkan kegelisahan.
“Aku pamit. Hari ini
seluruh keluargaku akan ikut aku menetap di Jawa...” Setelah itu kamu menyalami
tanganku. Aku merasakan hangat. Menyeruakkan seluruh samudera biruku. Aku tak
ingin berpisah denganmu, Sofia. Aku tak mampu mengucap apa-apa. Karena
airmataku yang menetes cukup mewakili kata apa yang mesti terucap. Aku remuk mendengarnya. Seandainya aku burung, maka sayapku ini patah
karena angin berita itu. Pun ketika aku hendak memelukmu, kamu menghindarinya.
Malah kamu pergi meninggalkanku dalam tangisan.
*
24 Juli 2006
Seperti kemarin aku tetap membuat
puisi untukmu, Sofia. Aku tuliskan kata-kata di selembar kertas berwarna
kelabu. Aku luapkan segala rasaku yang tak pernah sampai. Sebab, aku bisa apa.
Sofia terukir di prasastiku
setiap
penghujung malamku
yang
juga sempat menghantui
jati
diriku kemarin
sore
pun
aku mengeluh padamu;
temani
aku mengukur jalan-jalan
yang
akan kulalui
esok
hari
tapi
kau tak pernah menjawab,
membuat
aku
semakin
khawatir akan
kebungkaman
yang kau miliki
Sofia
terukir di prasastiku
pada
hatiku yang mulai merekah
sementara,
jam berdetak cepat
dibelenggu
jiwaku
yang lain
lalu
di setiap detiknya, aku hanya
mencoba
berbagi
rasa
untuk mentasbihi namamu;
Sofia!
karena
itulah kerjaku adanya
Sofia
terukir di prasastiku
membukakan
beberapa ayatku
yang
ditulis
matahariku
karena
aku hidup bukan untuk
aku,
tetapi
demi
dini-petangmu
di
kancah mendatang
Sofia
terukir di prasastiku
pernah
menghadang sudut
kegelisahanku
yang
kemudian menuaikan aroma
kharismatik
buluh airmata
bunga
di persinggahan waktu
Duh,
Sofiaku yang kian hari
kian
dekat,
sedekat
pemisah antara jasad
dan
ruhnya
peletak
degup jembatan kenanganku
di
perkosaan zaman
Sofia
terukir di prasastiku
dengan
pena asmara ini
aku
tuliskan dalam
kalimat-kalimat
penabuh dendang
irama
dewa
bahwa
syair penyejuk kembaraku
telah
menembus
tulang-darah
serta segala apa
yang
kumiliki
untuk
memahamimu yang kini
terukir
di prasastiku; Sofiaku!
Tapi baik puisi atau pun surat yang
kutulis tidak lagi pernah kukirim kepadamu. Alamatmu sekarang aku tidak tahu
dan kamu tidak pula memberitahunya. Semua surat yang pernah aku kirimkan ke
alamatmu dulu, dikembalikan tukang pos.
Aku tidak tahu lagi bagaimana kamu
sekarang. Ada dua arti yang aku simpulkan dari salam perpisahan setahun lalu.
Sampai jumpa atau selamat tinggal.
Tanpa sadar aku menangis, mengingat
semuanya. Aku bisa dikatakan lelaki cengeng, tapi apalah aku. Inilah adanya.
“Dicari kemana-mana ternyata piannya
di sini? Itu nah Sofia menangis, ulun mau ke pasar dulu menjual sayur!”
“Iya...,” jawabku memelas sambil
menghapus airmataku. Sedang puisi yang baru saja kutulis itu aku sobek. Seperti
perasaanku. Lalu kukunci kamar itu dan pergi menghampiri putriku yang sedang
terlelap.
Lekat-lekat aku memandangnya. Baru dua
minggu ia menjalani usianya. Aku tercenung, perasaanku mestinya lebih besar
tercurah padanya. Kucium dahinya. “Sofia, sayang, jangan tinggalkan Bapak ya,
Nak?” Lalu kucium lagi dahinya...
inspired by someone
Sofiandi Sedar
Guntung Payung, 30 Agustus 2005
05:40 PM
PIANO
Nonon Djazouly
Kudentingkan jari
jemariku di atas tuts tuts piano melagukan Symphony 40-nya Mozart. Sementara Zelda istriku mengomel tak karuan. Suaranya terdengar
timbul tenggelam dari balik kamar, seriring bunyi denting pianoku yang kadang
nyaring dan kadang pelan. Selesai melagukan Symphony 40 kulagukan lagi For
Alice-nya Bethoven. Kali ini tak terdengar lagi omelan Zelda, mungkin ia
sudah tertidur lelap dan bermimpi.
Setelah puas main piano, aku duduk
sambil meluruskan pinggang di sofa.
Zelda...Selalu saja ia ribut kalau
aku main piano. Kadang aku bingung kenapa ia sepertinya benci sekali dengan
yang namanya piano. Sering ia berkata bunyi piano itu bising, padahal menurutku
suara piano itu sangatlah romantis. Pernah juga dikatakannya bunyi piano itu
mengerikan, namun kubilang alunan suara piano itu malah memberi kesejukan dan
rasa damai di hati. Tapi Zelda tak pernah mau kalah, ia selalu mengomel dan
mengomel terus kalau aku main piano.
Piano ini kubeli lima bulan lalu,
dari sahabatku Wiby. Memang bukan piano baru, tapi piano lama warisan kakeknya.
Aku membelinya karena selain modelnya yang sudah kuno hingga terkesan antik,
juga karena harganya jauh lebih murah daripada membeli yang baru. Tapi waktu
aku membawanya ke rumah, Zelda membelalakkan matanya.”Bang, kenapa kau tak
kompromi dulu denganku kalau mau membeli lemari ikan kering begini?” katanya.
“Kau tidak menghargai barang antik,
Zelda. Piano ini sudah puluhan tahun umurnya, harusnya Wiby menghargainya
mahal, tapi karena dia sahabatku...”
“Aku tak suka piano!” jawabnya ketus
sambil berlari masuk kamar.
Esok harinya sepulang kerja, piano
yang tadinya kutaruh di sudut ruangan sudah berpindah tempat ke samping kamar
pembantu. Oh, Zelda, kau benar-benar tak menghargai suamimu. Tapi biarlah dulu,
aku berusaha sabar.
Kubuka koleksi lagu-lagu lama yang
kusimpan dalam laci. Habis rapat direksi di kantor tadi cukup membuatku lelah.
Aku ingin bersantai sejenak dengan memainkan beberapa lagu kesukaanku dulu.
Apalagi Zelda sedang pergi arisan, berarti aku bisa bebas bermain piano
sepuasnya.
Dua lagu kumainkan, aku pun
tenggelam dalam kenangan masa lalu bersama guru pianoku yang manis, Deborah.
Wanita berdarah Belanda itulah dulu yang mengajarku main piano sejak aku SD
hingga tamat SMA. Usianya terpaut lebih tua lima tahun dariku. Deborah yang
manis tak segan-segan memukul jari-jari tanganku dengan penggaris jika aku
dilihatnya kurang konsentrasi memainkan lagu. Namun pernah beberapa kali aku
mendapat hadiah ciuman di pipi tatkala permainanku dianggapnya sempurna. Sayang
setelah menikah Deborah diboyong suaminya ke Belanda. Sejak itu aku hampir tak
pernah lagi menyentuh tuts tuts piano, dan setelah aku menikah piano kesayanganku
diminta oleh Nina adikku yang juga menyenangi musik.
Malam hari, saat kami akan tidur
Zelda berkata dengan dengan wajah sedikit cemberut. “Bang, apa kau tak pernah
berpikir untuk menjual saja piano tua yang jelek itu?”
“Zelda, yang namanya jiwa seni itu
tak pernah bisa hilang dalam diri seseorang. Aku menyukai seni musik, dan piano
adalah alat musik yang kusenangi sejak kecil.”
“Aku mengerti itu, tapi kau juga
harusnya bisa mengerti aku. Bunyi piano itu sungguh tak kusukai,” katanya
sambil menutup wajahnya dengan bantal.
Aku ingin bertanya sesungguhnya apa
yang menyebabkan ia tak suka mendengar suara piano, tapi kuurungkan karena ia
pasti tak pernah mau menyebutkan alasannya juga seperti yang sudah-sudah. Duh,
Zeldaku, ada apa gerangan dengan dirimu?
Sesungguhnya yang tambah membuatku
bingung adalah bahwa istriku ini seorang perempuan yang juga berjiwa seni. Ia
suka membeli lukisan dan suka memelihara bunga. Di dinding rumah kami penuh
dengan pajangan lukisan, di pekarangan pun penuh dengan berbagai jenis bunga
tanamannya. Dan yang kutahu, sebenarnya Zelda juga penggemar musik. Namun
lucunya, istriku yang penampilannya selalu anggun ini menyukai jenis musik rock.
Koleksi kasetnya sangat banyak tersimpan dalam lemari khusus yang berkunci.
Tapi kini ia sudah jarang mendengarkan kaset-kaset kesayangannya itu. Hanya
sesekali kalau kami jalan keluar kota, ia mengeluarkan beberapa kaset itu dan
memutarnya dalam mobil. Lagu-lagu Queen, Deep Purple, Beatles.
Katanya biar aku yang nyetir tidak mengantuk!
Pernah kutanya, bukankah dalam
lagu-lagu kesayangannya itu juga ada suara piano walau tidak dalam setiap lagu.
Jawabnya, bunyi piano dalam sebuah grup band itu tenggelam oleh suara alat
musik yang lain, jadi artinya dia hanya tak menyukai suara piano tunggal. Aku
membahas lagi, bukanlah kalau banyak alat musik dimainkan itu lebih berisik
daripada alat musik tunggal? Jawabnya berulang lagi, “Aku tidak suka bunyi
piano!” Wah, wah, wah...
Namun uniknya, semakin Zelda protes
maka semakin pula hatiku selalu ingin bermain piano. Bias-bias rindu untuk
menekan tuts tuts piano malah semakin menggebu setiap saat. Semakin Zelda
mengomel, makin keras pula aku menekan tuts tuts piano. Pernah suatu ketika,
saat aku melangkah menuju piano di samping kamar pembantu, Zelda masuk kamar
lalu kulihat ia menutup kedua lubang telinganya dengan kapas. Saat aku mulai
membuka tutup piano, ia bergegas pergi ke taman menyiram bunga-bunganya dengan
kapas basah menempel di telinga.
Dan sore itu saat pulang kantor
kulihat pemandangan yang sungguh membuat hatiku mulai gusar. Piano kesayanganku
telah ditutup dengan lakband di sekelilingnya!
Malamnya aku bertandang ke rumah
Wiby dan kuceritakan semua tingkah laku Zelda. “Mungkin kau sering memainkan
satu lagu berulang-ulang hingga membuat ia curiga,” katanya.
“Maksudmu?”
“Mungkin ia curiga kalau lagu itu
merupakan lagu memorymu bersama mantan kekasihmu dulu,” jawabnya.
“Tidak, Wiby. Aku selalu memainkan
bermacam lagu, dan tampaknya masalahnya memang bukan itu.”
“Atau kau mungkin terlalu kemaruk
main piano sehingga ia merasa kurang diperhatikan, dengan kata lain kebersamaan
kalian jadi berkurang?”
“Aku tak pernah lupa waktu. Paling
banyak tiga empat lagu kumainkan, aku sudah puas. Jadi kurasa itu juga bukan
alasan.”
“Lalu menurutmu sendiri apa
sebenarnya masalahnya?”
“Justru itulah yang membuatku
pusing, dia hanya sering berkata bunyi piano itu berisik, mengganggu dan
sebagainya. Padahal kan alunan denting piano itu justru menghasilkan
nada-nada yang syahdu,” kataku.
Wiby menghela napas dalam-dalam
tanpa bersuara apa-apa. Namun saat kuceritakan bahwa Zelda dulu menyukai lagu rock,
Wiby mengernyitkan dahi kemudian tertawa terbahak-bahak. “Berarti memang ada
sesuatu yang tersembunyi di balik tingkah istrimu itu,” katanya. “Kau harus
menyelidikinya sendiri, kawan. Baru kita cari solusinya,” sambungnya lagi.
Sepanjang jalan ke rumah, aku
berpikir apa mungkin istriku mengalami phobia, phobia terhadap piano. Kalau
mungkin, lalu apa sebabnya?
Suatu ketika aku bertandang ke rumah
Amri temanku di SMA dulu yang sekarang berprofesi sebagai psikiater. Aku lalu
menceritakan tentang Zelda kepadanya. “Kau kan tahu Zelda itu orangnya
anggun, sikapnya tenang. Tapi ketika mendengar bunyi piano ia langsung berubah
panik, gelisah dan cerewet. Aku benar-benar tak habis mengerti, Amri. Apa
mungkin ia mengalami phobia?”
“Mungkin saja. Jangan dikira orang
yang perilakunya tenang seperti istrimu tak akan pernah mengalami phobia.
Karena phobia bisa menghinggapi siapa saja. Namun banyak orang yang
mengalami phobia selalu menyembunyikannya, bahkan pada orang terdekat
sekalipun...”
“Apa mungkin karena takut dianggap
abnormal?”
“Bisa jadi, bukankah irasional jika
seseorang takut melihat benda semacam piano saja? Takut mendengar suara piano?
Ogi...Setiap orang sebenarnya wajar memiliki rasa takut. Takut berada dalam
kegelapan, takut sendirian dalam rumah, takut terhadap ular karena ular itu
berbisa, takut melihat truck batubara yang ngebut di jalan raya.
Dan rasa takut itu memang harus dimiliki setiap orang dalam hidup ini agar kita
selalu berhati-hati. Berhati-hati di jalan raya, berhati-hati terhadap binatang
berbisa. Tapi kalau rasa takut itu berlebihan dan di luar kewajaran sehingga
mengganggu kejiwaannya, apalagi terhadap obyek yang tidak berbahaya sama sekali,
maka berarti ia memang mengalami phobia.”
“Lalu apa yang harus kuperbuat?
Kadang aku merasa tersiksa juga, Amri,” tanyaku.
“Kau harus bisa memberi pengertian,
pengertian yang sangat mendalam karena phobia bukanlah rasa takut biasa.
Lama kelamaan mungkin akan timbul keinginan melawan dan membunuh rasa takut itu
sendiri dari dalam jiwanya...”
Aku mengernyitkan alit, sekilas
teringat waktu akan berangkat tadi, Zelda sempat berkata bahwa ia akan menyuruh
pembantu untuk memindahkan piano kesayanganku itu ke ruang atas.
Amri meneruskan, “Penyebab phobia
itu ada yang hanya sekali tetapi ekstrim, tapi ada pula yang hanya karena
masalah kecil tapi kontinyu mengganggu perasaannya. Satu contoh ada seseorang
yang phobia terhadap eskalator karena waktu kecil ia pernah menyaksikan
seorang anak yang jatuh dari pagar atas eskalator ke lantai bawah dan tewas
seketika di depan matanya.”
Lama sekali aku berbincang dengan
Amri. Ternyata begitu banyak orang yang mengalami phobia di dunia ini,
hanya kadar dan intensitasnya berbeda. Bahkan penyanyi sekaliber David Bowie
pun mengaku mengalami phobia terbang, dan selalu mengkonsumsi obat
penenang jika akan naik pesawat.
Di pagi Minggu saat aku baru pulang
mengantar Zelda ke salon, Dino abang Zelda menyambangiku ke rumah dan kami
duduk-duduk di teras. Di tengah obrolan, Dino menanyakan piano tua yang kubeli
dari Wiby. “Kenapa tak kelihatan piano itu, Ogi?”
Mendengar pertanyaannya, aku merasa
ini mungkin kesempatan bagiku untuk mencari tahu sebab musabab phobia
Zelda terhadap piano. Kembali aku bercerita panjang lebar seperti yang pernah
kusampaikan pada Wiby dan Amri tentang Zelda. “Bahkan beberapa kali ia
menyuruhku menjual saja piano yang dikatakannya seperti lemari ikan kering
itu,” kataku menutup cerita.
Dino tersenyum. “Sudah kuduga, Ogi. Waktu
kalian pacaran dulu Zelda pernah bilang padaku bahwa menurutmu waktu remaja kau
suka main piano. Aku berpikir suatu saat bukan tak mungkin hal ini akan menjadi
problema bagi kalian, walau mungkin tak akan begitu serius, tapi cukup
mengganggu.”
“Mungkin ada kenangan buruk yang
berkaitan dengan piano itu terhadap diri Zelda?” tanyaku.
“Ya,” Dino menghela napas sejenak.
“Waktu kecil saat kami masih tinggal di daerah Batu Jawa Timur, tak begitu jauh
dari rumah kami ada sebuah bangunan tua peninggalan Belanda yang sangat angker.
Kalau kebetulan kami lewat di sana Zelda selalu saja ketakutan. Tangannya
selalu memeluk erat tubuhku dan mulutnya komat-kamit membaca surah surah
kecil sambil matanya dipejamkan. Padahal ketika kami lewat tak pernah sekali
pun ada sesuatu yang aneh atau menakutkan keluar dari rumah itu. Satu kali,
pernah aku memaksanya bersama-sama mendekati rumah tua itu. Dengan langkah
terpaksa Zelda mengikutiku mengintip ke dalam rumah itu dari balik kaca jendela
yang agak tinggi. Dari luar kami melihat ruangan yang tertata rapi. Ada kursi
malas, sebuah sofa yang sangat bagus tapi sudah lusuh, dan sebuah piano tua di
sudut ruangan. Melihat ruangan yang bersih dan rapi itu, aku yakin sebenarnya
dalam rumah itu ada penghuninya. Mungkin saja ada orang yang ditugaskan oleh
pemiliknya untuk merawatnya. Suatu malam sepulang mengaji, aku kembali memaksa
Zelda melewati rumah itu. Sebenarnya bisa saja lewat jalan lain, tapi aku
memang suka penasaran, aku ingin tahu siapa sih penghuninya. Baru saja
berada di depan rumah itu tiba-tiba kami mendengar alunan bunyi piano yang
semakin lama terdengar semakin nyaring. Sesungguhnya tak ada rasa takut sedikit
pun di hatiku karena kupikir ini justru membuktikan bahwa di rumah itu ada
penghuninya. Tapi Zelda...ia pucat pasi, terlihat dari pantulan sinar bulan
yang menimpa wajahnya. Tangannya yang memegang tanganku terasa dingin seperti
es. Semakin nyaring suara piano itu, semakin ia tak mampu bersuara apa-apa, dan
beberapa saat kemudian tubuhnya pun lunglai. Aku memboyongnya pulang ke rumah.
Setelah itu seminggu lamanya Zelda sakit. Ia sering mengigau dan katanya sering
bermimpi ada orang Belanda di rumah tua itu sedang bermain piano sambil
tersenyum kepadanya.”
“Mungkin sejak itu ia jadi takut dan
ngeri mendengar suara piano?” tanyaku.
“Ya, terlebih pada piano tua yang
antik bentuknya, seperti yang kau beli dari Wiby itu. Padahal dulu sudah
berkali-kali kukatakan bahwa ia harus berani memerangi rasa takut itu, karena
sebenarnya rasa takut itu timbul dari khayalannya sendiri.”
Aku termangu, berarti Zelda tak mau
mengakui ketakutannya itu padaku karena ia memang menyadari bahwa ketakutannya
itu tak beralasan, namun ia tak mampu menguasai rasa takut yang diciptakannya
sendiri itu.
“Mas, bagaimana kalau istriku
kusuruh meditasi saja, misalnya ikut latihan yoga. Mungkin itu akan membantu?”
“Kalau kau hanya menyuruh dia,
kurasa dia takkan mau. Kalau bersama-sama denganmu mungkin dia mau. Semoga
berhasil.” Dino pamit pulang.
Seminggu sudah aku dan Zelda ikut
yoga di rumah seorang keturunan India. Setelah itu ia kusuruh ikut latihan
sendiri. Kenapa? Karena sewaktu ia berlatih yoga, maka di rumah aku bisa main
piano sepuasnya. Namun sebulan kemudian ia berhenti sendiri, malas katanya.
Habis makan malam aku naik ke lantai
atas lalu kulagukan Love of My Life-nya Freddie Mercury dengan piano
tuaku. Namun di pertengahan lagu, ”Bang, berisiiik...,” teriak Zelda tiba-tiba
sambil mengeraskan suara TV. Wah, rupanya meditasi sebulan untuknya
belum membawa hasil juga!
Aku pun pasrah, ikut yoga, memberi
pengertian dengan kata-kata lemah lembut agar ia mampu menggunakan pikiran
sehatnya dalam membebaskan dirinya dari belenggu rasa takut terhadap sebuah
benda yang bernama piano ini juga tak berhasil. Bahkan kadang sambil marah ia
berkata bahwa tak sedikit pun ia pernah merasa takut pada piano. Lalu cara
terakhir yaitu sesering mungkin kumainkan lagu-lagu kesukaannya dulu, tampaknya
juga tak memberi arti.
Kini hampir sebulan sudah aku tak
menyentuh piano. Malam ini kami menonton TV berdua.
“Bang, kenapa sekarang aku merasakan
kelengangan di dalam rumah kita ini,” berkata Zelda yang membuat konsentrasiku
menonton siaran berita jadi buyar.
“Lengang? Berarti kau merasa sepi?”
tanyaku.
“Ya...,” sahutnya datar.
“Kalau begitu, gimana kalau
kau putar saja kaset lamamu itu?”
Zelda cemberut, lalu melirik ke
arahku.
“Ya, sepi karena sudah tak ada lagi
suara piano di rumah ini,” aku meneruskan tanpa memandang wajahnya. Tiba-tiba
ia mencengkeram tanganku membuatku kaget. “Ada apa, Zelda?”
“Nggak, aku cuma mengantuk,”
katanya sambil menyipitkan matanya, lalu beranjak ke kamar. Beberapa waktu ini
ia kuperhatikan selalu tidur lebih dulu dariku, namun kulihat ia sering bangun
tengah malam dan salat tahajud.
Pagi sekali saat aku baru membuka
mata, terdengar olehku suara Zelda ribut di dapur. Tiba-tiba ia masuk kamar dan
mengguncang bahuku. “Bang, apa benar kata Sumi kau telah menjual piano tuamu
itu?”
“Memang kenapa?”
“Kenapa kau tak kompromi denganku
dulu sebelum menjualnya?”
“Lho, kan aku
membelinya dulu juga tanpa kompromi? Dan bukankah berkali-kali kau minta aku
menjual saja lemari ikan kering itu?”
“Iya sih, tapi...”
“Tapi apa?” Sekilas kulihat ia
seperti bingung, diam tak berkata-kata lagi lalu melangkah pelan ke luar kamar.
Habis mandi kuhampiri Zelda yang duduk
sendiri, termenung di ruang tamu.
“Bang, aku sungguh tak mengerti,” ia
berkata pelan.
“Kenapa?”
“Aku, aku kini merasakan suasana
yang begitu sunyi, bahkan teramat sunyi.”
“O ya.”
“Ya, Bang, kurasa ternyata rumah ini
sekarang demikian sepi dan terasa hampa tanpa...”
“Tanpa apa, Zelda?”
Ia diam sejenak, lalu menggigit
ujung kukunya seperti menahan sesuatu yang ingin diucapkan. “Mungkinkah itu
karena tiadanya lagi alunan suara pianomu di rumah ini?” bisiknya dengan
tatapan syahdu.
Aku terdiam, seakan tak percaya pada
pendengaranku sendiri. “Sungguh, Zelda?”
“Ya...Aku tak mengerti kenapa
sekarang aku malah merindukan dentingan suara pianomu.”
Kupandang wajah istriku, berusaha
menemukan apakah ada isyarat canda, namun yang kulihat hanyalah dua bola mata
sendu yang memancarkan ketulusan.
“Maafkan aku selama ini...”
“Tak ada yang perlu dimaafkan,
sayang. Asal besok kau izinkan aku meletakkan sebuah piano di sudut ruang tamu
kita, gimana?”
Zelda mengangguk sambil tersenyum.
Aku tak tahu, apakah upaya terakhirku ataukah perpaduan dari ketiga cara yang
pernah kulakukan itu yang telah menaklukkan traumanya, atau ia sendiri yang
telah berusaha sedemikian rupa untuk membunuh phobianya tanpa
sepengetahuanku, entah dengan cara apa...
Mtp, 071009
EPISODE DURIAN
Nailiya Nikmah JFK
Musim hujan telah tiba. Setelah sekian lama
udara panas bercokol di kota Banjarmasin, kini hawa dingin mulai menyapa. Aku
merapatkan jaket. Sebuah gerak spontan ketika tiba-tiba aku merasa dingin mulai
menyusup ke tulang. Aku mengayuh sepeda agak cepat. Beberapa pasang mata
menatapku, tepatnya menatap sepeda bututku. Aku punya alasan sendiri kenapa di
era serba canggih ini aku masih setia bersepeda. Tak ada yang tahu alasan itu
selain aku. Sudahlah, tak perlu membicarakan perihal sepeda ini.
Aku membaui aspal yang
dibelai hujan sore ini. Ah, tak murni baunya. Ada bau lain yang mengusik. Bau
harum dengan aroma khas yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Otakku
langsung menampilkan format buah dengan banyak duri dan muncullah kata durian.
Ya, durian! Sekarang sudah musim durian lagi. Aku mengayuh sepeda sambil
bersenandung lirih,
aku yang lemah tanpamu
aku
yang rentan karena
cinta
yang tlah hilang darimu
yang
mampu menyanjungku...[1])
Durian...aku bergumam
dalam hati. Durian membuatku teringat pada Iwar. Buah berdaging lembut dan
manis itu nyaris membuatku menceraikan Iwar, istriku yang putih bersayap. Aku
menyebutnya putih bersayap karena ia seperti bidadari. Sejak pertama melihatnya
di resepsi perkawinan sepupuku, aku sudah jatuh cinta pada Iwar. Tangannya
begitu terampil meracik ketupat. Waktu itu ia kebagian menjaga stand
ketupat tumis. Senyum tulusnya terpamer indah ketika aku minta diambilkan
sepiring penuh ketupat tumis buatan ibunya itu. Kata Indah, adikku, semua
makanan yang ditata prasmanan itu dibuat oleh Acil Imah, ibunya Iwar.
Aku yakin di makanan itu ada jejak jari putih Iwar yang selalu turun tangan
membantu pegawai ibunya.
Rupanya Iwar pun sudah
terkena panah asmara ketika kami berkenalan di acara itu. Aku masih ingat Iwar
dengan malu-malu menangkupkan kedua tangannya di depan dada ketika aku akan
menjabat tangannya. “Namaku Wardani, Kak. Semua orang memanggilku Iwar,” ucapnya
bersahabat.
Nama yang singkat
tetapi indah di telingaku. Entahlah, mungkin karena si empunya berwajah indah.
Tidak seperti adikku, bernama Indah tapi orangnya tidak indah. Astaghfirullah,
kok jadi menjelekkan adik sendiri? Inilah cinta. Kalau sudah mata
ketutupan cinta, ya begini ini. Adik sendiri malah jadi tidak jelas
keberadaannya. Kupikir tidak hanya aku yang jadi kacau begini kalau lagi jatuh
cinta.
Aku pun dengan lantang
menyebut namaku. “Namaku Gusti Hermansyah, ortu sih ngasihnya
itu, tapi teman-teman memanggilku Aman...,” candaku. Kulihat ia tersenyum dan subhanallah
ada lekuk kecil di kedua pipinya.
Kata
Indah itu namanya lesung pipit. Aku tak peduli apa namanya. Tapi yang jelas aku
selalu ingin melihat lekuk kecil di kedua pipinya itu.
Sejak itu semua menjadi
aneh. Di kamarku kulihat ada Iwar. Di meja makan, di ruang tamu, bahkan di
kamar mandiku! Di mana-mana ada Iwar. Bahkan dalam tidurku aku melihat Iwar
dengan lekuk kecil pipinya melambai ke arahku. Ia berbaju pengantin warna putih
dan bersayap! Esoknya aku seperti anak kecil merengek minta dibelikan mainan
baru kepada ibunya. Aku ingin bidadari bersayap itu. Aku ingin memiliki Iwar.
Tidak main-main, aku ingin menikahinya. Maka seisi rumah kalang-kabut
menanggapi permintaanku.
“Kamu jangan
mengada-ada, Man. Baru dua semester kuliah sudah minta kawin,” komentar Abah.
“Iya, Man. Lagian
kenapa juga harus Iwar bungas[3])
itu yang kau pilih? Mama tak tahu berapa nanti jujuran[4])
yang diminta keluarganya. Untuk ukuran Iwar dan keluarganya pastilah di atas
harga pasaran, Man,” sahut Mama.
“Harga pasaran apa sih,
Ma? Memangnya Aman mau beli barang?” Aku melotot.
“Eh, si Kakak, dikasih
tahu nggak mau mendengarkan. Si Iwar tuh banyak kelebihannya.
Ibarat mangga tuh kada bapira, kada masam, kada pangar[5]),
pokoknya sip,” sahut Indah. “Dia anak orang kaya, cantik, sholehah,
pintar lagi,” sambungnya.
“Oya? Tambah semangat nih,”
tukasku.
Semua kepala
menggeleng.
“Man, jangan menyupanakan[6])
keluarga. Kalau kita ditolak, mau ditaruh di mana muka kita?” usik Mama.
“Ma, apa salahnya kita
usaha dulu. Lagipula Aman pikir kita tidak terlalu miskin kalau memang kekayaan
yang jadi ukuran mereka. Coba Mama perhatikan Aman. Aman gagah, penampilan
menarik, otak encer, keturunan baik-baik, punya bisnis kecil-kecilan, pokoknya ngaak
memalukan deh...,” promosiku disambut timpukan tisu oleh Indah.
“Ada satu yang belum
kamu miliki, Man...,” lirih Mama.
“O,ya? Apa itu?”
sahutku heran karena merasa aku sudah terlalu sempurna untuk sekadar nelamar
Iwar.
“Iwar itu masih
keturunan almarhum Haji Rusdi. Ulama berpengaruh di Hulu Sungai. Tidak ada
keturunan Haji Rusdi yang tidak alim. Semua pintar ngaji, soleh
dan sholehah. Iwar tidak pantas denganmu, Man. Terlalu jauh...,” jawab
Mama.
“Aman juga bisa ngaji
kok, Ma! Ya...memang sih tartilnya masih belum sempurna. Tapi Aman
janji akan belajar ngaji lagi supaya bacaannya sebagus Iwar,” harapku.
“Man...Abah dan
Mama tidak melarang kamu berteman dengan Iwar. Tapi tolong...untuk yang lebih
dari itu nanti dulu...kita belum siap,” Abah menengahi.
Aku tidak puas dengan
jawaban Abah. Hari itu aku bolos kuliah. Aku mencari info
sebanyak-banyaknya tentang Iwar. Ternyata selama SD sampai SMA Iwar hidup
bersama neneknya di Amuntai. Lulus SMA baru ia tinggal bersama orangtuanya yang
kaya raya itu. Iwar kuliah di IAIN. Konon suara Iwar sangat merdu bila sedang
mengundangkan ayat-ayat suci.
Aku tak peduli dengan
semua itu. Aku hanya peduli pada satu hal, bahwa Iwar adalah bidadari putih
bersayap yang turun ke bumi untukku. Aku harus segera melamar Iwar. Bukan
apa-apa, sejak dulu aku sudah bertekad tidak akan pacaran dan apabila tertarik
atau jatuh hati dengan seseorang, maka akan langsung kulamar. Aku tidak
main-main. Begini-begini aku sudah sering ikut seminar tentang menikah dini dan
bahayanya pacaran. Buku-buku bertema pernikahan pun sudah pernah kubaca. Tapi
aku tidak menyangka juga akan bertemu dengan soulmate secepat itu.
Aku tidak berani
menemui Iwar. Bukan karena aku merasa tidak pantas dengannya, bukan pula karena
takut dengan ibunya atau ayahnya. Aku hanya tak sanggup melihat senyum bulannya
yang selalu terbit setiap waktu. Aku ingin memiliki senyum itu. Ingin
meletakkannya di kamarku, menyelipkannya di sakuku, memformatnya jadi wallpaper
di hpku, ah tidak...aku ingin menempatkannya di hatiku agar tidak ada
orang lain yang turut menikmatinya.
Hampir sebulan aku
seperti orang sakit. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, biasa...gejala penyakit
kasmaran pada umumnya. Tapi baru pada saat itu aku benar-benar paham bagaimana
rasanya merindu. Aku pun mendadak puitis. Berlembar surat cinta untuk Iwar
teronggok di laci meja belajar, sebagian di tempat sampah. Bahkan aku pernah
kehilangan sebuah surat yang lupa kusimpan di laci.
Anehnya suatu hari aku
mendapat titipan surat dari Iwar melalui Indah. Isinya benar-benar
mengagetkanku. Singkat, jelas, padat, menarik dan perlu!
Bila yakin dan
percaya pada ketetapan-Nya, maka bismillah tawakal dan bangunlah dari mimpi
panjang...demikian tulis Iwar. Aku yakin, yakin sekali Iwar akan menerimaku.
Tapi eit...tunggu dulu, sebelum berlonjak kegirangan aku menyadari satu
hal. Dari mana Iwar tahu aku sedang bermimpi?
Indah seakan bisa
membaca isi hatiku. Sambil tersenyum jahil ia melesat pergi mencari
perlindungan Mama. Pasti, pasti Indah yang mencuri suratku dan menyerahkannya
pada Iwar. Aku ingin menarik rambut panjangnya dengan gemas atau mencubit
lengannya kuat-kuat.
Tapi tidak, aku tidak
jadi melakukannya. Seharusnya aku berterima kasih pada Indah. Adikku yang
perhatian.
Maka Abah, Mama, aku
dan Indah mendatangi rumah Iwar. Prosesnya begitu mudah. Tak ada jujuran
yang mahal-mahal, tak ada tawar-menawar, tak ada persyaratan ini itu. Yang ada
hanya cinta. Cinta di mana-mana. Jadilah Iwar bidadariku. Hak milik pribadi.
Iwar istri yang sempurna. Pandai membagi waktu antara kuliah dan keluarga.
Hari-hari bersama Iwar menjadi episode indah yang penuh kejutan dan cinta.
Sampai tragedi itu
terjadi...Baru empat bulan pascapernikahan. Waktu itu musim durian seperti
sekarang. Berlatar senja dan gerimis. Aku baru pulang dari mengantar orderan
spanduk anak Hukum. Bisnis cetak dan sablon yang kukelola amatiran dapat untung
yang lebih dari biasanya. Aku memutuskan membeli durian tiga biji.
Kubayangkan Iwar akan
tersenyum senang melihatku membawa buah mahal itu. Ya...setidaknya setelah
menikah semua jadi barang mewah dan mahal bagi kami. Tak apa menyenangkan istri
sekali-sekali.
Lagipula aku sudah
kangen ingin makan durian. Durian adalah adalah buah favoritku. Kelelahanku
langsung pamit setelah kelebat sayap putih Iwar melambai di khayalku.
“Assalamu’alaikum,
War...Iwar, lihat aku bawa apa nih untukmu...,” teriakku tak sabar menanti
sambutan hangatnya.
“Alaikumsalam...Kak,
bawa apa?” Kulihat Iwar melakukan gerak penajaman penciuman. Durian tak dapat
disembunyikan. Baunya pasti akan menyapa lebih dulu. “Kak Aman
bawa...du...rian...?” tanyanya. Kulihat senyum bulannya yang selalu terbit
tiba-tiba enggan hadir. Mukanya memucat.
“Ada apa, War? Kamu
sakit? Kita ke dokter?” Aku cemas sekali. Tak pernah terlintas bagaimana
jadinya kalau bidadariku terkulai lemas tak bertenaga.
Iwar menggeleng. Gugup
ia menjawab, “Ah, tidak, Iwar tidak
sakit. Kecapekan saja barangkali.”
“Ya sudah, kamu istirahat.
Tapi sekarang kita makan durian dulu, ya?” sahutku lega.
“Maaf, Kak, Iwar ke
kamar dulu. Ada yang mau dikerjakan,” pamitnya buru-buru.
“War! Tolong duriannya
dibukakan, ya! Aku mau mandi!” Aku bergegas mengambil handuk. Rasanya segar
sekali. Iwar menyiapkan air hangat untukku mandi. Aku jadi merasa tersanjung.
Keluar dari kamar mandi aku tidak tak mendapati Iwar di dapur. Padahal aku
sudah tak sabar ingin mencomot durian dan melumatnya. Durianku masih utuh.
“War! Iwar!” agak kesal
aku mencarinya.
Di kamar tidak ada, di
ruang belajarnya juga tidak ada. Penasaran aku lari ke depan. Kulihat Iwar
duduk di kursi pelataran[8])
kami. “Kamu ngapain ke sini?” selidikku.
“Maaf, Kak. Tadi Iwar
agak pusing. Mau nyari angin segar.”
Jawaban Iwar bagai
tamparan keras di pipiku. Entah setan apa yang membisikiku. Bagiku Iwar
menjawab, “Maaf, Kak. Iwar sudah bosan di rumah terus. Iwar ingin beraktivitas
di luar.”
“Durian, kenapa belum
dibuka juga?” kucoba menyimpan kekesalan.
“Maaf, Kak, Iwar tidak
bisa membukakan duriannya....” Agak takut ia menjawab.
“Nanti kuajari. Ayo, ke
dapur. Kamu harus bisa, durian buah kesukaanku. Ayo!”
“Tapi...Iwar tidak suka
durian...” Kalimat itu seperti bantahan bagiku.
“Kalau kamu tidak
terlalu suka, tak apa mencicipi saja. Asyik dong, aku bisa puas makan
duriannya,” godaku.
“Tapi Iwar benar-benar
tidak suka,” ucapnya lagi.
“Ya, sudah, kamu tidak
usah ikut makan. Kamu membukakannya, lalu menemani aku makan durian di dapur,”
aku nyaris kehilangan makna sabar.
“Iwar tidak
bisa...maaf...,” matanya berkaca-kaca. Mungkin ia sudah menangkap kemarahanku.
“Mau kamu apa sih?!
Sudah berani membantah? Aku sudah capek-capek kerja, kupikir kamu senang
dibelikan durian. Oke! Kamu mungkin sudah bosan makan durian! Di rumahmu
tiga biji durian ini tidak ada harganya, kan! Tapi tolong hargai aku.
Suamimu ini baru kali ini bisa membelikanmu sesuatu. Maaf, War, aku baru bisa
membelikanmu durian, bukan permata.
Maaf,” teriakku lantang.
“Iwar tidak bermaksud
seperti itu, Kak...” Ia menangis. Sesungguhnya aku gugup juga melihat butiran
kristal meleleh di pipinya. Aku ingin merengkuhnya. Tapi egoku sedang berdiri
pongah. “Sejak kecil Iwar tidak suka makan durian...Iwar...”
“Sejak kecil, sejak
kecil! Itu masa lalu! Sekarang kamu hidup denganku. Aku suka durian, kamu
istriku, seharusnya kamu juga suka durian. Banyak hal bisa diubah!” potongku.
“Iwar tidak tahan
mencium baunya...,” ucapnya sesegukan.
“O,ya? Jadi seumur
hidup aku tidak boleh lagi makan durian karena kamu tidak tahan mencium baunya?!”
Aku melotot seperti kucing jantan siap menerkam kucing jantan lainnya saat
berebut ikan.
Iwar menunduk. Kulihat
ia berulang kali menyeka airmatanya. Pasti besok mata indahnya jadi sembab dan
tak bagus. Peduli adul! Aku lagi marah. Marah pada Iwar. Aku memohon
ampun pada-Nya karena saat ini aku merasa menyesal telah menikah dan memilih
hidup bersama Iwar.
Bidadariku ternyata
memiliki cela. Ia memiliki sifat pembenci. Celakanya ia membenci sesuatu yang
paling aku suka. Durianku, cintaku. Seumur hidup belum pernah ada yang
melarangku makan durian. Selamanya akan tetap begitu. Tak ada yang akan bisa
mengubahnya, termasuk Iwar. Iwar yang baru hitungan bulan mendampingiku.
Hidup, durian!
Kulihat para durian
bertepuk tangan menyambut pidatoku. Apakah ini pertanda aku dan Iwar tidak
cocok? Apa aku harus berpisah saja dengannya? Aku bergidik ngeri sambil
buru-buru men-delete pikiran buruk itu. Iblis, pasti iblis sedang
terkikik kegirangan. Aku tidak sadar sedang melakukan hal yang kontras dengan
apa yang baru saja kuucapkan. Aku tak ingin Iwar mengubah kesenanganku, tapi
aku justru memaksa Iwar mengikuti kesenanganku.
Iwar melesat ke dapur.
Aku umpama suara guntur yang menguntit di belakang kilat. Iwar-lah kilatnya.
Ia mengambil pisau
tajam di rak piring. Aku kaget. Kutepis prasangka buruk sambil menghimpun
kekuatan. Iwar dengan tangkas membelah sebiji durian, mencomot isinya dan
memasukkannya ke mulut. Aku ternganga.
Tiba-tiba Iwar berlari
lagi. Langkah seribunya hampir menabrakku. Ia ke kamar mandi dan mengunci
pintunya dari dalam. Aku menggedor-gedor pintu. Kudengar suara orang muntah
dari dalam kamar mandi. Iwar muntah-muntah!
Aku panik, seperti
Jerry tokoh tikus dalam kartun favorit Indah yang sedang mencari jalan keluar
dari kejaran Tom si kucing. Tapi aku tak secerdik dan selincah Jerry. Aku
mematung sekian menit sampai pintu kamar mandi terbuka.
Iwar kuyu. Ia pasti
sudah mengeluarkan separuh isi perutnya. Pasti menyakitkan. Aku merasa
bersalah. Tak ada sepotong kata pun yang keluar dari mulutnya. Iwar ke kamar.
Lagi-lagi aku mengekor. Untuk ke sekian kalinya aku terperangah, Iwar mengganti
dasternya dengan gamis coklat dan memadukannya dengan kerudung putih tulang.
“Mau ke mana, War?”
tanyaku lebih mirip memelas.
Dia tetap bisu. Di
depan pintu ia mengambil tangan kananku dan menciumnya. “Selamat makan durian,
Kak. Maaf, Iwar pergi dulu.”
Aku tak dapat
mencegahnya. Mukaku tak cukup tebal untuk sekadar menanyakan kemana tujuannya.
Aku yakin, Iwar masih bidadari yang manis. Supra Fit merah melaju
bersama pemiliknya, meninggalkan aku dengan sejuta rasa bersalah.
Setelah Isya aku
mendapat telpon dari Iwar. Aku lega. Setidaknya kini aku tahu posisi Iwar.
“Kak, Iwar nginap di rumah Mama dulu, ya? Kebetulan Abah dan
Indah lagi ke Jakarta. Iwar menemani Mama. Kak Aman jaga rumah kita aja.
Makan malam sudah ada di meja. Besok pagi-pagi sekali ada yang ngantar
nasi kuning buat sarapan.”
Itulah Iwar. Ia tak
seperti perempuan pada umumnya. Kalau ngambek sama suami ngadu ke
orang tua. Iwar malah pulang ke mertua. Tidak mengadu. Tapi sekadar
menyembunyikan diri dan menyepikan kerumitan yang baru saja terjadi. Aku
menarik napas lega.
Malam seperti penjara
tanpa Iwar. Ke pelataran, sepi. Ke dapur, sunyi. Ke kamar, nyeri. Aku
tak berselera lagi makan durian. Durian tragedi, siapa yang mau makan? Aku
keluar bersepeda menyusuri jalan bercahaya setelah memberikan durian-durian
tragedi ke tetangga sebelah. Jalan-jalan berhias petromaks memaksaku mampir.
“Durian, Mas?”
tanya pedagang durian.
“Ya,” aku malas
menawar. Aku memakannya sambil lesehan di samping anak penjualnya. Bocah
laki-laki kurus tujuh tahunan itu menatapku tak berkedip.
“Mau?” Aku tak yakin ia
sudah pernah makan durian dagangan ayahnya. Buktinya ia mengangguk dan cepat
mencomot durianku.
“Bapak baik sekali.
Pasti senang jadi anak Bapak,” ucapnya.
“Ah, kamu bisa aja.
Saya belum punya anak.” Aku agak tak biasa dipanggil Bapak.
“Kalau begitu, pasti
istri Bapak bahagia punya suami sebaik Bapak,” ralatnya. Istri...bahagia...?
Aku tersedak. Segera kusudahi pesta durianku dengan bocah kurus itu.
“Mau ke mana, Pak?”
tahannya.
“Pulang! Sisanya kamu
habiskan saja!” Aku segera mengayuh pedal Phoniex bututku melaju
membelah malam yang mulai semakin kelam. Aku ingin tidur dan bermimpi tentang
Iwar.
*
Sepulang kuliah hari
itu aku tak kemana-mana. Tidak ada niat ke rumah Mama. Nanti suasana malah
kacau. Di pelataran kudapati sebiji durian besar menggiurkan. Sepucuk
surat sengaja diletakkan di bawahnya. Tergesa kubaca,
Kak, maafkan semua kesalahan
Iwar. Durian ini sebagai tanda perdamaian dari Iwar. Dimakan, ya! Kalau sudah
selesai makannya jangan lupa gosok gigi dan tolong jemput Iwar di rumah Mama.
Nanti malam kita bicarakan baik-baik soal perbedaan selera kita. Tadi Iwar naik
angkot, kunci Supra Fit Iwar titip di tetangga depan.
Ah, Iwar, tak ada yang
perlu dimaafkan. Akulah yang meniup di atas bara. Iwar masih bidadariku.
Bidadari putih bersayap dengan lekuk kecil di pipi dan senyum bulan yang selalu
terbit.
Mengingat senyum Iwar
membuat aku mempercepat laju sepedaku. Aku tak takut pada langit yang mulai
gerimis lagi. Aku ingin segera sampai di rumah. Membuka lembaran album kenangan
saat terindah bersama Iwar. Iwar sekarang pasti sedang tersenyum di atas sana.
Besok Mama mengadakan
acara haulan. Setahun kepergian Iwar. Angkot yang ia naiki dikemudikan
sopir mabuk. Entah bagaimana kejadian persisnya, yang jelas aku sudah mendapati
Iwar sudah tak bernyawa di Rumah Sakit Islam.
Maafkan aku,
durian...Sejak kepergian Iwar aku tak tahan mencium bau durian lagi. Selain itu
aku juga tak sanggup memakai Supra Fit atau sepeda motor apa pun lagi
karena semua itu hanya mengingatkanku pada Iwar menjelang kepergiannya. Iwar
dengan Supra Fit merah adalah gambaran terakhir yang terekam dengan
jelas di memoriku.
Aku semakin mempercepat
laju sepeda. Kepalaku pusing, aku tidak tahan lagi, aku ingin muntah...
Bila yang tertulis untukku
adalah
yang
terbaik untukmu
Kan
kujadikan kau kenangan yang
terindah
dalam hidupku
Namun
takkan mudah bagiku
meninggalkan
jejak hidupmu
Yang
tlah terukir abadi sebagai
kenangan
yang terindah...[9])
[1]) Korrie Layun Rampan, Kalimantan
Dalam Sastra Indonesia,
makalah, disampaikan pada Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV di Amuntai,
Kabupaten Hulu Sungai Utara, 14-16 Desember 2007
[1] ) lirik lagu Kenangan Terindah/Samsons.
[2] ) ibid
[5] ) tidak ada keburukan/cacat
[6] ) mempermalukan
[7] ) ibid
[9] ) ibidem
PASAR ITU MILIK IBUKU
Rismiyana
Aku senang bermain menyusun bawang merah yang tercecer
dengan Anto di pasar, saat kurasakan sepasang tangan menggoyang-goyangkan kedua
tanganku. Hari masih sangat pagi. Aku baru bangun, dan mataku terasa sangat
malas karena sisa kantuk yang masih menggantung. Dengan malas kubuka kelopak
mataku yang terasa berat.
“Wan, mandi. Nanti kamu
terlambat ke sekolah.” Ternyata sepasang tangan itu milik ibu. Sekarang, ia
berusaha membantuku berdiri.
“Hari ini Jumat, Bu,
masuknya jam 8. Jadi tidak apa-apa agak siangan...” Tapi ibu seperti tidak
mendengar penjelasanku. Tangannya kini menuntunku ke ruang bawah, ke kamar
mandi. Eh, bukan kamar mandi, tapi lorong kecil antara dinding rumah dan
pagar tembok rumah sebelah yang kami jadikan sebagai tempat mandi dan mencuci.
Setelah menyiram
badanku dengan beberapa gayung air dan sedikit bilasan sabun, aku bergegas
mengenakan seragamku. Tadi aku lupa, sejak Senin lalu aku harus berjalan kaki
ke sekolah. Jadi, walaupun hari ini masuk jam 8, tetap saja aku harus berangkat
jam 07.15 pagi.
Aku benar-benar tidak
menyukai keadaan ini. Seharusnya sepeda motor bapak tidak dijual.
Mengapa sepeda motor bapak
dijual? Padahal selain dapat digunakan untuk mengantar dan menjemputku sekolah,
sepeda motor itu digunakan oleh bapak untuk mengojek. Bapak kan tukang
ojek. Kalau sepeda motornya dijual terus bagaimana bapak bisa mengojek?
Ya...seharusnya bapak
tidak menjual sepeda motornya. Kalau sepeda motor itu ada aku tidak harus
berangkat begitu pagi seperti ini. Aku juga tidak harus menempuh perjalanan
yang cukup jauh untuk sampai ke sekolahku karena bapaklah yang akan mengantar
dan menjemputku.
*
Siang ini panas sekali.
Walau sudah memasuki bulan September, hujan belum juga turun. Terik matahari
siang ini sama seperti kemarin. Tenggorokanku terasa kering. Lututku ngilu. Aku
masih belum terbiasa berjalan jauh seperti ini.
Di depan pintu rumah
kulihat dua pasang sepatu bagus berjejer rapi. Siapa yang bertamu ke rumah?
Pasti teman sekolah Kak Irni.
“Jadinya bagaimana, Ir?
Kamu datang atau tidak di acara perpisahan kelulusan SMU kita?”
“Belum tahu, aku masih
belum punya uang untuk menyewa baju adat buat perpisahan.”
“Itu bisa kita siasati.
Kita bisa ngumpulin duit buat kamu.”
“Ya, Ir, kita bisa
mengumpulkannya untuk kamu.”
Dugaanku tepat, dua
orang anak perempuan itu adalah teman sekolah Kak Irni. Aku mengucap salam lalu
bergegas melewati mereka, langsung ke loteng.
Rumah kami terdiri dari
tiga bagian. Ruangan bawah hanya cukup untuk dua sofa tua yang berlobang di
sana-sini yang sekarang menjadi tempat Kak Irni menerima tamunya, selebihnya
didereti meja dan rak tua lapuk tempat peralatan memasak. Dan terakhir loteng,
tempat kami bersama-sama nonton TV, tempat rak-rak pakaian, dan tempat bagi
kami untuk beristirahat tidur.
Setelah teman-temannya
pulang, Kak Irni naik ke loteng.
“Kak, kenapa sepeda
motor Bapak dijual. Wawan capek jalan kaki ke sekolah.” keluhku padanya.
“Wan, sepeda motor Bapak
dijual digunakan untuk beli beras dan modal Ibu jualan.”
“Jualan? Jadi, Kak, ibu
akan jualan lagi?”
“Ya.”
Perkataan Kak Irni
bahwa ibu akan jualan lagi membuatku merasa senang. Ibu akan jualan lagi!
Hore...! Itu artinya, aku bisa ketemu Anto lagi. Kami bisa bermain-main bersama
lagi. Aku juga bisa bertemu Budi anak penjual beras yang warungnya ada di pojok
kanan pasar, bertemu Ima anak penjual sayur yang warungnya dekatan dengan
warung mamanya Anto, dan aku juga bisa bertemu dan bermain dengan yang lainnya!
Ibu memang sudah lama
tidak jualan. Sudah tiga bulan. Kata ibu, warung tempat Ibu jualan akan
diperbaiki. Bahkan bukan hanya warung milik ibu, tapi seluruh pasar.
Nanti, kalau sudah
diperbaiki, pasar tempat ibu jualan akan menjadi pasar yang bagus dan megah.
Menurut ibu, sebutannya bukan lagi Pasar Banjarmasin, tapi Sentra Banjarmasin.
Tempat itu katanya kelak akan menjadi tempat orang-orang berjualan terbesar di
Kalimantan!
Membayangkan semua itu
aku tidak dapat menahan senyumku. Sebenarnya dengan keadaan pasar yang dulu
bagiku tidak masalah. Karena, asal bisa melihat ibu berjualan dengan tenang dan
bisa bermain bersama-sama Anto, Budi dan Ima, itu semua sudah membuatku senang.
Tapi, bila tempat ibu berjualan menjadi lebih bagus dan tempat kami bermain
menjadi lebih luas, tentu itu akan jauh lebih menyenangkan bukan.
Tapi, tiba-tiba muncul
pertanyaan di benakku. “Kak, berarti pasar tempat ibu jualan sudah selesai
diperbaiki, ya?” kataku pada Kak Irni yang sedang melipat pakaian.
“Belum,” sahut Kak
Irni.
Jawaban itu membuatku
bingung.
“Terus, ibu jualan di
mana?”
“Di pinggir jalan pakai
gerobak.”
Mendengar jawaban Kak
Irni kegembiraanku tiba-tiba hilang. Aku menjadi ketakutan.
“Kak, kalau ada razia, gimana?
Kan jualan di pinggir jalan dilarang. Aku pernah melihat petugas-petugas
berseragam mengambili gerobak pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir
jalan raya. Nanti gerobak jualan ibu bisa diambil oleh mereka.”
“Ibu jualannya jam 4
sampai malam. Jadi tidak akan kena razia.”
Perasaanku sekarang
tidak tenang. Aku ingin sekali perbaikan pasar tempat ibu jualan dulu segera selesai.
Aku ingin melihat ibu jualan di pasar pagi dan siang hari, bukan di gerobak
pinggir jalan malam-malam. Aku juga ingin bertemu dan bermain dengan Anto dan
yang lain...
*
Sudah dua bulan ibu
berjualan di pinggir jalan. Sekarang, musim hujan telah tiba. Aku tidak
menyangka, berubahnya keadaan membuatku tidak lagi menyukai hujan. Aku benci
hujan!
Dulu aku menyukai
hujan. Setiap hujan tiba, dan baru berbentuk gerimis, aku, Anto, Budi dan Ima akan
berloncatan ke tepi pasar. Di sana kami melihat ke langit, berharap hujan
dengan tetes-tetes air besar jatuh. Biasanya bila hujan lebat itu turun kami
akan bergegas ke tanah lapang di dekat masjid untuk bermain bola. Atau kami
juga bisa membuat sungai-sungai di atas tanah berpasir di belakang pasar.
Tapi sekarang... hujan
selalu membuatku sedih.
Dua minggu lalu aku
melihat wajah ibu sangat khawatir. Saat itu mendung, dan ibu akan berjualan di
pinggir jalan dengan gerobaknya. Wajah ibu berubah muram dan sedih saat hujan
benar-benar turun deras. Ibu menunda berjualan, menunggu hujan reda. Kata ibu,
kalau hujan seperti itu, pembeli hampir tidak ada. Selain itu dagangan ibu akan
basah. Aku telah tidur saat ibu berangkat, dan baru terjaga saat ibu dan bapak
pulang, waktu itu malam sudah larut sekali.
Sejak itu, aku tahu
hujan sore hari atau menjelang malam akan membuat ibu susah.
Selain itu, hujan yang
turun pagi-pagi membuatku khawatir. Bapak tidak bisa mengantarku lagi. Aku
tetap harus berjalan kaki ke sekolah walaupun hujan. Sepatuku dan seragamku
selalu lembab dan kotor terkena percikan hujan. Padahal aku sudah memakai
payung.
Dan kalau hujan turun
siang-siang seperti sekarang ini, aku juga sedih. Aku kangen teman-teman.
Sekarang, bila hujan seperti sekarang ini, aku hanya memandanginya saja. Tidak
ada Anto, Budi dan Ima yang mengajakku bermain. Mereka sekarang di mana, ya?
Apakah ibu dan bapak mereka juga jualan di gerobak seperti Ibuku?
Aku tahu, manusia tidak
boleh membenci hujan. Hujan adalah ciptaan Allah. Dengan hujan, Allah
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberi minum hewan, mengairi sungai-sungai.
Manusia juga perlu air untuk keperluan hidupnya. Lagipula, membenci hujan sama
saja membenci ketentuan Allah.
Ya, Allah, semoga hujan
turun pada saat ibuku tidak jualan, tidak saat aku sedang berangkat ke sekolah,
dan tidak siang-siang saat ingatan pada teman-teman membuatku menangis.
Hujankan saja saat aku dan orang-orang sedang terlelap beristirahat...
*
Hujan masih berbentuk
gerimis saat angkot yang kami tumpangi sampai di GOR. Hari ini, kami anak kelas
V belajar berenang. Karena di sekolah tidak ada kolam renang, aku dan
teman-teman diajak Pak Guru ke GOR.
Tapi, tunggu dulu!
Rasanya aku mengenal jalan yang kami lewati tadi. Yah! Sekarang aku dapat
mengingat dengan jelas. Letak GOR itu tidak jauh dari pasar, tempat ibu jualan
dulu. Aku ingin sekali pergi ke sana. Aku ingin memastikan apakah tempat itu
sudah hampir selesai? Aku ingin sekali ibu kembali jualan di situ.
Diam-diam, saat Pak
Guru dan teman-teman sibuk berenang, aku pergi menjauh ke luar GOR. Aku
tahu, pasar tempat ibu jualan dulu hanya
berjarak beberapa ratus meter saja. Dengan setengah berlari, bergegas aku ke
sana.
Lama kelamaan jalan
yang kulalui mulai macet. Aku membayangkan, mungkin itu akibat proses perbaikan
pasar. Untuk memperbaiki pasar, pasti digunakan banyak pasir dan semen.
Pastilah bahan bangunan itu yang membuat jalanan macet.
Tapi dua ratus meter di
depanku terbentang pemandangan yang membuatku kaget. Mungkinkah aku salah
jalan? Jelas-jelas yang kulihat di depanku sekarang bukanlah pasar yang sedang
diperbaiki.
Di hadapanku sekarang
adalah halaman parkir yang luas dan bangunan besar dan megah. Ada banyak toko
dan orang-orang hilir-mudik di sana.
Cepat-cepat aku memutar
langkahku. Aku harus kembali ke GOR! Aku ingin cepat pulang dan memberitahu
ibu. Ibu pasti senang kalau tahu tempatnya jualan dulu kini telah selesai
diperbaiki.
*
Di rumah aku tidak
menemukan ibu. Kata Kak Irni, ibu sudah pergi jualan. Memang sudah seminggu ini
ibu jualan agak siang. Keluarga kami perlu uang untuk bayar uang biaya rumah
sakit bapak. Dua minggu lalu bapak masuk rumah sakit. Kata dokter, bapak kena
TBC. Uang sekolahku juga sudah 4 bulan belum dibayar. Semoga ibu tidak kena
razia, aku berdoa sambil memejamkan mataku.
“Kak, tadi aku diajak
Pak Guru berenang di GOR. Terus aku ke pasar tempat ibu jualan dulu. Ternyata,
sekarang pasar itu sudah selesai diperbaiki.” Aku bercerita pada Kak Irni
dengan bersemangat. Kak Irni pasti senang mendengar ceritaku.
“Kalau itu kakak sudah
tahu,” jawab Kak Irni. Dan aku kaget sekali mendengarnya.
“Terus kenapa kakak
tidak memberitahu ibu?”
“Ibu juga sudah tahu.”
“Kalau ibu tahu, kenapa
ibu belum kembali berjualan di sana?”
“Wan, ibu tidak bisa
lagi berjualan di sana. Kalau ibu mau kembali berjualan di sana, ibu harus
membayar puluhan juta ke pihak pengelola pasar. Ibu tidak memiliki uang
sebanyak itu.”
“Tapi kan warung
di pasar itu dulu milik ibu. Mereka hanya memperbaikinya saja?”
“Wan, peraturan
pemerintah sudah menetapkan seperti itu.”
Perkataan Kak Irni
membuatku sedih. Kini aku tahu ibu tidak akan jualan di pasar lagi. Dan entah
sampai kapan ibu akan jualan di pinggir jalan dengan gerobak. Aku juga tidak
akan bertemu dan bermain dengan Anto, Budi dan Ima lagi.
Ini semua sungguh tidak
adil! Seingatku, dari dulu ibuku sudah berjualan di situ. Warung itu milik ibu.
Tetapi, mengapa setelah pasar itu diperbaiki ibu tidak boleh berjulan lagi di
situ.
Aku harus ke kamar
mandi. Di sana tidak ada yang akan melihat dan menggangguku. Aku bisa menangis
di sana diam-diam dan lama.
DONGENG KESETIAAN
Ratih Ayuningrum
Ternyata memelihara kesetiaan adalah
luka. Luka itu kini menganga. Sakit. Luka itu menggurat perjalanan malam yang
selalu mengantar kita dengan dongeng indahnya. Sementara, kita tahu bahwa
semuanya absurd. Kita selalu menimang bermil-mil jarak yang dipisahkan
oleh lautan tanpa tepi. Namun, kita pun selalu membangun impian tentang kastil
dan taman hijau yang luas. Setelah itu, kita pun terlelap dengan lagu nina
bobo yang selalu kita bisikkan masing-masing di heningnya malam. Mata
kita mengancing terkatup setelah seharian lelah mengumbar rayu dan puja yang
abstrak.
Kesetiaan itu bukanlah sesuatu yang
mudah untuk dibangun, walau teramat agung kita letakkan. Ia terlalu manis meski
selalu mencipta ribuan anak sungai di tengah sepi yang menjerat ruang kita
masing-masing.
*
“Aku ingin melamarmu...”
Suara bas di seberang sana mengalir
manis lewat ponsel mungil yang berada di genggamanku. Bulan separuh. Ini
adalah musim pertama perjalanan tentang janji kesetiaan.
Aku tergelak sembari berusaha
menyembunyikan bahagia yang perlahan mengalir menyusupi sanubari.
“Oya? Ini mimpi, ya? Sebentar...,
sebentar..., aku cubit tanganku dulu. Auw! Sakit. Wah, ternyata aku
tidak berkhayal.”
“Sedang apa kamu, Non?” Selalu saja
dia memanggilku dengan sebutan Nona. Sebutan yang menerbangkan keakuanku
sebagai seorang perempuan.
“Sedang tes kesadaran,” ucapku
setengah manja. “Ternyata aku tidak bermimpi.”
Sekarang gantian dia yang
tergelak mendengar ucapanku. Aku mengulum senyum mendengar tawa khas miliknya
yang berderai di telingaku. Terasa sosoknya saat ini tengah tergelak di
sampingku meski sekarang kami dipisahkan oleh ribuan jarak dan samudera yang
luas.
“Kamu lucu, Non. Benar-benar lucu.
Membuatku geregetan. Aku jadi ingin benar-benar melamarmu.”
“Kapan? Dengan apa?”
“Dengan sebuah senja.”
“Gombal!”
Dia pun kembali tergelak.
“Non, adat di sana seperti apa, sih?
Apa pihak laki-laki perlu memberi sesuatu kepada pihak perempuan sebelum
pernikahan dilangsungkan?”
“Kalau di sana adatnya seperti apa?”
“Si Nona kok balik bertanya, sih?”
“Hehehe, di sini sebelum pernikahan
biasanya diadakan acara meantar jujuran.”
“Meantar... apa?”
“Jujuran. Pihak laki-laki
biasanya memberikan sejumlah nominal uang kepada pihak perempuan sebelum
pernikahan. Uang itu yang nantinya akan digunakan sebagai biaya pernikahan.”
“Biasanya besar uang itu berapa,
Non?”
“Tergantung, Mas. Tergantung
kesepakatan kedua belah pihak. Misalnya pihak laki-laki mengajukan angka
sepuluh juta rupiah dan pihak perempuan menyetujuinya, maka dicapailah
kesepakatan jumlah yang akan diberikan.”
“Hah! Sepuluh juta, Non?! Mahal
sekali. Aduh, bilang sama orangtua kamu jangan mahal-mahal ‘menaruh harga’
kamu.”
“Ya, itu kan cuma contoh, Mas.
Lagipula kalau menggunakan adat Banjar, jumlah sebesar itu masih sedikit karena
murni hanya uang jujuran itu yang digunakan untuk biaya pernikahan.
Pihak laki-laki tidak perlu menambah biaya untuk penyelenggaraan pernikahan
karena uang jujuran itulah yang dipakai. Jadi, seandainya ada kekurangan
biaya, pihak perempuan yang akan menambah kekurangan itu.”
Terdengar nada “oooo” panjang dari ponsel
di seberang.
“Kalau begitu pakai adat aku saja.
Kalau adat Jawa kan semua biaya pernikahan ditanggung oleh pihak
laki-laki. Kamu tinggal terima beresnya saja.”
“Ya terserahlah, Mas. Memang
kita nikahnya mau besok, ya? Kok jadi ngomongin masalah
pernikahan.”
Dia terkekeh.
“Ya setidaknya kita kan punya
niat untuk membicarakan hal itu. Aku kan perlu tahu dulu kebiasaan
masyarakat sana seperti apa. Eh, ternyata begitu tho’ kalau mau
menikahi gadis Banjar. Harus memberi uang dulu. Tapi, Non, kesannya seperti
orangtua kamu mau ‘jual’ anak gadisnya sama aku dengan menaruh harga yang
terlalu tinggi.”
“Hust, memangnya aku apaan?”
“Ya, sudah. Tuh penjaga malam
sudah memukul loncengnya duabelas kali, di sini sih baru sebelas. Tidur
sana. Nanti besok tidak bisa bangun buat kerja.”
Klik. Telepon pun dimatikan
setelah janji kesetiaan dirangkai. Serta dongeng dibingkis dan dikemas dengan
teknik penceritaan narator ulung. Setelah itu kembali sepi beradu dengan suara
jangkrik yang membelah malam.
*
“Email-mu sudah kubaca tadi
siang...”
Malam hening. Terdengar suara
setengah berbisik mencoba memecah kebekuan malam. Mengalir lewat benda mungil
bernama ponsel. Langit cerah. Jutaan bintang berpendar di sana, seperti
pendar yang berbinar pada lukisan jiwa.
“Oya? Lalu?”
“Suka bunga lily? Gambar yang
dikirim bagus, tapi kenapa harus lily?”
“Karena aku menyukai orang yang
kupanggil lily.”
Aku tersenyum. Sewaktu-waktu dia
memang suka memanggilku dengan berbagai macam sebutan. Hari ini Nona, besok
Gadis, besok Dinda, dan terkadang juga Lily. Sebuah nama yang diambil dari nama
bunga bakung kecil yang indah, lily. Semuanya mencipta sebuah romansa
yang terlalu sulit untuk dijabarkan.
“Mas, di sana sedang musim apa?
Kalau di sini tiap hari hujan, jadi susah kalau keluar rumah. Tapi, aku suka
memandangi hujan-hujan itu. Bagiku hujan yang luruh dari langit adalah sebuah
nuansa yang sangat indah dan romantis.”
“Di sini sedang musim apel.”
“Yah... di sana kan memang gudangnya
apel. Mas ini bagaimana sih?”
Wajahku berkerut mendengar jawaban
asal yang meluncur dari mulutnya. Cemberut. Sebuah ekspresi yang tak mungkin
tercatat dalam benaknya karena kini kami hanya bisa saling beradu suara.
Mengalir melalui udara yang berembus. Selebihnya, kesunyian terlalu cepat
menyergap. Selebihnya lagi imajinasi lebih berperan menciptakan adegan-adegan
khayal yang penuh rekayasa.
“Aku senang ngusilin kamu.
Kamu pasti akan lebih cerewet kalau digoda seperti itu. Aku senang mendengar ucapan
yang keluar dari mulut kamu. Seperti boneka yang baterainya masih baru. Oya,
kapan mau online lagi? Besok, ya. Sudah lama nggak chatting sama
kamu.”
Aku mengangguk, namun kesadaran
cepat menyergap. Tak ada gerak fisik yang bisa saling kami pahami. Percintaan
ini bukanlah percintaan rupa. Segera kujawab iya.
“Bunyi apa itu, Ly?”
Sebuah bunyi panjang menyelinap pada
udara yang menghantarkan suara kami. Itu
bunyi tanda kapal baru saja berangkat.
“Bunyi kapal mau berangkat.”
“Kapal? Rumah kamu dekat pelabuhan? Kok
ada bunyi kapal?”
Aku tersenyum. Sebuah isyarat yang
hanya bisa ditangkap oleh ekor mataku pada bayangan yang terpantul di cermin
tepat di depan tempat tidurku.
“Bukan. Rumah aku dekat laut. Jadi,
seandainya ada kapal yang lewat dan mengeluarkan bunyi, maka angin membawa
membawa bunyi itu serta hingga ke tempatku. Walaupun tidak terlalu dekat, tapi
bunyi itu diterbangkan angin.”
“Wah, asyik ya, Ly,” ujarnya
seperti anak kecil. Aku membayangkan binar sorot matanya saat berkata seperti
itu. Sebuah momen yang sudah lama sekali ingin kunikmati.
“Iya. Rumahku dekat dengan hutan
bakau. Kalau pagi hari di sini banyak burung yang berkicau. Suasananya selalu
membuat hati rindu untuk kembali lagi.”
“Sepertinya tempat kamu itu indah
sekali. Di mana sih tepatnya tempat tinggal kamu, Non?”
“Di Kotabaru. Salah satu kabupaten
yang ada di Kalimantan Selatan. Kotabaru sebuah kepulauan yang dikelilingi oleh
lautan dan juga pegunungan. Indah sekali daerahnya. Kamu pasti betah kalau
tinggal di sini.”
“Wah, kamu promosi, ya?
Supaya aku cepat-cepat datang dan menjemput kamu.”
“Tidak juga. Tapi, kalau kamu
berniat seperti itu, ya tentu aku akan senang sekali.”
“Li, malam semakin merambat naik.
Kamu pasti capek. Sekarang istirahat, ya.”
Aku menuruti kata-katanya. Malam ini
kembali dongeng dilafalkan. Kesetiaan yang diagungkan. Absurd.
*
Semuanya berawal dari suatu
kebetulan yang tak pernah tertulis pada skenario manapun.
Hari itu, aku berniat mengirimkan
tulisan kepada seorang teman lewat email. Sembari menunggu proses loading,
ku-klik menu enter pada chat room. Hanya iseng.
Tiba-tiba muncul di layar sebuah id
yang belum pernah kukenal sebelumnya. Sedikit basa-basi mengisi kekosongan
waktu, kujawab saja setiap pertanyaan yang terlontar dari “orang asing” tadi.
“Asl pls.”
“Bjm f 21, u?”
“Mlg m 21.”
Bla...bla...bla...,
perbincangan pun berlanjut dengan saling menukar nomor ponsel dan
bertukar foto. Sebuah hal yang lazim kulakukan dengan teman alam mayaku yang
lain. Dan setelah itu aku hanya menganggap semuanya angin lalu semata.
*
“Bulan kita sama, Nona. Memiliki harapan dengan
terangnya. Menyiram pekatnya malam agar memiliki keindahan. Bulan di kotamu
sesempurna wujud bulan di kotaku dan kini kupandang bulan itu di bayang wajahmu...”
Aku tersenyum. Sebuah email
darinya hari ini. Selalu, setiap hari ada saja email darinya yang masuk inbox-ku.
“Samudera kita terlalu luas untuk ditapaki dengan
jejak langkah kita. Namun, tak ada yang tak nyata pada jarak kita karena
semuanya telah lebur menjadi satu. Aku, kamu, sebuah kesatuan yang agung dalam
janji dan kepercayaan yang dalam...”
Ku-klik item send.
Balasan email untuknya. “Kapan kita bisa bertemu?” Hal itulah yang
selalu mengusik relungku. Sebuah pertanyaan yang selalu saja dijawab dengan
berjuta alasan abstrak. “Aku capek dengan hubungan seperti ini. Aku ingin
mewujudkan mimpi yang selalu saja menjadi bunga tidurku....”
Semusim telah berlalu. Janji
kesetiaan itu tetap utuh tanpa cela. Walau absurd. Janji untuk saling percaya
meski hanya dunia maya yang menjadi jembatan bagi kami. Namun, entah kekuatan
bernama apa yang sanggup membuat aku bertahan dengan hubungan penuh keserbatidakjelasan seperti
ini. Percintaan ini mungkin bukan percintaan rupa, namun jiwa yang lebih
memanggil untuk mengikatnya pada janji kesetiaan.
“Entahlah...,” terdengar nafas
dihela, berat. “Sabar ya, Non. Aku belum bisa menjemputmu sekarang. Maafkan aku
atas ketidakmampuanku membuatmu bahagia. Waktu mungkin bisa menghancurkan
semuanya. Namun aku berharap perasaan kita tidak akan pernah hancur hanya
karena waktu.”
Sekarang gantian aku yang
menghela nafas berat. Selalu seperti ini ketika aku menagih janjinya untuk
menjemputku. Janji itu selalu dimentahkan oleh alasan-alasan klise yang
terkadang di luar nalarku dan tak dapat kucerna. Namun, entah kenapa aku selalu
saja berhasil dibuat percaya. Mungkin saja aku telah mabuk oleh biusan
kata-kata manis yang dia bisikkan melalui ponsel mungilku. Entahlah.
*
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan,
bahkan hingga purnama keenam tidak pernah ada lagi email yang masuk ke inbox-ku.
Semenjak pertanyaanku silam, nada dering hp-ku pun seolah enggan
berbunyi. Tak ada telepon, tak ada sms. Semua nomor yang dia miliki
selalu dijawab oleh suara dari operator. Nomor yang Anda tuju sedang di luar
jangkauan... atau telepon yang Anda tuju sedang tidak aktif... Upf!
Aku kesal. Menghilang kemana dia? Kubanting ponsel-ku ke sudut kamar.
Untunglah benda mungil itu cukup kuat menerima perlakuanku sehingga masih tetap
utuh dengan jasadnya.
Tak ada hal yang bisa kulakukan.
Menangis mungkin bukan pilihan tepat. Namun, hati wanita terlampau tipis hingga
mudah mengeluarkan airmata. Ada rindu yang memuncak dan ingin kulabuhkan
segera. Rindu ini tak mampu berdamai dengan jiwaku yang merintih perih. Apakah
rindu selalu sembilu seperti ini?
Kuputuskan untuk mengarungi
perjalanan ini. Perjalanan panjang menemukan jejak rindu dan kesetiaan yang
terlampau diagungkan. Pagi masih basah oleh embun, bermodalkan keberanian
kutinggalkan jejak kotaku untuk menemukan jejaknya di Kota Apel yang dingin.
Perjalanan ini benar-benar kurasakan sangat lama. Delapan jam waktu kuhabiskan
dari kotaku menuju Bandara Syamsuddin Noor di Landasan Ulin Banjarbaru.
Kemudian, pesawat
yang membawaku terbang ke Surabaya kurasakan bergerak sangat lambat. Waktu
empat puluh lima menit bagiku berputar terlalu lambat. Tiba di Surabaya, Kota
Pahlawan tersebut, aku pun menumpang bis menuju tempat labuhan rinduku di Kota
Apel. Aku tak punya apa-apa. Aku hanya punya rindu yang teramat dalam ingin
bertemu dengan separuh jiwanya yang lain.
Perjalanan dua jam dari Surabaya
kulalui dengan hati yang berdebar. Tak sabar rasanya aku ingin segera
menjejakkan kaki di kota yang selama ini hanya bisa kami angankan menjadi rumah
bagi kami kelak.
Sesampainya di Terminal Arjosari,
Malang, aku dijemput oleh Sha, teman SMAku dulu yang sekarang kuliah di Kota
Apel tersebut. Kuhirup bau kota ini dalam. Akh, sekarang aku telah
berada di kota ini dan akan segera menelusuri perjalanan rinduku akan janji
kesetiaan.
“Daerah mana, Na?”
“Mergosono, Kedung Kandang...,” jawabku singkat.
“Nanti aku temani kamu ke sana, tapi
sekarang kita ke kostku dulu. Kamu harus istirahat dulu. Perjalanan yang
kamu tempuh sangat jauh. Pasti kamu kelelahan.”
“Sha, aku sudah tidak sabar lagi.
Kamu tahu kan bagaimana perasaanku?”
“Aku mengerti, Na. Kamu ikuti
saranku saja. Kamu punya alamatnya, kan? Nanti aku akan bantu kamu
mencarinya.”
“Ada. Alamatnya masih kusimpan
ketika dia dulu memberikannya saat aku mengirimkan paket ulang tahun padanya.”
*
Petang di Kota Apel. Udara menggigit
ruas kulit. Kurapatkan jaketku. Aku tidak terbiasa dengan udara sedingin ini.
Di kotaku matahari kadang bersinar terlalu garang.
Kutelusuri lekuk kota ini dengan asa
yang menggunung. Harapan untuk menautkan asa yang selama ini telah berani
menyusup di jiwa.
Perjalanan ini memang melelahkan.
Namun, aku tidak ingin membiarkan jiwaku lelah lebih dulu menggantungkan rindu
itu di kotaku.
Hatiku semakin berdegup kencang
ketika langkah kaki kami menemukan rumah yang dimaksud. Pasti aku tidak salah.
Nomor rumah mungil di depanku ini persis dengan alamat yang diberikannya.
Kuberanikan untuk mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Hatiku semakin berdegup
bagai irama drumband yang biasa aku lihat pas perayaan hari
kemerdekaan.
Terdengar suara langkah mendekat.
Seraut wajah muncul di balik daun pintu. Mulutku terbuka ingin menyapa dan
memberinya kejutan. Tapi, aku tercekat. Keadaan berbalik seolah menampar
kesadaranku ke sebuah ruang hitam. Sosok di depanku, seorang sosok laki-laki
yang kukenal, tapi, ah, tidak! Dia tidak pantas kusebut laki-laki, tapi tidak
pantas juga kusebut sebagai seorang perempuan.
“Non...,” desisnya dengan suara
tertahan. Suara itu, suara yang selama ini kurindukan. Ternyata dia? Pantas
saja dia selalu menghindar setiap kali aku meminta dia memenuhi janji
kesetiaannya. Jadi, ini alasannya kenapa dia selalu mengelak dengan menciptakan
bermacam alasan. Ternyata dia memiliki sisi feminin yang sama denganku. Apakah
ini lelucon?
Aku berbalik. Ingin berlari
meninggalkannya. Namun, tangannya terlalu kokoh menahanku. Tak ada guna aku
meronta karena bagaimanapun juga tenaganya jauh lebih kuat dariku.
“Dengarkan penjelasanku dulu!”
Aku tak mampu mengeluarkan suara.
Tenggorokanku rasanya tercekik. Lidahku kaku. Aku tidak percaya kenyataan yang
tengah kuhadapi.
“Non, maafkan aku. Aku berbohong
padamu. Tapi, inilah aku. Jiwaku sakit. Semuanya menolakku. Lingkungan
menolakku. Aku merasa terbuang dengan keadaan seperti ini. Aku tahu ini salah,
aku sudah berusaha untuk berubah. Aku tidak betah dengan jiwaku yang sakit.
Terperangkap dalam tubuh yang kau pun tidak ingin hal ini terjadi padamu.”
“Kenapa tidak kau jelaskan dari
awal?”
“Memilikimu adalah suatu keindahan.
Mengenalmu aku merasakan sebuah penerimaan yang tulus. Aku terlalu takut
kehilanganmu walau aku tahu suatu hari hal itu pasti terjadi. Maafkan aku, Non.
Mungkin aku telah menipumu. Kamu berhak pergi dariku. Belajar mencintaimu
adalah hal paling indah yang pernah terjadi di hidupku meski aku tahu itu
sulit....”
Senja itu airmata luruh di tengah
sobekan-sobekan janji kesetiaan yang tak berwujud lagi.
*
Pesawat terakhir yang membawaku baru
saja berangkat. Kutinggalkan luka dan janji kesetiaan. Di Kota Apel yang dingin
kutinggalkan jejakku. Kubawa senyumku serta. Sebait doa kukutip agar jiwanya
yang sakit dapat menemukan sebuah rumah teduh yang di sana semuanya
menerimanya. Bila saat itu tiba, tentu dia telah menemukan jiwa dan dirinya
yang sesungguhnya.
Kupejamkan mata sembari menahan
airmata yang berebut ingin luruh. Janji kesetiaan itu absurd. Kesetiaan
itu adalah luka. Luka itu menganga. Sakit.
Semuanya kuleburkan bersama deru
roda pesawat yang perlahan naik membumbung ke angkasa. Abunya kutabur di batas
jarak samudera yang kembali memisahkan ruang kami, kini perpisahan yang nyata.
Dongeng tentang janji kesetiaan berakhir sudah.
Banjarmasin, Juni 2006
SEBUAH MATA, SEJUTA
SESAL
Syafiqatul Machmudah
Mata itu menerorku terus menerus. Entahlah, aku tak tahu di mana
kesalahanku hingga mata itu selalu menganggapku musuh bebuyutannya. Aku sudah
terlalu lelah untuk lari dan berlari, sepertinya kekuatanku untuk melangkah
sudah berada pada titik nol.
Yah, terlalu lama rasanya
jika aku terus-terusan menghindar dengan cara seperti ini. Aku takut ketika
mata itu terus saja memelototiku, mata merah yang selalu merah seperti haus
dengan darahku. Saat ini pun mata itu terus saja membuntutiku seperti bayangan.
Tidak siang, tidak malam, terus saja tanpa lelah seperti menggerogoti setiap
persendianku, menjadikan aku lemah tanpa tenaga dan hanya bisa berlari
sejauh-jauhnya untuk menghindarinya.
Mata itu mengejarku, menjadikanku
seperti buronan, mengejar-ngejarku dengan nyala marahnya. Sungguh aku tak tahu
apa yang telah aku lakukan sampai mata itu terus saja memburuku. Saat ini aku
telah merasa berlari sampai jarak yang telah jauh dengan mata itu. Napasku tak
karuan, denyut nadiku tak teratur, seperti dentuman musik rock,
mencekikku dan menahan pernapasanku, tapi langkahku tak jua kuhentikan.
Langkah ini terus saja berlari,
berlari dan berlari, walau dalam keadaan yang sangat lemah sekalipun. Rasa haus
dan lapar yang mendera begitu hebat tak jua kuhiraukan, aku seperti tubuh
kosong yang hanya punya rasa takut. Aku tak tahu rasa takut yang seperti apa
itu, perasaan yang selalu ingin menjauh dari mata itu, perasaan yang ingin
menghindar.
Rasa takut yang menekanku begitu
dahsyat, yang apabila aku pikirkan bisa membuat jiwaku perih, teriris-iris tak
karuan, luka yang pedih. Entahlah, takut yang seperti apa itu? Perasaan yang
selalu menghipnotisku untuk selalu merasa bersalah, tak membiarkanku tersenyum
sedikit pun. Perasaan yang selalu ingin menendangku, ingin mengeluarkan
darahku, ingin memotong-motong setiap bagian tubuhku... Ya, takut yang seperti
apa itu?
Mata itu, entahlah, sudah sejak
kapan begitu kuat menatapku. Hidupku yang semula berjalan teratur, hancur
dibuatnya. Cinta, kesedihan dan amarahku berantakan tak karuan. Kosong, jiwaku
yang kini telah kosong, hanya mengelana, berjalan dan berlari untuk
menghindarinya. Aku telah teramat takut.
Mata itu telah begitu lama rasanya
tak jua mau berhenti dan berteman denganku, teman. Kapan aku mulai bisa
memikirkan untuk berdamai saja dengan mata itu! Atau aku sudah gila dan tidak
waras lagi sehingga menganggap mata itu mau berdamai dan mengakhiri semua ini.
Tak mungkin...Ya, tak akan pernah mungkin. Memikirkannya saja telah membuat
bulu tengkukku bergidik. Tapi di mana kesalahanku?
Langkahku terus saja berlari,
meninggalkan jejak-jejak malam yang tak kukehendaki. Seluruh tubuhku telah
basah dibanjiri oleh keringat, keringat dingin yang tak meninggalkan apa pun,
hanya bau yang kurang enak dan basah yang tak karuan. Kakiku terus saja melangkah,
melalui gelap, tanah, kubangan, lumpur, rumput liar, batu, ya...
Semua terlewat begitu saja, tak ada
yang berharga sedikit pun, yang tersisa hanya bekas luka, goresan yang perih
dan kalut yang entah keberapa jumlahnya. Langit masih saja keruh, bulan tak jua
nampak, bintang hanya tersisa begitu kecilnya. Tapi aku sama sekali tak
berharap apa pun pada semua itu, karena kuyakin tak ada yang bisa menolongku,
untuk terlepas dari mata itu. Bahkan semua orang yang kulalui, semua jenis
wajah yang terlalui, semuanya, tak ada yang bisa menolongku, tak ada yang bisa
membantuku.
Aku hanya bisa berlari, menjauh dan
berusaha bersembunyi dari mata itu, tapi sampai sekarang tak jua aku temukan
persembunyian yang aman. Semua sudut telah aku lewati, tapi tak satu pun yang
bisa luput dari mata itu.
Saat ini, tanpa aku sadari mata itu
telah tepat berada di depanku. Kaget yang luar biasa, aku panik, tak tahu harus
kemana lagi. Angin yang berhembus perlahan berubah garang, bak angin topan yang
tak sopan, seperti mencabik tubuhku. Aku mencoba menghindar, berlari ke arah
hutan di seberang tempatku berdiri.
Kulihat mata nanar merah menatap
setiap sudut, menjelajahi bagian per bagian hutan tempatku bersembunyi, mencari
sosokku. “Apa yang kau harapkan dari aku...?!” Aku berteriak tak karuan, tapi
sia-sia, suaraku tenggelam oleh gemuruh angin.
Mata itu semakin ganas, warna
merahnya berubah menjadi sangat merah, merah darah. Yah...Setetes demi
setetes darah itu mengalir. Mata itu seperti bergolak, biji matanya bergerak,
berputar seperti angin puyuh. Mata itu sepertinya sudah mencium di mana
keberadaanku. Sebentar saja ia telah menatap lurus ke arahku. Aku terkesiap,
tak tahu harus melangkah ke mana lagi. Tubuhku terasa kaku, seperti kehilangan
tenaga untuk bergerak. Aku biarkan saja mata itu mendekatiku perlahan.
Mata itu mulai berjalan ke arahku
menyebarkan aroma darah yang amis. Kututup hidungku, tapi penciumanku seperti
pernah mencium bau yang khas itu, entahlah, tapi di mana. Mata itu terus saja
mendekatiku. Tubuhku terasa lunglai. Ingin rasanya aku pingsan dan tertelungkup
agar mata itu mengira aku telah mati, setidaknya saat ini aku telah mulai
berharap. Tapi tetaplah hal itu hanya harapan, karena tubuh ini seperti bukan
milikku lagi, tak kuasa lagi untuk kuperintah. Semakin dekat, mata itu telah
semakin dekat. Aku semakin terpojok. Seluruh inderaku seperti lumpuh.
Akhirnya mata itu telah persis
berada sejengkal dari tempatku berdiri. Ia memandangku, memandangku begitu
kuat, tak bergerak, sepertinya tak mau melewatkanku sedetik pun.
Darah itu pun semakin lama mengalir
semakin banyak, jatuh membasahi bumi. Rasa takutku mulai memuncak. Tapi
sungguh, tubuhku telah lumpuh total. Aku tak bisa berbicara, mendengar
gemuruhnya, mencium baunya, tangan dan kakiku seperti dibelenggu. Jantungku
seperti berhenti berdetak, tapi aku belum mati. Tubuh ini terasa ringan,
melayang, dan sakit yang teramat. Mata itu menatapku. Tak ada belas kasihan,
tak ada sedih tak ada bahagia, hanya terlihat pedih dan perih yang teramat.
Mata itu mulai memandang setiap bagian tubuhku, meneliti satu per satu seperti
mencari sesuatu, tapi aku tak tahu apa.
Kemudian mata itu mengeluarkan
cahaya yang entah berwarna apa, warna yang tak karuan, tapi cahaya itu begitu
menyilaukan pandanganku. Hanya dengan hitungan detik cahaya itu telah memenuhi
seluruh bagian hutan. Pepohonan yang hijau dalam gelap berubah bercahaya.
Cahaya itu pun semakin menyilaukan dan menyebarkan aroma kamboja, wangi yang
mengerikan. Bulu kudukku berdiri dengan teratur seperti merapat menutup setiap
pori-pori tubuhku. Kunikmati saja cahaya itu, yah, mungkin ini kali
terakhir aku bisa menikmati cahaya terang seperti itu.
Cahaya itu semakin lama semakin
terang, membentuk sebuah bayang menyerupai tubuh-tubuh manusia, semakin nampak,
semakin terbentuk. Cahaya itu kini seperti layar. Entahlah, mata itu seperti
ingin menunjukkan sesuatu. Manusia yang berlari kesana-kemari, barang-barang berserakan
tak karuan, tubuh-tubuh yang hancur berkeping-keping, di mana? Kapan? Tubuhku
yang sedari tadi terasa ringan kini berubah menjadi berat seperti menahan
berton-ton batu. Kepalaku sakit yang teramat. Aku seperti pernah melihat semua
itu, tapi di mana. Tolong! Tolong!
*
23 Mei 1997
Tepat hari Jumat. Jumat, yah,
Jumat...
“Die, kamu nda ngikut
jalan, nih? Buruan gih, kita cabut. Asyik kan, rame-rame
bareng!”
Terdengar suara Roni begitu jelas di
telingaku, mengejutkan tidurku yang indah. “Gila, jangan teriak-teriak, dong!
Iya, iya, tungguin aku mandi dulu, yah!” sahutku sambil
melemparkan bantal ke wajahnya. Hari itu kami memang sudah janjian untuk
ikut kampanye, itung-itung tidak ada kerjaan di rumah.
Aku segera masuk kamar mandi. Tak
kuhiraukan lagi ocehan Roni yang tak karuan. Kubayangkan hari ini kami akan
berada di jalan seharian. Yah, seharian teriak-teriak menghabiskan suara
dengan tujuan yang tak jelas. Yah, cuma ikut nampang doanglah. Lagian,
yang penting kan acara rame-ramenya itu.
Setelah semua beres, aku, Roni dan
beberapa orang pemuda yang tidak kukenal segera berangkat. Bendera-bendera
partai dan segala aksesoris kampanye telah komplit kami siapkan, tapi, yah,
tanpa tujuan. Hari ini kami sepakat memakai kaos warna kuning, seragam dengan
segala warna aksesoris partai yang kami dukung untuk hari ini. Sekadar
informasi, kami, aku dan Roni, memang setiap hari selalu berganti-ganti warna
kaos di setiap kampanye. Maksudnya, sebenarnya tidak ada partai yang kami
dukung dengan setia.
Hari ini keadaan jalan terlihat
sangat ramai. Banyak sekali orang yang antusias mengikuti kampanye, dari
anak-anak sampai para manula turun ke jalan. Aku dan Roni begitu percaya
dirinya bergaya di depan kap mobil yang telah kami hiasi. Sangat berbahaya, memang,
tapi itulah; saat-saat seperti ini urusan keselamatan diri masuk nomor sepuluh,
yang penting kami bisa rame-rame dan menikmati suasana hari ini.
Saat ini kami berada di seputar
Jalan Kayu Tangi (H. Hassan Basry). Kami berputar-putar mengelilingi daerah itu
dengan berbagai gaya berani, yang akan membuat orang terperangah. Dari gaya
berdiri di atas kap mobil dengan kedua tangan tidak berpegang pada apa pun,
sampai berjoget mengiringi musik yang kami stel keras-keras. Saat itu
jam menunjukkan pukul 12 siang. Matahari telah berada di atas kepala kami, tapi
tak kami hiraukan sedikit pun. Aku pun telah melupakan kegiatan rutinitas jumatan
(sholat Jumat) yang sering aku lakukan.
“Kamu nggak sholat Jumat,
Die?”
“Males. Lagian, lagi rame
gini, Ron. Apalagi, katanya subsidi buat kita besar, nih,
he-he...”
“Aku sih terserah kamu aja.”
Kami meneruskan perjalanan ke jalan
besar, arah tujuan kami tepatnya akan berhenti di depan salah satu plaza yang
terbesar di kota kami (Mitra Plaza). Saat ini jumlah anggota kampanye yang
bersama kami sekitar 200-an orang. Semua anggota kampanye dari kelompok lain
akan berkumpul tepat di depan plaza tersebut.
Kami melewati setiap masjid dengan
perasaan yang tidak bersalah sedikit pun. Kami pun tak segan berteriak-teriak
di depan masjid di saat orang sedang mengikuti khotbah Jumat. Kulihat
orang-orang menggeleng ketika kami lewat. Aku tahu bagaimana perasaan mereka,
tapi itu memang mauku, yah. Aku menganggap diriku hebat karena berani
untuk berontak dari kebiasaan seperti itu, berontak dari dogma-dogma ajaran
ayahku yang sangat menyebalkan. Aku merasa bangga dengan hal ini.
Saat ini kami telah berkumpul dengan
anggota lengkap, yang lainnya mungkin akan menyusul beberapa jam lagi. Semua
berkumpul seperti satu saudara. Saling bercengkerama satu sama lain dan
memamerkan aksesoris yang didapatkan dan yang dimiliki saat ini.
Di depan plaza kulihat orang sangat
ramai, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Mereka sepertinya dari daerah
lain yang berkunjung ke Banjarmasin dan memanfaatkan momen ini. Anak-anak
bermain dengan senangnya di salah satu ruang bermain yang memang dipersiapkan
untuk mereka, sedangkan ibu mereka sibuk memilih barang-barang yang akan mereka
beli dengan teliti.
Aku dan Roni berjalan-jalan mengisi
waktu untuk melihat-lihat baju di lantai dua plaza tersebut. Kami memang orang
yang terhitung sangat jarang untuk berjalan-jalan ke tempat yang seperti itu,
karena sebagian besar waktu kami hanya diisi untuk kuliah dan bermain musik.
Kami punya kelompok band dan sudah sering manggung di kota-kota
lain. Walaupun kami bukan band tenar, tapi siapa sih yang tak
kenal kami.
Aku dan Roni tidak terlalu tertarik
untuk membeli barang-barang itu. Timbul niatku untuk membuat sedikit kekacauan
di tempat itu. Malam tadi aku memang membaca buku tentang kehidupan seorang sniper,
seorang yang awalnya tidak memiliki keberanian sedikit pun hingga terkenal
sebagai orang yang sangat penakut; sampai akhirnya menjadi orang yang memiliki
keberanian yang sangat dahsyat hingga menjadi sniper yang selalu dipakai
orang untuk membunuh orang-orang penting di negaranya.
Tapi sniper itu memiliki
kepribadian ganda. Pada pagi hari ia menjadi orang biasa yang sangat baik,
penakut dan agak bloon; sedangkan ketika malam ia menjadi seorang sniper.
Malam merupakan alam lain bagi sniper itu, matanya akan berubah seperti
seekor kucing yang menyala-nyala. Aku sangat tertarik dengan cerita itu, sampai
berharap bisa menjadi seperti sniper itu. Hebat, menurutku.
Aku hampir membayangkan aku menjadi
salah satu bagian dari sniper itu. Keberanian timbul dalam hatiku,
memenuhi otakku dengan pikiran-pikiran jahil untuk mengikuti sosok khayalanku.
Mataku jelalatan melihat potensi yang bisa aku lakukan.
Kulihat Roni sedang terlibat
pembicaraan dengan seorang anggota kampanye seperti kami. Penampilan orang itu
terbilang cukup mengesankan. Orang itu juga membawa koper yang entah berisi
barang apa, tapi sepertinya sangat penting. Roni terlihat serius sekali
berbicara dengan orang itu, sedangkan teman-teman kami yang lain telah banyak
yang meninggalkan plaza ini dan kembali beratraksi; rencananya mereka akan
berkumpul lagi di sebuah lapangan bola di kota kami untuk menghadiri dan
mendengarkan orasi dari anggota partai yang segera akan naik kursi menjadi
wakil mereka.
Aku menunggu Roni dengan agak kesal,
karena hampir setengah jam ia berbicara dengan orang yang sama sekali belum
kukenal itu. Akhirnya, orang itu meninggalkan Roni sambil menyerahkan koper
tersebut kepadanya. Roni tersenyum dengan puas dan segera beranjak menemuiku.
“Die, kamu mau uang banyak, nggak?”
“Emangnya aku nda
normal? Yah, maulah.”
“Nih, ada job!”
Roni membuka sedikit isi koper,
terlihat tumpukan uang yang jumlahnya perkiraanku sebesar 200 jutaan.
“Gila, Ron! Kamu dapat dari mana?”
“Ini bukan punyaku. Kita cuma dapat
10 % dari ini. Tugas kita hanya mengantarkan uang ini kepada orang yang disuruh
Bapak tadi, dan selesai.”
“Gitu aja?”
“Iya. Cepat, kita nggak punya
waktu, Die.”
“Eh... Tau nggak, Ron. Aku
punya rencana bakar ini plaza.”
“Ehm, he-he...”
Aneh, wajah Roni tak mencerminkan
ketakutan sama sekali ketika aku mengemukakan pendapatku. Ia hanya tersenyum,
seperti menyembunyikan sesuatu.
“Die, senang kamu punya kesamaan
dengan aku, he-he...”
“Hah? Kamu nggak bercanda?”
“Nggak. Itu dah lama. Yah,
agak sadis, memang, tapi kita kan punya hak untuk menjadi manusia yang
agak gila. Aku bosan, Die, jadi orang waras, ha-ha...”
“Hah... Ron, kayanya kita
memang gila.”
“Agak psikopat, gitu,
he-he...”
Kami berjalan menuju lorong plaza
yang sepi karena toko-toko yang berada di sekitar tempat tersebut sedang tutup.
Di sana kami bertemu dengan beberapa orang berpakaian gelap dan berpenutup
wajah. Agak aneh, memang, tapi jujur aku merasa bergetar, jantungku berdegup
cepat. Yah, aku menikmati suasana seperti itu.
Roni berbicara dengan orang-orang
itu. Jumlah mereka sekitar 10 orang, pakaian mereka sama, perawakan mereka pun
hampir sama, tinggi besar.
Roni segera menyerahkan koper itu.
Seorang pria menyambut koper tersebut dan membukanya. Sepertinya ia menghitung
jumlah uang tersebut, mengambil beberapa lembar dan menyerahkannya kepada Roni.
Mereka segera pergi dari tempat itu sambil mengucapkan terima kasih. Aku dan
Roni pun segera beranjak dari tempat itu.
“Lumayan, Die. Dapat dua juta.”
“Hah? Cuma gitu kita dapat
uang sebesar itu? Emangnya mereka siapa, sih?”
“Oya, aku belum cerita. Mereka itu
yang akan mewujudkan keinginan kita.”
“Hah? Jadi, serius?”
“Ya, Die. Lah, kok
kamu jadi pucat gitu?”
“Aku... aku gila, tapi sekarang kan
banyak anak-anak dan wanita?”
“Kenapa? Kita kan memang nggak
waras? Ha-ha!”
Sumpah, walaupun punya niat seperti
itu, aku bukan orang yang nekat dan segila ini. Aku hanya ingin melakukan
kejahatan kecil saja.
“Kenapa kamu, Die? Ayo, cepat. Plaza
ini akan hancur, tinggal seperempat jam lagi.”
“Terus, kita mau apa, Ron? Lari?”
“Wah, kita masih harus...”
Suara Roni tertahan.
Kami melihat segerombolan orang
berlari cepat ke arah kasir dan counter-counter, sambil begitu beringas
mengambil barang-barang yang ada di plaza tersebut. Ada yang mengambil setumpuk
pakaian, alat-alat rumah tangga, TV, radio dan sebagainya. Kulihat ibu-ibu,
anak-anak dan pegawai yang mayoritas perempuan berteriak histeris.
Di lantai satu kudengar letup
tembakan. Aku tidak tahu ada apa sebenarnya. Roni menarik tanganku dengan
cepat, mengajakku segera berlari menuruni eskalator. Kulihat beberapa orang
satpam terbujur kaku, terluka parah. Anak-anak menangis tak karuan.
Parah. Aku terlalu kagum dengan
keadaan itu dan tidak tahu harus melakukan apa. Yang bisa kulakukan hanya
berlari, ya berlari.
Suara ledakan besar mengejutkan
kami. Pintu-pintu di sekitar kami tertutup dengan otomatis. Semua tegang.
Sepertinya tingkat yang paling atas akan segera runtuh. Kacau, semua kacau.
Tempat itu seperti kena gempa. Ruangan tersebut sudah gelap gulita, membuat
semua orang menjadi panik dan histeris.
Tanganku terlepas dari Roni. Suara
ledakan itu terdengar lagi. Kami terkurung. Tak ada yang bisa keluar. Satu-satunya
yang kupikirkan hanya menyelamatkan diri, karena aku masih ingin hidup.
Terlihat olehku ada seberkas cahaya,
sepertinya cahaya lampu kecil. Kudekati cahaya itu. Ternyata cahaya itu berasal
dari mainan senter seorang anak perempuan kecil. Aku lihat ia menangis meratapi
mayat seorang perempuan yang terbujur kaku.
Kurampas seketika senter kecil dari
tangan anak itu. Kami saling berebut dan yakinlah bahwa tenaganya teramat kecil
untuk mempertahankan barang miliknya tersebut. Kutendang kakinya. Tanpa
kusadari, aku menendangnya teramat keras hingga ia terjungkal. Seketika tubuh
anak itu dijatuhi sebuah benda aneh yang aku yakin begitu berat. Aku tak bisa
melihatnya dengan jelas. Ia berteriak minta tolong. Suaranya begitu menyayat
hati.
Tapi aku tahu, aku tak akan
memikirkan untuk menyelamatkannya. Aku hanya ingin segera pergi dari tempat
itu. Napasku tersengal-sengal, tubuhku kaku tak karuan, akhirnya aku pingsan.
*
Satu bulan kemudian...
Aku terbangun dari sadarku. Kata
saudaraku, aku koma. Padahal luka-lukaku tidak serius. Tapi semua dokter
bingung, aku tetap tak sadarkan diri. Entahlah, aku bersyukur mata itu hanya
mimpi. Mata itu, mata anak itu, yang memanggilku. Aku tak bisa berpikir lagi.
Sesal menggerogoti jiwaku. Airmataku pun tak terbendung lagi.
Maafkan aku. Walaupun aku tak tahu
siapa namamu, tapi aku pernah berbuat kesalahan padamu. Roni, temanku,
ditemukan meninggal dengan kondisi sangat mengenaskan. Maafkan aku, dik...
Catatan:
terinspirasi kejadian 23 Mei 1997, Jumat Kelabu, Banjarmasin
Epilog
Burhanuddin Soebely
Lepas subuh. Ada
secangkir kopi di atas meja, di teras rumah. Sambil memandangi sisa embun di
daun aku membabayangkan sosok-sosok yang kucoba akrabi tadi malam. Darqi, sang
pendekar mabuk yang bertobat dan sudah berpredikat haji, bersiap menutup pintu
mushalla di kawasan terminal itu. Sidiq dan ayahnya yang juragan sayur tengah
mengawasi pemindahan aneka sayuran dari truk ke mobil-mobil pikap yang akan
mendistribusikan sayuran ke tingkat pengecer. Jon, si peminta-minta yang sering
dikejar-kejar petugas ketertiban umum, mengalihkan daerah operasi dari pasar ke
terminal seraya menyiapkan tipuan baru untuk mengais iba.
Nailiya Nikmah lewat Episode
Durian memperlihatkan kepiawaian dalam mengelola ide melalui beragam teknik
penceritaan dan alur yang jernih. Sebuah kejadian bermula dari kejadian lain
lalu menimbulkan kejadian lainnya lagi didedahkan dalam deskripsi dan dialog yang
hidup dan tak kehilangan motif.. Lewat paradoks dan ironi yang dikembangkan,
Nailiya mengamanatkan bahwa batu penarung ikatan perjodohan atau perkawinan
tidaklah selalu berwujud soal-soal besar—dalam cerpen ini jujuran—tetapi
justru hal-hal kecil yang nyaris sepele—di sini berupa perbedaan selera
terhadap buah musiman, durian; bahwa sifat-sifat yang tak terlihat sebelum
perkawinan dalam waktu singkat dapat muncul ke permukaan setelah berpredikat
suami istri, limbah kawin hanyar kalihatan balang sabujurnya..
Pada sisi yang lain, Nailiya
terkesan “menghindar” untuk mengeksplorasi tema besar semacam keberadaan jujuran
dalam budaya Banjar atau pemberontakan terhadap budaya patriarki. Dalam
tempo tak berbilang hari leraian dikembalikan kepada “pakem” patriarki: kendati
berbuat salah lelaki tak merasa perlu meminta maaf, sebaliknya perempuanlah
yang harus meminta maaf; dan hanya lewat permaafan itulah komitmen baru dapat
dibicarakan. Untuk sampai pada komitmen itu, perubahan itu, perempuan harus
rela berkorban. Dan Nailiya Nikmah pun mengorbankan si perempuan dengan
menghadirkan supir angkot yang mabuk. Mati ranai, pinda wani-wani wan laki!
Tentang Penulis
Anna Fajar Rona dilahirkan di
Banjarmasin, 15 Juli 1987. Puisi dan cerpennya dipublikasikan Radar
Banjarmasin, harian Merdeka, Republika, Koran Tempo,
majalah Muslimah dan Annida. Menempuh pendidikan di Program Studi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin. Puisinya, Seperti
Apa Aku Dapat Menyeberangi Arusmu?, terpilih sebagai salah satu dari 10
Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan dalam Aruh Sastra
Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru dan, bersama dengan karya pemenang
lain, dibukukan dalam antologi Kau Tidak Akan Pernah Tahu, Rahasia Sedih Tak
Bersebab (2006). Diundang sebagai peserta Kongres Cerpen Indonesia (KCI)
V di Banjarmasin (2007).
Dewi Alfianti dilahirkan di
Banjarmasin, 25 November 1983. Semasa kuliah di Program Studi Pendidikan Bahasa
Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) FKIP Unlam aktif di organisasi
kemahasiswaan, antara lain sebagai Sekretaris Jenderal BEM FKIP Unlam
(2006-2007), Ketua II BEM Unlam (2005-2006) dan Sekretaris Jenderal Ikatan
Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan Seluruh Indonesia (IMAKIPSI), 2005-2007.
Menulis puisi, cerpen, esai sastra dan artikel pendidikan di Radar
Banjarmasin. Puisinya, Pengembaraan Jukung, terpilih sebagai salah
satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan dalam Aruh Sastra
Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru dan, bersama karya pemenang lain,
dibukukan dalam antologi Kau Tidak Akan Pernah Tahu, Rahasia Sedih
Tak Bersebab (2006). Dua puisinya dimuat dalam Antologi Puisi Penyair
Kalimantan Selatan, Seribu Sungai Paris Barantai, yang diterbitkan dalam
rangkaian Aruh Sastra Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru
(2006). Puisi dan cerpennya juga terdapat dalam Antologi Sastra Bunga
Penyejuk Hati (2007). Menjadi peserta aktif Kongres Cerpen Indonesia (KCI)
V di Banjarmasin (2007).
Dewi Yuliani dilahirkan di Banjarmasin, 16 Juli 1972. Pendidikan SMA Corpatarin,
Jakarta (1990) dan sempat menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta
(IKJ). Menulis puisi, cerpen dan esai sastra sejak 1990-an, dipublikasikan di Untaian
Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin, Banjarmasin Post,
Dinamika Berita, Radio Suara Jerman (Deutsche Welle), majalah Remaja
(Jakarta) dan majalah Bahana, Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Bulan
di Atas Rawa (1990) dan Surat Merah Jambu Bagi Desmon George (1990)
adalah antologi puisinya yang telah diterbitkan. Selain itu, puisinya dimuat
dalam antologi bersama: Festival Poesi Kalimantan (1992), Tamu Malam
(1992) dan Jendela Tanah Air (1995). Sempat bekerja sebagai
penyiar di Radio Swasta Nada Mustika, meraih Juara I Lomba Penulisan Puisi
Bahasa Banjar yang diadakan Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalimantan
Selatan dalam memperingati Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan (1994).
Hudan Nur dilahirkan di Banjarbaru, 23 November 1985, menempuh pendidikan di FKIP
Unlam. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Radar Banjarmasin. Ia sering
mengikuti lomba baca (dan cipta) puisi, cerpen, lomba musikalisasi puisi, lomba
bakisah bahasa Banjar, selain aktivis teater. Puisinya terpilih sebagai salah satu dari 30 Puisi Nominasi
Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan dalam Aruh Sastra Kalimantan
Selatan III di Kabupaten Kotabaru (2006). Puisi dan cerpennya diterbitkan dalam
antologi bersama di Banjarbaru, Banjarmasin, Kotabaru dan Medan: Narasi
Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu
(2004), Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005) Jejak Tsunami
(2005), Melayat Langit (2006), 142 Penyair Menuju Bulan (2007), Kau
Tidak Akan Pernah Tahu, Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), Antologi
Puisi Penyair Kalimantan Selatan, Seribu Sungai Paris Barantai
(2006) dan Antologi Sastra Bunga Penyejuk Hati (2007). Peserta aktif
Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Banjarmasin (2007) dan Kongres Komunitas
Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah (2008).
Nailiya Nikmah JFK dilahirkan
di Banjarmasin, 9 Desember 1980. Putri pertama pasangan Drs.H. Junaidi, M.AP
dengan Hj. Mulyani Hilmi, Ama.Pd. Sejak kanak-kanak menyukai sastra, gemar
membaca dan menulis. Semasa kuliah di Program Studi PBSID FKIP Unlam menikah
dengan Jumiadi Khairi Fitri, S.Pd dan dikaruniai buah hati Nadiya Nisrina dan
M. Ihda Ulyadi. Setelah merampungkan Program Magister PBSID FKIP Unlam, dosen
Politeknik Negeri Banjarmasin ini lebih serius menulis cerpen. Sejumlah
cerpennya dipublikasikan Radar Banjarmasin. Sekretaris Forum Lingkar
Pena (FLP) Wilayah Kalimantan Selatan ini sering diminta sebagai pembicara
dalam diskusi, seminar, pelatihan dan workshop seputar sastra dan
keterampilan berbahasa. Peserta Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Banjarmasin
(2007).
Nonon Djazouly adalah nama pena Ir.Hj. Noor Camelia Djazouly, anak ketiga dari enam
bersaudara, putri H.M. Djazouly Fadil Camal S., ulama terkemuka Martapura,
Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, yang dikenal dengan panggilan Abah
Anang. Menempuh pendidikan di SDN Putri Martapura, SMPN 1 Martapura, SMAN
Martapura dan Fakultas Pertanian Unlam di Banjarbaru. Sejak remaja, Nonon (nama
panggilannya) gemar menulis, melukis, travelling dan aktif di organisasi
karya pemuda (OKP) dan organisasi sosial politik (orsospol). Pernah menjadi Ketua
Karang Taruna Remaja Kompas Martapura (1988-1994), Ketua Biro Urusan Peranan
Wanita DPD KNPI Kabupaten Banjar (1990-1994), Pjs Ketua Generasi Muda Kosgoro
Tingkat II Kabupaten Banjar (1990-1994), Wakil Ketua Generasi Muda Kosgoro
Kalimantan Selatan (1998-2002) dan seterusnya. Karena aktivitasnya di OKP dan orsospol
itu, Nonon (yang sebelumnya bercita-cita menjadi dokter ini) sempat menjadi
anggota legislatif termuda DPRD Kabupaten Banjar dan, kemudian, DPRD Kalimantan
Selatan. Cerpennya dipublikasikan Banjarmasin Post dan Radar
Banjarmasin.
Rismiyana dilahirkan di Tebing Abang, 11 September 1982. Dalam tulisan, terkadang
menggunakan nama Ana, Padang Langit dan Rain Fajar. Menempuh pendidikan di
Program Studi PBSID FKIP Unlam. Bersama Ratih Ayuningrum dan Fitri As’ad
menerbitkan buletin Friend’s (berisi esai), yang sempat terbit sampai Edisi
VI. Ia juga sempat menjadi redaksi buletin Insani dan kontributor
tabloid Ahsan LDK Unlam. Cerpen dan esai sastranya dipublikasikan Radar
Banjarmasin dan Serambi Ummah. Cerpennya, Memandang Ayah dari
Bawah Pohon Mangga, Pemenang Harapan II Lomba Menulis Cerita Pendek
Kalimantan Selatan dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan III di Kabupaten
Kotabaru dan, bersama karya pemenang lain, dibukukan dalam antologi sastra Kau
Tidak Akan Pernah Tahu, Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006). Bersama dua
penulis perempuan lain menerbitkan antologi Ulatih (2008). Di samping
mengajar di MTs Al Furqon, MTs Al Ghazalia dan SMKN 5 Banjarmasin, bersama
teman-temannya ia mendirikan lembaga bimbingan belajar SmartPlus (+). Pengurus
Aliansi Penulis ProSyariah (Alpenrosa) dan aktivis Hizbut Tahrir. Aktif hadir dan
menjadi pembicara dalam diskusi, seminar dan dialog sastra. Mengikuti Kongres
Cerpen Indonesia (KCI) V di Banjarmasin (2007).
Ratih Ayuningrum dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, 17 Juli 1984.
Menulis puisi, cerita pendek dan esai sastra sejak 2004, dipublikasikan di Radar
Banjarmasin, Banjarmasin Post dan Serambi Ummah. Cerpennya, Kebablasan,
Juara II Lomba Seni dan Kreativitas Islami KSI Al-Mizan Fakultas Hukum Unlam
(2004). Di tahun yang sama, ia meraih Juara III Lomba Penulisan Reportase
Komtek Kalimantan Selatan. Kemudian, cerpennya, Lelaki di Titik Sepi,
meraih Juara II Kompetisi Menulis Cerpen Pelajar dan Mahasiswa (KCPM)
Kalimantan Selatan (2005). Puisinya, Kau tidak Akan Pernah Tahu,
terpilih sebagai salah satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Kalimantan
Selatan dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru.
Dalam event yang sama, cerpennya, Epilog Seorang Wakil Rakyat
yang Terhormat, Pemenang Harapan III Lomba Menulis Cerita Pendek Kalimantan
Selatan dan, bersama karya pemenang lain, dibukukan dalam antologi sastra Kau
Tidak Akan Pernah Tahu, Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006). Masih 2006,
ia sekaligus meraih dua kejuaraan: Juara I Lomba Artikel Kreasi dan Juara I
Lomba Artikel Ilmiah pada Pesantren Jurnalistik Kalimantan Selatan, dilaksanakan
Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) bekerja sama dengan Radar
Banjarmasin. Ia mengikuti Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Banjarmasin
(2007) dan pernah dua tahun bekerja sebagai wartawan Bisnis Tablomagazine.
Setelah menyelesaikan S1 di Program Studi PBSID FKIP Unlam, kini ia tengah menyelesaikan
program pascasarjana di fakultas yang sama, selain mengajar di lembaga
pendidikan swasta.
Syafiqotul Machmudah dilahirkan di Kebumen, Jawa Tengah, 13 Oktober 1984. Sejak 2004 menulis
puisi dan cerpen, dipublikasikan di Radar Banjarmasin dan Serambi
Ummah. Semasa menempuh pendidikan di Program Studi PBSID FKIP Unlam aktif
dalam pers kampus dengan menjadi jurnalis Corong, buletin terbitan BEM
FKIP, dan aktivis teater dalam Komunitas Ilalang. Pernah dua tahun bekerja
sebagai wartawan Bisnis Tablomagazine. Menjadi peserta Kongres Cerpen
Indonesia (KCI) V di Banjarmasin (2007). Di Kota Martapura, Kabupaten Banjar,
tempatnya bermukim sekarang, ia bergabung dengan Sanggar Matahari; di samping
menjadi pembina Teater Pangeran Antasari di sekolah tempatnya mengajar.
Riwayat Publikasi
1.
Anna Fajar Rona, “Subuh Pertama di Masjidil Haram”, Radar Banjarmasin,
Minggu, 9 April 2007
2.
Dewi Alfianti, “Nyanyian Tanpa Nyanyian”, Radar Banjarmasin, Minggu, 2
September 2007
3.
Dewi Yuliani, “Pasar”, Dinamika Berita, Minggu, 7 November 1993
4.
Hudan Nur, “Sofia, Perpisahan Itu Mengandung Dua Arti”, Radar Banjarmasin,
Minggu, 30 Oktober 2005
5.
Nailiya Nikmah JFK, “Episode Durian”, Radar Banjarmasin, Minggu, 18
Februari 2007
6.
Nonon Djazouly, “Piano”, Radar Banjarmasin, Minggu, 23 September 2007
7.
Rismiyana, “Pasar Itu Milik Ibuku”, Radar Banjarmasin, Minggu, 30
September 2007
8.
Ratih Ayuningrum, “Dongeng Kesetiaan”, Radar Banjarmasin, Minggu, 18
Juni 2006
9.
Syafiqatul Machmudah, “Sebuah Mata, Sejuta Sesal”, Radar Banjarmasin,
Minggu, 29 Mei 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar