BENGKALAI IHWAL YANG TAK SELESAI
Oleh Burhanuddin Soebely
pembuka
Sebagaimana
sebuah sinetron, sesaat sebelum penayangan lazim terpampang sesunting kalimat: Cerita ini cuma fiktif. Jika terdapat
kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu merupakan kebetulan semata; maka
demikian pulalah halnya dengan makatron (makalah
elektronik) ini. Permakluman semacam itu perlu sebab nanti akan terdapat
sejumlah nama atau sejumlah profesi yang mirip atau bahkan sama dengan Anda,
atau dengan orang yang Anda kenal, yang memungkinkan munculnya hubungan
imajiner maupun hubungan intertekstualitas.
Permakluman
yang lain adalah ketidakmampuanku untuk menulis makalah secara utuh. Barangkali
yang tersaji ini cumalah catatan kecil dalam bentuk sekuel-sekuel yang kadang
saling mendukung, kadang saling membantah, kadang pula terlihat berdiri
sendiri. Bukankah di zaman ini kenyataan bukan merupakan keutuhan yang mudah
untuk ditangkap? Kenyataan adalah pragmentasi: kita mencoba memunguti
pragmen-pragmen itu kemudian merekatnya kembali berdasar gambaran kita tentang
keutuhan.
satu
Seribu
satu malam wanita bernama Syahrazad itu berhasil menunda keterpisahan kepala
dari tubuhnya. Seribu satu malam, melalui kisah-kisah yang dituturkannya,
Syahrazad memesona Raja Syahrayar sehingga titah bunuh yang harusnya jatuh tiap
subuh tak terucapkan. Seribu satu malam raja yang telah membunuh ratusan wanita
itu—tentu saja setelah dikerkahnya sepanjang malam hingga menjelang subuh
(ehem, termasuk katagori melanggar Undang-Undang Pornografikah kalimat itu?) dibawa
Syahrazad memasuki dunia berisi kegemilangan yang semarak, penderitaan yang
mengharukan, keindahan yang mencekam, dan humor yang bersahaja. Di ruang
ketiduran yang luas dan berbau harum cendana itu, Syahrayar seakan mendengar
kecipak dayung dan cumbu angin di layar bahtera Sinbad, gemuruh tapak kaki kuda
40 penyamun setelah harta simpanan mereka dicuri Ali Baba, suara berat dan
geraman dari beragam jenis jin, hingga pesona kelopak mawar dari putri-putri
cantik yang sukar tolok bandingnya.
Seperti
Syahrazad begitu pulalah Kamaluddin, guru SD sekaligus guru mengaji itu. Bagi
Kamal, anak-anak punya kemampuan imajinasi yang tinggi sehingga cepat sekali
mengenali bentuk-bentuk sastra seperti dongeng, drama, puisi. Maka pada
waktu-waktu tertentu di sekolah, atau pada malam-malam selepas pengajian, lewat
tuturan, dihadirkannya gemuruh badai yang membelah bahtera Radin Pangantin,
keganasan Datung Suma’ili yang berkepala sepuluh, lenguh Ning Kurungan ketika
berubah menjadi naga, ketakutan Raja Sang Hiyang ketika pasukan cacing
menyerang, keseharian Palui yang menggelitik, Sarawin yang kocak dan banyak
akal, Intingan yang lugu, hingga datu-datu yang penuh mitos.
Anak-anak
itu mendengari dengan penuh pesona, kadang menceritakan kembali kepada anak
lain—tentu saja dengan versi mereka, kadang pula kedengaran mereka saling ejek:
halimanyar di atas dahan, baju hanyar
kapiragahan; katu kanari bawadah upih, kasitu kamari bapadah sugih; atau ayakan dalam balik, kaajakan handak bulik;
sarikaya kambang malati, talalu bagaya jadi kalahi. Ramai sekali.
Menyenangkan sekali.
Tapi
Kamal menyadari benar bahwa sastra lisan semacam itu acapkali menguap begitu
saja dalam rentangan waktu, atau tersimpan beku dalam ingatan dan tubuh yang
kian melapuk. Kelisanan memang tidak serta-merta berarti buruk, namun
bagaimanapun jua kelisanan punya keterbatasan dan kemungkinannya sendiri yang
patut ditimbang seturut tuntutan jaman. Maka Kamal pun menyodorkan sesuatu yang
lain…. buku.
Ketika
huruf dan kata itu direbut lalu disemayamkan ke dalam bahasa tulis, Kamal
setidaknya menemukan dua hal. Pertama,
cukup banyak ditemukan karya prosa untuk anak, tapi terbilang sukar untuk
menemukan antologi puisi untuk anak-anak. Dalam aras lokal saja, pikir Kamal,
tidak punyakah kita buku kumpulan puisi yang bisa dibaca anak-anak sejak usia
sekolah dasar? Tahun 1974, penerbit Djambatan, Jakarta, pernah menerbitkan sebuah buku
kumpulan puisi Syamsiar Seman untuk anak-anak, judulnya Taman Si Muslim Kecil.
…
Pergi ke surau tujuan
mereka
Berkawan-kawan
bersama-sama
Turut sembahyang
berjamaah
Menyembah Tuhan memuji
Allah
Mari sembahyang
Mulai sekarang
(Sembahyang)
Sederhana,
lugu dan “mudah”, namun menyediakan ruang yang cukup luas untuk menyaran
empiris anak-anak. Kini, dalam kurun waktu seperempat abad, di antara sekian
ratus sastrawan yang (setidaknya) tercantum dalam Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan terbitan Balai Bahasa
Banjarmasin, adakah yang berminat menerbitkan kumpulan puisi untuk anak-anak?
Jika dikaitkan dengan profesi, pikir Kamal, bukankah di antara sastrawan itu
ada yang berprofesi sebagai guru atau mantan guru, dosen atau mantan dosen,
yang mengerti benar ihwal metodik-didaktik? Tarman Effendi Tarsyad dan Tajuddin
Noor Ganie di Banjarmasin. Arsyad Indradi dan Ali Syamsuddin Arsi di
Banjarbaru. Abdurrahman El Husaini di Martapura. Jamal T. Suryanata di
Pelaihari. Andi Jamaluddin di Pagatan. Agits Kursani di Kotabaru. Antung
Kusairi di Rantau. Iwan Yusie dan Hardiansyah Asmail di Kandangan. Fahmi Wahid
di Barabai. Hasbi Salim dan Raji Abkar di Amuntai. Jauhari Effendi di Tanjung.
Rizhanuddin Rangga di Marabahan.
Memang,
selalu ada alasan dan godaan untuk membuat puisi lebih punya fungsi, dengan
gereget dan gaung raksasa. Tapi agaknya pada akhirnya orang selalu ingin
kembali menjadi dirinya sendiri, gema yang bersahaja. Dan Kamal jadi ingat pada
film box office tahun 1990-an, Dead Poets Society, yang bertutur
tentang kekuatan ganjil dari puisi. Digambarkan, seorang guru muda datang ke
sebuah sekolah tua lalu memperkenalkan puisi sebagaimana mestinya. Anak-anak
sekolah itu pun menghambur ke alam imajinasi. Mereka jadi tahu banyak hal:
keindahan, kebebasan, permainan, kegembiraan, impian, cinta, dan akhirnya
kematian. Mereka mengikuti kepribadian mereka sendiri: mereka tak takut lagi
menjelajah.[1]
Kedua, Kamal menemukan bahwa bahasa
tulisan—sebagaimana bahasa lisan—ternyata juga punya kelemahan. Dan kelemahan
utama dari bahasa tulisan itu adalah…tidak dibaca! Kamal boleh saja berkhotbah
bahwa membaca itu bla bla bla, tapi anak-anak itu menemukan “bacaan” lain
di…layar televisi. Keajaiban kantong Dora Emon, Inuyasha si makhluk setengah
siluman, kehebatan ninja-ninja Konoha, kesaktian para ranger …. Dan Kamal tercenung ketika sebuah penelitian UNICEF
tentang rendahnya minat baca di sekolah dasar Indonesia, peringkat ke-60 dari 66
negara yang diteliti.
dua
Ini
abad ke-21. Globalisasi telah merupakan sebuah keniscayaan. Dan dunia datang ke
rumah Husnul—lewat perangkat multimedia, terutama televisi—dalam bentuk yang
oleh Jean Baudrillard disebut hiperrealitas komunikasi. Sebuah televisi adalah
sebuah ledakan ruang yang dibanjiri oleh banyak pesan, ledakan penanda-penanda
yang lebih nyata dari kenyataan itu sendiri, sebab penanda-penanda itu
menimbulkan rangsangan untuk menciptakan kenyataan yang lebih menakjubkan di
dalam kepala pemirsanya. Dengan demikian, sebuah televisi untuk sebuah rumah
mampu mengubah persepsi terhadap ruang dan waktu. Dan itu dengan khusuk
dinikmati oleh Husnul sekeluarga, nyaris menjadi sebuah ritual yang akan meledakkan
kejengkelan apabila terjadi pemadaman listrik.
Demikianlah,
kemampuan televisi dalam melakukan transportasi “realitas” ke kamar-kamar rumah
tangga misalnya, adalah kekuatan yang mampu menjadikan televisi sebagai pusat
kesenian baru. Di situ tidak saja terbina budaya menonton tetapi juga penggerusan
budaya baca melalui pelanggaran batasan-batasan primordial. Penempelan bahasa
Indonesia lewat dubbing misalnya,
mengesankan bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dunia, padahal yang terjadi
sesungguhnya adalah migrasi personifikasi yang melompat antara bahasa dan tokoh,
migrasi personifikasi yang menggerus budaya baca—dalam hal ini pembacaan teks
terjemahan.
Jakob
Oetama, pemimpin harian Kompas, dalam
orasi tentang Peran Buku dalam
Pengembangan Intelektualitas dan Karakter Bangsa, 20 September 2008 di
Jakarta, menyebutkan bahwa masih rendahnya budaya baca itu membuat Human Development Index Indonesia berada
pada peringkat ke-107 dari 177 negara.[2]
tiga
Suatu
malam, Parman masuk ke ruang perpustakaan di rumahnya. Dia membuka lemari buku
milik anaknya. Di situ, terdapat buku-buku bacaan yang dikoleksi anaknya sejak
SD hingga sekarang, SMA. Ada
komik berbagai judul, kebanyakan manga Jepang;
mulai Dora Emonnya Fujiko F. Fujio, Donal Bebek, Paman Gober, Miki Tikusnya
Walt Disney, hingga Detektif Conannya
Aoyama Gosho dan Narutonya Masashi
Kishimoto. Ada dongeng-dongeng Hans Christian Andersen, serial Lima Sekawan dan Sapta Siaga Enid Blyton, Trio
Detektifnya Alfred Hitchkock, trilogi The
Lord of the Ringsnya J. R. R. Tolken hingga sekuel Harry Potternya J. K. Rowling. Ada buku cerita rakyat, terutama Cerita
Rakyat Kalimantan Selatan karya Yustan Aziddin, Djarani EM, Syamsiar Seman. Di
rak lain ada novel-novel remaja dan novel-novel Islami macam Ayat-Ayar Cintanya Habiburrahman El
Shirazy dan Laskar Pelanginya Andrea
Hirata.
Menatapi
buku-buku itu, Parman tercenung. Dia sadar benar bahwa meningkatnya minat baca
akan berdampak ekonomi secara langsung pada APBRT (Anggaran Pendapatan dan Belanja Rumah Tangga). Akan
muncul mata anggaran khusus berupa pembelian buku-buku—yang tentulah mahal
karena tak ada subsidi pemerintah untuk buku. Jadi, berapa persen orang tua
yang tak berkeberatan untuk mencantumkan mata anggaran pembelian buku itu?
Berapa persen pula orang tua yang dengan garigitan
berucap: baapang batukar buku, jaka
manukar wadai kanyang parut…?
empat
Arpani
juga punya perpustakaan pribadi, di paviliun rumahnya. Di situ kita akan
menemukan tidak saja buku tetapi juga manuskrip-manuskrip dan bundel kliping
koran. Lemari kiri merupakan hunian novel-novel berbagai zaman, termasuk novel
yang biasa disebut-sebut di buku ajar sekolah—yang konon terhenti pada NH. Dini
dan Mariane Katoppo. Di situ ada Layar
Terkembangnya Sutan Takdir Alisyahbana, Siti
Nurbayanya Marah Rusli, Harimau,
Harimaunya Muchtar Lubis, Merahnya
Merah Iwan Simatupang, Pada Sebuah
Kapalnya NH Dini, Raumanennya
Mariane Katoppo, hingga novel karya novelis generasi kini macam Samannya Ayu Utami, Bukan Saya, tapi Mereka yang Gilanya Stefani Hid, Swastikanya Maya Wulan. Di lemari
tengah, tempat kumpulan puisi dan kumpulan cerpen. Nyanyi Sunyi dan Buah Rindunya
Amir Hamzah, Tirani dan Bentengnya Taufiq Ismail, O, Amuk, Kapaknya Sutardji Calzoum
Bachri, hingga Abad yang Berlari dan Yang Berdiam dalam Mikrofonnya Afrizal
Malna. Mulai Dari Ave Maria ke Jalan Lain
ke Romanya Idrus, Sagranya Oka
Rusmini, hingga Jangan Main-Main dengan
Kelaminmunya Djenar Maesa Ayu. Di lemari kanan, khusus untuk karya sastra urang banua.
Adapun
ihwal yang kadang membuat kening Arpani berkerut adalah soal jarangnya sang
anak—sekolah di SMA—masuk ke perpustakaan itu. Kendati punya minat baca yang
cukup tinggi sang anak lebih asik dengan bacaannya sendiri…komik-komik Jepang
dan novel terjemahan macam karya Eiji Yoshikawa, Yukio Mishima, Yasunari
Kawabata, James Clavel hingga Sidney Sheldon.
Suatu
kali, sang anak nampak serius di ruang perpustakaan, lalu kembali ke kamar
sembari menenteng 3 buah nevel: Belenggunya
Armyn Pane, Atheisnya Achdiat Karta Miharja dan Telegramnya Putu Wijaya. Rupanya dia disuruh guru untuk membuat
resensi novel dari “angkatan” yang berbeda itu. Arpani tentu saja himung melihat “harta karun” sastra itu
sudah disentuh sang anak. Tapi himung itu
cuma berusia sehari, sebab di sebuah
toko buku sang anak menemukan buku yang isinya resensi 100 novel Indonesia.
Ketiga novel itu pun kembali bersemayam dalam lemari tanpa sempat dibaca. Niat
baik guru + kurikulum agar siswa menggauli buku sastra kembali tak menemu
sasaran. Resensi buku sastra ditulis siswa tanpa perlu membacai buku sastra
itu.
Namun
sambil memandangi buku-buku di perpustakaannya Arpani tetap menaruh asa yang
tinggi bahwa suatu saat harta karun itu akan dilahap habis oleh anaknya.
Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia
di sekolah sudah tak seperti dulu lagi. Sastrawan-sastrawan hebat, kendati sakali samustawa, sudah sampai ke
sekolah. Guru-guru bahasa dan sastra sudah “ditatar” MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra).
lima
Kendati
sastra memang tidak ditulis untuk semua orang, persoalan publik sastra tetaplah
jadi pemikiran. Beragam cara ditempuh orang. Yayat dan Tarsyad, misalnya,
terbilang getol untuk mendirikan
perkauman-perkauman sastra di berbagai tempat. Dengan semacam rasa cinta yang
keras kepala mereka berupaya membangun dan menumbuhkan apresiasi publik
sekaligus membuka kemungkinan sosialisasi sastra serta melahirkan sastrawan
baru.
Upaya
semacam ini tentu saja layak direspons positif. Di perkauman sastra itu tidak
saja mencuat semangat untuk menyatakan diri, untuk menegaskan adanya generasi
sastra yang tumbuh, tetapi juga—meminjam istilah Goenawan Mohamad—semacam petak
kecil tempat benih apresiasi disemaikan sebelum ditandur lebih luas dan
ditunggu sampai masak, dan pada saat yang sama menjadi suatu lingkaran di mana
sumber-sumber artistik dan intelektual sebuah bangsa dipelihara.
Pada
sisi yang lain, perkauman-perkauman sastra itu rentan untuk menjadi silam,
terlebih jika diberlakukan sistem tanam-buang atau diperlakukan sebagai massa mengambang.
enam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar