dewan kesenian hulu sungai selatan

dewan kesenian hulu sungai selatan
logo

PUISI

Burhanuddin Soebely

CONCERTO BALAI BILARAN


mendatangi  loksado[1]
adalah menyetubuhi gadis berambut turun dayang
yang kecipak-kecipung di bening air sela batu-batu

mendatangi loksado
adalah membasuh kesederhanaan dan kerendah-hatian
yang kusam oleh jam-jam brutal kota-kota

mendatangi loksado
adalah ini:

malam rebah rindu
segenap umbun[2] menahan sedu
ada geliat bunyi serunai bambu
ketipak gendang bertalu
dengung gong yang memburu

----iiii....lah...
     nang manggaduh tihang aras mula jadi
     nang manggaduh tihang aras mula ada
     iiii.....lah....
     turunan di gantang amas di gantang kaca
     turunan di gantang intan di gantang sari[3]----

lalaya[4] tak berkerisik
kendati balian[5] balai bilaran
telah menandiki

kambang-kambang lilihi[6] terburai
bagai warkah tak berwasilah

suara-suara yang menyebut
cuma gema tak bersahut


----duh, Ning Diwata[7] sesembahan alam raya
      buyut intah Bambang Siwara[8]
      telah bersekutu dengan Datung Sumaliih[9]
      meracuni mata air buyut intah Datung Ayuh[10]
      mereka sumpahi semua menjadi batu
      hingga nurani kami pun mulai berbunga batu
      mereka serakkan ludah-ludah dunia
      dan menghela kami ke penjara kabut
      yang menghalalkan mendaki pundak sesama
      untuk bisa melihat matahari

      duh, Sang Jata[11] yang lunggun di sapta pertala
      bilas keringat kami yang memupuk tugalan
      pada mulanya bernama kebersamaan
      kini menjelma mimpi di langit-langit ujuk[12]
      membiuskan nafsu pemilikan kebendaan
      hingga hati kami mulai memperanakkan macan
      yang menyiapkan cakar dalam keseharian---

beberapa isak rebak
ada bau bunga semerbak
bau dupa semerbak
bau garu semerbak
bau menyan putih semerbak
lalu meruap bau darah

---dijanjii panggung dijanjii
   dihajati panggung dihajati
   gunung sangga gunung sambut
   gunung panyambutan maut---[13]

lalaya tak jua berkerisik
kendati pinjulang dan patati[14] balai bilaran
sudah menyampiri

mahligai ading[15] kosong penghuni
sangkar galung sangkar mayang
menafaskan sepi

---duh, Sang Mahatara[16] yang lungguh di sapta paksina
    ke mana lagi kami sangkutkan
    cicit anak-anak burung ini
    anak-anak burung yang meramal sungkawa
    anak-anak burung yang bakal hilang sarang
    anak-anak burung yang jadi anak jadah kemajuan

    akar-akar rimba beton
    mulai mengisapi sumsum peradaban
    gemuruh mesin dan barang jajaan
    menyerimpung kuda-kuda kaki
    yang berusaha bersitahan
    agar tak terseret arus zaman---

mendatangi loksado
adalah menatapi warna senja kala

terdengar simfoni mozart dan beethoven
di sela tawaran mc Donald
dan konsesi real estate

mendatangi loksado
adalah memasuki keramaian
ketika jeanne d’arc
diarak menuju lidah-lidah api

aku pun bertanya:
jeram di hulukah yang menghilirkan arus payau
ataukah angin hilir yang mendiruskan risau?


Burhanuddin Soebely

LAGU TANAH TUGALAN

selembar hari. Burung-burung meninggalkan sarang
hinggap di atas arang bekas tebangan. Seperti kita,
ujarmu sambil membenamkan topi ke kepala. Dan hutan
di selatan menyahut dengan tangis. Tangis siapa?

perlahan kurung-kurung[17] bersisahutan, lagu panggilan
tanah tugalan[18]. Mari belajar meramu hidup,
ujarmu sambil mengibas hari. Selebihnya, lesak asak,
semaian benih padi, dan peluh yang gaib di tanah

Datu bini badangsanak walu[19]
   jejakkan kaki di marcapada
   ‘lah kami bangun balai[20] keemasan
   wadah istirah di tanah tugalan

   Datu bini badangsanak walu
   jejakkan kaki di marcapada
   tumbuhkan lagi buah jelmaan 
   runduk berisi jadi idaman “

selembar hari. Burung-burung beterbangan
menyanyikan persetubuhan isi langit dan bumi. Seperti kita,
ujarmu sambil memandangi anak-anak padi di tugalan. Tapi hutan
di selatan masih menyahut dengan tangis. Menangisi siapa?

Galuh Yayang! Galuh Yayang![21]
   tolong peliharakan buah idaman
   dari keserakahan hewan asuhan
   hingga berbunyi gendang bawanang[22]

kembali selembar hari. Anak-anak berkejaran: memburu esok
di atas mimpi kemarin yang elok. Seperti kita,
ujarmu sambil melipat hari. Mengusapkannya
pada penat di pinggangku. Hutan di selatan
masih jua menangis. Menangisi apa?


Burhanuddin Soebely

MITOLOGI HUJAN

                                    malam-malam Diyang Sanyawa
                                    menari di tanah huma


            malam susut sungailah yang membingkas gendang
dan serunai. Kamu depanku, meramu kelelatu, menjerang
merang itu, juga darah itu. Purba belantara. Harum dupa
menunggu tengara dari tenggara.

            bebatu rindu, bujukmu, mencelup rambut ke sisa
lumut, ke sisa rumput. Cuaca mengentara. Bayu
memberat pada serat bunga randu. Tapi hujan masih
jauh, kukira.

            o, yang melampu
                        di tiap penjuru
            jangan termangu
                        di ambang pintu

            o, yang bersaf
                        minta diucap
            jangan hinggap
                        beraling gelap

            perjamuan ’lah sedia
            pesta ’kan bermula

            malam susut sungailah yang membingkas gendang
dan serunai. Kamu depanku, menangkup lesung,
merajang kayu piatu, pun dedak tahun lalu. Tujuh beras
pada gelas menjerat isyarat yang bertangkap lepas.

            bebatu rindu, melasmu, mencelup rambut ke sisa
lumut, ke sisa rumput. Cuaca mengentara. Kercap dingin
dan bau tanah basah. Tanda hujan bakal tiba, kukira.

            Tihang Bapang[23], o
                        ulin di hutan
            Liang Umang[24], o
                        ulak[25] di awan
            berpagar mayang
            berkelambu sangkar[26] 
                        tikar terhampar
                        pun api pendiang

            ”batulis kaning batambang liring
              rambut ading juntai ka tawing
              libak di tilam pacah tilah
              libak di tilam sanghir banyawa...”[27] 

            bebatu rindu, lenguhmu, mencelup rambut ke sisa
lumut, ke sisa rumput. Cuaca mengentara. Ada derak
di tenggara. Kerakah chainsaw, ternyata.




Burhanuddin Soebely


POTRET KEHILANGAN

tak ada lagi perahu
lalu-lalang di sungai itu
pun rakit bambu
yang milir dari hulu

tapi tak terdengar teriak kehilangan
apalagi ratap dari tangisan

“ Barangkali kita harus mengulang kaji
jarum arloji.” igaumu sambil menyimpan kamera
ke tas berdebu. Aku termangu memandang
keruh air, melihat bangkai kucing
mengucup kelamin angin. “ Hari memang telah senja! “
igaumu lagi. Lalu menjumput sebutir batu
melemparkannya ke wajah waktu

ratusan pipit lenyap
dari kawat telegrap
pun kelepak derkuku
yang mengibas orang lalu

tapi tak terdengar teriak kehilangan
apalagi ratap dari tangisan

“ Barangkali kita harus membilang jarak
pada jejak. “ igaumu sambil menyimpan kamera
ke tas berdebu. Aku menyulut sebatang rokok
dan menunjuk lingkaran asap
yang perlahan lenyap. “ Betapa ganas legiun berkuda! “
igaumu lagi. Lalu mengambil ranting kering
menombakkannya ke ombak awan

bunyi tarbang[28] lamut[29]
jadi batu berlumut
pun lantun madihin[30]
tinggal lagu bacin


tapi tak terdengar teriak kehilangan
apalagi ratap dari tangisan

“ Mari kita nyanyikan
lagu piatu.” igaumu sambil memandangi
potret-potret kuning di dinding. Aku melihat daun jatuh
dan menutup tirai jendela yang kusam
oleh cuaca. “ Serabut memang telah tercabut! “
igaumu lagi. Lalu puluhan puntung di asbak
menyempurnakan kehilangan kita.




Burhanuddin Soebely


KASIDAH BIDUAN


inilah hamba, biduan yang mengais
remah dari dunia. Lalu bersenandung
ke telinga piala kesukaanmu
lagu tentang makhluk api yang sembunyi
di balik gincu si renta itu

inilah hamba, biduan yang mengais
air mata dari damba. Lalu bersenandung
ke telinga piala kesukaanmu
lagu tentang keriuhan zikir bulbul
ketika sayap-sayap berkepak mengangkat
ruh para penyujud cinta

inilah hamba, biduan yang mengais
kata dari titahmu. Lalu bersenandung
ke telinga piala kesukaanmu
lagu tentang kedahsyatan hari lepas akar
ketika degam beruntun degam
dan semesta membulu dalam angin

inilah hamba, biduan yang mengais
kasih dari kalbumu. Meramu lagu
Allah Hu



Burhanuddin Soebely

ZIARAH MALAM MELAKA


“ persiaran malam ni
   jejaki peristiwa lama…”
Mei Lan memandu perjalanan

tapi Melaka cuma kaca
dan dinding batu. Barangkali anak waktu
telah bergegas melepas susu ibu
dan menyembunyikan jejak bapa

di mana Tuah?

“ jangan cakap pasal tu…” bisik
Mei Lan. Lampu-lampu muram
menjerat irama dansa. “ selagi berulit ni
di copeng telinga cakap sahaja gelora laut
setakat kapal belum karam dalam malam…”

cuma kaca
dan dinding batu. Bau rambut
membuat ruang susut. Dan sebentuk pualam
terpeta pada tilam

di mana Tuah?

“ Tun Tuah tu lagi bersama Putri Cina
    mengayuh asmara di atas pusta…”
Mei Lan memandu perjalanan

peluh rinai
di rambut terurai. Selebihnya busa bir
meleleh perlahan di bibir cangkir

Melaka membunuh bunda
Mengubur bapa



Garden City
Melaka, 2003.

Burhanuddin Soebely

LAMUNAN


sehabis bercakap di inti diri, kukenangkan sejenak
apa-apa yang luput dari hidup, dan membayangkan
ke mana perginya ruh setelah ketiadaan agar terdapat
titik pinasti bahwa setelah saat itu masih akan ada
hidup yang lain

tetapi aku tak menemukan apa-apa, kecuali segumpal
awan dari tanyaku yang terasa demikian asing lantaran di
tiap ujung bayang-bayang yang datang Engkau jualah yang
meletakkan pandang. Memperdalam hening































Burhanuddin Soebely


PERTANDA


kutemui pertanda di sini, di antara tunggul kayu
jerit mega dan igauan baja. Tersabda suara gaib
selaksa nisan akan bangkit di bukit-bukit

kutemui pertanda di sini, di sunyi kepak burung
---telah lepas tiruk riwayang yang dahaga
    memburu tubuh merindu keluh menunggu aduh---

maka larilah aku kehutanrimbaku kehulusungaiku
kelembahgunungku kepadangrumputku kecerukjeramku
tapi tak satu pun ketemu tempat sembunyi
semua telah dikembalikan kepada api

kutemui pertanda di sini, di luka-luka tanah bunda
serintis angin menyanyi belasungkawa


Burhanuddin Soebely


PERARAKAN TOPENG


saat terbangun dari nikmat percumbuan, kau menemukan
bantal kosong di sisi. Diam-diam kusaksikan rama-rama itu
menyampaikan pesan penghabisanku: dengan topeng di wajah
carilah aku di entah. Aku tahu kau merasa aneh dengan permainan
cinta ini, tapi aku telah tinggalkan penanda: keharuman dari cadarku
yang tadi malam kita jadikan penyeka embun keringat di ranjang

Bapaku Dalang, o, Bapaku Dalang
betapa rapuh dahan tempatku berpegang
bukankah sisa percumbuan
cuma kecambah kehilangan
makanan kesukaan bagi sangkala?

tapi kaulakoni juga perarakan itu, mengetami bebutiran luka
di sepanjang pencarian. Diam-diam kusaksikan: kau menyurukkan
topeng ke batu penistaan sambil berharap rama-rama akan membawa
desah cintamu kepadaku. Aku tertawa. Bukankah di hari perjanjian
dulu kau merasa demikian mengenaliku, sanggup menderita atas nama cinta?

Bapaku Dalang, o, Bapaku Dalang
betapa lelah memburu entah
memetakan bayang cadar pada segala
membaui sisa keringat pada jejak
mengucap nama di belantara nama

kubiarkan bercawan-cawan darah tumpah sebelum kecambah menjelma
bunga di hatimu. Semakin rimbun kehilanganku akan semakin menegas
ketidakhilanganku. Selangkah kau berjalan kepadaku, akan berlari aku
menjemputmu. Tahukah kamu, wahai kekasih-Ku?


Burhanuddin Soebely

LOKSADO


selalu saja. Ricik air di batu. Mengaliri
penanggalan. Melarutkan aduh
daki tubuh berpeluh

selalu saja. Angin dan hutan bambu. Menafasi
penanggalan. Melantunkan kasidah
rumah di lembah

dan selalu saja. Kepompong sunyi. Membungkusi
penanggalan. Menempa lagi
tanah yang pecah


Loksado = tempat wisata di lembah Meratus



Burhanuddin Soebely


KONSER KECEMASAN


---siapakah mereka yang menyesap sanginduyung[31]
    menaburkan bau bunga bau cendana
    di petanahan purba wadah semaian asa?---

tak ada sahutan. Anak-anak balai bilaran
gelimpangan di lantai, dihempas musik rak-rak-gui
yang muncul dari keganasan chain-saw

bahkan dalam tidur pun musik itu terus mengalun
bersabung dengan raung buldoser erang eksavator
derak loader deru tronton gemuruh ratusan truk
menciptakan konser kecemasan dan pemandangan senjakala

lalu bagai kupu-kupu bersayap tunggal
anak-anak itu beringsut merubung lalaya[32]

---iiii....laaah
   batang tajunjung batang sasangga
   daunnya maharing langit
   iiii....laaah
   di langit bajunjung kaca
   di tanah baruntai anggit---[33]

  “ya apang[34] ya umang[35]
    apalagi yang tersisa
    di mana lagi kami semaikan asa

    hutan-hutan tiada
    huma-huma tiada
    tanah-tanah rekah
    mengalirkan nanah
    pancur-pancur jelaga
    sungai-sungai berbisa

      ah, apalagi yang bakal terban
      di mana letak keadilan?”

perempuan-perempuan berambut putih terjurai
mengais sisa tangis

    “jangan bertanya tentang keadilan, Diyang
      karena jiwa mereka telah kering
      karena mereka adalah bangkai
      yang berkisar di antara angka-angka
      yang sungainya cuma kerakusan
      yang muaranya cuma perasaan
      ketakcukupan akan sebiji dunia

      dan kita tak lebih dari binatang korban
      yang digiring ke altar persembahan
      atas nama kemakmuran

      tapi jangan menangis, Diyang
      kita bukan batu yang bisa digaris-tepikan
      kita akan kibarkan bendera perlawanan!”

---siapakah mereka yang merobeki rahim ibu bumi
    dan mengangkuti belulang moyang kami?---

tak ada sahutan. Para balian[36] balai bilaran
batandik[37] mengelilingi lalaya, menating mangkuk merah
berisi air mata rembulan, santan kecemasan, darah perasaan

---iiii...laaah
   langit baputar langit baguncang langit baradin
   tanah bargana bakumpang hati carincing gading
   basamban darah batunjuk parang batunggang angin---[38]

   “awas jangan papas hutan kami
     nanti aku amuk aku tuang wisa ke pembuluh raga
     awas jangan ganggu sorga kami
     nanti aku sumpit aku damak aku kirim parang maya
     jangan tuang nila jangan bawa bala
     selusupku selusup datu selusup tak berwaktu
     jariku jari pahat jari-jari tombak
     mataku mata pisau mata-mata mandau
     tiupku tiup puja tiup mantera-mantera

     awas jangan papas hutan kami
     jangan ganggu sorga kami
     aku ada di sukma burung di sukma gunung
     aku ada di sukma bayu di sukma kayu
     aku ada di sukma batu di sukma datu
     mengintai selalu!”

---siapakah mereka yang menyesap sanginduyung
    menebarkan bau bunga bau cendana
    merobeki rahim ibu bumi
    dan mengangkuti belulang moyang kami?---

tak ada sahutan. Pertanyaanku membentur jidat
para birokrat yang terlilit utang pada konglomerat


[1] Loksado = tempat wisata di kaki pegunungan meratus, kawasan permukiman Dayak Meratus

[2] Umbun = keluarga

[3] Salah satu litany Dayak Meratus

[4] Lalaya = bangunan suci sentra upacara

[5] Balian = dukun, penghubung alam nyata dengan alam supranatura

[6] Kambang lilihi = aneka kembang yang dipegang balian dalam upacara

[7] Ning Diwata = Yang Maha Kuasa

[8] Bambang Siwara = tokoh mitologi, nenek moyang orang kota

[9] Datung Sumaliih = tokoh mitologi, apa yang disumpahinya akan menjadi batu

[10] Datung Ayuh = tokoh mitologi, nenek moyang orang pedalaman

[11] Jata = penguasa alam bawah

[12] Ujuk = kamar dalam balai/rumah adat

[13] Salah satu litany Dayak Meratus

[14] Pinjulang dan patati = wanita pendamping para balian dalam upacara

[15] Mahligai ading, sangkar galung, sangkar mayang = totemik upacara

[16] Mahatara = penguasa alam atas

[17] kurung-kurung = alat musik tradisional Dayak Meratus, terbuat  dari bambu dan ulin, cara     
                               membunyikannya dengan jalan dihentakkan ke tanah.

[18] tanah tugalan = tanah huma di daerah pegunungan

[19] Datu Bini Badangsana Walu = pembawa buah padi ke bumi dalam kepercayaan Dayak Meratus

[20] balai = rumah besar; rumah adat Dayak meratus

[21] Galuh Yayang = penguasa binatang dalam kepercayaan Dayak Meratus

[22] bawanang = upacara pascapanen Dayak Meratus

[23] Tihang Bapang = sebutan kelamin pria di dunia supranatura Dayak Meratus

[24] Liang Umang = sebutan kelamin perempuan di dunia supranatura Dayak Meratus

[25] Ulak = pusaran

[26] Sangkar = totemic dari anyaman pucuk enau

[27] Salah satu litani upacara Dayak Meratus

[28] Tarbang = gendang rebana besar

[29] lamut = salah satu teater tutur Kalimantan Selatan

[30] madihin = salah satu teater tutur Kalimantan Selatan

[31] Sanginduyung = bilah-bilah bamboo berujung runcing yang ditancapkan di sekeliling kubur, dimaksudkan sebagai penanggal hantu pemakan mayat, kepercayaan Dayak Meratus


[32] Lalaya = bangunan suci sentra upacara

[33] Salah satu litany Dayak Meratus

[34] Apang = ayah, bapak

[35] Umang = ibu

[36] Balian = dukun, penghubung alam nyata dengan alam supranatura

[37] Batandik = menari dengan menghentak-hentakkan kaki

[38] Salah satu litani Dayak Meratus

Sajak; di pagi ini kuingat kau terlalu cepat dewasa, nak...

Oleh; Kayla Untara

di senyap malam dalam keheningan
antara kepingan-kepingan do'a kecemasan
saat itulah kudengar lengking tangisan
menyeruak di sela erang kesakitan,
di sebuah kamar sederhana berlapik asa....

di pagi ini, kuingat kau terlalu cepat dewasa, nak...
saat celoteh dan rengekanmu begitu mengganggu
isak tangismu kala minta sebotol susu
amarah yang kau tunjukan di hadapku jika sesuatu mengganggu tidurmu...
sungguh, aku rindu, nak...

di pagi ini, kuingat kau terlalu cepat dewasa, nak...
betapa naifnya aku tertambat di perahu sepi
berdiri di altar angkuhku dan berkata;
"lihat, nak... bapak disini memeluk dunia di antara huruf dan angka-angka...!!!"
sementara di rumah,
kau menungguku di balik kaca jendela...
"bapak di mana, bu?" katamu lugu...
sungguh, aku malu, nak....

di pagi ini, kuingat kau terlalu cepat dewasa, nak...
selayaknya aku di sampingmu
merekam jejak langkah kaki pertamamu
bercanda, melukis, dan membaca di satu buku
acap kali kita lakukan sela waktuku untukmu
terkadang diakhiri dengan dengan tangis ataupun sesalmu...
sungguh, aku pilu, nak...

di pagi ini, kuingat kau terlalu cepat dewasa, nak...
tak kutemukan rengekan, celoteh, dan tangisan di bibir mungilmu
sebagaimana yang pernah kurindu
tak kudapat amarah, manja dan peluk hangatmu
yang biasa menyirami setiap lelah dan penatku

sungguh, kau terlalu cepat dewasa nak..


Sajak: Sisa Airmata Berkarat…
Oleh ; Kayla Untara

merah yang tececer di sudut rumah
menyebarkan remah jelaga jiwa yang terluka…

cucur airmata mengalir
membasuh wajah-wajah berdaki
sekenanya, tubuh tertikam bedil senapan
rumput rebah mengalir darah

kau yang terbuang
di anggap anak jadah negeri
yang lahir dari rahim ibu pertiwi
yang dikala tubuhmu berlumur penuh lumpur juang
semuanya usang, menyisakan perlawanan…

kau yang di cap khianat
tergerus oleh gerigi rasionalisasi birokrasi
para elit pejabat kaum bejat!
menyisakan airmata berkarat

kau yang dituding pemberontak
beribu kecewa kau sandang di pundak
dingin, menyembilu kalbu…

merah yang tececer di sudut rumah
hitam pekat kala ragamu di ambang sekarat!


Sajak; Telaga Melati
(...jika kini keluh bersanding dengan tiap nafasmu
kuingin kau tahu
ada hati yang menanti...)

biarkan telaga melati
kupersembahkan dalam kembara jiwa terluka
sebab wanginya abadi walau berbenteng sepi
jangan kelola perih luka menganak airmata

biarkan telaga melati
kau sambut dengan mangkok cintaNya
sebab dalam sepimu pun juga sepiku
jangan ijinkan asa mendiami keranda

biarkan telaga melati
merekah indah meruapkan wewangi
sebab kau tidak sendiri
disana, ada hati menanti...

telaga melati ini tercipta atas nama cinta
berdiri di altar pengharapan dan cita
akankah kau biarkan kelopak melati jatuh saat senja merah saga?


lantas,
mengapa kau mesti tolak telaga ini
jika berupa melati penuh wewangi?

jangan,
sebab tak layak wangi melati
layu di saat kami masih berdiri di sini...

(wangi melati adalah sepi...dan aku ingin menjadi bagian dari sepi itu...)

***Kupersembahkan sajak ini buat Sobat maya; Danissa Daffy dan Boim ghe***

Kisah Sungai Masa Lalu

Membangkit lamunan
Yang terendam di tikuan waktu
Seperti memutar kembali haluan jukung kebersamaan

Menatap ulak Barito
Seperti menautkan kembali tali rindu
Ketika perahu harapan hendak dilabuh
Semangat sang pengayuh yang bertaruh
Senantiasa riuh
Dalam saukan pengayuh yang berpeluh


Dari hulu menggaris sungai yang berliku
Bersebiduk di atas gelinjang tubuh Barito
Menatap sungai yang hilang rupa
Menyimpan dendam pada pasang dalam yang memperkaram buritan malam

Lagu ombak dan kecipak tepian nasib jua yang memutus alur hidup kita
Demikian engkau pernah mengungkai sungkawa
Pada malam ketika kita pernah menggantung cerita
Di seuntai rumpun rambai yang berluka
Dironce dengan sabit bulan yang hilang raga
Sementara di hilir deru ombak kian gemulai ditikam liuk sungai

Ahai …
Aku ingin memandang bulan di hulu
Ujar engkau sembari membuka pintu
Kerlip lampu pelabuhan kian menggigil dihimpit malam yang berdaki
Akupun hanyut bersama bosanopa ilung larut
Sebuah pagi berhias gerimis
Memandikan lamunan kita
Hingga matahari meninggi menuliskan bayangan di sudut mimpi
Yang membuncahkan harapan di pusingan alur hidup yang kian menggeligi

Ulak = pusaran air di sungai
Ilung = ecinggondok


Kandangan, November 09



Hari Hari dalam Catatan

Hari hari dalam catatan
Beragam peristiwa dalam ingatan
Satu hal yang tak terlupakan
Kesewenanngan dalam aturan
Yang terlalu membani


Beribu kejadian telah dipetakan
Dalam lembaran hidup kebersamaan
Satu hal yang masih kusangsikan
Apakah kita masih dalam buhul kesetiaan

Hari hari dalam catatan
Warna warni kehidupan kian berhamburan
Seribu malaikat turut menyaksikan
Sembilu kehidupan kian menghujani
Pada tunas hukum ibu pertiwi


Hari hari telah dicatat
Bahwa suatu malam nanti engkau akan sekarat
Sebelum senja menjelang
Tuliskanlah kalimat ke hati para malaikat
Bahwa : Aku telah bertobat

Kandangan, dalam AprilMov 2010


Mang

Kuriding yang kau lagukan dahulu
Kini menjelma menjadi sebuah rindu
Ketika kita memancing di ulak waktu
Ujung kailmu menuliskan harapan
Pada alir sungai yang berlalu

Mang
Kami di hulu senantiasa mengingat itu
Bahwa setiap riak yang datang
Senantiasa bermula dari gelombang
Demikian pada sebuah petang engkau pernah membilang

Mang
Engkau pernah mengajariku menabuh gendang
Membunyikan nafiri kasih di riak - riak sungai yang gamang
Tapi kini suara gendang mulai menghilang
Nafiri kasih mulai dilibas seribu bunyi sembilu
Dan kini engkau kehilangan suling semangatmu

Mang
Kini keriuhanan yang kau agungkan telah datang
Tapi kuriding dan gendang itu menghilang
Tersaput angin padang kemajuan
Yang menggilas ruang - ruang hati yang bimbang

Mang
Senja yang dulu kau takutkan kini mulai membayang
Sebelum kita pulang
Marilah kita mengasah pedang iman pada selembar sajadah usang
Atau menulis sesal dengan airmata dini hari
Menambatkan perahu diri pada tonggak keimanan yang kau yakini

Mang/Amang = sebutan untuk orang yang dituakan di daerah Barito
Kuriding = alat musik tradisional
ulak = pusaran air

Hardiansyah Asmail

Ngilu

Bukan lantaran hasil perselingkuhan antara gelombang dengan angin
Hingga melahirkan riak dan alur dalum laut kasmaranmu
Bukan lantaran persenggamaan sembilu dengan kulit rindumu
Hingga memperanakan luka dunia yang menjuriatkan padang lara
Sebab angin dan gelombang itulah yang senantiasa membuncahkan rindu kita kian balu
Bukankah engkau pernah memeram cinta dalam hutan kastuba
Sehingga langit senja sampai kini masih saja berwarna merah saga
Karna sumpahmu yang berjanji memenjarakan dunia dalam kejap mata

Kini setiap senjamu yang datang
Adalah rindu angin pada padang jelaga itu
Tempat kita bermain di tepian harapan sungaimu
Kini aku pun merasakan semua itu
Sebab ketika engkau pulang lebih dahulu tak sempat kusematkan doa bunga
Hari ini sedikit senja telah kusisakan untukmu
Kukirimkan taman mungil dalam mimpiku
Hingga semburat matahari pagi menyanyikan lagu cinta untukmu


Hardiansyah Asmail
Mitologi Luka
Sebelum sembilu adalah bambu
Hal itu semua miang tahu
Karena sebelum rindu adalah miang dahulu
Namun tak setiap orang tahu
Bahwa luka tak beribu pada sembilu
Apalagi pada rindu
Karena ia buah dari senggama antara suka dan duka
Atau antara keduanya

Sebelum darah adalah merah dahulu
Yang tertua dari darah adalah barah
Begitulah amsal sebuah sungkawa
Lahir dan hidup berasal dari kembang peristiwa
Namun tak semua luka menggariskan cerita
Yang mampu mengubah layu bunga menjadi seorang satria


Hardiansyah Asmail

Nyanyian Pengembara

Akulah seorang pengembara
Bernama Indonesia
Hidup merdeka beralas sungkawa
Memeram rindu dan dendam kemajuan
Dalam setiap pagi tiba

Akulah sang pengembara
Berlayar di lautan cinta
Berangin buritan kebersamaan
Senantiasa melantunkan lagu pujaan
Pada mata dunia yang mulai rabunan

Ketika sang pengembara telah kehilangan tongkat Musa
Beribu anak panah menunjukkan arah muka
Namun tak satu pun yang disua
Karena tonggak hukum telah berubah warna
Hitam tak putih tak
Abu abu yang kian merebak

Seorang pengembara
Berbekal cinta yang tersisa
Setiap malam merajut cerita
Memasung renjana menajamkan pedang iman
Berharap pada tuah di dada
Membuhul kecemburuan
Memetikan amis dendam dan kekerasan
Dan memenjarakan para maling yang kepagian


Kandangan 2010
Hari Hari dalam Catatan


Hari hari dalam catatan
Beragam peristiwa dalam ingatan
Satu hal yang tak terlupakan
Kesewenanngan dalam aturan
Yang terlalu membani


Beribu kejadian telah dipetakan
Dalam lembaran hidup kebersamaan
Satu hal yang masih kusangsikan
Apakah kita masih dalam buhul kesetiaan

Hari hari dalam catatan
Warna warni kehidupan kian berhamburan
Seribu malaikat turut menyaksikan
Sembilu kehidupan kian menghujani
Pada tunas hukum ibu pertiwi


Hari hari telah dicatat
Bahwa suatu malam nanti engkau akan sekarat
Sebelum senja menjelang
Tuliskanlah kalimat ke hati para malaikat
Bahwa : Aku telah bertobat

Kandangan, dalam AprilMov 2010

Memandang Wajah Ibu



Memandang wajah ibu
adalah menyelami telaga kasih yang teramat dalam
tempat berpijah mutiara - mutiara kehidupan
lalu bersemi menjadi bunga - bunga kepribadian
tempat mengaca diri sembari bertanya
tentang peradaban di musim mimpi

Memandang wajah ibu
adalah merenungi jejak keseharian
yang sering lalai dan alpha diri
di sanalah kita tautkan perahu kerinduan
tempat melimpahkan beban keseharian
mengadukan nestapa diri
Di lautan kasihnya yang tak kering disemai waktu

Memandang wajah ibu
Adalah merenangi sungai masa lalu
di situlah tergambar garis kearifan
ketika kita tak sanggup berenang di arus waktu
lalu ibu mengajarkan semua itu

Belajar mengaji pada rumpun padi
belajar bernyanyi dengan bahasa bunga
belajar tertawa tanpa membusungkan dada

Memandang wajah ibu
adalah belajar mengeja asma Tuhan
suatu hari nanti akan kubasuh kaki ibu
dengan air kembang budi dan bakti
sebab disanalah tersembunyi pintu - pintu sorga
Dan akupun ingin memasukinya 

Kisah Meratus


meratus yang dulu
bercadar biru
berpayung halimun
berselimut jenggala perawan

meratus kini tubuhnya penuh cakaran
biru dan lebam seperti menyimpan dendam
kini kemana lagi akan kuceritakan sungkawa ini
sebab semua suara telah kembali ke dinding gua

hanya pada sungai waktu ku berharap
yang mengalirkan kesumat rindu
pada batu di riam yang senantiasa sanggup memeram dendam

Johansyah Bunyu

Apa yg dapat kuceritakan,
Ketika terasa sangat resah,
Menguncah nan memecah,
Di ranah bathinku,

...Dan wanita pada pandanganku,
Adalah kekuatan,
Adalah kelembutan,
Adalah budi pekerti,
Di masanya wanita pada pandanganku,
Telah berjuang,
Dari gelap ke dunia yang terang,
Di kenang,
Mengikis keterbelakangan,
Mengukir citra dan prestasi,

Dan wanita pada pandanganku,
Adalah kesantunan di tengah peradaban,
Bukan pembatasan dari norma,
Bukan !
Bukan membuhul kisah dari masa priyayi,
Di pingit dan di kekang,
Namun wanita di era sekarang,
Mengangkat martabatnya,
Menggali karsa dan karya,
Apa jadi negeri ini tanpa wanita ?

Wanita di mataku adalah sebuah sudut pandang,
Dengan ruang pikir kita sendiri - sendiri,
Berilah tempat dalam sebuah inspirasi,
Jangan lagi di jeruji,

Wanita di mataku bukan sekedar mendampingi,
Adalah sebuah kekuatan,
Adalah jiwa dengan kelembutan,
Adalah pengajar budi pekerti yg tidak pernah lelah,

Wanita dengan hati yang putih,
Menyuapkan nasi di lorong bawah jembatan,
Bayi kedinginan hanya berselimut Koran,
Apa yang dapat kita beri ?
Jika emansipasi telah tegak berdiri,
Jangan biarkan anak – anak tidak bersekolah,
Jangan biarkan tangis si kecil menyayat hati,
Sedih jiwa ini … sedih !
Jika hati yang putih tidak lagi dimiliki,
Di mana lagi kita mencari hati wanita yang putih ?

Apa yg dapat kuceritakan,
Ketika terasa sangat resah,
Menguncah nan memecah,
Di ranah bathinku.

( “ Wanita Hebat “ – In Ultimo April 2011 – Lembayung 14 )

18-04-2011
 Johansyah Bunyu Fac
Huma di gunung,
Pecah – pecah tapak kaki perih luka,
Naik gunung turun gunung,
Meletakkan hidup di puncaknya,
Keseharian di lereng terjal,
...
Dan malam menutup petang,
Merah batas langit setelah hujan reda,
Dari atap balai titik air di tempurung menggema bunyi sahdu,
Anak beranjak belia dengan singkong rebus di tangan,
Mulut berjejal menggumpal sambil bertanya,
Apang … Umang, mahalkah sekolah itu ( ? )
Kalau mahal kenapa kawan – kawanku bisa sekolah ( ? )
Kapan aku bisa sekolah, Apang ( ? )
Umang, besok yaaa ( ! )
Hingga tak habis semua beban tanya menancap di pembuluh rasa,
Hingga tak habis keinginannya terucap bocah tertidur pulas,
Beralas lantai bambu “ paring ricihan “
Lembab menusuk tulang,
Tidur mendekap celengan bambu isinya tak seberapa,
Recehan dan ribuan kertas kumal – kumal,
Pemberian ayah sepulang menjual lanting ke kota,
Lewati jeram ganas batu dan “ Penanjak “ menghela maut,
Dan hidup bagai terhempas ke batu – batu,
Arus deras jeram Loksado tetap bangkitkan semangat,
Nyali Apang dan Umang mu takkan terhenti, nak ( ! )
Negeri kita ini kaya, nak ( ! )
Kapan kita bisa menikmatinya ( ? )
Nenek moyang kaya raya di kuras segelintir orang,
Hanya huma di gunung yang kami punya,
Tapak kaki bernanah terantuk runcing batu setiap hari,

Gunung adalah mata hati kami,
Jeram adalah urat nadi kami,
Angin adalah pesan kami,
Matahari adalah roh kami,
Dan kami tidak kaya raya,
Dan kami tidak beralas kaki,
Dan kami mengarungi jeram setiap hari,
Dan kami di belakang gunung – gunung dengan pendidikannya,
Dan kami anak – anak negeri,
Dan kami merayakan Hari Kartini seadanya,
Dan kami dengan baju kulit dan “ mandau “ turut berjuang,
Dan kami miris melihat ketimpangan,
Dan kami hanya bergantung pada harapan,
Dari Nenek moyang yang kaya raya,
Hidupilah negeri ini dengan rasa keadilan,
Hidupilah negeri ini dengan kepedulian,

Dan tangan kami mencengkram batu “ Benteng Madang “
Nafas kami giris dalam tangisnya di setiap malam,
Negeri ini tinggal sedikit lagi dari garis,
Negeri ini tidak sampai memetik rindu yang teramat dalam,
Negeri ini pada sunyi yang sesaat,
Menggapai dan mencapai ujungnya kemerdekaan.

( “ Refleksi Segunung Harapan “ – In Ultimo April 2011 – Lembayung 17 )

21-04-2011 ( Memperingati Hari Kartini )

Footnote :
~ Apang dan Umang ( Bhs. Dayak Loksado ) : Ayah dan Ibu.
~ Paring ricihan ( Bhs. Banjar ) : Bambu yg di belah kecil untuk lantai rumah, dll.
~ Penanjak ( Bhs. Banjar ) : Bambu kecil dan panjang untuk tongkat penghela kapal / lanting.
~ Mandau ( Bhs. Banjar ) : Senjata khas Suku Dayak.
~ Benteng Madang : Benteng peninggal sejarah di daerah Kandangan Kab. Hulu Sungai Selatan.
Lihat Selengkapnya



4 komentar:

  1. mana neh puisi nang lain?

    BalasHapus
  2. blog baru biusa di akses sehubunganb terlalu lama tidak log in

    BalasHapus
  3. satu puisi telah termuat di halaman puisi pada blog ini dengan judul "wanita hebat" karya Sdr. Johansyah Bunyu. mohon tanggapan teman-teman

    BalasHapus
  4. beberapa puisi di posting ke halaman blogg, tidak masuk ke halaman PUISI

    BalasHapus