Burhanuddin
Soebely
SELOKA
KUNANG-KUNANG
Pembuka
G
|
erimis mempercepat kelam, ada
juga kelepak elang, menyinggung muram[1].
Dan muram terasa kian mengentalkan keterasingan yang bersarang di ruang menamu
ini. Dinding nampak tambah kusam, memetakan kelupasan kapur dan bercak-bercak
hitam tipis bekas sarang laba-laba yang disapu sambil lalu. Gambar-gambar tak
ada. Bunga-bunga tak ada. Yang ada, sekat semen setinggi paha, sekaligus
berfungsi sebagai meja panjang. Di atasnya tertancap angkuh kisi-kisi besi, pembatas
antara yang ditemui dan menemui.
Di balik kisi-kisi, di
sebuah kursi kayu tua, gadis itu terpuruk bagai gombal butut. Seluruh
perwujudannya menampilkan sosok yang secara tiba-tiba dihadirkan pada sebuah
dunia yang bukan dunianya, tempat yang tak pernah terbayangkan dalam kelampauan
dan keakanan bakal jadi hunian, sehingga dia nampak demikian kering, lusuh, dan
cabik-cabik. Cuma matanya, ya, cuma matanya, yang mengesankan dia seorang
makhluk termulia ciptaan Tuhan, itu pun nampak gelap dihuni hantu-hantu kepedihan.
“ Aku khilaf,
Daus, khilaf….” suaranya bergaung murung, seperti datang dari kedalaman tanpa
lunas.
Lalu ruang menyuarakan isak, mengeraskan tekanan
kemuraman bercampur ke-terasingan. Firdaus mencari ketenteraman dengan jalan
menyulut sebatang rokok, sementara aku membuang pandang jauh ke luar pintu,
mencari kesejukan pada serumpun kembang yang tetap memancarkan daya hidup
kendati tumbuh di dalam pot.
“ Kenapa peristiwa itu bisa terjadi? “ Firdaus
kemudian bertanya hati-hati.
Gadis itu tak segera menyahut. Dia beberapa kali
mengerjap-ngerjapkan mata sebelum mulai menceritakan rangkaian peristiwa tak
terpermanai yang membuat jantera hidupnya lepas gasing.
“ Aku khilaf, Daus, khilaf…” kalimat bermakna
sesal itu kembali terucap saat dia mengakhiri kisahnya.
“ Aku bisa mengerti, “ hibur Firdaus dengan bijak,
“ Dalam kekalutan orang memang bisa mengambil keputusan yang keliru. “
“
Ke-sa-dar-an, “ gumaman gadis itu patah-patah, “ Selalu datang demikian lambat,
setelah segalanya terjadi, setelah segalanya porak-poranda. “
Firdaus tak berkomentar. Dia kembali mengisap
rokoknya dalam-dalam sehingga bara rokok hampir menyentuh batas filter.
“ Di balik itu, Daus, aku juga menemukan satu
makna. “
“ Makna apa? “
“ Makna orang-orang kecil yang selalu kalah! “
suara gadis itu meninggi nadanya, seakan menyalurkan sebagian beban yang
menjepitnya. “ Makna tangan-tangan berdebu yang selalu luput menjangkau! “ dia
mengakhiri ucapannya dengan bibir bertaut kencang, menyimpan rasa geram.
Firdaus mendengus. Dicampakkannya puntung rokok.
Ujung sepatunya berputar. Menggilas puntung. Tembakau lumat. Seperti hatinya.
“ Kita belum kalah, be-lum ka-lah. “ ucapnya
kemudian. “ Mulai lusa harian Amandit
akan membantu kita. Ini wartawannya,
Savitri, “ Firdaus menunjuk ke arahku, “
Datang untuk melengkapi data. “
Wajah gadis itu pelan berpaling ke wajahku,
matanya yang bersaput air nanap menatap. Aku menganggukkan kepala, meyakinkan
dirinya bahwa aku dan koranku akan berupaya membantunya sekuat daya.
“ Aku juga akan menghubungi Lembaga Bantuan Hukum
untuk membelamu di pengadilan nanti. “ kataku.
Aku berharap ucapan itu akan dapat memancarkan
sedikit denyar di matanya. Ternyata tidak. Dua lembah hitam itu semakin gelap,
hantu-hantu kepedihan bukan lagi menari-nari di situ, tapi berpesta.
Ah, Galuh Ratnasari, namanya. 25 tahun umurnya.
Kesehariannya yang sederhana di kampung Pinang Habang ternyata bergulir ke arah
sebuah kemelut. Dan yang namanya kemelut barangkali tak ubahnya seperti jaring
laba-laba, sedikit demi sedikit helai-helai benangnya tercipta, saling
jalin-menjalin, lalu menjadi sebuah perangkap yang membuat sang mangsa berada
dalam situasi amat pengab. Andai mangsa itu lalat maka Galuhlah lalat itu.
Keputusasaan yang menjerat bercampur aduk dengan kekalutan, saling meng-hidupi,
sehingga ketika ada siluet harapan gadis itu pun menjembanya, padahal siluet
harapan tersebut cuma fatamorgana yang kian mencekiknya.
Jadi, siapakah yang patut disalahkan dalam kasus
ini? Pertanyaan itu menggi- ringku
untuk menelusuri berbagai sumber dan menghimpun pelbagai bahan, menyaripatikan,
kemudian menuliskannya. Aku ingin mengabadikan sesuatu yang kelak retak,
sebagaimana kata Goenawan Mohamad dalam salah satu puisinya. Siapa tahu ia bisa
menjadi sebuah cermin. Bukankah benang hidup kita punya kemungkinan besar untuk
menjadi kusut? Bukankah setiap lelangkah kita juga berkemungkinan mengusutkan
benang hidup orang lain?
*****
Seloka Satu
Malam Kunang-kunang
E
|
ngkaukah itu yang turun dari langit kelabu,
bagai derai hujan perlahan-lahan turun ke bumi bisu, menabur bau cempaka dan
cendana ke udara beku.[2] Angin malam musim kemarau yang malas
mengalir menjadikan keharuman bersarang dalam ruang sehingga kamar tertutup itu
tak ubahnya kamar berdinding kayu cendana. Pada tengah kamar terhampar sehelai
kain kuning. Di atas hamparan kain terletak pedupaan, mangkok kuningan berisi
air rendaman tujuh kuntum mawar campur tujuh kuntum melati dan tujuh kuntum
cempaka; beras kuning, tujuh biji telur ayam, tujuh bilah jarum, tujuh gulung benang bola [3], tujuh sikat pisang mahuli[4], .cangkir-cangkir berisi kopi pahit, kopi
manis, santan kelapa dan air gula aren. Tak jauh dari sesajen duduk Ning [5] Antih. Tangan perempuan tua itu menangkup
di depan dada, matanya terpejam, mulutnya komat-kamit merapal mantera.
Agak di sudut kamar, Galuh Ratnasari berdiri
menghadap cermin, meneliti dandanannya. Cahaya lampu 25 watt yang agak meredup
oleh kepulan asap pedupaan memaksanya menajamkan pandang. Dilihatnya rambut
legamnya telah tersanggul rapi, dihias roncean melati. Pupur, gincu, pensil
alis dan pemerah pipi sudah pula memoles wajah tanpa cela. Tubuhnya yang padat
berisi dibungkus kebaya warna ungu berbelahan dada rendah, menampakkan intaian
sebagian lereng dan lembah bukit kembarnya; sarung batik dengan motif pucuk
rebung ketat melilit, memetakan pinggul yang menonjol.
Perlahan Galuh melangkah ke atas kain kuning,
duduk bersimpuh menghadapi Ning Antih.
Ning Antih membuka mata, mengangkat
pedupaan, berjalan mengelilingi tubuh Galuh tujuh putaran, meniup-niupkan
kepulan asap, lalu menghadap ke arah matahari
hidup [6]. Dia kini berdiri tunggal kaki. Kaki
kanan dilipat ke lutut kiri sementara kaki kiri penyangga tubuh sedikit
membengkok.
Bunyi hentakan kaki kanannya ke lantai merupakan
pertanda rapalan manteranya selesai. Galuh segera memejamkan mata rapat-rapat
sampai cahaya hitam campur warna kekuning-kuningan melingkup. Dikosongkannya
pikiran. Diaturnya nafas. Saat arus panas terasa berputaran di daerah pusar dan
kemudian pecah mengaliri urat-urat darah, dirapalnya mantera.
Sedikit demi sedikit ia mengambang ke ruang
kehampaan. Hakikatnya kini berpegangan di asap dupa, menaiki tangga asap menyan
putih, menyusupi wilayah tak kasat mata. Mengencana menuju Padang Banjuran Purwasari, wilayah milik makhluk-makhluk gaib,
padang pahajatan [7] orang-orang yang mencari nafkah melalui
pekerjaan yang berhubungan dengan alam karamian.[8]
Beberapa menit kemudian tubuh Galuh bergetar.
Dadanya turun-naik dengan cepat, sementara bunyi hembusan nafasnya terdengar
keras menyuarakan sengal. Ning Antih
cepat meniup ubun-ubun gadis itu dan memercik-mercikkan air kembang. Getar
tubuh Galuh reda, hembus nafasnya pun kembali seperti biasa.
“ Istirahatlah, “ ucap Ning Antih setelah Galuh membuka mata, “ Sepenanak nasi lagi baru
kita ke luar dari rumah. “
“ Ning,
dalam semadi tadi aku melihat hal yang tak biasa. Sesosok tubuh berlumur darah
melayang ke arahku. “
“ Engkau kenal dia? “
“ Tidak, sosok itu tak berwajah. “
“ Lalu? “
“ Aku berusaha mengelak tapi tak bisa sehingga
darah memerciki wajah dan dadaku. “ suara Galuh
ke luar dalam nada kuatir. “ Apakah itu merupakan pertanda bu-ruk, Ning? “
Ning Antih mengangkat bahu. “ Melihat darah
memancur bukanlah hal aneh dalam kehidupan orang seperti kita. “ sahutnya
sambil membuka pintu. Langkahnya agak tertatih ke luar kamar.
Galuh menghela nafas panjang lantaran jawaban itu
sama sekali tak memuaskannya. Dia beranjak membuka jendela. Memandangi kirai malam. Kunang-kunang nampak
berterbangan. Puluhan satwa kecil bercahaya kehijau-hijauan itu menelusupi
lumut-lumut malam, berputaran di sekitar sarubung
[9] berhias rumbai-rumbai pucuk enau.
Mata Galuh nanap. Pikirannya segera
mengidentifikasikan dirinya sebagai kunang-kunang itu, sebab di bawah sarubung bersimbah cahaya neon itulah,
sebentar lagi, ia tak ubahnya kunang-kunang yang mengorakkan pesona penarik
ingin untuk ditangkaplepasi. Menjadi
seorang gandut, wanita penghibur yang
mengais rupiah dari hasil menyanyi dan menari dengan gerakan-gerakan erotik
berjelujur ekspresi pengundang birahi, wanita yang seakan menyediakan diri
untuk menjelma korban di hadapan para lelaki.
***
L
|
elaki-lelaki yang datang ke arena gandut
umumnya berbekal fantasi erotis. Di mata mereka berpijar bayang akan ranjang,
nafsu birahi dan kenikmatan. Di pihak lain, gandut
seakan menyediakan diri menjadi tempat labuh fantasi itu : pakaian ketat yang
mencetak liku-liku tubuh, mata yang mengerling mendayu, bibir yang merekah
basah, nyanyian yang membuai, pinggul dan dada yang bergoyang.
Maka lelaki-lelaki pun ganti-berganti mengayuh dan
melabuhkan fantasi mereka, menyanyi dan menari bersama sang gandut. Siapa pun lelaki itu, dari mana
pun asal kampungnya, bagaimanapun tampangnya, sejelek atau sebaik apapun
kelakuannya, kalau sudah menyerahkan sejumlah uang berarti punya hak untuk maigali. Juga punya hak untuk memilih
lagu. Boleh lagu Baganding dengan
gerakan langkah pelan maju-mundur yang sederhana. Boleh lagu Mangandangan, lagu yang gerak tarinya
memungkinkan lelaki bergerak agresif sambil mengembangkan kedua lengan untuk
mendesak, menyudutkan dan mengandang si gandut.
Boleh pula lagu Mandung-mandung, lagu
yang langkah penarinya mengandung gerak-gerak pencak silat dan memberi peluang
untuk berupaya mencolek pipi, menjawil dagu, meremas dada, bahkan kalau mampu mencium
si gandut.
Kejahilan lelaki kadang berhasil lantaran gandut kurang lihai menghindar, kadang
pula mencapai sasaran karena si gandut sengaja membuka peluang dengan maksud memancing
gairah lelaki untuk mengeluarkan lembaran rupiah lebih banyak dari kantong.
Dalam suasana semacam itu, benarlah kata Ning
Antih, melihat darah merupakan hal biasa bagi seorang gandut. Maklum persaingan para lelaki itu merupakan persaingan terbuka
di bawah ratusan tatap mata, persaingan dalam mempertunjukkan kemahiran menari
mau pun persaingan memperlihatkan bonafiditas diri yang nampak dari
besar-kecilnya uang yang diserahkan pada gandut.
Di antara para penonton, Firdaus membiarkan
urat-urat darahnya dijelujuri alunan musik. Matanya, seperti dikelindankan oleh
benang-benang magis, seakan tak mampu lagi berkisar dari sosok Galuh. Bukan
main gandut yang satu itu, pikirnya,
seperti peri yang turun mandi saat purnama tiba. Betapa tidak, ayunan
langkahnya lunak bagai peri merambat di atas air telaga, liuk tubuhnya gemulai
bagai peri bersijingkat di akar malam, gerak tangan dan jemarinya mempesona
bagai gerak tangan peri menenun impian pucuk fajar, dan suaranya mengkili-kili
hati laksana nyanyi peri yang duduk berjuntai di atas karang samudera.
Maka ketika babak berganti Firdaus pun memasuki
arena. Dia berhenti di hadapan Galuh. Kakinya bersilang, sedikit tertekuk.
Pelan diangsurkannya dua tapak tangan yang menangkup ke arah Galuh. Hormat dan
takzim. Sikap khas seorang peigalan
sejati.
Galuh menatap sekilas. Lalu dengan sikap yang tak
kalah hormat diambilnya selembar lima ribuan yang terselip di antara tapak
tangan lelaki itu. Setelah menaruh uang ke dalam sasanggan [10] Galuh pun berjalan ke tengah arena. Ekor
matanya sempat menangkap acungan dua jari lelaki itu ke arah para pemusik,
tanda meminta lagu Mandung-mandung.
Gesekan biola, petikan panting[11],
pukulan babun[12] dan dengungan gong kembali mengalun. Galuh
menyanyi sambil bergerak penuh kewaspadaan, maklum ia merasa menghadapi seorang
lelaki asing yang belum diketahui sebatas mana takaran kemampuan menarinya.
Firdaus juga bergerak. Melihat gerak tarinya kewaspadaan Galuh turun beberapa
tingkat. Keroyalan lelaki ini ternyata tak sebanding dengan kemampuannya
menari, pikir Galuh, geraknya cumalah gerak dasar yang kasar, sekadar menuruti
irama, jauh dari kedalaman dan sama sekali kehilangan keindahan. Melayani
pasangan macam itu, Galuh ayal-ayalan, bergerak seperti robot yang diprogram
bunyi musik.
Memasuki kuplet kedua, Firdaus tiba-tiba mengubah
langkah menjadi langkah kembang silat yang aneh. Dia meliuk. Mendekat. Meniti irama seraya
mengulurkan ta- ngan kiri untuk menjamah dada Galuh. Bibir Galuh mencibir,
mengejek, tangannya cepat melakukan tangkisan. Sebelum kedua tangan bertemu,
Firdaus menyusup ke sisi Galuh, tangan kanannya terulur. Galuh kaget. Ia pun
segera berupaya menangkis tapi sudah amat terlambat. Seiring hentakan bunyi babun dan bunyi gong, Galuh merasakan
elusan lembut jemari si lelaki di dagunya.
Wajah Galuh panas, merah oleh rasa jengah. Selama
4 tahun menjadi gandut maka ini kali
pertama seorang lelaki berhasil menyentuh bagian tubuh yang dilindungi-nya.
Sementara itu, di tengah seruan-seruan penonton, leher Ning Antih tegak, penasaran melihat anak asuhnya berhasil disentuh
orang, sentuhan yang bukan dikarenakan gandutnya
memberi peluang. Mata Ning Antih jadi
agak menyipit, berusaha mengenali gerak si lelaki.
Di arena, Galuh memusatkan pandang. Si lelaki
kembali mengubah gerak, agak patah namun agresif. Kewaspadaan Galuh kini memang
sudah jauh meningkat tapi hal itu belum cukup jua. Bertepatan bunyi gong Firdaus berhasil lagi menyusup. Dia menum-pukan
berat badannya ke kaki kanan sembari mendoyongkan tubuh dan menjulurkan leher.
Ya, Tuhan! Galuh menggigit bibir. Jarak antara bibirnya dengan bibir lelaki itu
kini tak lebih dari lima jari! Sungguh, kalau Firdaus tak menahan gerak
pastilah bibirnya akan hinggap mengecup bibir sang gandut.
Komentar-komentar layak sensor mengumandang. Gelak
tawa riuh. Ning Antih tidak lagi
duduk santai. Dia berdiri sambil bertolak pinggang.
Kumandang teriakan Ning Antih tiba-tiba membuat suasana arena berubah. Perbawa nama Kayi Sakarti yang diucapkan Ning Antih mengakibatkan mulut penonton
sama terkatup. Mendiang Kayi Sakarti
memang salah satu mitos dalam dunia gandut.
Di masa lalu, orang akan merasa sebuah pertunjukan gandut kurang semarak jika Kayi
Sakarti tak muncul di arena. Selain merupakan penggesek biola jempolan Kayi Sakarti memiliki gerak tari yang
sempurna dan penuh variasi. Langkah kembang silatnya demikian aneh sehingga
bagaimana pun lihainya gandut menghindar
Kayi Sakarti senantiasa berhasil
mencuri ciuman.
“ Engkau Firdaus? “ tanya Ning Antih sambil bertolak pinggang di hadapan lelaki muda itu.
“ Benar, Ning,
lama kita tak jumpa. “ sahut Firdaus sambil menyalami Ning Antih.
Ning Antih terkekeh. Di matanya segera
terbayang seorang bocah berusia 10 tahun yang selalu dibawa Kayi Sakarti gelandangan ke arena-arena gandut di berbagai kampung. Bocah yang
kemudian tumbuh menjadi seorang anak muda, paigalan
gandut yang berpuluh tahun hilang dari bawah sarubung.
“ Anak muda, ayo pupuskan rinduku pada langkah Kayi Sakarti. “ suara Ning Antih kembali mengumandang.
Tangannya memberi tanda ke arah para pemusik. Irama berubah. Lagu Mangandangan mengalun.
Mmhh, Ning
Antih agaknya kepingin melihat caraku mengandang kunang-kunang, pikir
Firdaus. Di lain pihak, Galuh segera membuang rasa jengah. Dia bersiap mengeluarkan
gerak simpanan Ning Antih, gerak imbangan
langkah Kayi Sakarti.
Seluruh penonton
memakukan pandang ke tengah arena, hendak merekam langkah peninggalan tokoh
legendaris dunia gandut itu. Firdaus
mengambil nada di dawai biola lalu mulai menyanyi.
Dimapa akal manimbai lunta
Bagaimana akal
melempar jala
Akar manggis bakulilingan
Akar manggis
berkelilingan
Dimapa akal handak malupa
Bagaimana akal hendak
melupa
Nang hirang manis bakurihingan
Yang hitam manis
bersenyuman
Lirik lagu dan
suara merdu Firdaus entah kenapa membuat hati Galuh berdesir. Desiran itu
memaksa sang kunang-kunang menarik nafas panjang sebelum menganyam kata untuk
membalas nyanyian Firdaus.
Manabang bamban di kampung Ganda
Menebang bemban di kampung Ganda
Pucuk karing dilipat-lipat
Pucuk kering dilipat-lipat
Lamun dandaman lawan adinda
Kalau rindu dengan adinda
Paluk guguling panggil sumangat
Peluk guling panggil semangat
Senyum keduanya terkembang. Bunyi babun menghentak. Mereka bergerak meniti
irama. Menari dalam paduan sempurna, gerak indah dunia gandut yang jarang ditemui. Hakikat Firdaus sekarang adalah hakikat
halang sapah, elang berbulu merah.
Melayang. Menyambar. Hakikat Galuh adalah hakikat hayam alas, ayam liar. Menyusup. Menghindar dengan gemulai.
Kariwaya
ditampur ribut
Ditampur
ribut akar tunjangnya
Kalu
kawa injam salimut
Injam
salimut lawan urangnya
Kariwaya dilanda ribut
Dilanda ribut akar tunjangnya
Kalau bisa pinjam selimut
Pinjam selimut dengan orangnya
Lirik lagu Firdaus yang menggiring orang ke
fantasi erotis itu segera mendapat tanggapan berupa suitan panjang dan tepukan
tangan penonton. Galuh sejenak memikir pantun yang bakal dinyanyikannya untuk
mengimbangi pantun Firdaus.
Burung lapas di higa paring
Ada saikung di bawah tangga
Kakanda bungas kamari guring
Ada bantal muat badua
Burung
lepas di sisi bambu
Ada seekor di bawah tangga
Kakanda tampan kemari tidur
Ada bantal muat berdua
Mendengar itu penonton kembali bersorak dan
mendengungkan komentar tak senonoh. Galuh dan Firdaus tak peduli, terus
bergerak mengitari arena. Menjelang ke ujung lagu, langkah aneh Firdaus muncul.
Melalui langkah segitiga digiringnya Galuh ke tiang tengah pembatas arena.
Kedua lengannya mengembang turun naik, tak memberi peluang bagi sang
kunang-kunang itu untuk menyusup. Galuh pun tak bisa menghindari kandangan
Firdaus.
Maka tepat di akhir lagu Galuh cuma bisa tersandar
di tiang bambu pembatas arena, di antara kedua lengan Firdaus. Wajah mereka rapat, disela udara tipis.
Tatapan mereka bertaut. Sekejap. Dua kejap. Tiga kejap. Berkejap-kejap. Aduh,
begitu bening mata itu, pikir Galuh, bersinar-sinar menyihir hati, membuat
orang merasa ingin berendam di dalamnya.
Firdaus mencium
bau parfum. Harum. Nyaman. Dia pandangi sepasang mata se-teduh tasik di tengah
lembah, hidung yang bangir, rekah bibir yang sensual. Matanya menelusuri leher
Galuh. Wow, leher jenjang berkulit hitam manis terbakar matahari. Pandangannya
turun. Ooo, dada yang ranum. Dan keringat yang mengembun di dahi serta di
puncak hidung Galuh menarikan imaji yang membuat regukan ludah Firdaus terasa
tersekat di kerongkongan.
Galuh akhirnya merasa tak tahan berada di bawah
belai mata lelaki itu. Dia melengos sehingga telinganya kini yang rapat pada
bibir Firdaus.
“ Engkau hutang dua ciuman malam ini. “ bisik
Firdaus.
Galuh kian tersipu. Sebutir keringat menggelincir
dari anak rambut dekat telinga, menetes ke lengan Firdaus. Hangat. Nyaman.
*****
G
|
aluh berganti pakaian. Celana jeans dan
sweter ketat membungkus. Setelah
merapikan jurai rambut panjangnya ia membuka pintu. Di ruang tamu, duduk
Sofyan, bos perusahaan pertambangan batubara yang tadi menanggap kelompok gandutnya. Di hadapan lelaki
berumur 60-an itu, di atas meja, nampak tiga botol bir. Dua botol sudah kosong,
satu botol lagi bersisa seperempat sedang isi cangkir tinggal separo.
Sofyan menatap
lekat, menjadikan lekuk-lekuk tubuh Galuh sebagai santapan lezat matanya. Galuh
sendiri merasa agak rikuh sebab di mata lelaki itu ditangkapnya gelombang
pijar-pijar berahi, pijar yang seakan menanggalkan pakaiannya selapis demi
selapis.
“ Kami hendak pulang….” ucapnya kemudian, memupus
rasa rikuh.
Sofyan tersenyum. Dia berdiri, memasukkan tangan
ke kantong sisi celana, me- ngeluarkan
sebuah amplop dan menyerahkannya pada Galuh.
“ Terima kasih. “ kata Galuh sambil menyambuti
amplop itu.
“ Dari uang di amplop itu seberapa besar bagianmu?
“ tanya Sofyan.
“ Antara dua puluh sampai dua puluh lima ribu. “
sahut Galuh jujur.
Sofyan tersenyum lagi. Tanpa kentara dia mendekat
selangkah.
“ Kamu bisa mendapatkan sepuluh kali lipat jika
kamu mau menginap bersamaku di sini. “ tawarnya. Tatapannya tambah lekat ke
wajah Galuh, ingin menikmati ekspresi sok malu-malu atau sok jual mahal dari
kaum perempuan yang biasa ditemuinya jika tawaran seperti itu terlontar.
Akan halnya Galuh, dadanya menyenak mendengar
ucapan Sofyan, seonggok duri rasanya menggeliat di sana. Dan beraian rasa sakit
membuatnya menggigit bibir. Celakanya, gigitan bibir itu ditafsirkan Sofyan
dalam bentuk lain. Tangan lelaki itu terulur, mengusap pinggul Galuh dan
mencubitnya. Refleks sang kunang-kunang menepis tangan itu lalu menjauhkan diri.
Sofyan ketawa mengakak, merasa menemukan permulaan permainan yang menyenangkan.
“ Barangkali perlu kutambah….” ujarnya kemudian.
Galuh mundur dua tindak. Geliat duri di dalam dada
kini menghasilkan gumpalan kemarahan yang berputaran mencari jalan ke luar.
“ Terima kasih, saya permisi. “ kendati berusaha
melembutkan suara namun ucap-an itu tetaplah terdengar getas.
Tanpa menunggu sahutan dia berbalik, melangkah
bergegas ke luar rumah. Sofyan memandangi sosok kunang-kunang yang menjauh itu.
Tidak selamanya ikan berhasil didapat dengan sekali mengulur pancing, pikirnya.
Dia menyeringai. Mengambil cangkir dan menghirup birnya.
***
Seloka Dua
Kepak Sayap Kunang-kunang
A
|
kankah di sini terbina sebuah istana dengan pintu jendela besar-besar dan
lampu berantukan, bukankah istana di kota yang pernah kulalui dahulu belantara
tiada taranya.16 Kampung Pinang Habang
memang telah mengalami sedikit perubahan. Mulanya kampung di hunjuran
Pegunungan Meratus itu dikenal sebagai kampung kesenian tradisional. Di situ ada dalang wayang kulit yang
kesohor di Kalimantan Selatan. Ada kelompok wayang
gung, kesenian yang biasa menggelar kisah Ramayana. Ada grup Mamanda,
yang biasa “mendirikan” kerajaan di bawah nyiur. Dan, tentu saja, ada gandut.
Kini, kendati berjarak belasan kilometer dari
Kandangan, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Pinang Habang menjadi
kampung yang terbilang besar dan ramai. Berawal dari lewatnya beberapa buldoser
dan eskavator, pembukaan jalan besar
antarkabupaten melalui wilayah pegunungan yang menghubungkan Kabupaten Hulu
Sungai Selatan dengan Kabupaten Kotabaru, serta masuknya perusahaan
pertambangan batubara. Jalanan kemudian beraspal hotmix. Berpuluh-puluh truk
pun hilir-mudik, mengangkut batubara dari pertambangan ke Banjarmasin. Taksi
antarkabupaten bermunculan, taksi pedesaan yang mengubungkan Kandangan –
Loksado—si primadona kawasan wisata Kalimantan Selatan--, meramaikan
lalu-lalang kenderaan. Penduduk Pinang Habang melihat terbukanya sebuah
peluang. Maka di pinggir-pinggir jalan bermunculan warung makanan dan minuman,
menawarkan wadah istirahat sejenak pada para sopir dan penumpang sebelum
menempuh perjalanan panjang.
Di antara
warung-warung itu ada sebuah warung yang paling sering disinggahi para sopir.
Selain makanannya enak dan murah meriah, ada pesona lain yang menjadi daya
magnit, yaitu sang pemilik, gadis bernama Galuh Ratnasari, gandut tercantik kampung Pinang Habang.
Siang itu,
warung lagi sepi. Maklum sebagian besar sopir truk tengah berada di perjalanan,
sedang sebagian yang lain biasanya memilih tidur di base camp sementara menunggu truk dimuati. Jari-jari Galuh lincah
menganyam ketupat. Tak jauh dari sisinya Ning Antih menyandar ke
dinding sambil menikmati rokok.
“ Tadi malam
engkau nampak kesal ketika ke luar dari rumah Sofyan. “
“ Bos batubara itu menganggapku sebagai
seorang pelacur. “ sahut Galuh.
“ Oo…” suara Ning Antih pendek dan ringan.
Baginya, hal itu juga hal biasa. Gandut memang belum bisa sepenuhnya
lepas dari sejarah. Dulu, sekitar tahun 1850, ketika gandut Komalasari disunting menjadi permaisuri oleh Sultan Adam,
sang penguasa Kerajaan Banjar, gandut menaik
pamornya dan menikmati kejayaan selama lebih satu abad. Seiring dengan itu
citra hitam juga melumur. Sebagian gandut
berusaha menangguk kemakmuran lewat jalan pintas. Mereka layani fantasi erotis lelaki, terengah di
bilik pelacuran terselubung. Maka jadilah kesenian rakyat Kalimantan Selatan
itu sebagai sebuah pertunjukan yang dibumbui minuman keras, perjudian,
perkelahian, dan seks yang menghanyutkan. Garis batas antara kesenian dan pelacuran
sudah tak jelas lagi. Hukum masyarakat kemudian mengonotasikan gandut ke arah kemaksiatan, identik
dengan kemesuman. Citra hitam masa lalu itulah yang belum sepenuhnya berhasil
ditepis, tetap menjuntai ke masa kini. Banyak orang yang menganggap seorang gandut merupakan wanita yang bisa
dibawa ke hotel-hotel, wanita yang gampang diajak ke tempat-tempat
“pembantaian”.
“ Jika anggapan seperti itu terus diambil hati
maka kemarahan tak akan habis-habisnya. “ ucap Ning Antih kemudian. “ Dunia gandut, Luh, adalah dunia yang semata-mata
berisi senyuman, walau pun kadang senyum itu merupakan seringai luka. Apabila
senyum hilang maka hilanglah pesona. Dan hilangnya pesona sama artinya dengan hilangnya
rezeki. Orang tidak akan menanggap gandut
bermata kuyu berwajah beku. Karena itu hadapilah semua cerca dan nista
dengan senyuman. Orang boleh menganggap
kita nista asal kita tetap terhormat di mata Tuhan. Camkan ini, agar engkau
bisa menjadi gandut yang baik
sebagaimana Ibumu dulu. “
Mata Galuh menerawang. Ucapan Ning Antih itu mengingatkannya pada sang ibu. Serasa terngiang lagi
ucapan ibunya yang dengan sabar menampung keluhnya ketika menerima ejekan dan
hinaan teman-teman sekolah dulu, ejekan dan hinaan karena ia ditakdirkan
menjadi anak seorang gandut.
“ Almarhumah Ibu dulu pernah mengatakan hal yang
sama. “ desah Galuh kemudian.
“ Yaahh…” Ning Antih membuang nafas berat. “ Ibumu
memang merupakan gandut terbaik pada
masanya. Kupikir kesalahannya cuma satu… “ mata Ning Antih menerawang, membayangkan lagi kiprahnya dulu bersama ibu
Galuh, murid terbaiknya. “ Wajah Ibumu yang cantik, senyumnya yang berlesung
pipit, sebenarnya bisa membuatnya tenang menghadapi hari tua. Waktu itu banyak
orang kaya dan orang berpangkat yang tergila-gila padanya. Tapi dengan alasan
cinta…cinta…huh…Ibumu justru memilih Ayahmu, petani yang cuma punya beberapa
petak sawah. Akibatnya, kepontangpantingan kehidupanlah yang diwariskan pada
kalian. “
Galuh diam. Ini
bukan kali pertama Ning Antih seperti
menyesali pilihan ibunya terhadap ayahnya dulu. Galuh mengakui bahwa ibunya
bukanlah seorang wanita sempurna, tapi baginya ibunya adalah wanita yang luar
biasa. Di samping menjadi gandut
ibunya juga seorang petani yang rajin, membantu ayahnya merawat sawah dan
kebun. Selain itu kepandaian ibunya memasak dan membuat kue-kue amat membantu
menegakkan ekonomi keluarga, paling tidak dari hasil berjualan makanan dan kue
itulah dia dan adiknya bisa sekolah.
Ayahnya juga
merupakan seorang pekerja keras, pejuang kehidupan yang tak kenal lelah. Dulu,
ayahnya juga berjuang untuk republik tercinta ini, menjadi anggota ALRI Divisi
IV Pertahanan Kalimantan di bawah pimpinan Hassan Basry—Bapak Geril-ya Kalimantan--,
menghadapi hujan peluru Belanda untuk mengembalikan Kalimantan menjadi wilayah
negara kesatuan RI yang karena Persetujuan Linggarjati berada di luar status de facto RI. Setelah cita-cita itu
tercapai, pemerintah RI mengambil kebijakan menekan jumlah tentara dengan jalan
mengembalikan sebagian gerilyawan ke masyarakat. Ayahnya termasuk orang yang
didemobilisasikan, mendapat pesangon 50 rupiah, tidak diakui sebagai veteran
dan karenanya tidak berhak menerima uang pensiun.
Perlakuan itu
tidak membuat ayahnya kecewa. Sementara sebagian rekan seperjuangan yang tidak
puas melakukan pemberontakan melalui gerombolan Kesatuan Rakyat yang Tertindas di bawah pimpinan Ibnu Hajar,
ayahnya kembali ke kampung. Kembali menggarap sawah, memelihara kebun,
menangkap ikan. Lalu kawin dengan gandut tercantik
kampung Pinang Habang. Beberapa tahun kemudian lahirlah dirinya, disusul
adiknya, Yazid dan Hayati. Empat tahun setelah lahir Hayati, ayahnya meninggal.
“ Karena itu
engkau jangan mengulangi kesalahan yang sama. “ suara Ning Antih kembali memasuki gendang telinga Galuh. “ Terlebih di
masa sekarang di mana harta, pangkat dan gelar, menjadi ukuran kebahagiaan dan
keberhasilan seseorang. “
Galuh tak
menanggapi. Jauh di dalam hati ia yakin bahwa ibunya tidaklah salah sewaktu
memilih ayahnya. Kalau kehidupan
ibunya kini seperti terulang pada kehidup-annya maka itu semata-mata hanyalah
soal nasib. Nasib kadang memang enggan berbagi. Tidak setiap anak manusia punya
kehidupan lebih cerah dari pendahulunya.
“ Si Sofyan itu dulu anak seorang wedana. Dia juga
tergila-gila pada Ibumu. Di mana pun kami ditanggap orang, dia selalu hadir.
Sayang dia tak bisa menari sehingga berkali-kali membujukku dan Ibumu agar
berkenan melayaninya manunggul. “
Alis Galuh berkerut. Manunggul adalah salah satu
repertoar gandut yang sudah lama tak
pernah digelar lagi. Pada repertoar itu lelaki masuk arena dengan berselubung
kain sarung sehingga tak terlihat wajahnya, duduk di kursi yang telah
disediakan sebelumnya, lalu sang gandut menyanyi
sambil duduk di pangkuan si lelaki.
“ Ibu pernah melayaninya? “
“ Sekali. Cuma sekali, lantaran merasa iba
terhadapnya. “ ujar Ning Antih. “ Perlakuan
istimewa itu dianggapnya sebagai pernyataan cinta maka dia datang ke sini melamar
Ibumu. Lamaran itu ditolak Ibumu dengan halus. “
“ Dia marah? Dendam? “
“ Tentu saja. Begitu mendengar Ibumu mau kawin,
dia menantang Ayahmu berkelahi. Mulanya Ayahmu tak menanggapi tapi karena
ditantang terus maka perkelahian akhirnya tak dapat dihindarkan. Kalau tidak
karena Kayi Sakarti yang kebetulan
bertamu ke rumahku, mampus si Sofyan itu. Keris Naga Runting Ayahmu sudah
hampir menancap di leher Sofyan, untung
saja Kayi Sakarti berhasil menepis
keris itu dan melerai mereka. “
“ Mmhh, barangkali dia melihat bayang-bayang Ibu
padaku sehingga berniat membalas dendam dengan jalan berbuat tak senonoh. “
“ Jangan cepat berburuk sangka, Luh, dia sudah
cukup tua. “ sergah Ning Antih.
“ Ya, tua-tua keladi. Para sopir sering berceloteh
tentang perempuan-perempuan yang dibawa Pak Sofyan menginap di base camp. “ sahut Galuh cepat.
“ Kalau begitu engkau perlu mengatur langkah
pengamanan. “
“ Caranya? “
“ Sederhana saja, cari suami…. “
“ Ah, Ning!
“
Ning
Antih terkekeh. “ Cucu si Sakarti tadi malam nampaknya
boleh juga, Luh. “ ujarnya kemudian.
Galuh cemberut, tapi hatinya secara aneh berdesir.
Dan desiran itu kian keras ketika sebuah truk parkir, memunculkan wajah lelaki
itu. Firdaus. Penuh hormat dia menyalami Ning
Antih.
“ Kata Kayi Sakarti
dulu engkau kuliah di Banjarbaru. “
“ Benar, Ning.
“
“ Sekolah apa? “
“ Pertanian. “
“ Selesai? “
“ Alhamdulillah, selesai , empat tahun yang lalu.
“
“ Woow, kalau begitu tukang insinyur macam si Doel
kendati jenisnya lain. “ Galuh dengan ramah menyusup ke dalam pembicaraan. “
Mau minum apa? “ tawarnya.
“ Teh es…”
“ Makan? “
“ Nanti…” sahut Firdaus seraya menyulut rokok.
“ Kalau sudah tukang insinyur kenapa sekarang jadi
sopir truk? “ tanya Ning Antih.
“ Zaman sekarang cari kerjaan susah, Ning. Si Doel kan juga tidak langsung dapat kerja kantoran setelah selesai
sekolah. “
“ Sudah berapa tahun menyopir? “ ujar Galuh sambil
menghidangkan teh es.
“ Yaaa…empat tahun itu. Dulu aku ditempatkan pada
pertambangan di Kabupaten Tabalong, baru empat hari ini dipindahkan ke sini. “
“ Sekarang tinggal di mana? “ kali ini pertanyaan
datang dari Ning Antih. “ Masih di
Kampung Panggumbaan? “
“ Benar, Ning,
Almarhum Kayi mewariskan rumah itu
untukku. “ sahut Firdaus setelah menghirup minumannya.
“ Daus, ada satu hal yang ingin kupesankan padamu.
“ ujar Ning Antih dengan wajah dan nada yang amat serius. “ Engkau
hendaknya lebih berhati-hati kalau melewati daerah Pakajangan. “
“ Kenapa, Ning?
Daerah itu angker? “
“ Apa Kayi Sakarti
dulu tak pernah bercerita tentang daerah itu ketika memboncengmu di motor
bututnya? “
Firdaus menggelengkan kepala. Dia mencoba
membayangkan daerah itu. Pakajangan boleh dikata berada di pertengahan antara
Pinang Habang – Kandangan. Lintasan di situ memang menuntut kehati-hatian
ekstra, menurun dan mendaki dengan beberapa tikungan tajam sementara di akhir
turunan dan awal pendakian berikutnya ada sebuah jembatan yang sungainya dihuni
batu-batu besar.
“ Daerah pinggiran sungai, dekat jembatan, konon
dijadikan tentara Jepang sebagai wadah penyembelihan manusia. Menurut cerita,
hampir ratusan orang yang kepalanya penggal oleh tebasan samurai. Pada waktu-waktu tertentu, terutama saat
senja kuning atau bulan mati, di situ muncul hantu-hantu tanpa kepala. “
“ Wah…”
“ Memang wah, karenanya berhati-hatilah kalau
lewat di sana. “
“ Hantu-hantu itu konon hendak membalas dendam
pada Jepang….” Galuh menambahkan. “ Karena Jepang sudah tak ada mungkin saja
mereka mengalihkan dendamnya pada produk Jepang, termasuk trukmu itu. “
Firdaus ketawa. Masak tak ada Jepang maka mobil produk Jepang yang jadi sasaran.
Bukankah itu takhyul yang berlebihan?
“ Engkau tidak percaya, ya? “sergah Galuh karena
merasa ditertawakan ucapannya. “ Sudah banyak terjadi kecelakaan di situ,
rata-rata korbannya mati. Semua kenderaan yang celaka itu merupakan produk
Jepang. “
Mungkin itu ada benarnya, pikir Firdaus, tapi
tentu ada juga salahnya. Mobil atau motor yang ada di wilayah ini hampir
semuanya produk Jepang, persentase produk Amerika, Perancis atau Korea amatlah
kecil, nyaris bisa dinisbikan.
“ Bagaimana kalau nanti merk truk itu kuganti
dengan merk yang bukan keluaran Jepang? “ katanya kemudian.
Galuh tahu kalau dia diajuk maka senyumnya mekar.
Dan pesona jualah yang muncul dari senyum itu ketika menerpa mata Firdaus. Maka
dia mengerjap, seakan merekam pesona itu ke dalam otaknya.
Sebuah taksi pedesaan berhenti di depan warung,
menurunkan penumpang. Yazid dan Hayati ke luar dari taksi, membayar ongkos lalu
melangkah ke rumah yang letaknya sedikit di belakang warung.
“ Itu adikmu? “
“ He-eh. Yang lelaki, Yazid, kelas tiga Madrasah
Aliyah. Yang wanita, Hayati, kelas satu SMEA. “
“ Mereka sekolah di Kandangan? “
“ He-eh. “
“ Kalau kebetulan aku sampai di Kandangan
menjelang jam pulang sekolah akan kutunggu mereka di terminal. “
“ Hemm, angkutan gratis? “ ajuk Galuh.
“ Ya. Siapa tahu aku bisa makan siang gratis juga
di sini. “ balas Firdaus.
“ Engkau berminat?
“ Ning Antih menyela.
“ Berminat apa, Ning? “
“ Mendapatkan
yang serba gratis di sini? “
Firdaus ketawa.
“ Batang kenari, Ning, kembangnya
layu. Layu tiada disari kumbang.
Datang ke mari, Ning, merasa malu.
Malu tiada disapa orang. “ ujarnya kemudian merangkai pantun.
“ Perkutut, Daus, burung perkutut. Burung perkutut
bersabung buntut. Kalau ada, Daus, jodoh menuntut. Orang tua bisa mematut. “
sambut Ning Antih.
Galuh cemberut. “ Sulit pedati jalan di pinggir.
Batang pisang banyak getahnya. Sakit hati mendengar sindir. Orang bujang banyak
tingkahnya. “
Ning
Antih terkekeh. Firdaus
tersenyum dan menghabiskan teh-esnya. Ekor mata Galuh kemudian mengiringi
langkah lelaki itu ke arah masjid yang berjarak tiga rumah dari rumah Ning Antih, tak jauh dari warung. Ning Antih mendehem. Galuh pun tersipu.
***
W
|
arung ramai oleh beragam celoteh. Sofyan
ada di situ, mendominasi pembicaraan. Kentara benar lagak dan cakapnya untuk
menarik perhatian Galuh. Firdaus memesan makanan, duduk di sudut.
“ Daus, aku tak mengira kalau engkau cucu Kayi Sakarti. “ kata Sofyan. “ tarian-mu
tadi malam bagus sekali, mengingatkanku pada tarian Kayi Sakarti dengan Ibunya Galuh dahulu. “
“ Rupanya Bapak senang juga nonton gandut. “ sahut Firdaus.
“ Aku ini boleh dikata merupakan pecinta gandut tiga generasi. “ Sofyan meng-acungkan
tiga jari tangan kanannya. “ Aku sudah hadir di bawah sarubung ketika Ning Antih
masih menjadi gandut. Lalu angkatan
Jumantan, Ibunya Galuh ini. Sampai pada angkatan Galuh sekarang. Tiga generasikan? “
“ Hebaaat… “ Fahrul, salah seorang sopir truk,
menyahut. “ Kenapa Bapak tak turun ke arena tadi malam? “
“ Aku tak bisa menari, Rul. Seorang pecinta gandut tidak mesti pandai menarikan? “
Orang-orang membenarkan. Di sudut warung, Firdaus
mulai menyantap makanannya.
“ Nanti pada setiap purnama kita gelar gandut di base camp. “ kata Sofyan lagi.
“ Benar, Pak? “ kejar Fahrul.
“ Benar, tapi ada syaratnya. “
“ Apa, Pak? “ seorang sopir lain angkat suara.
“ Aku diperkenankan manunggul. Maukan, Luh? “
Galuh sambil tersenyum menggelengkan kepala.
“ Kenapa tidak? Kujamin cuma aku saja yang manunggul, orang lain tak boleh. “
“ Tidak, Pak. Hal itu akan merusak dunia gandut. “ sahut Galuh.
“ Kita tidak merusak. Kita cuma mengembalikan manunggul ke bawah sarubung. Sedikit banyak gandut
memerlukan itu, sebagai penglaris. Kalau tidak gandut bisa habis dimakannya orkes dangdut atau karaoke. “
Galuh cuma tersenyum, tak menanggapi lagi. Sofyan
tahu kalau pancingannya belum juga berhasil maka ia pura-pura melihat jam
tangan.
“ Waah…keasyikan bicara rupanya. “ katanya
kemudian. “ Aku harus ketemu Bupati lepas Asyar nanti. “
Dia mencabut dompetnya dari kantong belakang
celana, mengeluarkan lembaran sepuluh ribu.
“ Pikirkan soal manunggul itu. “ katanya. “ Kembaliannya simpan saja. “ lanjutnya
sambil menyerah uang.
“ Terima kasih, Pak. “
“ Kembali kasih. “ sahut Sofyan sambil mengakak
meninggalkan warung.
Galuh memintaskan pandang ke arah Firdaus. Lelaki
itu cuma tersenyum seraya mengedipkan sebelah matanya.
*
Seloka Tiga
Damba Kunang-kunang
D
|
i pinggir mimpiku selalu terbaring sunyi yang dingin, bunga di taman
mengabut kenangan warna di depan, dan lihatlah, kekasih, ruhku menggigil
memanggilmu dalam jerit dalam dekapan luka dan kegilaan.17 Galuh menghela nafas panjang, perlahan
memasukkan beras ke anyaman ketupat penghabisan.
Tak jauh darinya, Hayati diam-diam merasa heran
kenapa Galuh seperti tak bersemangat menanggapi canda-candanya. Ini tidak
biasa, pikirnya. Biasanya Galuh akan membalas canda dengan canda pula sehingga
ketawa mereka berderai. Atau mengacak-acak rambutnya, menggelitik pinggangnya
sampai ia meminta ampun karena kegelian. Tapi sekarang? Anak SMEA kelas 1 itu
sejenak memandang ke wajah kakaknya. Di situ dia melihat selapis rona murung
menggayut, tipis, serupa arakan awan yang mengarah ke mendung. Dia berusaha
mencari penyebabnya tapi tak jua menemukan. Dan keheranannya bertambah manakala
Galuh membuang nafas berat yang terdengar tersendat lalu melangkah masuk kamar.
Tentu saja gadis remaja itu tak memahami
kemurungan yang menggayuti kakaknya. Kemurungan yang telah bermula sejak lima
hari lalu. Kemurungan yang bersumber dari kegelisahan. Dan kegelisahan itu
pulalah yang kini membuat mata Galuh nyalang ke langit-langit kelambu.
Berapa harikah sudah ia tak muncul, pikir Galuh.
Sehari? Dua hari? Ah, tepatnya lima hari dengan hari ini? Ada apa dengannya?
Kecelakaan? Rasanya tidak, sebab jika terjadi kecelakaan pada truk pengangkut
batubara tentulah para sopir yang lain akan saling menceritakannya. Rusakkah
truknya? Atau lagi sakitkah dia? Kemungkinan ini lebih besar. Puluhan jam duduk
di belakang kemudi, berkonsentrasi di jalanan yang semakin dipadati kenderaan,
tentulah amat menguras tenaga. Belum lagi soal angin, terutama angin malam yang
menerpa. Lalu, jika dia sakit, siapakah yang merawatnya? Bukankah dia tinggal
sendiri di rumah Almarhum Kayi
Sakarti di Pagumbaan sana?
Pertanyaan-pertanyaan dan beragam kemungkinan yang
tak berjawab itu membuat kegelisahan kian buas mendera. Maka dipadamkannya lampu
dan dicobanya memejamkan mata. Di dalam gelap, mata batin ternyata menjadi
lebih awas. Dia bisa melihat daun-daun waktu menggeliat, hari-hari hilang pun
perlahan muncul lagi, kadang lengkap dengan narasinya.
Tiap hari ketemu, tiap hari melayaninya makan dan
minum, berpuluh kali menari bersama di arena gandut, berbincang dan berbincang, lelaki itu rasanya semakin menelusup
ke lekuk dada, menggelitik kesunyian daun waru yang ada di situ. Ada dua peristiwa
yang amat membekas di hati. Dan dua peristiwa itulah yang kemudian meleretkan
gambar, serupa film yang diputar secara slow
motion.
Peristiwa pertama terjadi di arena gandut di kampung Barikin. Saat itu ia
menari bersama Firdaus dalam gerak Mandung-mandung.
Menjelang akhir lagu ia kembali tak kuasa menandingi gerak warisan Kayi Sakarti itu. Leher Firdaus terjulur
dengan bibir mengarah ke pipinya. Biasanya jika ia sudah tak mampu lagi
menghindar Firdaus akan menahan gerak sehingga ciuman bisa dihindari. Kali ini
tidak, Firdaus tak menahan gerak sehingga pipinya menerima ciuman itu. Ciuman
pertama di masa dewasanya. Ciuman yang jauh di dalam hati memang diharapkan.
Saat ia pura-pura marah di perjalanan pulang,
Firdaus malah menggodanya.
“ Aku cuma mengambil hutang, bunganya sudah
terlalu banyak, nanti tak terbayar olehmu. “ kata Firdaus.
“ Tapi di tengah orang sebanyak itu….”
“ Apa engkau ingin membayar hutang di tempat yang
tak ada orangnya? “
Galuh tersipu, tak menyangka kalau jawaban Firdaus
seperti itu.
“ Di tempat yang tak ada orangnya itu justru
berbahaya, Luh. Seluruh bunga hutang bisa-bisa meluruk minta diambil semua. “
Galuh kian tersipu. Untuk menutup ketersipuan itu
ia menggerakkan tangan, mencubit paha Firdaus. Firdaus yang tengah menyetir
terpekik halus sehingga Ning Antih
yang tertidur di sisi mereka jadi terbangun.
“ Ada apa? “ tanya Ning Antih.
“ Anu Ning…anu…nyamuk
menggigit, sakit sekali. “ sahut Firdaus agak gagap.
Galuh menyekap tawa dan diam-diam mencubit lagi,
lebih keras dari tadi. Firdaus terpaksa menahan sakit sebab Ning Antih tengah menyalakan rokoknya.
Peristiwa kedua justru terjadi di malam sebelum
lelaki itu menghilang. Warung sepi sebab di kampung sebelah tengah ada
pertunjukan karaoke dangdut, pertunjukan yang biasanya semistriptease lantaran
penyanyi wanitanya berbusana ketat dan minim serta bergoyang dengan amat
erotik.
Di belakang meja warung, sambil menyandar ke
dinding, Firdaus menggesek biola. Kelihayan menggesek biola yang juga diwarisi
dari Kayi Sakarti itu terdengar amat
memukau. Irama Mangandangan yang
mengalun menarik Galuh untuk melantunkan suara.
Bintang
tujuh tatinggal anam
Bintang
tujuh tertinggal enam
Karam di laut si Majapahit
Karam
di laut si Majapahit
Garing tubuh maarit dandam
Sakit
badan menahan rindu
Barang dimakan barasa pahit
Barang dimakan berasa pahit
Firdaus ganti melagukan pantun.
Lamun
katutut banih kancana
Kalau perkutut padi kencana
Kami
tugal di hulu riam
Kami tugal di hulu riam
Lamun
patut bicara kana
Kalau patut bicara kena
Kahandak
hati umpat badiam
Kehendak hati ikut tinggal bersama
Pernyataan cintakah itu? Hati Galuh Ratnasari
gemuruh, serasa ada yang meng-aduk-aduk endapan di lubuk paling tersembunyi.
Apakah pantunnya itu cuma sekadar menyesuaikan dengan pantunku tadi? Galuh
menghirup nafas dalam-dalam untuk menenteramkan dadanya sebelum menyanyi.
Batang
sulasih badahan talu
Batang sulasih berdahan tiga
Patah
sadahan dibabat kain
Patah sedahan dibalut kain
Lamunlah
kasih lawan badanku
Kalaulah kasih dengan badanku
Jangan
dikambar lawan nang lain
Jangan dikembar dengan yang lain.
Lalu biola sunyi suara. Angin berkesiur dalam
sunyi daun. Purnama lingsir dalam sunyi langit. Sunyi biola, sunyi
suara, sunyi angin, sunyi daun, sunyi purnama, sunyi la- ngit, bersekutu ke
dalam dua pasang mata yang saling tatap. Getaran hawa pun tak lagi terasa. Yang
kemudian terasa oleh Galuh adalah usapan lembut di wajahnya, di helai-helai
rambutnya.
“ Daus….” suara Galuh antara ada dan tiada.
Lalu dia melenguh saat merasakan rambatan lunak di
bibirnya. Sekecup. Lembut. Serasa agar-agar. Sekecup. Hangat. Serasa air
suam kuku. Matanya pun memejam, membiarkan rasa agar-agar dan air suam kuku itu
memilin.
Dan sekarang
lelaki itu menghilang. Lima
hari sudah tak nampak sosok ba-
yangnya. Ke mana dia? Apa yang terjadi dengannya? Galuh memiringkan
badan, memeluk guling. Berusaha mengusir kegelisahan seraya menjangkaui
kepulasan yang manis.
*****
A
|
pabila seorang wanita meletakkan seorang lelaki di pikir-annya
dengan kedekatan yang nyaris sempurna, sementara dia sendiri tidak mengetahui
apakah dirinya juga diletakkan oleh lelaki itu pada tempat yang sama, garis
batas antara kenikmatan dan kegelisahan menjadi tak jelas lagi. Yang satu tak bisa meniadakan yang lain. Yang lain
tak kuasa menghapus yang satu. Begitu pulalah halnya Galuh Ratnasari.
Ada kenikmatan yang aneh ketika Firdaus muncul di
warungnya senja itu. Kenikmatan, karena rasa kangen yang selama ini tertambat
terasa melesat bagai kuda liar menemukan hamparan padang berumput hijau.
Seiring dengan itu, kegelisahan juga diam-diam meruyak lantaran lelaki itu nampak agak murung.
“ Apa trukmu rusak? “ tanya Galuh sambil menyeduh
kopi.
“ Tidak. Kenapa? “
“ Lima hari engkau tak muncul. “
Lima hari? Jadi dia menghitungnya, pikir Firdaus
sambil menyambut sodoran cangkir kopi.
“ Ke mana saja selama itu? “ Galuh bertanya
lagi.
“ Cuma di rumah.
“
“ Tidak bekerja?
“
Firdaus menyulut
rokok. Setelah menghembuskan asapnya dia berkata pelan.
“ Aku kena skor Pak Sofyan, tak boleh kerja
selama lima hari. “
Kening Galuh berkerinyit.
“ Engkau tahu sebabnya? “
“ Tidak. Tapi…teman-teman mengatakan… karena ada
yang melaporkan bah-wa… aku menciummu waktu bagandut
di Barikin dulu. “ suara Firdaus agak patah.
Galuh kaget.
Sofyan bertindak seperti itu?
“
Sebenarnya….ada hubungan apa antara engkau dengan Pak Sofyan? “
“ Tidak ada apa-apa. “ sahut Galuh cepat.
“ Sungguh? “
Galuh mengangguk tegas. Dan dia melihat senyum di
wajah Firdaus, senyum yang seperti matahari mengusir saputan awan mendung.
“ Kalau begitu soalnya cumalah kecemburuan. “ kata
Firdaus setelah menghirup kopinya.
“ Nampaknya begitu. Dia memang beberapa kali
berusaha mengajakku naik ranjang. “ sahut Galuh jujur.
Setelah itu pembicaraan terus bersambut. Dari
kalimat ke kalimat, dari ucapan ke ucapan, Galuh tiba-tiba merasakan lagi
gejolak kegelisahan lantaran pembicaraan lelaki itu mulai menyentuhi lembaran
kehidupannya, bernada menyelidik, bagai seorang hakim yang tengah mencari pembenaran
bagi setiap tindakan.
Setelah berputar-putar kesana-kemari Firdaus
kemudian menyodorkan sebuah pertanyaan yang membuat hati Galuh menggelombang.
“ Kudengar engkau sebenarnya seorang lulusan SPG.18 Benarkah itu? “
“ Ya. Lulus enam tahun yang lalu. “
“ Dalam rentang waktu itu seharusnya engkau sudah
berdiri di depan kelas. “
Gerakan tangan Galuh yang tengah menganyam ketupat
terhenti lantaran dia melihat lagi sekuntum harapan yang telah membusuk di
kubangan waktu.
“ Aku juga mulanya mengira begitu. “ sahutnya
kemudian, nyaris tanpa aksentuasi. “ Tapi hidup memang berada di luar wilayah
kemestian. Sesuatu yang dihindari kadang tiba-tiba menjerat tanpa disadari,
sebagaimana sesuatu yang dikejar lepas begitu saja padahal sudah tersentuh
tangan. “
Firdaus membuang puntung rokok dan menggantinya
dengan batang yang baru. Dari balik asap dia pandangi wajah Galuh.
“ Ucapanmu seperti sebuah filsafat. “ katanya.
Galuh tak bisa menangkap apakah ucapan itu
bermaksud memuji atau mengejek. Dia menunggu kelanjutan ucapan yang seperti mengambang itu.
“ Dari mana engkau dapatkan kata-kata itu, Luh? “
“ Dari kehidupan yang kususuri…”
“ Rentangan kehidupan macam apa? “ Firdaus
menukas. “ Rentangan kehidupan yang menyia-nyiakan ijazah? Yang bersusah payah
mendapatkan ijazah hanya untuk menjadi makanan rayap dan kecoa? “
Kening Galuh berkerut. Kata-kata itu membuat ia
tersengat. Astaga, pikirnya, sesederhana itukah lelaki ini memandang hidup dan
kehidupan? Apakah dunia kampus telah menjadikan dirinya seorang pemimpi yang
dengan sekali membalik buku sudah bisa menaklukkan seringai taring-taring
kehidupan? Ataukah cakrawala kemungkinannya telah tereduksi sedemikian rupa sehingga
tak mengerti akan adanya tangan-tangan berdebu yang menjangkau untuk segenggam
tapi selalu luput menjemba? Tidakkah dia juga harusnya bercermin pada dirinya
sendiri, seorang sarjana pertanian yang
kini hidup sebagai sopir truk?
“ Dunia, Daus, sepertinya menempatkanku dalam
suatu hubungan yang tak ramah sehingga tak membolehkanku memasuki padang
kehidupan melalui gerbangnya yang indah. “ kata Galuh kemudian.
Andai saat berucap itu Galuh memandang ke wajah
Firdaus pastilah dia akan meredakan sengatan di hatinya, sebab di bibir lelaki
itu sekilas muncul sebuah senyum dikulum. Senyum yang muncul karena merasa
berhasil memancing emosi Galuh untuk mengungkai kedirian.
“ Setiap orang kupikir punya gerbang yang cerah,
tinggal soal waktu dan kesempatan serta cara memanfaatkan kesempatan itu. “
Firdaus sengaja mencari dalih yang bertolak belakang agar dapat menjarah lebih
jauh.
“ Tidak setiap
orang, Daus, tidak setiap orang. “ sahut Galuh cepat.
Dia meletakkan
anyaman ketupat kemudian menaruh tangannya bertelekan ke meja warung, persis
seorang guru yang tengah menghadapi muridnya.
“ Baru tiga
bulan kugenggam ijazah, Mama meninggal. Warisan untukku cumalah sebuah rumah,
beberapa petak sawah, Yazid dan Hayati, serta beberapa perhiasan. Saat itu aku
tetap optimis dengan kehidupanku sebab kupikir syaratnya cuma pendidikan.
Tetapi dunia ternyata menempatkan banyak pos penjagaan. Dengan ijazahku aku
boleh saja lolos dari satu pos namun kesulitan lain menghadang di pos
berikutnya.
“ Ada pos kesempatan di mana ribuan orang
berebutan menjangkau-jangkaukan tangan sambil berharap dijemba malaikat. Ada
pos yang menetapkan bea masuk sekian juta. Ada yang memberi syarat harus punya
garis keturunan langsung mau pun tidak langsung dengan Bapak Anu atau Ibu Anu.
Ada pula yang mengatakan bahwa ijazahku tak mereka perlukan, bahwa tubuhkulah
ijazah yang mereka inginkan.
“ Dalam berebut kesempatan aku senantiasa
terdepak, ditindih orang lain atau terkena sikut. Uang sekian juta jelas aku
tak punya, jauh pula dari garis keturunan Bapak Anu Ibu Anu. Menyerahkan tubuh
untuk pendamping ijazah aku tak mau. “
Galuh menarik nafas panjang, membiarkan sunyi
lewat beberapa ketika.
“ Maka tak ada pilihan lain, Daus, aku harus
memasuki padang kehidupan melalui cara yang telah diwariskan padaku. Bertani,
berkebun, membuka warung. Masih belum cukup juga hasilnya, sementara
keterampilan yang kumiliki cuma tinggal menjadi gandut. Kuterjunilah dunia itu sebagai penambah nafkah. “
Entah kenapa setelah mengucapkan semua itu Galuh
merasa kegelisahan yang menindihnya jadi sirna. Di lihatnya mata Firdaus
berketap-ketip. Mungkin karena “pembelaan”nya menyentuh hati, mungkin pula
karena terpaan asap rokok yang menerjangi mata.
“ Apakah engkau tak merasa tertekan oleh penilaian
orang-orang yang bisanya cuma memandang gandut
dari sisi jeleknya saja? “ suara Firdaus masih seperti tadi, datar, tak
jelas apa nadanya.
“ Amat tertekan sebenarnya. Aku sangat ingin
berkisar tapi jika hal itu kulakukan maka kehidupan adikku akan lebih
menyakitkan. Maka aku pun tak lagi berpikir tentang diriku, yang kupikirkan
cumalah kehidupan Yazid dan Hayati. “
Sunyi lagi. Firdaus kedengaran menghela nafas
berat kemudian membuat lingkaran-lingkaran imajinatif dengan kepulan asap
rokoknya.
“ Apa engkau yakin dengan menjadi gandut akan bisa mengubah kehidupan? “
“ Mengubah kehidupan? “ ulang Galuh seraya
melayangkan pandang ke kejauhan. “ Itu istilah mekanis, Daus, seakan-akan hidup
adalah seperangkat mesin sehingga dengan mengutak-atik komponennya orang bisa
mengubahnya menjadi ini-itu atau mengubah fungsinya menjadi begini-begitu.
Tidak, Daus. Bagiku hidup membentuk pusat keadaan yang tak dapat ditentukan
sehingga tak dapat pula dipasangi istilah-istilah mekanis. “ Galuh menghadapkan
lagi wajahnya ke arah Firdaus. “ Yang bisa kulakukan adalah berusaha tanpa
terlalu banyak berharap. “
Firdaus tercenung. Lama. Baginya, ucapan-ucapan
Galuh yang mengungkai kedirian itu menimbulkan gaung tersendiri. Perlahan
sebuah kesedihan aneh menjalar lantaran ia terpaksa berdialog dengan
hari-harinya yang telah lewat. Lembar-lembar masa lalunya tersibak kembali,
menari-nari di hadapan mata seperti gambar-gambar yang dipantulkan cermin
retak. Di sana dia juga melihat adanya sepasang tangan berdebu yang menjangkau
ke arah tunas-tunas hidup dan nasib.
“ Keadaanmu agaknya tak jauh berbeda denganku,
Luh…. “ entah kenapa Firdaus kepingin memampangkan cermin retak masa lalu itu
kepada Galuh. Barangkali karena dia merasa ada kesamaan nasib, barangkali juga
karena pengakuan Galuh membuatnya jadi sentimental.
“ Sebenarnya aku bukan cucu Kayi Sakarti…maksudku bukan cucu dalam arti hubungan darah. “
Kening Galuh berkerut mendengar pengakuan itu. Dia
kemudian menopangkan tangan ke dagu, menunggu kelanjutan ucapan Firdaus.
“ Ketika aku berumur enam bulan, aku ditinggalkan
Ibuku. Ibuku lari dengan seorang lelaki, konon kekasihnya di masa lalu. Agaknya
perkawinan dengan Ayah cumalah untuk memenuhi kehendak Almarhum Kakek dan
Nenek… “
“ Lalu? “ Galuh menyela.
“ Aku hidup bersama Ayah sampai umur tiga tahun.
Ayah kemudian menitipkanku pada Kayi Sakarti,
sahabat dekatnya. Menurut cerita Kayi Sakarti,
Ayah menjadi seorang pelaut. Sejak itulah aku diaku cucu oleh Kayi Sakarti.
“ Tanggung jawab Ayah terhadapku memang masih ada,
aku terus dikirimi biaya hidup sampai aku tamat SD. Kemudian kiriman itu
terhenti selama tiga bulan. Pada bulan keempat datang sepucuk surat dan
sejumlah uang dari kapten kapal, mengabarkan bahwa Ayah meninggal di Pelabuhan
Singapura. “
Firdaus mengisap rokoknya dalam-dalam dan
menghembuskan asapnya lambat-lambat.
“ Jadi engkau tidak pernah lagi bertemu dengan
Ayah atau Ibumu? “ Galuh mendesak.
“ Begitulah, bahkan aku sudah lupa bagaimana wajah
Ayah dan Ibuku. “
“ Tak pernah berusaha menemui Kakek, Nenek atau
kaum kerabatmu yang lain? “ cecar Galuh.
“ Pernah juga, namun yang kutemui justru hal tak terbayangkan. Mereka bukannya menyambutku
dengan gembira, tapi menatapku dengan nista. Ibu agaknya telah dianggap sebagai
noda hitam keluarga. Seluruh keluarga Ibu membencinya, begitu juga keluarga di
pihak Ayah. Kehadiranku cuma membuka luka lama. Perwujudanku dianggap sebagai
lambang penghinaan di satu pihak dan najis di pihak lain. Barangkali itulah sebabnya
kenapa Ayah justru menitipkanku pada Kayi
Sakarti, bukan kepada kaum kerabat kami. “
“ Jadi Kayi
Sakartilah yang membiayai sekolahmu hingga berhasil jadi sarjana pertanian? “
“ Ya, selebihnya kuusahakan sendiri. Sejak mulai
kuliah di Banjarbaru itu aku terus berkelahi dengan waktu. Aku bekerja
serabutan, mencuci mobil, menjadi loper koran, jadi orang upahan menyiangi
halaman, jadi kernet truk dan taksi, bahkan jadi tukang catut karcis bioskop. “
Sunyi lagi. Lama.
“ Entah bagaimana kehidupan ini nanti. “ gumam
Galuh seakan pada dirinya sendiri. “ Masa lalu dan kekinian rasanya begitu
rapuh untuk dijadikan titik pijakan. Masa lalu yang mengejek. Masa kini yang
bengis. Dan masa datang yang penuh ketidakpastian. “
Gumam gadis itu
menampar senja yang tua. Senja yang berlumut. Senja yang menerima nasibnya tanpa mengeluh. Senja yang tak punya perasaan,
keinginan dan masa depan.
Setelah sama mengungkai kedirian itu keduanya
seakan kehilangan kata-kata. Cuma mata mereka yang bicara, berbuhul dalam
tatapan lekat. Lalu pada puncaknya keduanya tersenyum. Menyenyumi tingkah
mereka. Menyenyumi kehidupan mereka. Menyenyumi dua sosok kecil yang mencoba
tiwikrama menjadi raksasa untuk mengusir gilingan obsesi yang muncul dari
perputaran jagat.
Angin membiarkan saja. Daun-daun membiarkan saja.
Batu-batu membiarkan saja. Cuma Sang Waktu yang menyeringai, menertawakan
kenaifan mereka.
***
Seloka Empat
Nestapa Kunang-kunang
J
|
angan mandi cahaya di senja ini (demikian pesan ibuku) karena berkeliaran
segala hantu-hantu, hantu yang kuning, yang dibebani kejahatan dunia di
bulu-bulunya.[16] Ingatan terhadap pesan Ning Antih beberapa bulan lalu membuat
Firdaus menjangkau rokok di dashboard,
menyulutnya sebatang, memindah persnelling,
memusatkan pikiran dan pandangan saat memasuki lintasan Pakajangan. Mesin
menggerum parau membawa roda-roda merayapi tanjakan. Dari balik kaca truk
kelihatan warna kuning senja mengemasi gunung-gunung nun di sana, mengemasi
pucuk-pucuk kayu, menjadikan alam terasa lain dari hari-hari biasa.
Memasuki sepertiga tanjakan, hidung Firdaus
tiba-tiba disusupi oleh seberkas bau harum yang sengit. Bulu kuduknya langsung
meremang sementara sejumput waswas perlahan rebak di hati. Menjelang duapertiga
tanjakan, mesin mulai bertingkah, batuk-batuk, seakan menghela beban yang amat
berat padahal truk dalam keadaan kosong. Seiring dengan mengembunnya keringat
dingin waswas memekarkan diri. Firdaus menggigit kuat-kuat filter rokok dan
memindah persnelling ke satu.
Hembusan nafas leganya terdengar ketika truk
berhasil mencapai puncak tanjak-an. Setelah memindah lagi presnelling Firdaus mengisap rokoknya dalam, menghembuskan asapnya
lambat-lambat. Truk mulai melintasi jalan menurun. Firdaus ingat benar bahwa
selepas tikungan di depan jalan menurun itu akan berujung pada jembatan lalu
masuk ke tanjakan curam terakhir. Dibunyikannya tuter. Tak ada sahutan apa-apa, berarti lintasan aman karena tak
ada kenderaan dari arah depan. Begitu dia bersiap menikung, bau harum tambah
sengit. Keringat dingin yang mengembun di dahi perlahan leleh melewati mata.
Dia mengerjap. Dan dalam satu kerjapan itu, entah dari mana datangnya serombongan
orang nampak menyeberang, serombongan orang tanpa kepala!
Firdaus kaget. Dia membanting stir ke kanan.
Orang-orang tanpa kepala menghilang. Sebagai gantinya kini lintang jalanan
nampak bercabang dua. Dalam tempo singkat Firdaus harus memilih. Intuisinya
mengatakan bahwa tadi dia sudah membanting stir ke kanan sebab itu jalan di
kirilah yang di ambil. Maka dibantingnya lagi stir ke kiri. Truk pun meluncur
memasuki jembatan, mulus menanjak.
Roda-roda terus berputar, menjalani kilometer demi
kilometer, berhenti di depan warung Galuh. Alis Galuh berkerinyit melihat
lelaki itu turun bergegas dari truk, terus ke bagian belakang warung dan
mengguyur kepalanya dengan air. Sementara itu dua truk lain parkir pula di
belakang truk Firdaus.
“ Engkau mengantuk, ya Us? “ tanya salah
seorang sopir melihat Firdaus menghapus air di rambut dan wajah dengan handuk.
“ Tidak. “ sahut
Firdaus pendek.
“ Lalu kenapa
menjelang jembatan Pakajangan itu engkau membanting stir ke kanan sehingga
mengarah ke pinggir sungai? “
Firdaus tak
segera menyahut, dia terlebih dahulu menyulut rokok.
“ Aku melihat
serombongan orang menyeberang jalan, orang-orang tanpa kepala. Begitu kubanting
stir orang-orang itu menghilang lalu jalan kulihat bercabang dua, untung aku
kemudian memilih jalan yang di kiri sehingga tepat mengarah jembatan. “ kata Firdaus kemudian.
Kedua sopir itu, Usman dan Udin, ketawa. “ Jangan
mengada-ada, Us. Mana ada hantu siang-siang begini. “
“ Siang memang, Man, tapi senja ini senja kuning. “
Usman terdiam.
Dia melihat rona serius di wajah Firdaus.
“ Aku kini
percaya kata Ning Antih bahwa setiap
senja kuning di situ sering muncul hantu tanpa kepala. “ lanjut Firdaus.
“ Sudahlah. “
sela Galuh. “ Yang penting engkau selamat. Engkau mau minum? “
“ He-eh, kopi. “
“ Engkau, Man, Din? “
“ Tidak, aku tak minum. “ kata Usman.
“ Aku juga tidak. Kami terus saja ke pertambangan.
“ sambung Udin.
Keduanya beranjak meninggalkan warung. Sesaat
kemudian truk mereka mende-ru. Firdaus duduk seraya bersandar ke dinding
warung, memperhatikan Galuh membuat kopi.
“ Engkau benar-benar melihat hantu itu? “
“ Apa aku perlu bersumpah? “
Galuh ketawa kecil, menuang air panas ke cangkir.
Tiba-tiba…prak, terdengar bunyi cangkir pecah seiring dengan jerit kecil Galuh.
“ Kenapa? Airnya kepanasan barangkali. “ ujar
Firdaus.
“ Mungkin, tapi ini sudah yang ketiga kalinya hari
ini. “ sahut Galuh.
Firdaus menangkap ada sejumput kekuatiran di
ucapan itu.
“ Gelas pecah itu biasa, Luh. “ katanya
menenteramkan.
Galuh mencoba tersenyum, mengambil gelas baru dan
kembali membikin kopi. Sejenak dia membuang pecahan gelas ke tempat sampah lalu
duduk di sisi Firdaus. Matanya nanap ke arah senja kuning yang mulai dikerkah
malam.
“ Entah kenapa sejak siang tadi aku terus merasa
ada sesuatu yang menggelisahkan. “ ujar Galuh dalam desah. “ Terlebih setelah
pecahnya dua cangkir…tiga dengan yang tadi. “ sambungnya.
“ Ah, jangan mendramatisir pecahnya cangkir.
Seperti kataku tadi itu hal biasa. “ sahut Firdaus.
“ Mula-mula…kupikir….”
Ucapan Galuh terputus oleh bunyi tuter. Tiga buah truk lewat.
Sopir-sopirnya melambaikan tangan. Firdaus balas melambai.
“ Mula-mula engkau pikir apa? “ Firdaus menyambung
pembicaraan.
“ Mula-mula kupikir itu tatangar[17]. Makanya dari tadi aku menguatirkan
dirimu, takut terjadi apa-apa di jalan. Ternyata benarkan? Engkau hampir saja
celaka di jembatan Pakajangan …”
Firdaus tersenyum. Tangan kirinya terulur,
menggenggam tangan kanan Galuh. Sekejap cuma, sebab terdengar deheman Yazid
yang akan berangkat ke masjid.
“ Kak, Hayati belum datang? “ tanya Yazid.
“ Belum, mungkin sebentar lagi. “ sahut Galuh.
“ Kemana Yati? “ sela Firdaus.
“ Ke Kandangan, les komputer. “
“ Ooo, mungkin tengah menunggu taksi. “
“ Mungkin juga. Aku ke masjid dulu Kak Daus….”
ujar Yazid
“ He-eh. Nanti aku menyusul. Mandi dulu. “
Yazid melangkah. Firdaus menghirup kopinya lalu
beranjak ke sumur. Begitulah hari-harinya selama setengah bulan ini, sudah
seperti menjadi bagian dari keluarga, cuma tidur saja yang tak dilakukannya di
rumah Galuh. Penduduk Pinang Habang dan para sopir sama maklum bahwa
kunang-kunang tercantik kampung itu sudah mulai mengepak di dalam pagar
larangan.
Lepas magrib Hayati belum datang juga. Rusuh mulai
membilas-bilas hati Galuh. Bertepatan dengan bunyi beduk Isya, saat Firdaus
bersiap menyusul ke Kandangan, seorang sopir truk datang membawa kabar. Sebuah
taksi pedesaan kecelakaan di jembatan Pakajangan. Sopirnya meninggal di tempat
kejadian, sementara tiga penumpangnya sudah dibawa ke rumah sakit Hassan Basry
Kandangan. Salah satunya Hayati!
***
B
|
ulan separo bayang berwajah mayat menjilati wajah mayat lain yang muncul
dari dalam truk. Wajah Galuh Ratnasari. Jilatan bulan itu membuat ia tengadah.
Sejenak keduanya bertukar tatap sebelum menyadari adanya semacam perubahan yang
menakutkan. Bulan melihat wajah Galuh berubah menjadi wajah Kalarahu[18], siap menerkam dan menelan dirinya
sehingga ia terbirit-birit ke balik awan. Sebaliknya Galuh melihat wajah bulan
menjelma wajah bengis malaikat maut yang hendak menyelinap ke ruang gawat
darurat. Maka ada sejumput lega saat bulan tiada. Dia pun sejenak menghela
nafas sepenuh dada lalu mulai melangkahkan kaki.
Di koridor
rumah sakit, seleret ratap tangis menyuara, mengiringi dua buah brankar berisi
mayat. Galuh hendak memburu tetapi tangannya cepat ditangkap Ning Antih. Perempuan tua itu mengenali
bahwa mereka yang menangis itu adalah orang-orang kampung Panajaan, kampung
sebelum Pinang Habang. Di antara orang-orang itu nampak Fahrul, sopir truk yang
mengangkut para korban ke rumah sakit.
“ Hayati masih di ruang gawat darurat….” katanya.
“ Bagaimana keadaannya? “ tanya Galuh
terbata-bata.
“ Entah, kami tak boleh masuk ke sana. “
Setengah berlari mereka menuju ruang gawat
darurat. Menunggu cukup lama di sebuah bangku yang ada di depan ruang itu
sebelum pintu terbuka dan dokter Faisal muncul. Galuh menatap lekat ke wajah
dokter itu, mencoba mencari tanda sekecil apa pun yang akan memberitahukan
padanya apakah berita yang datang bakal baik atau buruk. Tapi dia tak
menemukannya.
“ Bagaimana keadaannya, Dok? “ Galuh akhirnya
bertanya dengan nafas serabut-an.
“ Tulang paha kirinya patah….” ujar dokter Faisal dengan suara mengambang.
“ Cuma itu? “ kejar Firdaus.
Dokter Faisal menghela nafas panjang, matanya
menatap dalam ke wajah Firdaus. “ Saudara orang tuanya? “
“ Kakaknya. “ sahut Firdaus tanpa berpikir lagi.
“ Ada pendarahan di otaknya….”
Galuh menekap mulut, menahan jerit yang sudah
sampai di kerongkongan. Dia berhasil meredam jerit itu tapi sendi-sendinya
melemah sehingga tubuhnya layu, terpuruk ke atas bangku.
“ Dia harus segera di operasi. Saudara harus
menandatangani beberapa surat, setelah itu cari beberapa orang bergolongan
darah O. Mari ke kantor. “
“ Sebentar, Dok. Boleh mereka melihat keadaan adik
saya? “ kata Firdaus sambil menunjuk ke arah Galuh, Yazid dan Ning Antih.
“ Silakan. “
Dokter Faisal memberi tanda pada seorang perawat
untuk membawa ketiga orang itu ke dalam ruang gawat darurat. Firdaus mengiringi
langkah dokter Faisal.
“ Boleh saya tahu peluang adik saya itu? “
“ Terus terang
saja, fifty-fifty….”
Ada engah, lepas dari dada
Firdaus setelah melewati tenggorokan yang terasa mengering. Maka dia cepat menyulut rokok, berusaha
menenteramkan bilas rusuh di dadanya.
***
K
|
oridor rumah sakit yang lengang perlahan menyuarakan desir brankar. Di
belakang brankar yang membawa tubuh Hayati menuju ruang operasi itu Galuh
melangkah, hati-hati, agak tertatih, seakan tengah melangkahi titian muat
dijalani satu orang yang terbentang di atas jurang.
“ Kamu nampak agak limbung, “ Firdaus menggamit
lengan Galuh, “ Perlukah kupapah? “
Galuh tak menyahut, langkahnya semakin perlahan
sebab kini ia melihat kunang-kunang. Ratusan kunang-kunang. Mengerjap-ngerjapkan bintik-bintik beragam beratus
warna. Galuh pun menggeleng-gelengkan kepala, berharap kunang-kunang itu pergi,
ternyata tidak, kerjap beratus warna malah kian cerlang. Maka digigitnya bibir
kuat-kuat, berharap rasa sakit bakal mampu mengusir. Tapi begitu rasa sakit
menjalar, bintik-bintik beratus warna itu malah beranak-pinak.
Berbondong-bondong menerjang mata.
Gelap sejenak. Pemandangan selanjutnya dijabarkan
secara balau oleh perasaannya yang mengawang. Mula-mula dia menampak sederet pemandangan kabur.
Kian lama kian menegas. Sebentang padang berbatu cadas. Sebatang pohon miskin
daun. Sebuah sangkar berisi seekor burung berbulu putih nampak tergantung di
ranting kering.
Sangkar itu bergoyang keras lantaran burung di
dalamnya bagai gila menampar-namparkan sayap ke pintu. Ning Antih, Yazid dan Firdaus berkutatan menahan pintu agar jangan
sampai terbuka. Namun terjangan sayap burung agaknya demikian kuat sehingga
sedikit demi sedikit pintu sangkar terkuak.
Galuh segera mendatangi. Mengerahkan seluruh
tenaga, membantu menahan terkuaknya pintu. Dirasanya terjangan sayap-sayap
kecil itu menghempaskan arus tenaga dahsyat, sambung-menyambung, langsung
menumbuk dada. Menjadikan dadanya serupa lesung yang terus-menerus ditumbuki
alu.
Mereka tak kuasa lagi bertahan. Mula-mula Ning Antih terjengkang. Kemudian Yazid.
Lalu Firdaus. Dan akhirnya dia sendiri. Pintu sangkar kini terbuka lebar.
Burung berbulu putih itu mencericit. Mengepakkan sayap ke luar. Sejenak
berputar-putar di sekitar mereka. Cicit merdunya adalah salam perpisahan yang
sendu sekaligus pernyataan kegembiraan karena telah bisa melayah udara bebas.
Sebelum terbang menjauh, burung itu berubah menjadi Hayati. Senyuman mengembang
di bibir Hayati tapi air mata juga menyungai di pipi.
Duh, adikku, pekik Galuh. Dia merentak bangun.
Berlari. Mengejar wajah bersaput kemuliaan itu. Wajah yang kian menjauh. Lalu
Galuh merasa kakinya tersandung sesuatu. Tubuhnya tumbang. Kekosongan siap
menyambut. Kekosongan tanpa dasar.
Firdaus kaget ketika tadi Galuh merentak dan
berlari di koridor rumah sakit.
Tangannya cepat menjemba saat Galuh roboh karena kakinya terserimpung
undakan koridor.
“ Galuh…Galuh….” Firdaus mendudukkan Galuh ke
lantai koridor.
Ditepuk-tepuknya pipi Galuh. Galuh kemudian
mengerjap. Lalu terbelalak penuh ketakutan, seakan-akan terjaga dari sebuah
mimpi mengerikan. Begitu mengenali wajah Firdaus, matanya berkaca-kaca.
Jari-jari Firdaus perlahan mengusap sisi bibir dan
dagu Galuh, mengusap darah yang leleh karena kuatnya gadis itu tadi menggigit
bibir.
“ Luh, engkau jangan nampak rapuh begini. “ ucap
Firdaus lembut sembari membetulkan jurai-jurai rambut Galuh yang jatuh ke
kening. “ Engkau harus nampak tegar sehingga bisa memberi kekuatan batin pada
Hayati. Dia memerlukan itu.
Amat memerlukannya. “
“ Aku tak bisa…tak bisa. “ Galuh mengerang.
Firdaus mereguk ludah. Baginya, suara Galuh tak
ubahnya erang anak burung yang tertembak jatuh. Erang yang merupakan perwujudan
rasa sakit, penderitaan dan keputusasaan yang bercampur dalam satu adonan
pekat. Ingin Firdaus mengambil sebagian gilasan nestapa yang meremuklumatkan
gadis itu, tapi apalagi yang bisa dilakukannya? Dia cuma bisa melekapkan wajah
gadis itu ke dadanya, mengelus-elus rambut Galuh, mengatakan dengan bahasa
purbani bahwa masih ada orang tempat berbagi duka bertukar rasa.
Naluri Galuh bisa menerjemahkan bahasa purbani
itu. Dia bisa pula mengerti bah-wa usapan-usapan lembut di rambutnya adalah
upaya Firdaus untuk memberikan kekuat-an kepadanya. Tapi sumbu hidup Galuh
rasanya cuma memberi nyala redup sehingga kekuatan yang disalurkan Firdaus
belum bisa menggerakkan sayap sang kunang-kunang untuk terbang menyibak
kelembaban lumut-lumut malam.
“ Jika
kematian itu memang harus datang sekarang, apakah engkau tak bisa merelakan
Hayati pergi memenuhi perjanjian dirinya dengan Yang Maha Kuasa di Hari Alastu
dulu? “
Galuh tersengat oleh ucapan itu. Dia mengangkat wajahnya
dari dada Firdaus dan melenakannya ke tiang koridor. Tatapannya nanap, menjebol
atap. Terus naik. Jauh. Jauh sekali. Dia berkehendak tatapannya itu dapat
menembusi tujuh petala langit dan bisa membacai nama-nama pada daun-daun yang
menguning di Pohon Sidrat, atau menemukan rahasia-rahasia tulisan-Nya di Luh
Mahfudz. Tapi tak bisa. Yang ditemukannya cuma kekosongan.
Gagal dengan upaya itu Galuh segera berbalik,
memutar jantera waktu, membongkari lemari masa lalu. Ketika tak jua ditemukan
apa yang dicarinya, dia cuma bisa berucap lirih, ucapan yang lebih banyak
ditujukan pada dirinya sendiri :
“ Entah tulah apa yang kusandang sehingga harus
menerima kenyataan pahit macam ini? Entah dosa apa yang membalut diri sehingga
kehidupan menghukum aku seberat ini? “
Hati Firdaus semakin iba. Tapi iba saja tidak
cukup, pikirnya. Gadis ini memerlukan sesuatu yang lain, sesuatu yang mampu
memberi denyar cahaya di kegelapan batinnya.
“ Jangan berpikir tentang tulah, Luh. Ketika
engkau menyanggupi kepada Tuhan untuk dilahirkan dan melihat dunia ini maka
saat itu pula engkau telah menyanggupi untuk menghadapi segala macam rintangan
dan menyandang segala macam cobaan.
“ Hidup, Luh, berarti keberanian untuk menghadapi
kehidupan. Walau bagaimanapun jua pahitnya kehidupan itu engkau harus bisa
mengembalikannya kepada perjanjianmu dengan Tuhan. Bila engkau bisa
mengembalikan hal itu maka sekali menerima kepahitan dibaliknya engkau akan
menerima berlipat ganda kesabaran. “
“ Rasanya aku sudah tak mampu lagi menyandang
semua ini. Akan lebih baik agaknya kalau sebilah pisau datang mengiris nadiku
sehingga aku akan bisa menikmati darah yang memancur sebagai ujung penderitaan.
“
Firdaus terdiam. Cukup lama. Ada tarikan aneh yang
membuat Galuh memandang ke arahnya. Dia bisa melihat ekspresi wajah lelaki itu
berubah. Ujung bibir Firdaus tertarik ke bawah seperti menyekap rasa geram.
Rona merah memercik di mata bagai membendung luncasan kemarahan.
“ Galuh! “ suara Firdaus beraksentuasi keras. “
Ucapan macam itu tak seharusnya ke luar dari mulutmu! Bahkan tak layak
menyangkut di pikiranmu! “
Firdaus kini menatap tepat ke bola mata Galuh.
“ Ingat, Luh, Tuhan membagi-bagikan derita dan
bahagia pada manusia agar manusia itu menjadi sempurna. Karena itu kita harus
mampu mengembalikan penderitaan maupun kebahagiaan sebagai jalan menuju
kesempurnaan! “
“ Kesempurnaan macam apa lagi yang diinginkan
Tuhan pada diriku? Masih belum cukupkah cekauan kesengsaraan yang
kusandang? Ejekan, hinaan, kepontangpan-tingan
untuk bisa hidup. Masih belum cukupkah semua itu! “
Firdaus tiba-tiba menggeram. Ekspresi wajahnya
nyaris beringas.
“ Galuh! “ suaranya kini bernada bentakan. “
Adakah yang menjadi pujaan dan sesembahanmu selain Tuhan? Selain Allah Yang
Maha Rahman? Istigfar, Galuh! Istiqfar! Lalu zikir! Engkau kini berada di tubir
jurang! Selangkah lagi engkau maju maka neraka akan menyambutmu! “
Sehabis mengucapkan itu Firdaus kemudian
membisikkan sebuah ayat Al-Qur’an. Ayat itu menelusup ke benak galuh sembari
membawa bayangan almarhum ibunya, sebab ayat itu pun acap kali diucapkan ibunya
ketika menampung kesahnya.
Galuh hafal benar terjemahan ayat itu. Sekata demi
sekata otaknya mengeja : Sesungguhnya Kami akan mencoba engkau
dengan ketakutan dan kelaparan serta kekurangan kekayaan dan buah pekerjaan. Tetapi
memberikan kesabaran kepada mereka yang tetap tabah dan manakala malapetaka
menimpa mereka, mereka berkata : “Sesungguhnya kami adalah milik Tuhan dan
kepada-Nya kami kembali.“ Merekalah yang dilimpahi rahmat dari Tuhannya.
Merekalah yang beroleh bimbingan.[19]
Hati Galuh seperti ditampar. Maka ia kembali
menjatuhkan wajah ke dada Firdaus. Membasahi dada bidang itu dengan air mata
seraya mengucap istiqfar berulang kali.
***
K
|
eberhasilan operasi yang dilakukan dokter
Faisal bukanlah merupakan ujung nestapa. Hayati ternyata tak pernah sadar,
terus berada dalam keadaan koma, terbaring tanpa daya di ruang ICCU. Bagi
Galuh, hari-hari terasa demikian lambat berlalu, detik demi detik yang lewat
terasa amat mencekam. Dan ketika melewati hari ke dua puluh satu, persoalan
rumit lain muncul, persoalan biaya rumah sakit.
Kunang-kunang Pinang Habang itu pun mengawang,
berada di tengah dua kekuatan angin yang saling bertentangan arahnya. Di satu
pihak, dari sisi medis tersembul harapan hidup bagi Hayati. Di pihak lain,
biaya pengobatan kian berat menindih. Maka satu demi satu perhiasan warisan
sang ibu melayang. Sebuah demi sebuah perhi-
asan Ning Antih berpindah
tangan. Serupiah demi serupiah tabungan Firdaus lenyap. Bahkan sudah tiga kali
Galuh melakukan hal tabu di dunia gandut masa
kini, menggelar Manunggul bersama
Sofyan di areal base camp.
“ Sebenarnya engkau bisa mendapatkan uang
berpuluh-puluh kali lipat dibanding manunggul
itu jika engkau mau melakukannya. “ kata Sofyan sambil menyerahkan amplop
pada Galuh.
“ Maksud, Bapak? “
“ Sederhana saja, menginap di sini….”
“ Aku bukan pelacur, Pak! “ sergah Galuh.
Sofyan tertawa. “ Ini bukan soal melacurkan diri,
Luh. Ini bisnis. Bis-nis! “ tekan Sofyan seraya menatap lekat ke wajah Galuh.
Rona kemarahan pijar di wajah Galuh. Dia cepat
meninggalkan Sofyan. Dan dada Firdaus jualah yang menjadi telaga penampung air
matanya.
“ Yaa, Tuhan…kenapa hal semacam ini menghinggapi
orang-orang kecil seperti kami? “ kesahnya. “ Kenapa hal ini tidak Kau
limpahkan pada mereka yang mendapatkan kekayaan melalui korupsi, kolusi,
manipulasi….”
Ning Antih tak bersuara, mata tuanya
basah. Tertatih ia melangkah ke ambang jendela, memuntahkan sepah kinangnya.
“ Luh, dalam
sepuluh hari ini aku harus tinggal di Banjarmasin. “ kata Firdaus kemudian. “
Pak Sofyan menugaskanku untuk menggantikan mandor yang mengawasi pemuatan
batubara ke kapal. “
“ Mandor itu
sakit? “ tanya Ning Antih.
“ Cuti, istrinya
hendak melahirkan. Di Banjarmasin aku akan berusaha mendekati seorang kawan
kuliahku dulu. Dia kini jadi wartawan di koran Amandit. Siapa tahu dia bisa membantu untuk menghimpun dana dari
pembaca bagi pengobatan Hayati. “
Firdaus
meletakkan sejumlah uang yang berhasil dihutangnya dari Usman, Udin dan Fahrul.
Dia mencium dahi Galuh. Lalu melangkah ke luar rumah tanpa menoleh lagi. Derum
mesin truknya adalah derum kepepatan hatinya. Angin pun berkesiur. Melagukan
nyanyian nestapa.
***
Seloka
Lima
Sayap
Patah Kunang-kunang
L
|
uka di
mana-mana, di sosok langit, di cadar waktu, di rumput kabut rumah yang
menunggu, dan lenyap pada jam larut, membekaskan beban di pohon-pohon hidup.23 Ketika tengah malam lepas Galuh bangun
dari pembaringan. Dadanya terasa sesak sehingga langkahnya agak limbung menuju
ruang depan. Diangkatnya sebuah kursi dan diletakkannya di belakang jendela.
Tangannya bergerak lemah membuka jendela. Serombongan angin dingin me- nyembilu tapi Galuh tak peduli, malah tirai
jendela diturunkannya lalu dicampakkan ke lantai.
Dia pun duduk di kursi. Matanya memandang lepas ke
arah jalanan. Sesekali dia berdiri, mendoyongkan tubuh ke luar ambang jendela.
Memanjangkan leher untuk menengok jauh ke hulu jalan. Menarik nafas berat.
Memanjangkan leher agar pandangan bisa lebih jauh nun ke hilir jalan.
Menghembuskan nafas panjang. Kemudian menghempaskan lagi tubuh ke kursi.
Berjam-jam dia bertingkah seperti itu, seakan ada yang ditunggu. Begitu azan subuh bergema barulah dia
beranjak dari tempat itu. Rona kekecewaan jelas membayang di wajahnya.
Paginya dia sudah ada di rumah sakit. Membawakan
makanan untuk Yazid yang bermalam di rumah sakit dan akan berangkat sekolah.
Duduk di sisi ranjang, menatapi tubuh Hayati. Tercenung di sana sampai Ning Antih datang. Kemudian dia pulang.
Menunggu warung.
Malamnya, setelah menyiapkan adonan kue dan
menutup warung dia tidur sejenak. Selepas tengah malam bangun lagi, menyeret
kursi ke belakang jendela, membuka daun jendela, duduk menunggu.
Besok malamnya dia kembali melakukan hal yang
sama. Begitu pula besok malamnya lagi. Dan demikian pula yang terjadi pada malam-malam
berikutnya. Terus saja begitu, dari malam ke malam. Sekarang sudah malam
ketujuh. Dia tetap saja berbuat seperti itu. Me-nung-gu. Dan dia tetap pula
kecewa.
Sesungguhnya apa yang dia tunggu? Dalam kekosongan
berisi kekalutan pikiran gadis itu tengah menunggu sesuatu bernama keajaiban.
Ya, keajaiban, sebagaimana yang biasa dibacanya di buku-buku atau dilihatnya di
layar kaca. Bukankah keajaiban merupakan pengharapan terakhir dari orang yang
telah kehabisan alternatif, orang yang sudah amat letih digilas penderitaan dan
keterpojokan?
Dia berharap di
depan rumah tiba-tiba saja terlihat kepulan asap putih. Lalu jin yang ada dalam
lampu Aladin muncul di depannya. Tak perlu membawa istana di kedua telapak
tangan, cukup sejumlah uang untuk biaya pengobatan Hayati. Atau tiba-tiba terdengar
ringkik kuda. Lalu dari kegelapan ujung jalan muncul seorang penunggang kuda
bertopeng hitam yang menghentikan kudanya di depan rumah. Setelah menyungging
senyum orang itu akan melemparkan pundi-pundi berisi uang, memberi tabik
kemudian menghilang lagi ditelan jubah malam. Atau pula tiba-tiba muncul
seorang lelaki bergamis yang sambil tertawa renyah membawanya ke sebuah gua.
Mengucap “ Sesam, buka pintu! ”, lalu
menuntunnya memasuki gua dan mempersilakannya menjumputi kilauan emas intan
permata yang nampak menerpa mata.
Tujuh malam dia
menunggu hal semacam itu. Sabar. Dan penuh harapan. Ketika keajaiban itu tak
jua muncul, Galuh pun mengertakkan geraham, sampai pada putusan untuk
menciptakan sendiri “keajaiban” itu.
Maka sehabis
mandi sore itu dia berdiri telanjang di depan cermin. Cermin merasa menemukan
santapan empuk, segera melahap tubuh telanjang itu, mengerkahnya. Kemudian
memantulkannya sebagai sebuah patung yang dipahat sempurna di mana
bagian-bagian yang seharusnya menonjol dan melekuk dibentuk tanpa kesalahan
sedikit jua pun. Dua sosok telanjang
itu kini berhadapan. Saling meneliti.
“ Tubuhmu bagus. “ puji bayangan di cermin.
“ Aku tahu. “ sahut Galuh lirih. “ Entah berapa
banyak sudah lelaki yang ingin memilikinya. “
“ Kenapa kini engkau pamerkan di hadapanku? “
“ Aku meminjam matamu agar aku bisa meneliti tubuh
indah ini untuk terakhir kali. “
“ Terakhir kali? “ ulang bayangan di cermin. “ Apa
maksudmu? “
“ Ya, terakhir kali. Sebab mulai hari ini, tubuh
ini bukan milikku lagi. Aku akan menjualnya! “
“ Astaga! “ bayangan di cermin kaget. “ Itu bukan
langkah penyelamatan bagi kesulitanmu! Itu bukan jalan ke luar! Itu
penjerumusan! “
“ Itu juga kusadari. “ kilah Galuh. “ Tapi apa
lagi yang bisa kulakukan? Yang kupunyai tinggal kehormatan dan tubuh ini! “
“ Jangan lakukan itu, Galuh…. “ suara
bayangan di cermin terdengar memelas, amat memelas. “ Kumohon, jangan lakukan….
“
Suara memelas
itu sejenak membuat Galuh tertegun, kemudian digeleng-gelengkannya kepala.
“ Harus kulakukan. “ katanya seraya menatap mata
sosok di depannya, seakan meminta sejumput pengertian. “ Sebagai seorang
wanita, kehormatan memang merupakan satu-satunya harta paling berharga. Itu
telah kujaga dengan baik selama ini, kuniatkan untuk dipersembahkan dengan
penuh kebanggaan kepada seorang suami. Tetapi dalam situasi sekarang, jika
kehormatan dan tubuhku akan bisa menyelamatkan Hayati maka akan kutukar
segalanya. “
“ Galuh… “ suara bayangan di cermin makin memelas.
“ Ingat, bahaya yang besar senantiasa menyelimuti harapan yang paling besar.
Sekali salah melangkah maka kemalanganlah akibatnya. “
“ Kemalangan? “ suara Galuh bernada sinis. “
Kemalangan telah demikian akrab dengan hidupku. “ Galuh ketawa kecil, ketawa
pedih. “ Jika kehilangan kehormatan merupakan puncak dari kemalangan itu, akan
kusongsong ia. “ mantap sekali kedengar-annya suara itu, kemantapan yang muncul
dari akumulasi keputusasaan.
“ Galuh, pikirlah sekali lagi…timbang kembali….”
“ Tak ada yang perlu dipikir lagi. Aku adalah
orang kecil yang selalu kalah. Biarlah kusempurnakan kekalahan itu. “ putus
Galuh.
Galuh kemudian melihat bayangan di cermin itu
menangis, sementara dia sendiri merasa pipinya basah dialiri air mata.
*****
L
|
ewat telepon umum transaksi
disepakati. Tiga juta rupiah, nilai
tukarnya. Selapis keperawanan dan layanan sampai pagi, nama proyeknya. Rumah
Sofyan di Kandangan, lokasinya.
Bagi Sofyan,
jumlah uang bukan soal. Harga tersebut memang lebih mahal dibanding harga
pelacur-pelacur kelas atas yang biasa menemaninya di hotel-hotel berbintang Banjarmasin, jauh pula
lebih mahal dibanding perek-perek yang berkeliaran di diskotik-diskotik. Tapi
yang ini masih perawan, apalagi orang tua gadis itu pernah membanting harga
dirinya sebagai lelaki.
Bagi Galuh, hal
itu adalah permulaan babakan baru dari hidupnya. Maka senja itu ia berdandan
secantik mungkin, mengenakan gaun paling bagus yang dipunyainya. Dia ke luar
dari rumah dengan langkah yang seperti melayang, tangannya bergetar saat
me- ngunci pintu, sebab hatinya adalah
laut berbadai di bulan mati. Menghadapi pengalaman pertama, apalagi itu
berwujud zinah dengan orang yang sama sekali tak dicintai, memang sungguh
menggelisahkan. Dan kegelisahan itu meloncat-loncat di matanya, menarikan
beragam ekspresi yang tumpang tindih di wajahnya.
Di rumah sakit,
dia pandangi wajah Hayati. Wajah lugu itu nampak seperti selalu menyimpan
senyum. Tenteram dan damai. Di situ, Galuh selalu merasa menemukan semangat
hidup yang memanggil dengan kasih sejati, menghimbau dari kejauhan yang sayup lewat
benang surgawi pengikat hati dan jiwa. Dan di situ pula, kini, Galuh melihat
adanya kuku-kuku runcing tak beruang tak berwaktu, kuku-kuku maut yang
mengintai menunggu ketika.
Sambil menghela
nafas berat dia tinggalkan Hayati, melangkah tanpa mempedulikan sapaan Yazid.
Yazid entah kenapa tiba-tiba merasa ada gelitik aneh yang mengharu-biru
perasaan. Sayup telinganya mendengar suara, suara yang semakin lama semakin
nyaring. Suara tangis!.
Kening Yazid
berkerut. Ah, tangis siapa itu? Dia tajamkan pendengaran. Dan dia kaget ketika
mengenali suara tangis itu sebagai tangis almarhum ayah dan ibunya. Ini mustahil, kata Yazid dalam hati. Tapi
tangis itu semakin keras menggedor syarafnya. Duh, kenapa ayah dan ibu menangis
sedemikian rupa di alam sana? Menangisi siapa? Menangisi Hayati?
Seperti dituntun tangan gaib Yazid melangkah
bergegas melintasi koridor rumah sakit. Tangis itu tetap mengiang, seakan
mengikutinya. Ada tarikan aneh yang membuatnya mengambil sepeda di tempat
penitipan. Dia kayuh sepeda itu membuntuti becak yang membawa Galuh Ratnasari.
***
S
|
ofyan menyambut kedatangan sang kunang-kunang dengan seri- ngai. Seringai
seekor harimau yang menemukan sikap pasrah korbannya. Dia menuang bir ke gelas,
mengangsurkannya kepada Galuh. Galuh menggeleng, menampik minuman itu.
“ Semoga malam ini akan lebih mengakrabkan
hubungan kita. “ kata Sofyan.
Sekali reguk bir itu tandas melewati kerongkongan.
Sebelum meletakkan cangkir ke meja ia menyapu busa bir yang leleh di ujung
bibir.
“ Kamu nampak cantik sekali…. “
Galuh tak menyahut. Dia sibuk menenteramkan
dadanya.
“ Sebagai permulaan, aku ingin kita manunggul sejenak. “
Galuh cuma mengangguk. Dia perlahan duduk di
pangkuan Sofyan, membiarkan dirinya didekap dari belakang. Sang kunang-kunang
bersiap menyongsong takdir, sebaik atau seburuk apa pun takdir itu nanti
memperlakukan dirinya. Saat Sofyan mencium lehernya, dia ingat pada Firdaus.
Tapi cuma sekejap sebab ia tak ingin emosi menguasai dirinya dan tak ingin
berpikir apa-apa. Sendu dia mulai menyanyi.
Saputangan babuncu ampat
Nang sabuncunya
dimakan api
Luka di tangan
kawa dibabat
Luka di hati
hancur sakali
Saputangan bersudut empat
Yang sesudutnya dimakan api
Luka di tangan dapat dibalut
Luka di hati hancur sekali
“ Kamu
kuperlukan bukan cuma untukku, Luh, tetapi juga untuk koneksi-koneksiku. “ ada
nafas memburu di antara suara Sofyan. “ Dunia bisnis memerlukan minyak pelumas
sekaligus pemuas. Kontrak tercipta kadang tidak cukup hanya dengan uang tetapi juga
dengan pe- rempuan. Di bagian inilah kamu bisa berperan, Luh. “ Sofyan tertawa.
“ Mungkin kamu masih ingat ketika kamu melamar bekerja di perusahaanku.
Kukatakan bahwa ijazahmu tak kuperlukan, bahwa tubuhmulah ijazahmu. “ Sofyan ketawa
lagi.
Kitir-kitiran pucuk kambangku
Bergoyangan
pucuk kembangku
Ada kumbang madu
manyari
Ada kumbang
madu menyari
Kilir-kiliran banyu
mataku
Berderaian
air mataku
Sudah nasib untungnya
diri
Sudah nasib
untungnya diri
Sofyan terkekeh. Kekeh tawa Dursasana ketika
menyeret Drupadi pada rambutnya, memasuki balairung Astina sehabis Darmakusuma
kalah berjudi dengan Sangkuni. Kekeh tawa yang mabuk oleh minuman, kemenangan
dan berahi. Jika Drupadi diselamatkan oleh keajaiban kain yang tak pernah
habis, keajaiban macam apakah yang bakal menyelamatkan Galuh Ratnasari? Tak ada. Kunang–kunang itu terseret ke
kamar. Dan ranjang bersprei merah jambu menunggu. Dia mencari pembenaran atas
tindakannya, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa semua nista ini diperuntukan
bagi kehidupan Hayati. Maka
dimatikannya segala rasa. Matanya nyalang ke langit-langit kamar. Di situ,
tiba-tiba Galuh melihat almarhum ayahnya muncul dengan wajah penuh kemurkaan.
Sepanjang hidupnya belum pernah ia melihat wajah ayahnya semurka itu. Galuh me-
ngerjap. Almarhumah ibunya menampakkan diri. Wajah ibunya yang biasa teduh kini
juga penuh kemurkaan. Galuh mengerjap lagi.
“ Aku rela anakku mati! Tapi aku tidak rela anakku
menjadi seorang pelacur! “ suara ibunya menggedor hati Galuh.
“ Galuh, apa engkau hendak menghukum kami menjadi
kerak neraka? “ suara ayahnya ganti menusuk otak.
“ Sembilan bulan sembilan hari kukandung engkau.
Berhujan berpanas kubesarkan engkau. Tak kukira justru kelahiran dirimu yang
melemparkan kami ke neraka! “
Hidung Galuh mencium bau amat busuk. Ratusan wajah
menyeramkan muncul, taring-taring mereka panjang dan runcing, lidah-lidah
mereka juga panjang, menjulur, merah berbuih hijau. Lidah-lidah panjang itu
kemudian membelit tubuh ayah dan ibunya. Taring-taring panjang menancap,
berebut urat. Tak setetes pun ada percikan darah lan- taran darah langsung
dihisap oleh makhluk-makhluk itu. Lalu terdengar teriakan menyayat dari ayah
dan ibunya ketika lidah-lidah makhluk itu memanggang tubuh mereka ke kobaran
api neraka.
“ Tidak! “ Galuh menjerit.
Dan dia berontak. Sofyan terlempar dari atas tubuhnya. Galuh cepat
bangun dari ranjang. Tubuhnya sudah setengah telanjang.
“ Galuh! “
Sofyan membentak.
Galuh tak
peduli. Menjumput pakaiannya dari
lantai, hendak mengenakannya. Sofyan yang sudah diamuk birahi menjangkau pinggang
Galuh. Galuh menghindar, lari ke arah pintu. Sofyan mengejar. Dia berhasil
meraih pinggang Galuh, menyeret gadis itu kembali ke ranjang.
“ Bangsat! Lepaskan aku! “
Sofyan terkekeh. Rontaan Galuh menambah rangsang di dirinya.
“ Permainan begitu lebih mengasyikan, Luh! Dari
mana kamu punya ide sebagus ini…” katanya.
Ada satu hal yang dilupakan oleh Sofyan, yakni
gadis yang tengah meronta-ronta itu adalah seorang gandut yang sedikit banyak menguasai gerak-gerak silat. Tanpa
diduga siku kanan Galuh menumbuk ulu hatinya. Sofyan mengaduh dan badannya agak
membungkuk menahan sakit. Pegangannya di pinggang Galuh melonggar. Galuh
memanfaatkan kesempatan itu. Kedua tangannya mencengkeram kepala Sofyan,
dibarengi dengan gerakan pinggul dan bahu Galuh berhasil membanting Sofyan
lewat punggungnya.
Sofyan terjajar. Dia sejenak menggeleng-gelengkan
kepala, membuang nanar. Rasa sakit, amukan birahi, harga diri, kemarahan dan
susupan setan membuatnya kalap. Dia bangkit lagi dan menerkam. Saat itulah
terdengar kaca jendela pecah diterjang sesosok tubuh. Yazid. Dia meraih pecahan
kaca berujung runcing. Dan memburu. Deras menikam. Sofyan menggerung parau
ketika pecahan kaca itu menembusi perutnya. Darah memancur. Galuh menjerit
ngeri. Lalu derap kaki orang banyak. Lalu bunyi pintu dan jendela yang
didobrak. Lalu suara-suara campur aduk. Lalu sirene bersahutan. Satu sirene
mobil ambulan. Satu lagi sirene mobil polisi.
***
F
|
irdaus memasuki rumah sakit dengan bunga kegembiraan di hati. Dewan Redaksi
koran Amandit bersedia membuka ruang
khusus sebagai upaya menghimpun dana dari pembaca bagi pengobatan Hayati. Wartawan
koran itu lusa akan datang ke Kandangan untuk memotret Hayati dan meng-ambil
data-data yang diperlukan.
Kembang kegembiraan itu akhirnya luruh satu-satu
manakala berhadapan dengan isak tertahan Ning
Antih. Kata demi kata yang kemudian masuk ke telinga membuat seluruh jaringan
tubuh Firdaus melemah. Dia jadi nanar. Terduduk lungkrah di bangku depan ruang
ICCU. Tangannya menyusut-nyusut rambut, memijit-mijit pelipis. Sejuta semut
merah berlomba menggigiti pusat syarafnya.
***
Penutup
P
|
erempuan mengirim air matanya ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan,
ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal, lembut bagai bianglala.24 Bantal? Ah, di ruang itu tak ada
bantal, cuma tempat tidur dingin beralas tikar, keterasingan dan kesepian yang
terburai di lantai. Dan air mata? Ah, deraian yang luruh pastilah lebih banyak
berwarna keruh, sebuah tangisan terhadap sayap-sayap patah. Kalau ada juga air
mata yang bening maka itu adalah air mata Galuh yang luruh kemarin, ketika
kukabarkan bahwa namanyalah yang pertama ke luar dari mulut Hayati begitu lepas
dari jeratan koma.
Kini pernik macam apalagi yang bakal disajikan
kehidupan pada Galuh Ratnasari? Sejenak aku menekurkan kepala, ingin mendengar
dengan jelas jawaban alam terhadap pertanyaan tersebut. Dinding ruang
pengadilan membisu. Meja-meja hakim, jaksa dan panitera, tak bersuara. Pun
angin yang menyusup lewat ventilasi.
Sang kunang-kunang itu nampak tegar di kursi terdakwa.
Lehernya tegak, matanya lurus ke depan, seakan mengesankan kesiapannya untuk
menerima apa pun bunyi putusan yang bakal tiba. Barangkali, baginya dibebaskan
atau tidak sudah menjadi hal yang terkepinggirkan. Lain soalnya dengan
Syafruddin, SH. dan Erna Yunita, SH., dua pengacara dari LBH Banjarmasin. Kedua
pengacara itu tengah menyusuri momen penting dari perjuangan mereka. Dalam
kasus ini, mereka telah berjuang dengan gigih, segigih para pembela Mutiari
dalam kasus pembunuhan Marsinah, segigih para pembela Iwik dalam kasus pembunuh
Udin si wartawan Bernas.
Perlahan kupintaskan pandang ke arah sang hakim.
Aku ingin melihat apakah di situ ada siluet wajah Azdak dalam Lingkaran Kapur Putihnya Bertold Brecht,
atau wajah Bao dalam cerita klasik cina, atau wajah Benyamin Mangkoedilaga
dalam kasus Tempo dahulu. Dan ketika
sang hakim itu mulai membacakan putusan, tanganku pun bergerak menghidupkan taperecorder.
Kandangan, September 1998
[1] Kutipan dari puisi Chairil Anwar
[2] Kutipan puisi Latiff Mohidin, Engkaukah Itu?
[3] Benang bola = gulungan benang berbentuk
bundar seperti bola
[4] Pisang mahuli = nama jenis pisang,
buahnya kecil kira-kira sebesar jempol tangan
[5] Ning = Nek; panggilan kepada perempuan
yang sudah tua
[6] Matahari hidup = matahari terbit; arah timur
[7] Pahajatan = wadah memohon restu (dalam arti magis)
[8] Alam karamian = alam keramaian; dunia hiburan
[9] Sarubung = arena terbuka tempat keramaian, berbentuk segiempat panjang, dibatasi
oleh pancangan tiang dari bambu.
[10] sasanggan = mangkok besar dari kuningan
[11] Panting = alat musik sejenis gambus
[12] Babun = gendang
[13] Bleh = dari kata Obleh, nama seorang tokoh di film boneka
Si Unyil di TV
[14] Nyil = panggilan tokoh Unyil.
[15] Kayi = kakek; panggilan pada seorang tua
laki-laki.
16 Kutipan puisi D. Zauhidhie, Huma yang Perih
17 Kutipan puisi Kriapur, Prahara Burung-burung
18 SPG = Sekolah Pendidikan Guru
[16] Kutipan dari puisi Yustan Aziddin, Senja Kuning
[17] Tatangar = pertanda, biasanya pertanda
buruk
[18] Kalarahu = raksasa yang dalam kepercayaan
tradisional menelan bulan atau matahari sehingga terjadi gerhana.
[19] Surah Al-Baqarah, ayat 155 - 157
23 Kutipan dari puisi Kriapur, Luka di mana-mana.
24 Kutipan dari puisi Sapardi Djoko Damono, Pertemuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar