dewan kesenian hulu sungai selatan

dewan kesenian hulu sungai selatan
logo

Seloka Kunang-Kunang


Burhanuddin Soebely



SELOKA
KUNANG-KUNANG

Pembuka


G
erimis mempercepat kelam, ada juga kelepak elang, menyinggung muram[1]. Dan muram terasa kian mengentalkan keterasingan yang bersarang di ruang menamu ini. Dinding nampak tambah kusam, memetakan kelupasan kapur dan bercak-bercak hitam tipis bekas sarang laba-laba yang disapu sambil lalu. Gambar-gambar tak ada. Bunga-bunga tak ada. Yang ada, sekat semen setinggi paha, sekaligus berfungsi sebagai meja panjang. Di atasnya tertancap angkuh kisi-kisi besi, pembatas antara yang ditemui dan menemui.
Di balik kisi-kisi, di sebuah kursi kayu tua, gadis itu terpuruk bagai gombal butut. Seluruh perwujudannya menampilkan sosok yang secara tiba-tiba dihadirkan pada sebuah dunia yang bukan dunianya, tempat yang tak pernah terbayangkan dalam kelampauan dan keakanan bakal jadi hunian, sehingga dia nampak demikian kering, lusuh, dan cabik-cabik. Cuma matanya, ya, cuma matanya, yang mengesankan dia seorang makhluk termulia ciptaan Tuhan, itu pun nampak gelap dihuni hantu-hantu kepedihan.
“ Aku khilaf, Daus, khilaf….” suaranya bergaung murung, seperti datang dari kedalaman tanpa lunas.
Lalu ruang menyuarakan isak, mengeraskan tekanan kemuraman bercampur ke-terasingan. Firdaus mencari ketenteraman dengan jalan menyulut sebatang rokok, sementara aku membuang pandang jauh ke luar pintu, mencari kesejukan pada serumpun kembang yang tetap memancarkan daya hidup kendati tumbuh di dalam pot.
“ Kenapa peristiwa itu bisa terjadi? “ Firdaus kemudian bertanya hati-hati.
Gadis itu tak segera menyahut. Dia beberapa kali mengerjap-ngerjapkan mata sebelum mulai menceritakan rangkaian peristiwa tak terpermanai yang membuat jantera hidupnya lepas gasing.
“ Aku khilaf, Daus, khilaf…” kalimat bermakna sesal itu kembali terucap saat dia mengakhiri kisahnya.
“ Aku bisa mengerti, “ hibur Firdaus dengan bijak, “ Dalam kekalutan orang memang bisa mengambil keputusan yang keliru. “
 “ Ke-sa-dar-an, “ gumaman gadis itu patah-patah, “ Selalu datang demikian lambat, setelah segalanya terjadi, setelah segalanya porak-poranda. “
Firdaus tak berkomentar. Dia kembali mengisap rokoknya dalam-dalam sehingga bara rokok hampir menyentuh batas filter.
“ Di balik itu, Daus, aku juga menemukan satu makna. “
“ Makna apa? “
“ Makna orang-orang kecil yang selalu kalah! “ suara gadis itu meninggi nadanya, seakan menyalurkan sebagian beban yang menjepitnya. “ Makna tangan-tangan berdebu yang selalu luput menjangkau! “ dia mengakhiri ucapannya dengan bibir bertaut kencang, menyimpan rasa geram.
Firdaus mendengus. Dicampakkannya puntung rokok. Ujung sepatunya berputar. Menggilas puntung. Tembakau lumat. Seperti hatinya.
“ Kita belum kalah, be-lum ka-lah. “ ucapnya kemudian. “ Mulai lusa harian Amandit akan membantu kita.  Ini wartawannya, Savitri, “ Firdaus menunjuk ke arahku,  “ Datang untuk melengkapi data. “
Wajah gadis itu pelan berpaling ke wajahku, matanya yang bersaput air nanap menatap. Aku menganggukkan kepala, meyakinkan dirinya bahwa aku dan koranku akan berupaya membantunya sekuat daya.
“ Aku juga akan menghubungi Lembaga Bantuan Hukum untuk membelamu di pengadilan nanti. “ kataku.
Aku berharap ucapan itu akan dapat memancarkan sedikit denyar di matanya. Ternyata tidak. Dua lembah hitam itu semakin gelap, hantu-hantu kepedihan bukan lagi menari-nari di situ, tapi berpesta.
Ah, Galuh Ratnasari, namanya. 25 tahun umurnya. Kesehariannya yang sederhana di kampung Pinang Habang ternyata bergulir ke arah sebuah kemelut. Dan yang namanya kemelut barangkali tak ubahnya seperti jaring laba-laba, sedikit demi sedikit helai-helai benangnya tercipta, saling jalin-menjalin, lalu menjadi sebuah perangkap yang membuat sang mangsa berada dalam situasi amat pengab. Andai mangsa itu lalat maka Galuhlah lalat itu. Keputusasaan yang menjerat bercampur aduk dengan kekalutan, saling meng-hidupi, sehingga ketika ada siluet harapan gadis itu pun menjembanya, padahal siluet harapan tersebut cuma fatamorgana yang kian mencekiknya.
Jadi, siapakah yang patut disalahkan dalam kasus ini? Pertanyaan itu menggi-        ringku untuk menelusuri berbagai sumber dan menghimpun pelbagai bahan, menyaripatikan, kemudian menuliskannya. Aku ingin mengabadikan sesuatu yang kelak retak, sebagaimana kata Goenawan Mohamad dalam salah satu puisinya. Siapa tahu ia bisa menjadi sebuah cermin. Bukankah benang hidup kita punya kemungkinan besar untuk menjadi kusut? Bukankah setiap lelangkah kita juga berkemungkinan mengusutkan benang hidup orang lain?

*****

Seloka Satu

Malam Kunang-kunang


E
ngkaukah itu yang turun dari langit kelabu, bagai derai hujan perlahan-lahan turun ke bumi bisu, menabur bau cempaka dan cendana ke udara beku.[2] Angin malam musim kemarau yang malas mengalir menjadikan keharuman bersarang dalam ruang sehingga kamar tertutup itu tak ubahnya kamar berdinding kayu cendana. Pada tengah kamar terhampar sehelai kain kuning. Di atas hamparan kain terletak pedupaan, mangkok kuningan berisi air rendaman tujuh kuntum mawar campur tujuh kuntum melati dan tujuh kuntum cempaka; beras kuning, tujuh biji telur ayam, tujuh bilah jarum, tujuh gulung benang bola [3], tujuh sikat pisang mahuli[4], .cangkir-cangkir berisi kopi pahit, kopi manis, santan kelapa dan air gula aren. Tak jauh dari sesajen duduk Ning [5] Antih. Tangan perempuan tua itu menangkup di depan dada, matanya terpejam, mulutnya komat-kamit merapal mantera.
Agak di sudut kamar, Galuh Ratnasari berdiri menghadap cermin, meneliti dandanannya. Cahaya lampu 25 watt yang agak meredup oleh kepulan asap pedupaan memaksanya menajamkan pandang. Dilihatnya rambut legamnya telah tersanggul rapi, dihias roncean melati. Pupur, gincu, pensil alis dan pemerah pipi sudah pula memoles wajah tanpa cela. Tubuhnya yang padat berisi dibungkus kebaya warna ungu berbelahan dada rendah, menampakkan intaian sebagian lereng dan lembah bukit kembarnya; sarung batik dengan motif pucuk rebung ketat melilit, memetakan pinggul yang menonjol.
Perlahan Galuh melangkah ke atas kain kuning, duduk bersimpuh menghadapi Ning Antih. Ning Antih membuka mata, mengangkat pedupaan, berjalan mengelilingi tubuh Galuh tujuh putaran, meniup-niupkan kepulan asap, lalu menghadap ke arah matahari hidup [6]. Dia kini berdiri tunggal kaki. Kaki kanan dilipat ke lutut kiri sementara kaki kiri penyangga tubuh sedikit membengkok.
Bunyi hentakan kaki kanannya ke lantai merupakan pertanda rapalan manteranya selesai. Galuh segera memejamkan mata rapat-rapat sampai cahaya hitam campur warna kekuning-kuningan melingkup. Dikosongkannya pikiran. Diaturnya nafas. Saat arus panas terasa berputaran di daerah pusar dan kemudian pecah mengaliri urat-urat darah, dirapalnya mantera.
Sedikit demi sedikit ia mengambang ke ruang kehampaan. Hakikatnya kini berpegangan di asap dupa, menaiki tangga asap menyan putih, menyusupi wilayah tak kasat mata. Mengencana menuju Padang Banjuran Purwasari, wilayah milik makhluk-makhluk gaib, padang pahajatan [7] orang-orang yang mencari nafkah melalui pekerjaan yang berhubungan dengan alam karamian.[8]
Beberapa menit kemudian tubuh Galuh bergetar. Dadanya turun-naik dengan cepat, sementara bunyi hembusan nafasnya terdengar keras menyuarakan sengal. Ning Antih cepat meniup ubun-ubun gadis itu dan memercik-mercikkan air kembang. Getar tubuh Galuh reda, hembus nafasnya pun kembali seperti biasa.
“ Istirahatlah, “ ucap Ning Antih setelah Galuh membuka mata, “ Sepenanak nasi lagi baru kita ke luar dari rumah. “
Ning, dalam semadi tadi aku melihat hal yang tak biasa. Sesosok tubuh berlumur darah melayang ke arahku. “
“ Engkau kenal dia? “
“ Tidak, sosok itu tak berwajah. “
“ Lalu? “
“ Aku berusaha mengelak tapi tak bisa sehingga darah memerciki wajah dan dadaku. “ suara Galuh  ke luar dalam nada kuatir. “ Apakah itu merupakan pertanda bu-ruk, Ning? “
Ning Antih mengangkat bahu. “ Melihat darah memancur bukanlah hal aneh dalam kehidupan orang seperti kita. “ sahutnya sambil membuka pintu. Langkahnya agak tertatih ke luar kamar.
Galuh menghela nafas panjang lantaran jawaban itu sama sekali tak memuaskannya. Dia beranjak membuka jendela. Memandangi kirai malam. Kunang-kunang nampak berterbangan. Puluhan satwa kecil bercahaya kehijau-hijauan itu menelusupi lumut-lumut malam, berputaran di sekitar sarubung [9] berhias rumbai-rumbai pucuk enau.
Mata Galuh nanap. Pikirannya segera mengidentifikasikan dirinya sebagai kunang-kunang itu, sebab di bawah sarubung bersimbah cahaya neon itulah, sebentar lagi, ia tak ubahnya kunang-kunang yang mengorakkan pesona penarik ingin untuk ditangkaplepasi.  Menjadi seorang gandut, wanita penghibur yang mengais rupiah dari hasil menyanyi dan menari dengan gerakan-gerakan erotik berjelujur ekspresi pengundang birahi, wanita yang seakan menyediakan diri untuk menjelma korban di hadapan para lelaki.

***

L
elaki-lelaki yang datang ke arena gandut umumnya berbekal fantasi erotis. Di mata mereka berpijar bayang akan ranjang, nafsu birahi dan kenikmatan. Di pihak lain, gandut seakan menyediakan diri menjadi tempat labuh fantasi itu : pakaian ketat yang mencetak liku-liku tubuh, mata yang mengerling mendayu, bibir yang merekah basah, nyanyian yang membuai, pinggul dan dada yang bergoyang.
Maka lelaki-lelaki pun ganti-berganti mengayuh dan melabuhkan fantasi mereka, menyanyi dan menari bersama sang gandut. Siapa pun lelaki itu, dari mana pun asal kampungnya, bagaimanapun tampangnya, sejelek atau sebaik apapun kelakuannya, kalau sudah menyerahkan sejumlah uang berarti punya hak untuk maigali. Juga punya hak untuk memilih lagu. Boleh lagu Baganding dengan gerakan langkah pelan maju-mundur yang sederhana. Boleh lagu Mangandangan, lagu yang gerak tarinya memungkinkan lelaki bergerak agresif sambil mengembangkan kedua lengan untuk mendesak, menyudutkan dan mengandang si gandut. Boleh pula lagu Mandung-mandung, lagu yang langkah penarinya mengandung gerak-gerak pencak silat dan memberi peluang untuk berupaya mencolek pipi, menjawil dagu, meremas dada, bahkan kalau mampu mencium si gandut.
Kejahilan lelaki kadang berhasil lantaran gandut kurang lihai menghindar, kadang pula mencapai sasaran karena si gandut  sengaja membuka peluang dengan maksud memancing gairah lelaki untuk mengeluarkan lembaran rupiah lebih banyak dari kantong. Dalam suasana semacam itu, benarlah kata Ning Antih, melihat darah merupakan hal biasa bagi seorang gandut. Maklum persaingan para lelaki itu merupakan persaingan terbuka di bawah ratusan tatap mata, persaingan dalam mempertunjukkan kemahiran menari mau pun persaingan memperlihatkan bonafiditas diri yang nampak dari besar-kecilnya uang yang diserahkan pada ­gandut.
Di antara para penonton, Firdaus membiarkan urat-urat darahnya dijelujuri alunan musik. Matanya, seperti dikelindankan oleh benang-benang magis, seakan tak mampu lagi berkisar dari sosok Galuh. Bukan main gandut yang satu itu, pikirnya, seperti peri yang turun mandi saat purnama tiba. Betapa tidak, ayunan langkahnya lunak bagai peri merambat di atas air telaga, liuk tubuhnya gemulai bagai peri bersijingkat di akar malam, gerak tangan dan jemarinya mempesona bagai gerak tangan peri menenun impian pucuk fajar, dan suaranya mengkili-kili hati laksana nyanyi peri yang duduk berjuntai di atas karang samudera.
Maka ketika babak berganti Firdaus pun memasuki arena. Dia berhenti di hadapan Galuh. Kakinya bersilang, sedikit tertekuk. Pelan diangsurkannya dua tapak tangan yang menangkup ke arah Galuh. Hormat dan takzim. Sikap khas seorang peigalan sejati.
Galuh menatap sekilas. Lalu dengan sikap yang tak kalah hormat diambilnya selembar lima ribuan yang terselip di antara tapak tangan lelaki itu. Setelah menaruh uang ke dalam sasanggan [10] Galuh pun berjalan ke tengah arena. Ekor matanya sempat menangkap acungan dua jari lelaki itu ke arah para pemusik, tanda meminta lagu Mandung-mandung.
Gesekan biola, petikan panting[11], pukulan babun[12] dan dengungan gong kembali mengalun. Galuh menyanyi sambil bergerak penuh kewaspadaan, maklum ia merasa menghadapi seorang lelaki asing yang belum diketahui sebatas mana takaran kemampuan menarinya. Firdaus juga bergerak. Melihat gerak tarinya kewaspadaan Galuh turun beberapa tingkat. Keroyalan lelaki ini ternyata tak sebanding dengan kemampuannya menari, pikir Galuh, geraknya cumalah gerak dasar yang kasar, sekadar menuruti irama, jauh dari kedalaman dan sama sekali kehilangan keindahan. Melayani pasangan macam itu, Galuh ayal-ayalan, bergerak seperti robot yang diprogram bunyi musik.
Memasuki kuplet kedua, Firdaus tiba-tiba mengubah langkah menjadi langkah kembang silat yang aneh. Dia meliuk. Mendekat. Meniti irama seraya mengulurkan ta- ngan kiri untuk menjamah dada Galuh. Bibir Galuh mencibir, mengejek, tangannya cepat melakukan tangkisan. Sebelum kedua tangan bertemu, Firdaus menyusup ke sisi Galuh, tangan kanannya terulur. Galuh kaget. Ia pun segera berupaya menangkis tapi sudah amat terlambat. Seiring hentakan bunyi babun dan bunyi gong, Galuh merasakan elusan lembut jemari si lelaki di dagunya.
Wajah Galuh panas, merah oleh rasa jengah. Selama 4 tahun menjadi gandut maka ini kali pertama seorang lelaki berhasil menyentuh bagian tubuh yang dilindungi-nya. Sementara itu, di tengah seruan-seruan penonton, leher Ning Antih tegak, penasaran melihat anak asuhnya berhasil disentuh orang, sentuhan yang bukan dikarenakan gandutnya memberi peluang. Mata Ning Antih jadi agak menyipit, berusaha mengenali gerak si lelaki.
Di arena, Galuh memusatkan pandang. Si lelaki kembali mengubah gerak, agak patah namun agresif. Kewaspadaan Galuh kini memang sudah jauh meningkat tapi hal itu belum cukup jua. Bertepatan bunyi gong  Firdaus berhasil lagi menyusup. Dia menum-pukan berat badannya ke kaki kanan sembari mendoyongkan tubuh dan menjulurkan leher. Ya, Tuhan! Galuh menggigit bibir. Jarak antara bibirnya dengan bibir lelaki itu kini tak lebih dari lima jari! Sungguh, kalau Firdaus tak menahan gerak pastilah bibirnya akan hinggap mengecup bibir sang gandut.
“ Sikat, Bleh! [13] “ seru seseorang.
“ Tancap, Nyil! [14] “ sambung yang lain.
Komentar-komentar layak sensor mengumandang. Gelak tawa riuh. Ning Antih tidak lagi duduk santai. Dia berdiri sambil bertolak pinggang.
“ Galuh! “ teriaknya. “ Hati-hati, itu langkah Kayi[15] Sakarti! “
Kumandang teriakan Ning Antih tiba-tiba membuat suasana arena berubah. Perbawa nama Kayi Sakarti yang diucapkan Ning Antih mengakibatkan mulut penonton sama terkatup. Mendiang Kayi Sakarti memang salah satu mitos dalam dunia gandut. Di masa lalu, orang akan merasa sebuah pertunjukan gandut kurang semarak jika Kayi Sakarti tak muncul di arena. Selain merupakan penggesek biola jempolan Kayi Sakarti memiliki gerak tari yang sempurna dan penuh variasi. Langkah kembang silatnya demikian aneh sehingga bagaimana pun lihainya gandut menghindar Kayi Sakarti senantiasa berhasil mencuri ciuman.
“ Engkau Firdaus? “ tanya Ning Antih sambil bertolak pinggang di hadapan lelaki muda itu.
“ Benar, Ning, lama kita tak jumpa. “ sahut Firdaus sambil menyalami Ning Antih.
Ning Antih terkekeh. Di matanya segera terbayang seorang bocah berusia 10 tahun yang selalu dibawa Kayi Sakarti gelandangan ke arena-arena gandut di berbagai kampung. Bocah yang kemudian tumbuh menjadi seorang anak muda, paigalan gandut yang berpuluh tahun hilang dari bawah sarubung.
“ Anak muda, ayo pupuskan rinduku pada langkah Kayi Sakarti. “ suara Ning Antih kembali mengumandang. Tangannya memberi tanda ke arah para pemusik. Irama berubah. Lagu Mangandangan mengalun.
 Mmhh, Ning Antih agaknya kepingin melihat caraku mengandang kunang-kunang, pikir Firdaus. Di lain pihak, Galuh segera membuang rasa jengah. Dia bersiap mengeluarkan gerak simpanan Ning Antih, gerak imbangan langkah Kayi Sakarti.
Seluruh penonton memakukan pandang ke tengah arena, hendak merekam langkah peninggalan tokoh legendaris dunia gandut itu. Firdaus mengambil nada di dawai biola lalu mulai menyanyi.
                       Dimapa akal manimbai lunta
                           Bagaimana akal melempar jala
                       Akar manggis bakulilingan
                           Akar manggis berkelilingan
                       Dimapa akal handak malupa
                           Bagaimana akal hendak melupa
                      Nang hirang manis bakurihingan
                          Yang hitam manis bersenyuman

Lirik lagu dan suara merdu Firdaus entah kenapa membuat hati Galuh berdesir. Desiran itu memaksa sang kunang-kunang menarik nafas panjang sebelum menganyam kata untuk membalas nyanyian Firdaus.

Manabang bamban di kampung Ganda
Menebang bemban di kampung Ganda
Pucuk karing dilipat-lipat
Pucuk kering dilipat-lipat
Lamun dandaman lawan adinda
Kalau rindu dengan adinda
Paluk guguling panggil sumangat
Peluk guling panggil semangat


Senyum keduanya terkembang. Bunyi babun menghentak. Mereka bergerak meniti irama. Menari dalam paduan sempurna, gerak indah dunia gandut yang jarang ditemui. Hakikat Firdaus sekarang adalah hakikat halang sapah, elang berbulu merah. Melayang. Menyambar. Hakikat Galuh adalah hakikat hayam alas, ayam liar. Menyusup. Menghindar dengan gemulai.

Kariwaya ditampur ribut
Ditampur ribut akar tunjangnya
Kalu kawa injam salimut
Injam salimut lawan urangnya
Kariwaya dilanda ribut
Dilanda ribut akar tunjangnya
Kalau bisa pinjam selimut
Pinjam selimut dengan orangnya

Lirik lagu Firdaus yang menggiring orang ke fantasi erotis itu segera mendapat tanggapan berupa suitan panjang dan tepukan tangan penonton. Galuh sejenak memikir pantun yang bakal dinyanyikannya untuk mengimbangi pantun Firdaus.

Burung lapas di higa paring
Ada saikung di bawah tangga
Kakanda bungas kamari guring
Ada bantal muat badua
Burung lepas di sisi bambu
Ada seekor di bawah tangga
Kakanda tampan kemari tidur
Ada bantal muat berdua

Mendengar itu penonton kembali bersorak dan mendengungkan komentar tak senonoh. Galuh dan Firdaus tak peduli, terus bergerak mengitari arena. Menjelang ke ujung lagu, langkah aneh Firdaus muncul. Melalui langkah segitiga digiringnya Galuh ke tiang tengah pembatas arena. Kedua lengannya mengembang turun naik, tak memberi peluang bagi sang kunang-kunang itu untuk menyusup. Galuh pun tak bisa menghindari kandangan Firdaus.
Maka tepat di akhir lagu Galuh cuma bisa tersandar di tiang bambu pembatas arena, di antara kedua lengan Firdaus. Wajah mereka rapat, disela udara tipis. Tatapan mereka bertaut. Sekejap. Dua kejap. Tiga kejap. Berkejap-kejap. Aduh, begitu bening mata itu, pikir Galuh, bersinar-sinar menyihir hati, membuat orang merasa ingin berendam di dalamnya.
Firdaus mencium bau parfum. Harum. Nyaman. Dia pandangi sepasang mata se-teduh tasik di tengah lembah, hidung yang bangir, rekah bibir yang sensual. Matanya menelusuri leher Galuh. Wow, leher jenjang berkulit hitam manis terbakar matahari. Pandangannya turun. Ooo, dada yang ranum. Dan keringat yang mengembun di dahi serta di puncak hidung Galuh menarikan imaji yang membuat regukan ludah Firdaus terasa tersekat di kerongkongan.
Galuh akhirnya merasa tak tahan berada di bawah belai mata lelaki itu. Dia melengos sehingga telinganya kini yang rapat pada bibir Firdaus.
“ Engkau hutang dua ciuman malam ini. “ bisik Firdaus.
Galuh kian tersipu. Sebutir keringat menggelincir dari anak rambut dekat telinga, menetes ke lengan Firdaus. Hangat. Nyaman.

*****

G
aluh berganti pakaian. Celana jeans dan sweter ketat membungkus. Setelah merapikan jurai rambut panjangnya ia membuka pintu. Di ruang tamu, duduk Sofyan, bos perusahaan pertambangan batubara yang tadi menanggap kelompok gandutnya. Di hadapan lelaki berumur 60-an itu, di atas meja, nampak tiga botol bir. Dua botol sudah kosong, satu botol lagi bersisa seperempat sedang isi cangkir tinggal separo.
Sofyan menatap lekat, menjadikan lekuk-lekuk tubuh Galuh sebagai santapan lezat matanya. Galuh sendiri merasa agak rikuh sebab di mata lelaki itu ditangkapnya gelombang pijar-pijar berahi, pijar yang seakan menanggalkan pakaiannya selapis demi selapis.
“ Kami hendak pulang….” ucapnya kemudian, memupus rasa rikuh.
Sofyan tersenyum. Dia berdiri, memasukkan tangan ke kantong sisi celana, me-     ngeluarkan sebuah amplop dan menyerahkannya pada Galuh.
“ Terima kasih. “ kata Galuh sambil menyambuti amplop itu.
“ Dari uang di amplop itu seberapa besar bagianmu? “ tanya Sofyan.
“ Antara dua puluh sampai dua puluh lima ribu. “ sahut Galuh jujur.
Sofyan tersenyum lagi. Tanpa kentara dia mendekat selangkah.
“ Kamu bisa mendapatkan sepuluh kali lipat jika kamu mau menginap bersamaku di sini. “ tawarnya. Tatapannya tambah lekat ke wajah Galuh, ingin menikmati ekspresi sok malu-malu atau sok jual mahal dari kaum perempuan yang biasa ditemuinya jika tawaran seperti itu terlontar.
Akan halnya Galuh, dadanya menyenak mendengar ucapan Sofyan, seonggok duri rasanya menggeliat di sana. Dan beraian rasa sakit membuatnya menggigit bibir. Celakanya, gigitan bibir itu ditafsirkan Sofyan dalam bentuk lain. Tangan lelaki itu terulur, mengusap pinggul Galuh dan mencubitnya. Refleks sang kunang-kunang menepis tangan itu lalu menjauhkan diri. Sofyan ketawa mengakak, merasa menemukan permulaan permainan yang menyenangkan.
“ Barangkali perlu kutambah….” ujarnya kemudian.
Galuh mundur dua tindak. Geliat duri di dalam dada kini menghasilkan gumpalan kemarahan yang berputaran mencari jalan ke luar.
“ Terima kasih, saya permisi. “ kendati berusaha melembutkan suara namun ucap-an itu tetaplah terdengar getas.
Tanpa menunggu sahutan dia berbalik, melangkah bergegas ke luar rumah. Sofyan memandangi sosok kunang-kunang yang menjauh itu. Tidak selamanya ikan berhasil didapat dengan sekali mengulur pancing, pikirnya. Dia menyeringai. Mengambil cangkir dan menghirup birnya.


***

Seloka Dua

Kepak Sayap Kunang-kunang


A
kankah di sini terbina sebuah istana dengan pintu jendela besar-besar dan lampu berantukan, bukankah istana di kota yang pernah kulalui dahulu belantara tiada taranya.16 Kampung Pinang Habang memang telah mengalami sedikit perubahan. Mulanya kampung di hunjuran Pegunungan Meratus itu dikenal sebagai kampung kesenian tradisional. Di situ ada dalang wayang kulit yang kesohor di Kalimantan Selatan. Ada kelompok wayang gung, kesenian yang biasa menggelar kisah Ramayana. Ada grup Mamanda, yang biasa “mendirikan” kerajaan di bawah nyiur. Dan, tentu saja, ada gandut.
Kini, kendati berjarak belasan kilometer dari Kandangan, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Pinang Habang menjadi kampung yang terbilang besar dan ramai. Berawal dari lewatnya beberapa buldoser dan eskavator, pembukaan jalan besar antarkabupaten melalui wilayah pegunungan yang menghubungkan Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan Kabupaten Kotabaru, serta masuknya perusahaan pertambangan batubara. Jalanan kemudian beraspal hotmix. Berpuluh-puluh truk pun hilir-mudik, mengangkut batubara dari pertambangan ke Banjarmasin. Taksi antarkabupaten bermunculan, taksi pedesaan yang mengubungkan Kandangan – Loksado—si primadona kawasan wisata Kalimantan Selatan--, meramaikan lalu-lalang kenderaan. Penduduk Pinang Habang melihat terbukanya sebuah peluang. Maka di pinggir-pinggir jalan bermunculan warung makanan dan minuman, menawarkan wadah istirahat sejenak pada para sopir dan penumpang sebelum menempuh perjalanan panjang.
Di antara warung-warung itu ada sebuah warung yang paling sering disinggahi para sopir. Selain makanannya enak dan murah meriah, ada pesona lain yang menjadi daya magnit, yaitu sang pemilik, gadis bernama Galuh Ratnasari, gandut tercantik kampung Pinang Habang.
Siang itu, warung lagi sepi. Maklum sebagian besar sopir truk tengah berada di perjalanan, sedang sebagian yang lain biasanya memilih tidur di base camp sementara menunggu truk dimuati. Jari-jari Galuh lincah menganyam ketupat. Tak jauh dari sisinya Ning Antih menyandar ke dinding sambil menikmati rokok.
“ Tadi malam engkau nampak kesal ketika ke luar dari rumah Sofyan. “
 “ Bos batubara itu menganggapku sebagai seorang pelacur. “ sahut Galuh.
“ Oo…” suara Ning Antih pendek dan ringan.
 Baginya, hal itu juga hal biasa. Gandut memang belum bisa sepenuhnya lepas dari sejarah. Dulu, sekitar tahun 1850, ketika gandut Komalasari disunting menjadi permaisuri oleh Sultan Adam, sang penguasa Kerajaan Banjar, gandut menaik pamornya dan menikmati kejayaan selama lebih satu abad. Seiring dengan itu citra hitam juga melumur. Sebagian gandut berusaha menangguk kemakmuran lewat jalan pintas. Mereka layani fantasi erotis lelaki, terengah di bilik pelacuran terselubung. Maka jadilah kesenian rakyat Kalimantan Selatan itu sebagai sebuah pertunjukan yang dibumbui minuman keras, perjudian, perkelahian, dan seks yang menghanyutkan. Garis batas antara kesenian dan pelacuran sudah tak jelas lagi. Hukum masyarakat kemudian mengonotasikan gandut ke arah kemaksiatan, identik dengan kemesuman. Citra hitam masa lalu itulah yang belum sepenuhnya berhasil ditepis, tetap menjuntai ke masa kini. Banyak orang yang menganggap seorang gandut merupakan wanita yang bisa dibawa ke hotel-hotel, wanita yang gampang diajak ke tempat-tempat “pembantaian”.
“ Jika anggapan seperti itu terus diambil hati maka kemarahan tak akan habis-habisnya. “ ucap Ning Antih kemudian. “ Dunia gandut, Luh, adalah dunia yang semata-mata berisi senyuman, walau pun kadang senyum itu merupakan seringai luka. Apabila senyum hilang maka hilanglah pesona. Dan hilangnya pesona sama artinya dengan hilangnya rezeki. Orang tidak akan menanggap gandut bermata kuyu berwajah beku. Karena itu hadapilah semua cerca dan nista dengan senyuman.  Orang boleh menganggap kita nista asal kita tetap terhormat di mata Tuhan. Camkan ini, agar engkau bisa menjadi gandut yang baik sebagaimana Ibumu dulu. “
Mata Galuh menerawang. Ucapan Ning Antih itu mengingatkannya pada sang ibu. Serasa terngiang lagi ucapan ibunya yang dengan sabar menampung keluhnya ketika menerima ejekan dan hinaan teman-teman sekolah dulu, ejekan dan hinaan karena ia ditakdirkan menjadi anak seorang gandut.
“ Almarhumah Ibu dulu pernah mengatakan hal yang sama. “ desah Galuh kemudian.
“ Yaahh…” Ning Antih membuang nafas berat. “ Ibumu memang merupakan gandut terbaik pada masanya. Kupikir kesalahannya cuma satu… “ mata Ning Antih menerawang, membayangkan lagi kiprahnya dulu bersama ibu Galuh, murid terbaiknya. “ Wajah Ibumu yang cantik, senyumnya yang berlesung pipit, sebenarnya bisa membuatnya tenang menghadapi hari tua. Waktu itu banyak orang kaya dan orang berpangkat yang tergila-gila padanya. Tapi dengan alasan cinta…cinta…huh…Ibumu justru memilih Ayahmu, petani yang cuma punya beberapa petak sawah. Akibatnya, kepontangpantingan kehidupanlah yang diwariskan pada kalian. “
Galuh diam. Ini bukan kali pertama Ning Antih seperti menyesali pilihan ibunya terhadap ayahnya dulu. Galuh mengakui bahwa ibunya bukanlah seorang wanita sempurna, tapi baginya ibunya adalah wanita yang luar biasa. Di samping menjadi gandut ibunya juga seorang petani yang rajin, membantu ayahnya merawat sawah dan kebun. Selain itu kepandaian ibunya memasak dan membuat kue-kue amat membantu menegakkan ekonomi keluarga, paling tidak dari hasil berjualan makanan dan kue itulah dia dan adiknya bisa sekolah.
Ayahnya juga merupakan seorang pekerja keras, pejuang kehidupan yang tak kenal lelah. Dulu, ayahnya juga berjuang untuk republik tercinta ini, menjadi anggota ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan di bawah pimpinan Hassan Basry—Bapak Geril-ya Kalimantan--, menghadapi hujan peluru Belanda untuk mengembalikan Kalimantan menjadi wilayah negara kesatuan RI yang karena Persetujuan Linggarjati berada di luar status de facto RI. Setelah cita-cita itu tercapai, pemerintah RI mengambil kebijakan menekan jumlah tentara dengan jalan mengembalikan sebagian gerilyawan ke masyarakat. Ayahnya termasuk orang yang didemobilisasikan, mendapat pesangon 50 rupiah, tidak diakui sebagai veteran dan karenanya tidak berhak menerima uang pensiun.
Perlakuan itu tidak membuat ayahnya kecewa. Sementara sebagian rekan seperjuangan yang tidak puas melakukan pemberontakan melalui gerombolan Kesatuan Rakyat yang Tertindas di bawah pimpinan Ibnu Hajar, ayahnya kembali ke kampung. Kembali menggarap sawah, memelihara kebun, menangkap ikan. Lalu kawin dengan gandut tercantik kampung Pinang Habang. Beberapa tahun kemudian lahirlah dirinya, disusul adiknya, Yazid dan Hayati. Empat tahun setelah lahir Hayati, ayahnya meninggal.
“ Karena itu engkau jangan mengulangi kesalahan yang sama. “ suara Ning Antih kembali memasuki gendang telinga Galuh. “ Terlebih di masa sekarang di mana harta, pangkat dan gelar, menjadi ukuran kebahagiaan dan keberhasilan seseorang. “
Galuh tak menanggapi. Jauh di dalam hati ia yakin bahwa ibunya tidaklah salah sewaktu memilih ayahnya. Kalau kehidupan ibunya kini seperti terulang pada kehidup-annya maka itu semata-mata hanyalah soal nasib. Nasib kadang memang enggan berbagi. Tidak setiap anak manusia punya kehidupan lebih cerah dari pendahulunya.
“ Si Sofyan itu dulu anak seorang wedana. Dia juga tergila-gila pada Ibumu. Di mana pun kami ditanggap orang, dia selalu hadir. Sayang dia tak bisa menari sehingga berkali-kali membujukku dan Ibumu agar berkenan melayaninya manunggul. “
Alis Galuh berkerut. Manunggul  adalah salah satu repertoar gandut yang sudah lama tak pernah digelar lagi. Pada repertoar itu lelaki masuk arena dengan berselubung kain sarung sehingga tak terlihat wajahnya, duduk di kursi yang telah disediakan sebelumnya, lalu sang gandut menyanyi sambil duduk di pangkuan si lelaki.
“ Ibu pernah melayaninya? “
“ Sekali. Cuma sekali, lantaran merasa iba terhadapnya. “ ujar Ning Antih. “ Perlakuan istimewa itu dianggapnya sebagai pernyataan cinta maka dia datang ke sini melamar Ibumu. Lamaran itu ditolak Ibumu dengan halus. “
“ Dia marah? Dendam? “
“ Tentu saja. Begitu mendengar Ibumu mau kawin, dia menantang Ayahmu berkelahi. Mulanya Ayahmu tak menanggapi tapi karena ditantang terus maka perkelahian akhirnya tak dapat dihindarkan. Kalau tidak karena Kayi Sakarti yang kebetulan bertamu ke rumahku, mampus si Sofyan itu. Keris Naga Runting Ayahmu sudah hampir menancap  di leher Sofyan, untung saja Kayi Sakarti berhasil menepis keris itu dan melerai mereka. “
“ Mmhh, barangkali dia melihat bayang-bayang Ibu padaku sehingga berniat membalas dendam dengan jalan berbuat tak senonoh. “
“ Jangan cepat berburuk sangka, Luh, dia sudah cukup tua. “ sergah Ning Antih.
“ Ya, tua-tua keladi. Para sopir sering berceloteh tentang perempuan-perempuan yang dibawa Pak Sofyan menginap di base camp. “ sahut Galuh cepat.
“ Kalau begitu engkau perlu mengatur langkah pengamanan. “
“ Caranya? “
“ Sederhana saja, cari suami….
“ Ah, Ning! “
Ning Antih terkekeh. “ Cucu si Sakarti tadi malam nampaknya boleh juga, Luh. “ ujarnya kemudian.
Galuh cemberut, tapi hatinya secara aneh berdesir. Dan desiran itu kian keras ketika sebuah truk parkir, memunculkan wajah lelaki itu. Firdaus. Penuh hormat dia menyalami Ning Antih.
“ Kata Kayi Sakarti dulu engkau kuliah di Banjarbaru. “
“ Benar, Ning. “
“ Sekolah apa? “
“ Pertanian. “
“ Selesai? “
“ Alhamdulillah, selesai , empat tahun yang lalu. “
“ Woow, kalau begitu tukang insinyur macam si Doel kendati jenisnya lain. “ Galuh dengan ramah menyusup ke dalam pembicaraan. “ Mau minum apa? “ tawarnya.
“ Teh  es…”
“ Makan? “
“ Nanti…” sahut Firdaus seraya menyulut rokok.
“ Kalau sudah tukang insinyur kenapa sekarang jadi sopir truk? “ tanya Ning Antih.
“ Zaman sekarang cari kerjaan susah, Ning. Si Doel kan juga tidak langsung dapat kerja kantoran setelah selesai sekolah. “
“ Sudah berapa tahun menyopir? “ ujar Galuh sambil menghidangkan teh es.
“ Yaaa…empat tahun itu. Dulu aku ditempatkan pada pertambangan di Kabupaten Tabalong, baru empat hari ini dipindahkan ke sini. “
“ Sekarang tinggal di mana? “ kali ini pertanyaan datang dari Ning Antih. “ Masih di Kampung Panggumbaan? “
“ Benar, Ning, Almarhum Kayi mewariskan rumah itu untukku. “ sahut Firdaus setelah menghirup minumannya.
“ Daus, ada satu hal yang ingin kupesankan padamu. “ ujar Ning Antih dengan wajah dan nada yang amat serius. “ Engkau hendaknya lebih berhati-hati kalau melewati daerah Pakajangan. “
“ Kenapa, Ning? Daerah itu angker? “
“ Apa Kayi Sakarti dulu tak pernah bercerita tentang daerah itu ketika memboncengmu di motor bututnya? “
Firdaus menggelengkan kepala. Dia mencoba membayangkan daerah itu. Pakajangan boleh dikata berada di pertengahan antara Pinang Habang – Kandangan. Lintasan di situ memang menuntut kehati-hatian ekstra, menurun dan mendaki dengan beberapa tikungan tajam sementara di akhir turunan dan awal pendakian berikutnya ada sebuah jembatan yang sungainya dihuni batu-batu besar.
“ Daerah pinggiran sungai, dekat jembatan, konon dijadikan tentara Jepang sebagai wadah penyembelihan manusia. Menurut cerita, hampir ratusan orang yang kepalanya penggal oleh tebasan samurai. Pada waktu-waktu tertentu, terutama saat senja kuning atau bulan mati, di situ muncul hantu-hantu tanpa kepala. “
“ Wah…”
“ Memang wah, karenanya berhati-hatilah kalau lewat di sana. “
“ Hantu-hantu itu konon hendak membalas dendam pada Jepang….” Galuh menambahkan. “ Karena Jepang sudah tak ada mungkin saja mereka mengalihkan dendamnya pada produk Jepang, termasuk trukmu itu. “
Firdaus ketawa. Masak tak ada Jepang maka mobil produk Jepang yang jadi sasaran. Bukankah itu takhyul yang berlebihan?
“ Engkau tidak percaya, ya? “sergah Galuh karena merasa ditertawakan ucapannya. “ Sudah banyak terjadi kecelakaan di situ, rata-rata korbannya mati. Semua kenderaan yang celaka itu merupakan produk Jepang. “
Mungkin itu ada benarnya, pikir Firdaus, tapi tentu ada juga salahnya. Mobil atau motor yang ada di wilayah ini hampir semuanya produk Jepang, persentase produk Amerika, Perancis atau Korea amatlah kecil, nyaris bisa dinisbikan.
“ Bagaimana kalau nanti merk truk itu kuganti dengan merk yang bukan keluaran Jepang? “ katanya kemudian.
Galuh tahu kalau dia diajuk maka senyumnya mekar. Dan pesona jualah yang muncul dari senyum itu ketika menerpa mata Firdaus. Maka dia mengerjap, seakan merekam pesona itu ke dalam otaknya.
Sebuah taksi pedesaan berhenti di depan warung, menurunkan penumpang. Yazid dan Hayati ke luar dari taksi, membayar ongkos lalu melangkah ke rumah yang letaknya sedikit di belakang warung.
“ Itu adikmu? “
“ He-eh. Yang lelaki, Yazid, kelas tiga Madrasah Aliyah. Yang wanita, Hayati, kelas satu SMEA. “
“ Mereka sekolah di Kandangan? “
“ He-eh. “
“ Kalau kebetulan aku sampai di Kandangan menjelang jam pulang sekolah akan kutunggu mereka di terminal. “
“ Hemm, angkutan gratis? “ ajuk Galuh.
“ Ya. Siapa tahu aku bisa makan siang gratis juga di sini. “ balas Firdaus.
“ Engkau berminat? “ Ning Antih menyela.
“ Berminat apa, Ning? “
“ Mendapatkan yang serba gratis di sini? “
Firdaus ketawa. “ Batang kenari, Ning, kembangnya layu. Layu tiada disari kumbang. Datang ke mari, Ning, merasa malu. Malu tiada disapa orang. “ ujarnya kemudian merangkai pantun.
“ Perkutut, Daus, burung perkutut. Burung perkutut bersabung buntut. Kalau ada, Daus, jodoh menuntut. Orang tua bisa mematut. “ sambut Ning Antih.
Galuh cemberut. “ Sulit pedati jalan di pinggir. Batang pisang banyak getahnya. Sakit hati mendengar sindir. Orang bujang banyak tingkahnya. “
Ning Antih terkekeh. Firdaus tersenyum dan menghabiskan teh-esnya. Ekor mata Galuh kemudian mengiringi langkah lelaki itu ke arah masjid yang berjarak tiga rumah dari rumah Ning Antih, tak jauh dari warung. Ning Antih mendehem. Galuh pun tersipu.


***



W
arung ramai oleh beragam celoteh. Sofyan ada di situ, mendominasi pembicaraan. Kentara benar lagak dan cakapnya untuk menarik perhatian Galuh. Firdaus memesan makanan, duduk di sudut.
“ Daus, aku tak mengira kalau engkau cucu Kayi Sakarti. “ kata Sofyan. “ tarian-mu tadi malam bagus sekali, mengingatkanku pada tarian Kayi Sakarti dengan Ibunya Galuh dahulu. “
“ Rupanya Bapak senang juga nonton gandut. “ sahut Firdaus.
“ Aku ini boleh dikata merupakan pecinta gandut tiga generasi. “ Sofyan meng-acungkan tiga jari tangan kanannya. “ Aku sudah hadir di bawah sarubung ketika Ning Antih masih menjadi gandut. Lalu angkatan Jumantan, Ibunya Galuh ini. Sampai pada angkatan Galuh sekarang. Tiga generasikan? “
“ Hebaaat… “ Fahrul, salah seorang sopir truk, menyahut. “ Kenapa Bapak tak turun ke arena tadi malam? “
“ Aku tak bisa menari, Rul. Seorang pecinta gandut tidak mesti pandai menarikan? “
Orang-orang membenarkan. Di sudut warung, Firdaus mulai menyantap makanannya.
“ Nanti pada setiap purnama kita gelar gandut di base camp. “ kata Sofyan lagi.
“ Benar, Pak? “ kejar Fahrul.
“ Benar, tapi ada syaratnya. “
“ Apa, Pak? “ seorang sopir lain angkat suara.
“ Aku diperkenankan manunggul. Maukan, Luh?
Galuh sambil tersenyum menggelengkan kepala.
“ Kenapa tidak? Kujamin cuma aku saja yang manunggul, orang lain tak boleh. “
“ Tidak, Pak. Hal itu akan merusak dunia gandut. “ sahut Galuh.
“ Kita tidak merusak. Kita cuma mengembalikan manunggul ke bawah sarubung. Sedikit banyak gandut memerlukan itu, sebagai penglaris. Kalau tidak gandut bisa habis dimakannya orkes dangdut atau karaoke. “
Galuh cuma tersenyum, tak menanggapi lagi. Sofyan tahu kalau pancingannya belum juga berhasil maka ia pura-pura melihat jam tangan.
“ Waah…keasyikan bicara rupanya. “ katanya kemudian. “ Aku harus ketemu Bupati lepas Asyar nanti. “
Dia mencabut dompetnya dari kantong belakang celana, mengeluarkan lembaran sepuluh ribu.
“ Pikirkan soal manunggul itu. “ katanya. “ Kembaliannya simpan saja. “ lanjutnya sambil menyerah uang.
“ Terima kasih, Pak. “
“ Kembali kasih. “ sahut Sofyan sambil mengakak meninggalkan warung.
Galuh memintaskan pandang ke arah Firdaus. Lelaki itu cuma tersenyum seraya mengedipkan sebelah matanya.


*

Seloka Tiga

Damba Kunang-kunang



D
i pinggir mimpiku selalu terbaring sunyi yang dingin, bunga di taman mengabut kenangan warna di depan, dan lihatlah, kekasih, ruhku menggigil memanggilmu dalam jerit dalam dekapan luka dan kegilaan.17 Galuh menghela nafas panjang, perlahan memasukkan beras ke anyaman ketupat penghabisan.
Tak jauh darinya, Hayati diam-diam merasa heran kenapa Galuh seperti tak bersemangat menanggapi canda-candanya. Ini tidak biasa, pikirnya. Biasanya Galuh akan membalas canda dengan canda pula sehingga ketawa mereka berderai. Atau mengacak-acak rambutnya, menggelitik pinggangnya sampai ia meminta ampun karena kegelian. Tapi sekarang? Anak SMEA kelas 1 itu sejenak memandang ke wajah kakaknya. Di situ dia melihat selapis rona murung menggayut, tipis, serupa arakan awan yang mengarah ke mendung. Dia berusaha mencari penyebabnya tapi tak jua menemukan. Dan keheranannya bertambah manakala Galuh membuang nafas berat yang terdengar tersendat lalu melangkah masuk kamar.
Tentu saja gadis remaja itu tak memahami kemurungan yang menggayuti kakaknya. Kemurungan yang telah bermula sejak lima hari lalu. Kemurungan yang bersumber dari kegelisahan. Dan kegelisahan itu pulalah yang kini membuat mata Galuh nyalang ke langit-langit kelambu.
Berapa harikah sudah ia tak muncul, pikir Galuh. Sehari? Dua hari? Ah, tepatnya lima hari dengan hari ini? Ada apa dengannya? Kecelakaan? Rasanya tidak, sebab jika terjadi kecelakaan pada truk pengangkut batubara tentulah para sopir yang lain akan saling menceritakannya. Rusakkah truknya? Atau lagi sakitkah dia? Kemungkinan ini lebih besar. Puluhan jam duduk di belakang kemudi, berkonsentrasi di jalanan yang semakin dipadati kenderaan, tentulah amat menguras tenaga. Belum lagi soal angin, terutama angin malam yang menerpa. Lalu, jika dia sakit, siapakah yang merawatnya? Bukankah dia tinggal sendiri di rumah Almarhum Kayi Sakarti di Pagumbaan sana?
Pertanyaan-pertanyaan dan beragam kemungkinan yang tak berjawab itu membuat kegelisahan kian buas mendera. Maka dipadamkannya lampu dan dicobanya memejamkan mata. Di dalam gelap, mata batin ternyata menjadi lebih awas. Dia bisa melihat daun-daun waktu menggeliat, hari-hari hilang pun perlahan muncul lagi, kadang lengkap dengan narasinya.
Tiap hari ketemu, tiap hari melayaninya makan dan minum, berpuluh kali menari bersama di arena gandut, berbincang dan berbincang, lelaki itu rasanya semakin menelusup ke lekuk dada, menggelitik kesunyian daun waru yang ada di situ. Ada dua peristiwa yang amat membekas di hati. Dan dua peristiwa itulah yang kemudian meleretkan gambar, serupa film yang diputar secara slow motion.
Peristiwa pertama terjadi di arena gandut di kampung Barikin. Saat itu ia menari bersama Firdaus dalam gerak Mandung-mandung. Menjelang akhir lagu ia kembali tak kuasa menandingi gerak warisan Kayi Sakarti itu. Leher Firdaus terjulur dengan bibir mengarah ke pipinya. Biasanya jika ia sudah tak mampu lagi menghindar Firdaus akan menahan gerak sehingga ciuman bisa dihindari. Kali ini tidak, Firdaus tak menahan gerak sehingga pipinya menerima ciuman itu. Ciuman pertama di masa dewasanya. Ciuman yang jauh di dalam hati memang diharapkan.
Saat ia pura-pura marah di perjalanan pulang, Firdaus malah menggodanya.
“ Aku cuma mengambil hutang, bunganya sudah terlalu banyak, nanti tak terbayar olehmu. “ kata Firdaus.
“ Tapi di tengah orang sebanyak itu….”
“ Apa engkau ingin membayar hutang di tempat yang tak ada orangnya? “
Galuh tersipu, tak menyangka kalau jawaban Firdaus seperti itu.
“ Di tempat yang tak ada orangnya itu justru berbahaya, Luh. Seluruh bunga hutang bisa-bisa meluruk minta diambil semua. “
Galuh kian tersipu. Untuk menutup ketersipuan itu ia menggerakkan tangan, mencubit paha Firdaus. Firdaus yang tengah menyetir terpekik halus sehingga Ning Antih yang tertidur di sisi mereka jadi terbangun.
“ Ada apa? “ tanya Ning Antih.
“ Anu Ning…anu…nyamuk menggigit, sakit sekali. “ sahut Firdaus agak gagap.
Galuh menyekap tawa dan diam-diam mencubit lagi, lebih keras dari tadi. Firdaus terpaksa menahan sakit sebab Ning Antih tengah menyalakan rokoknya.
Peristiwa kedua justru terjadi di malam sebelum lelaki itu menghilang. Warung sepi sebab di kampung sebelah tengah ada pertunjukan karaoke dangdut, pertunjukan yang biasanya semistriptease lantaran penyanyi wanitanya berbusana ketat dan minim serta bergoyang dengan amat erotik.
Di belakang meja warung, sambil menyandar ke dinding, Firdaus menggesek biola. Kelihayan menggesek biola yang juga diwarisi dari Kayi Sakarti itu terdengar amat memukau. Irama Mangandangan yang mengalun menarik Galuh untuk melantunkan suara.

Bintang tujuh tatinggal anam
Bintang tujuh tertinggal enam
Karam di laut si Majapahit
Karam di laut si Majapahit
Garing tubuh maarit dandam
Sakit badan menahan rindu
Barang dimakan barasa pahit
Barang dimakan berasa pahit

Firdaus ganti melagukan pantun.
Lamun katutut banih kancana
Kalau perkutut padi kencana
Kami tugal di hulu riam
Kami tugal di hulu riam
Lamun patut bicara kana
Kalau patut bicara kena
Kahandak hati umpat badiam
Kehendak hati ikut tinggal bersama
Pernyataan cintakah itu? Hati Galuh Ratnasari gemuruh, serasa ada yang meng-aduk-aduk endapan di lubuk paling tersembunyi. Apakah pantunnya itu cuma sekadar menyesuaikan dengan pantunku tadi? Galuh menghirup nafas dalam-dalam untuk menenteramkan dadanya sebelum menyanyi.

Batang sulasih badahan talu
Batang sulasih berdahan tiga
Patah sadahan dibabat kain
Patah sedahan dibalut kain
Lamunlah kasih lawan badanku
Kalaulah kasih dengan badanku
Jangan dikambar lawan nang lain
Jangan dikembar dengan yang lain.

Lalu biola sunyi suara. Angin berkesiur dalam sunyi daun. Purnama lingsir dalam sunyi langit. Sunyi biola, sunyi suara, sunyi angin, sunyi daun, sunyi purnama, sunyi la- ngit, bersekutu ke dalam dua pasang mata yang saling tatap. Getaran hawa pun tak lagi terasa. Yang kemudian terasa oleh Galuh adalah usapan lembut di wajahnya, di helai-helai rambutnya.
“ Daus….” suara Galuh antara ada dan tiada.
Lalu dia melenguh saat merasakan rambatan lunak di bibirnya. Sekecup. Lembut. Serasa agar-agar. Sekecup. Hangat. Serasa air suam kuku. Matanya pun memejam, membiarkan rasa agar-agar dan air suam kuku itu memilin.
Dan sekarang lelaki itu menghilang. Lima hari sudah tak nampak sosok ba-        yangnya. Ke mana dia? Apa yang terjadi dengannya? Galuh memiringkan badan, memeluk guling. Berusaha mengusir kegelisahan seraya menjangkaui kepulasan yang manis.

 *****

A
pabila seorang wanita  meletakkan seorang lelaki di pikir-annya dengan kedekatan yang nyaris sempurna, sementara dia sendiri tidak mengetahui apakah dirinya juga diletakkan oleh lelaki itu pada tempat yang sama, garis batas antara kenikmatan dan kegelisahan menjadi tak jelas lagi. Yang satu tak bisa meniadakan yang lain. Yang lain tak kuasa menghapus yang satu. Begitu pulalah halnya Galuh Ratnasari.
Ada kenikmatan yang aneh ketika Firdaus muncul di warungnya senja itu. Kenikmatan, karena rasa kangen yang selama ini tertambat terasa melesat bagai kuda liar menemukan hamparan padang berumput hijau. Seiring dengan itu, kegelisahan juga diam-diam meruyak lantaran  lelaki itu nampak agak murung.
“ Apa trukmu rusak? “ tanya Galuh sambil menyeduh kopi.
“ Tidak. Kenapa? “
“ Lima hari engkau tak muncul. “
Lima hari? Jadi dia menghitungnya, pikir Firdaus sambil menyambut sodoran cangkir kopi.
“ Ke mana saja selama itu? “ Galuh bertanya lagi.
“ Cuma di rumah. “
“ Tidak bekerja? “
Firdaus menyulut rokok. Setelah menghembuskan asapnya dia berkata pelan.
“ Aku kena skor Pak Sofyan, tak boleh kerja selama  lima hari.
Kening Galuh berkerinyit.
“ Engkau tahu sebabnya? “
“ Tidak. Tapi…teman-teman mengatakan… karena ada yang melaporkan bah-wa… aku menciummu waktu bagandut di Barikin dulu. “ suara Firdaus agak patah.
Galuh kaget. Sofyan bertindak seperti itu?
“ Sebenarnya….ada hubungan apa antara engkau dengan Pak Sofyan?
“ Tidak ada apa-apa. “ sahut Galuh cepat.
“ Sungguh? “
Galuh mengangguk tegas. Dan dia melihat senyum di wajah Firdaus, senyum yang seperti matahari mengusir saputan awan mendung.
“ Kalau begitu soalnya cumalah kecemburuan. “ kata Firdaus setelah menghirup kopinya.
“ Nampaknya begitu. Dia memang beberapa kali berusaha mengajakku naik ranjang. “ sahut Galuh jujur.
Setelah itu pembicaraan terus bersambut. Dari kalimat ke kalimat, dari ucapan ke ucapan, Galuh tiba-tiba merasakan lagi gejolak kegelisahan lantaran pembicaraan lelaki itu mulai menyentuhi lembaran kehidupannya, bernada menyelidik, bagai seorang hakim yang tengah mencari pembenaran bagi setiap tindakan.
Setelah berputar-putar kesana-kemari Firdaus kemudian menyodorkan sebuah pertanyaan yang membuat hati Galuh menggelombang.
“ Kudengar engkau sebenarnya seorang lulusan SPG.18 Benarkah itu? “
“ Ya. Lulus enam tahun yang lalu. “
“ Dalam rentang waktu itu seharusnya engkau sudah berdiri di depan kelas. “
Gerakan tangan Galuh yang tengah menganyam ketupat terhenti lantaran dia melihat lagi sekuntum harapan yang telah membusuk di kubangan waktu.
“ Aku juga mulanya mengira begitu. “ sahutnya kemudian, nyaris tanpa aksentuasi. “ Tapi hidup memang berada di luar wilayah kemestian. Sesuatu yang dihindari kadang tiba-tiba menjerat tanpa disadari, sebagaimana sesuatu yang dikejar lepas begitu saja padahal sudah tersentuh tangan.
Firdaus membuang puntung rokok dan menggantinya dengan batang yang baru. Dari balik asap dia pandangi wajah Galuh.
“ Ucapanmu seperti sebuah filsafat. “ katanya.
Galuh tak bisa menangkap apakah ucapan itu bermaksud memuji atau mengejek. Dia menunggu kelanjutan ucapan yang seperti mengambang itu.
“ Dari mana engkau dapatkan kata-kata itu, Luh? “
“ Dari kehidupan yang kususuri…”
“ Rentangan kehidupan macam apa? “ Firdaus menukas. “ Rentangan kehidupan yang menyia-nyiakan ijazah? Yang bersusah payah mendapatkan ijazah hanya untuk menjadi makanan rayap dan kecoa? “
Kening Galuh berkerut. Kata-kata itu membuat ia tersengat. Astaga, pikirnya, sesederhana itukah lelaki ini memandang hidup dan kehidupan? Apakah dunia kampus telah menjadikan dirinya seorang pemimpi yang dengan sekali membalik buku sudah bisa menaklukkan seringai taring-taring kehidupan? Ataukah cakrawala kemungkinannya telah tereduksi sedemikian rupa sehingga tak mengerti akan adanya tangan-tangan berdebu yang menjangkau untuk segenggam tapi selalu luput menjemba? Tidakkah dia juga harusnya bercermin pada dirinya sendiri, seorang sarjana pertanian  yang kini hidup sebagai sopir truk?
“ Dunia, Daus, sepertinya menempatkanku dalam suatu hubungan yang tak ramah sehingga tak membolehkanku memasuki padang kehidupan melalui gerbangnya yang indah. “ kata Galuh kemudian.
Andai saat berucap itu Galuh memandang ke wajah Firdaus pastilah dia akan meredakan sengatan di hatinya, sebab di bibir lelaki itu sekilas muncul sebuah senyum dikulum. Senyum yang muncul karena merasa berhasil memancing emosi Galuh untuk mengungkai kedirian.
“ Setiap orang kupikir punya gerbang yang cerah, tinggal soal waktu dan kesempatan serta cara memanfaatkan kesempatan itu. “ Firdaus sengaja mencari dalih yang bertolak belakang agar dapat menjarah lebih jauh.
“ Tidak setiap orang, Daus, tidak setiap orang. “ sahut Galuh cepat.
Dia meletakkan anyaman ketupat kemudian menaruh tangannya bertelekan ke meja warung, persis seorang guru yang tengah menghadapi muridnya.
“ Baru tiga bulan kugenggam ijazah, Mama meninggal. Warisan untukku cumalah sebuah rumah, beberapa petak sawah, Yazid dan Hayati, serta beberapa perhiasan. Saat itu aku tetap optimis dengan kehidupanku sebab kupikir syaratnya cuma pendidikan. Tetapi dunia ternyata menempatkan banyak pos penjagaan. Dengan ijazahku aku boleh saja lolos dari satu pos namun kesulitan lain menghadang di pos berikutnya.
“ Ada pos kesempatan di mana ribuan orang berebutan menjangkau-jangkaukan tangan sambil berharap dijemba malaikat. Ada pos yang menetapkan bea masuk sekian juta. Ada yang memberi syarat harus punya garis keturunan langsung mau pun tidak langsung dengan Bapak Anu atau Ibu Anu. Ada pula yang mengatakan bahwa ijazahku tak mereka perlukan, bahwa tubuhkulah ijazah yang mereka inginkan.
“ Dalam berebut kesempatan aku senantiasa terdepak, ditindih orang lain atau terkena sikut. Uang sekian juta jelas aku tak punya, jauh pula dari garis keturunan Bapak Anu Ibu Anu. Menyerahkan tubuh untuk pendamping ijazah aku tak mau. “
Galuh menarik nafas panjang, membiarkan sunyi lewat beberapa ketika.
“ Maka tak ada pilihan lain, Daus, aku harus memasuki padang kehidupan melalui cara yang telah diwariskan padaku. Bertani, berkebun, membuka warung. Masih belum cukup juga hasilnya, sementara keterampilan yang kumiliki cuma tinggal menjadi gandut. Kuterjunilah dunia itu sebagai penambah nafkah. “
Entah kenapa setelah mengucapkan semua itu Galuh merasa kegelisahan yang menindihnya jadi sirna. Di lihatnya mata Firdaus berketap-ketip. Mungkin karena “pembelaan”nya menyentuh hati, mungkin pula karena terpaan asap rokok yang menerjangi mata.
“ Apakah engkau tak merasa tertekan oleh penilaian orang-orang yang bisanya cuma memandang gandut dari sisi jeleknya saja? “ suara Firdaus masih seperti tadi, datar, tak jelas apa nadanya.
“ Amat tertekan sebenarnya. Aku sangat ingin berkisar tapi jika hal itu kulakukan maka kehidupan adikku akan lebih menyakitkan. Maka aku pun tak lagi berpikir tentang diriku, yang kupikirkan cumalah kehidupan Yazid dan Hayati. “
Sunyi lagi. Firdaus kedengaran menghela nafas berat kemudian membuat lingkaran-lingkaran imajinatif dengan kepulan asap rokoknya.
“ Apa engkau yakin dengan menjadi gandut akan bisa mengubah kehidupan? “
“ Mengubah kehidupan? “ ulang Galuh seraya melayangkan pandang ke kejauhan. “ Itu istilah mekanis, Daus, seakan-akan hidup adalah seperangkat mesin sehingga dengan mengutak-atik komponennya orang bisa mengubahnya menjadi ini-itu atau mengubah fungsinya menjadi begini-begitu. Tidak, Daus. Bagiku hidup membentuk pusat keadaan yang tak dapat ditentukan sehingga tak dapat pula dipasangi istilah-istilah mekanis. “ Galuh menghadapkan lagi wajahnya ke arah Firdaus. “ Yang bisa kulakukan adalah berusaha tanpa terlalu banyak berharap. “
Firdaus tercenung. Lama. Baginya, ucapan-ucapan Galuh yang mengungkai kedirian itu menimbulkan gaung tersendiri. Perlahan sebuah kesedihan aneh menjalar lantaran ia terpaksa berdialog dengan hari-harinya yang telah lewat. Lembar-lembar masa lalunya tersibak kembali, menari-nari di hadapan mata seperti gambar-gambar yang dipantulkan cermin retak. Di sana dia juga melihat adanya sepasang tangan berdebu yang menjangkau ke arah tunas-tunas hidup dan nasib.
“ Keadaanmu agaknya tak jauh berbeda denganku, Luh…. “ entah kenapa Firdaus kepingin memampangkan cermin retak masa lalu itu kepada Galuh. Barangkali karena dia merasa ada kesamaan nasib, barangkali juga karena pengakuan Galuh membuatnya jadi sentimental.
“ Sebenarnya aku bukan cucu Kayi Sakarti…maksudku bukan cucu dalam arti hubungan darah. “
Kening Galuh berkerut mendengar pengakuan itu. Dia kemudian menopangkan tangan ke dagu, menunggu kelanjutan ucapan Firdaus.
“ Ketika aku berumur enam bulan, aku ditinggalkan Ibuku. Ibuku lari dengan seorang lelaki, konon kekasihnya di masa lalu. Agaknya perkawinan dengan Ayah cumalah untuk memenuhi kehendak Almarhum Kakek dan Nenek… “
“ Lalu? “ Galuh menyela.
“ Aku hidup bersama Ayah sampai umur tiga tahun. Ayah kemudian menitipkanku pada Kayi Sakarti, sahabat dekatnya. Menurut cerita Kayi Sakarti, Ayah menjadi seorang pelaut. Sejak itulah aku diaku cucu oleh Kayi Sakarti.
“ Tanggung jawab Ayah terhadapku memang masih ada, aku terus dikirimi biaya hidup sampai aku tamat SD. Kemudian kiriman itu terhenti selama tiga bulan. Pada bulan keempat datang sepucuk surat dan sejumlah uang dari kapten kapal, mengabarkan bahwa Ayah meninggal di Pelabuhan Singapura. “
Firdaus mengisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya lambat-lambat.
“ Jadi engkau tidak pernah lagi bertemu dengan Ayah atau Ibumu? “ Galuh mendesak.
“ Begitulah, bahkan aku sudah lupa bagaimana wajah Ayah dan Ibuku. “
“ Tak pernah berusaha menemui Kakek, Nenek atau kaum kerabatmu yang lain? “ cecar Galuh.
“ Pernah juga, namun yang kutemui justru hal  tak terbayangkan. Mereka bukannya menyambutku dengan gembira, tapi menatapku dengan nista. Ibu agaknya telah dianggap sebagai noda hitam keluarga. Seluruh keluarga Ibu membencinya, begitu juga keluarga di pihak Ayah. Kehadiranku cuma membuka luka lama. Perwujudanku dianggap sebagai lambang penghinaan di satu pihak dan najis di pihak lain. Barangkali itulah sebabnya kenapa Ayah justru menitipkanku pada Kayi Sakarti, bukan kepada kaum kerabat kami. “
“ Jadi Kayi Sakartilah yang membiayai sekolahmu hingga berhasil jadi sarjana pertanian? “
“ Ya, selebihnya kuusahakan sendiri. Sejak mulai kuliah di Banjarbaru itu aku terus berkelahi dengan waktu. Aku bekerja serabutan, mencuci mobil, menjadi loper koran, jadi orang upahan menyiangi halaman, jadi kernet truk dan taksi, bahkan jadi tukang catut karcis bioskop. “
Sunyi lagi. Lama.
“ Entah bagaimana kehidupan ini nanti. “ gumam Galuh seakan pada dirinya sendiri. “ Masa lalu dan kekinian rasanya begitu rapuh untuk dijadikan titik pijakan. Masa lalu yang mengejek. Masa kini yang bengis. Dan masa datang yang penuh ketidakpastian.
Gumam gadis itu menampar senja yang tua. Senja yang berlumut. Senja yang menerima nasibnya tanpa mengeluh. Senja yang tak punya perasaan, keinginan dan masa depan.
Setelah sama mengungkai kedirian itu keduanya seakan kehilangan kata-kata. Cuma mata mereka yang bicara, berbuhul dalam tatapan lekat. Lalu pada puncaknya keduanya tersenyum. Menyenyumi tingkah mereka. Menyenyumi kehidupan mereka. Menyenyumi dua sosok kecil yang mencoba tiwikrama menjadi raksasa untuk mengusir gilingan obsesi yang muncul dari perputaran jagat.
Angin membiarkan saja. Daun-daun membiarkan saja. Batu-batu membiarkan saja. Cuma Sang Waktu yang menyeringai, menertawakan kenaifan mereka.


                                                                                  ***

  Seloka Empat
Nestapa Kunang-kunang


J
angan mandi cahaya di senja ini (demikian pesan ibuku) karena berkeliaran segala hantu-hantu, hantu yang kuning, yang dibebani kejahatan dunia di bulu-bulunya.[16] Ingatan terhadap pesan Ning Antih beberapa bulan lalu membuat Firdaus menjangkau rokok di dashboard, menyulutnya sebatang, memindah persnelling, memusatkan pikiran dan pandangan saat memasuki lintasan Pakajangan. Mesin menggerum parau membawa roda-roda merayapi tanjakan. Dari balik kaca truk kelihatan warna kuning senja mengemasi gunung-gunung nun di sana, mengemasi pucuk-pucuk kayu, menjadikan alam terasa lain dari hari-hari biasa.
Memasuki sepertiga tanjakan, hidung Firdaus tiba-tiba disusupi oleh seberkas bau harum yang sengit. Bulu kuduknya langsung meremang sementara sejumput waswas perlahan rebak di hati. Menjelang duapertiga tanjakan, mesin mulai bertingkah, batuk-batuk, seakan menghela beban yang amat berat padahal truk dalam keadaan kosong. Seiring dengan mengembunnya keringat dingin waswas memekarkan diri. Firdaus menggigit kuat-kuat filter rokok dan memindah persnelling ke satu.
Hembusan nafas leganya terdengar ketika truk berhasil mencapai puncak tanjak-an. Setelah memindah lagi presnelling Firdaus mengisap rokoknya dalam, menghembuskan asapnya lambat-lambat. Truk mulai melintasi jalan menurun. Firdaus ingat benar bahwa selepas tikungan di depan jalan menurun itu akan berujung pada jembatan lalu masuk ke tanjakan curam terakhir. Dibunyikannya tuter. Tak ada sahutan apa-apa, berarti lintasan aman karena tak ada kenderaan dari arah depan. Begitu dia bersiap menikung, bau harum tambah sengit. Keringat dingin yang mengembun di dahi perlahan leleh melewati mata. Dia mengerjap. Dan dalam satu kerjapan itu, entah dari mana datangnya serombongan orang nampak menyeberang, serombongan orang tanpa kepala!
Firdaus kaget. Dia membanting stir ke kanan. Orang-orang tanpa kepala menghilang. Sebagai gantinya kini lintang jalanan nampak bercabang dua. Dalam tempo singkat Firdaus harus memilih. Intuisinya mengatakan bahwa tadi dia sudah membanting stir ke kanan sebab itu jalan di kirilah yang di ambil. Maka dibantingnya lagi stir ke kiri. Truk pun meluncur memasuki jembatan, mulus menanjak.
Roda-roda terus berputar, menjalani kilometer demi kilometer, berhenti di depan warung Galuh. Alis Galuh berkerinyit melihat lelaki itu turun bergegas dari truk, terus ke bagian belakang warung dan mengguyur kepalanya dengan air. Sementara itu dua truk lain parkir pula di belakang truk Firdaus.
“ Engkau mengantuk, ya Us? “ tanya salah seorang sopir melihat Firdaus menghapus air di rambut dan wajah dengan handuk.
“ Tidak. “ sahut Firdaus pendek.
“ Lalu kenapa menjelang jembatan Pakajangan itu engkau membanting stir ke kanan sehingga mengarah ke pinggir sungai? “
Firdaus tak segera menyahut, dia terlebih dahulu menyulut rokok.
“ Aku melihat serombongan orang menyeberang jalan, orang-orang tanpa kepala. Begitu kubanting stir orang-orang itu menghilang lalu jalan kulihat bercabang dua, untung aku kemudian memilih jalan yang di kiri sehingga tepat mengarah jembatan. “ kata Firdaus kemudian.
Kedua sopir itu, Usman dan Udin, ketawa. “ Jangan mengada-ada, Us. Mana ada hantu siang-siang begini. “
“ Siang memang, Man, tapi senja ini senja kuning.
Usman terdiam. Dia melihat rona serius di wajah Firdaus.
“ Aku kini percaya kata Ning Antih bahwa setiap senja kuning di situ sering muncul hantu tanpa kepala. “ lanjut Firdaus.
“ Sudahlah. “ sela Galuh. “ Yang penting engkau selamat. Engkau mau minum?
“ He-eh, kopi. “
“ Engkau, Man, Din? “
“ Tidak, aku tak minum. “ kata Usman.
“ Aku juga tidak. Kami terus saja ke pertambangan. “ sambung Udin.
Keduanya beranjak meninggalkan warung. Sesaat kemudian truk mereka mende-ru. Firdaus duduk seraya bersandar ke dinding warung, memperhatikan Galuh membuat kopi. 
“ Engkau benar-benar melihat hantu itu? “
“ Apa aku perlu bersumpah? “
Galuh ketawa kecil, menuang air panas ke cangkir. Tiba-tiba…prak, terdengar bunyi cangkir pecah seiring dengan jerit kecil Galuh.
“ Kenapa? Airnya kepanasan barangkali. “ ujar Firdaus.
“ Mungkin, tapi ini sudah yang ketiga kalinya hari ini. “ sahut Galuh.
Firdaus menangkap ada sejumput kekuatiran di ucapan itu.
“ Gelas pecah itu biasa, Luh. “ katanya menenteramkan.
Galuh mencoba tersenyum, mengambil gelas baru dan kembali membikin kopi. Sejenak dia membuang pecahan gelas ke tempat sampah lalu duduk di sisi Firdaus. Matanya nanap ke arah senja kuning yang mulai dikerkah malam.
“ Entah kenapa sejak siang tadi aku terus merasa ada sesuatu yang menggelisahkan. “ ujar Galuh dalam desah. “ Terlebih setelah pecahnya dua cangkir…tiga dengan yang tadi. “ sambungnya.
“ Ah, jangan mendramatisir pecahnya cangkir. Seperti kataku tadi itu hal biasa. “ sahut Firdaus.
“ Mula-mula…kupikir….”
Ucapan Galuh terputus oleh bunyi tuter. Tiga buah truk lewat. Sopir-sopirnya melambaikan tangan. Firdaus balas melambai.
“ Mula-mula engkau pikir apa? “ Firdaus menyambung pembicaraan.
“ Mula-mula kupikir itu tatangar[17]. Makanya dari tadi aku menguatirkan dirimu, takut terjadi apa-apa di jalan. Ternyata benarkan? Engkau hampir saja celaka di jembatan Pakajangan …”
Firdaus tersenyum. Tangan kirinya terulur, menggenggam tangan kanan Galuh. Sekejap cuma, sebab terdengar deheman Yazid yang akan berangkat ke masjid.
“ Kak, Hayati belum datang? “ tanya Yazid.

“ Belum, mungkin sebentar lagi. “ sahut Galuh.
“ Kemana Yati? “ sela Firdaus.
“ Ke Kandangan, les komputer. “
“ Ooo, mungkin tengah menunggu taksi. “
“ Mungkin juga. Aku ke masjid dulu Kak Daus….” ujar Yazid
“ He-eh. Nanti aku menyusul. Mandi dulu. “
Yazid melangkah. Firdaus menghirup kopinya lalu beranjak ke sumur. Begitulah hari-harinya selama setengah bulan ini, sudah seperti menjadi bagian dari keluarga, cuma tidur saja yang tak dilakukannya di rumah Galuh. Penduduk Pinang Habang dan para sopir sama maklum bahwa kunang-kunang tercantik kampung itu sudah mulai mengepak di dalam pagar larangan.
Lepas magrib Hayati belum datang juga. Rusuh mulai membilas-bilas hati Galuh. Bertepatan dengan bunyi beduk Isya, saat Firdaus bersiap menyusul ke Kandangan, seorang sopir truk datang membawa kabar. Sebuah taksi pedesaan kecelakaan di jembatan Pakajangan. Sopirnya meninggal di tempat kejadian, sementara tiga penumpangnya sudah dibawa ke rumah sakit Hassan Basry Kandangan. Salah satunya Hayati!



***

B
ulan separo bayang berwajah mayat menjilati wajah mayat lain yang muncul dari dalam truk. Wajah Galuh Ratnasari. Jilatan bulan itu membuat ia tengadah. Sejenak keduanya bertukar tatap sebelum menyadari adanya semacam perubahan yang menakutkan. Bulan melihat wajah Galuh berubah menjadi wajah Kalarahu[18], siap menerkam dan menelan dirinya sehingga ia terbirit-birit ke balik awan. Sebaliknya Galuh melihat wajah bulan menjelma wajah bengis malaikat maut yang hendak menyelinap ke ruang gawat darurat. Maka ada sejumput lega saat bulan tiada. Dia pun sejenak menghela nafas sepenuh dada lalu mulai melangkahkan kaki.
  Di koridor rumah sakit, seleret ratap tangis menyuara, mengiringi dua buah brankar berisi mayat. Galuh hendak memburu tetapi tangannya cepat ditangkap Ning Antih. Perempuan tua itu mengenali bahwa mereka yang menangis itu adalah orang-orang kampung Panajaan, kampung sebelum Pinang Habang. Di antara orang-orang itu nampak Fahrul, sopir truk yang mengangkut para korban ke rumah sakit.
“ Hayati masih di ruang gawat darurat….” katanya.
“ Bagaimana keadaannya? “ tanya Galuh terbata-bata.
“ Entah, kami tak boleh masuk ke sana.
Setengah berlari mereka menuju ruang gawat darurat. Menunggu cukup lama di sebuah bangku yang ada di depan ruang itu sebelum pintu terbuka dan dokter Faisal muncul. Galuh menatap lekat ke wajah dokter itu, mencoba mencari tanda sekecil apa pun yang akan memberitahukan padanya apakah berita yang datang bakal baik atau buruk. Tapi dia tak menemukannya.

“ Bagaimana keadaannya, Dok? “ Galuh akhirnya bertanya dengan nafas serabut-an.
“ Tulang paha kirinya patah….”  ujar dokter Faisal dengan suara mengambang.
“ Cuma itu? “ kejar Firdaus.
Dokter Faisal menghela nafas panjang, matanya menatap dalam ke wajah Firdaus. “ Saudara orang tuanya? “
“ Kakaknya. “ sahut Firdaus tanpa berpikir lagi.
“ Ada pendarahan di otaknya….”
Galuh menekap mulut, menahan jerit yang sudah sampai di kerongkongan. Dia berhasil meredam jerit itu tapi sendi-sendinya melemah sehingga tubuhnya layu, terpuruk ke atas bangku.
“ Dia harus segera di operasi. Saudara harus menandatangani beberapa surat, setelah itu cari beberapa orang bergolongan darah O. Mari ke kantor. “
“ Sebentar, Dok. Boleh mereka melihat keadaan adik saya? “ kata Firdaus sambil menunjuk ke arah Galuh, Yazid dan Ning Antih.
“ Silakan. “
Dokter Faisal memberi tanda pada seorang perawat untuk membawa ketiga orang itu ke dalam ruang gawat darurat. Firdaus mengiringi langkah dokter Faisal.
“ Boleh saya tahu peluang adik saya itu?
“ Terus terang saja, fifty-fifty….”
Ada engah, lepas dari dada Firdaus setelah melewati tenggorokan yang terasa mengering. Maka dia cepat menyulut rokok, berusaha menenteramkan bilas rusuh di dadanya.

***


K
oridor rumah sakit yang lengang perlahan menyuarakan desir brankar. Di belakang brankar yang membawa tubuh Hayati menuju ruang operasi itu Galuh melangkah, hati-hati, agak tertatih, seakan tengah melangkahi titian muat dijalani satu orang yang terbentang di atas jurang.
“ Kamu nampak agak limbung, “ Firdaus menggamit lengan Galuh, “ Perlukah kupapah? “
Galuh tak menyahut, langkahnya semakin perlahan sebab kini ia melihat kunang-kunang. Ratusan kunang-kunang. Mengerjap-ngerjapkan bintik-bintik beragam beratus warna. Galuh pun menggeleng-gelengkan kepala, berharap kunang-kunang itu pergi, ternyata tidak, kerjap beratus warna malah kian cerlang. Maka digigitnya bibir kuat-kuat, berharap rasa sakit bakal mampu mengusir. Tapi begitu rasa sakit menjalar, bintik-bintik beratus warna itu malah beranak-pinak. Berbondong-bondong menerjang mata.
Gelap sejenak. Pemandangan selanjutnya dijabarkan secara balau oleh perasaannya yang mengawang. Mula-mula dia menampak sederet pemandangan kabur. Kian lama kian menegas. Sebentang padang berbatu cadas. Sebatang pohon miskin daun. Sebuah sangkar berisi seekor burung berbulu putih nampak tergantung di ranting kering.
Sangkar itu bergoyang keras lantaran burung di dalamnya bagai gila menampar-namparkan sayap ke pintu. Ning Antih, Yazid dan Firdaus berkutatan menahan pintu agar jangan sampai terbuka. Namun terjangan sayap burung agaknya demikian kuat sehingga sedikit demi sedikit pintu sangkar terkuak.
Galuh segera mendatangi. Mengerahkan seluruh tenaga, membantu menahan terkuaknya pintu. Dirasanya terjangan sayap-sayap kecil itu menghempaskan arus tenaga dahsyat, sambung-menyambung, langsung menumbuk dada. Menjadikan dadanya serupa lesung yang terus-menerus ditumbuki alu.
Mereka tak kuasa lagi bertahan. Mula-mula Ning Antih terjengkang. Kemudian Yazid. Lalu Firdaus. Dan akhirnya dia sendiri. Pintu sangkar kini terbuka lebar. Burung berbulu putih itu mencericit. Mengepakkan sayap ke luar. Sejenak berputar-putar di sekitar mereka. Cicit merdunya adalah salam perpisahan yang sendu sekaligus pernyataan kegembiraan karena telah bisa melayah udara bebas. Sebelum terbang menjauh, burung itu berubah menjadi Hayati. Senyuman mengembang di bibir Hayati tapi air mata juga menyungai di pipi.
Duh, adikku, pekik Galuh. Dia merentak bangun. Berlari. Mengejar wajah bersaput kemuliaan itu. Wajah yang kian menjauh. Lalu Galuh merasa kakinya tersandung sesuatu. Tubuhnya tumbang. Kekosongan siap menyambut. Kekosongan tanpa dasar.
Firdaus kaget ketika tadi Galuh merentak dan berlari di koridor rumah sakit.     Tangannya cepat menjemba saat Galuh roboh karena kakinya terserimpung undakan koridor.
“ Galuh…Galuh….” Firdaus mendudukkan Galuh ke lantai koridor.
Ditepuk-tepuknya pipi Galuh. Galuh kemudian mengerjap. Lalu terbelalak penuh ketakutan, seakan-akan terjaga dari sebuah mimpi mengerikan. Begitu mengenali wajah Firdaus, matanya berkaca-kaca.
Jari-jari Firdaus perlahan mengusap sisi bibir dan dagu Galuh, mengusap darah yang leleh karena kuatnya gadis itu tadi menggigit bibir.
“ Luh, engkau jangan nampak rapuh begini. “ ucap Firdaus lembut sembari membetulkan jurai-jurai rambut Galuh yang jatuh ke kening. “ Engkau harus nampak tegar sehingga bisa memberi kekuatan batin pada Hayati. Dia memerlukan itu. Amat memerlukannya. “
“ Aku tak bisa…tak bisa. “ Galuh mengerang.
Firdaus mereguk ludah. Baginya, suara Galuh tak ubahnya erang anak burung yang tertembak jatuh. Erang yang merupakan perwujudan rasa sakit, penderitaan dan keputusasaan yang bercampur dalam satu adonan pekat. Ingin Firdaus mengambil sebagian gilasan nestapa yang meremuklumatkan gadis itu, tapi apalagi yang bisa dilakukannya? Dia cuma bisa melekapkan wajah gadis itu ke dadanya, mengelus-elus rambut Galuh, mengatakan dengan bahasa purbani bahwa masih ada orang tempat berbagi duka bertukar rasa.
Naluri Galuh bisa menerjemahkan bahasa purbani itu. Dia bisa pula mengerti bah-wa usapan-usapan lembut di rambutnya adalah upaya Firdaus untuk memberikan kekuat-an kepadanya. Tapi sumbu hidup Galuh rasanya cuma memberi nyala redup sehingga kekuatan yang disalurkan Firdaus belum bisa menggerakkan sayap sang kunang-kunang untuk terbang menyibak kelembaban lumut-lumut malam.
 “ Jika kematian itu memang harus datang sekarang, apakah engkau tak bisa merelakan Hayati pergi memenuhi perjanjian dirinya dengan Yang Maha Kuasa di Hari Alastu dulu? “
Galuh tersengat oleh ucapan itu. Dia mengangkat wajahnya dari dada Firdaus dan melenakannya ke tiang koridor. Tatapannya nanap, menjebol atap. Terus naik. Jauh. Jauh sekali. Dia berkehendak tatapannya itu dapat menembusi tujuh petala langit dan bisa membacai nama-nama pada daun-daun yang menguning di Pohon Sidrat, atau menemukan rahasia-rahasia tulisan-Nya di Luh Mahfudz. Tapi tak bisa. Yang ditemukannya cuma kekosongan.
Gagal dengan upaya itu Galuh segera berbalik, memutar jantera waktu, membongkari lemari masa lalu. Ketika tak jua ditemukan apa yang dicarinya, dia cuma bisa berucap lirih, ucapan yang lebih banyak ditujukan pada dirinya sendiri :
“ Entah tulah apa yang kusandang sehingga harus menerima kenyataan pahit macam ini? Entah dosa apa yang membalut diri sehingga kehidupan menghukum aku seberat ini? “
Hati Firdaus semakin iba. Tapi iba saja tidak cukup, pikirnya. Gadis ini memerlukan sesuatu yang lain, sesuatu yang mampu memberi denyar cahaya di kegelapan batinnya.
“ Jangan berpikir tentang tulah, Luh. Ketika engkau menyanggupi kepada Tuhan untuk dilahirkan dan melihat dunia ini maka saat itu pula engkau telah menyanggupi untuk menghadapi segala macam rintangan dan menyandang segala macam cobaan.
“ Hidup, Luh, berarti keberanian untuk menghadapi kehidupan. Walau bagaimanapun jua pahitnya kehidupan itu engkau harus bisa mengembalikannya kepada perjanjianmu dengan Tuhan. Bila engkau bisa mengembalikan hal itu maka sekali menerima kepahitan dibaliknya engkau akan menerima berlipat ganda kesabaran. “
“ Rasanya aku sudah tak mampu lagi menyandang semua ini. Akan lebih baik agaknya kalau sebilah pisau datang mengiris nadiku sehingga aku akan bisa menikmati darah yang memancur sebagai ujung penderitaan. “
Firdaus terdiam. Cukup lama. Ada tarikan aneh yang membuat Galuh memandang ke arahnya. Dia bisa melihat ekspresi wajah lelaki itu berubah. Ujung bibir Firdaus tertarik ke bawah seperti menyekap rasa geram. Rona merah memercik di mata bagai membendung luncasan kemarahan.
“ Galuh! “ suara Firdaus beraksentuasi keras. “ Ucapan macam itu tak seharusnya ke luar dari mulutmu! Bahkan tak layak menyangkut di pikiranmu! “
Firdaus kini menatap tepat ke bola mata Galuh.
“ Ingat, Luh, Tuhan membagi-bagikan derita dan bahagia pada manusia agar manusia itu menjadi sempurna. Karena itu kita harus mampu mengembalikan penderitaan maupun kebahagiaan sebagai jalan menuju kesempurnaan! “
“ Kesempurnaan macam apa lagi yang diinginkan Tuhan pada diriku? Masih belum cukupkah cekauan kesengsaraan yang kusandang?  Ejekan, hinaan, kepontangpan-tingan untuk bisa hidup. Masih belum cukupkah semua itu! “
Firdaus tiba-tiba menggeram. Ekspresi wajahnya nyaris beringas.
“ Galuh! “ suaranya kini bernada bentakan. “ Adakah yang menjadi pujaan dan sesembahanmu selain Tuhan? Selain Allah Yang Maha Rahman? Istigfar, Galuh! Istiqfar! Lalu zikir! Engkau kini berada di tubir jurang! Selangkah lagi engkau maju maka neraka akan menyambutmu! “
Sehabis mengucapkan itu Firdaus kemudian membisikkan sebuah ayat Al-Qur’an. Ayat itu menelusup ke benak galuh sembari membawa bayangan almarhum ibunya, sebab ayat itu pun acap kali diucapkan ibunya ketika menampung kesahnya.
Galuh hafal benar terjemahan ayat itu. Sekata demi sekata otaknya mengeja  : Sesungguhnya Kami akan mencoba engkau dengan ketakutan dan kelaparan serta kekurangan kekayaan dan buah pekerjaan. Tetapi memberikan kesabaran kepada mereka yang tetap tabah dan manakala malapetaka menimpa mereka, mereka berkata : “Sesungguhnya kami adalah milik Tuhan dan kepada-Nya kami kembali.“ Merekalah yang dilimpahi rahmat dari Tuhannya. Merekalah yang beroleh bimbingan.[19]
Hati Galuh seperti ditampar. Maka ia kembali menjatuhkan wajah ke dada Firdaus. Membasahi dada bidang itu dengan air mata seraya mengucap istiqfar berulang kali.

***


K
eberhasilan operasi yang dilakukan dokter Faisal bukanlah merupakan ujung nestapa. Hayati ternyata tak pernah sadar, terus berada dalam keadaan koma, terbaring tanpa daya di ruang ICCU. Bagi Galuh, hari-hari terasa demikian lambat berlalu, detik demi detik yang lewat terasa amat mencekam. Dan ketika melewati hari ke dua puluh satu, persoalan rumit lain muncul, persoalan biaya rumah sakit.
Kunang-kunang Pinang Habang itu pun mengawang, berada di tengah dua kekuatan angin yang saling bertentangan arahnya. Di satu pihak, dari sisi medis tersembul harapan hidup bagi Hayati. Di pihak lain, biaya pengobatan kian berat menindih. Maka satu demi satu perhiasan warisan sang ibu melayang. Sebuah demi sebuah perhi-    asan Ning Antih berpindah tangan. Serupiah demi serupiah tabungan Firdaus lenyap. Bahkan sudah tiga kali Galuh melakukan hal tabu di dunia gandut masa kini, menggelar Manunggul bersama Sofyan di areal base camp.
“ Sebenarnya engkau bisa mendapatkan uang berpuluh-puluh kali lipat dibanding manunggul itu jika engkau mau melakukannya. “ kata Sofyan sambil menyerahkan amplop pada Galuh.
“ Maksud, Bapak? “
“ Sederhana saja, menginap di sini….”
“ Aku bukan pelacur, Pak! “ sergah Galuh.
Sofyan tertawa. “ Ini bukan soal melacurkan diri, Luh. Ini bisnis. Bis-nis! “ tekan Sofyan seraya menatap lekat ke wajah Galuh.
Rona kemarahan pijar di wajah Galuh. Dia cepat meninggalkan Sofyan. Dan dada Firdaus jualah yang menjadi telaga penampung air matanya.
“ Yaa, Tuhan…kenapa hal semacam ini menghinggapi orang-orang kecil seperti kami? “ kesahnya. “ Kenapa hal ini tidak Kau limpahkan pada mereka yang mendapatkan kekayaan melalui korupsi, kolusi, manipulasi….”
Ning Antih tak bersuara, mata tuanya basah. Tertatih ia melangkah ke ambang jendela, memuntahkan sepah kinangnya.
“ Luh, dalam sepuluh hari ini aku harus tinggal di Banjarmasin. “ kata Firdaus kemudian. “ Pak Sofyan menugaskanku untuk menggantikan mandor yang mengawasi pemuatan batubara ke kapal. “
“ Mandor itu sakit? “ tanya Ning Antih.
“ Cuti, istrinya hendak melahirkan. Di Banjarmasin aku akan berusaha mendekati seorang kawan kuliahku dulu. Dia kini jadi wartawan di koran Amandit. Siapa tahu dia bisa membantu untuk menghimpun dana dari pembaca bagi pengobatan Hayati. “
Firdaus meletakkan sejumlah uang yang berhasil dihutangnya dari Usman, Udin dan Fahrul. Dia mencium dahi Galuh. Lalu melangkah ke luar rumah tanpa menoleh lagi. Derum mesin truknya adalah derum kepepatan hatinya. Angin pun berkesiur. Melagukan nyanyian nestapa.


*** 
 Seloka Lima
Sayap Patah Kunang-kunang


L
uka di mana-mana, di sosok langit, di cadar waktu, di rumput kabut rumah yang menunggu, dan lenyap pada jam larut, membekaskan beban di pohon-pohon hidup.23 Ketika tengah malam lepas Galuh bangun dari pembaringan. Dadanya terasa sesak sehingga langkahnya agak limbung menuju ruang depan. Diangkatnya sebuah kursi dan diletakkannya di belakang jendela. Tangannya bergerak lemah membuka jendela. Serombongan angin dingin me-   nyembilu tapi Galuh tak peduli, malah tirai jendela diturunkannya lalu dicampakkan ke lantai.
Dia pun duduk di kursi. Matanya memandang lepas ke arah jalanan. Sesekali dia berdiri, mendoyongkan tubuh ke luar ambang jendela. Memanjangkan leher untuk menengok jauh ke hulu jalan. Menarik nafas berat. Memanjangkan leher agar pandangan bisa lebih jauh nun ke hilir jalan. Menghembuskan nafas panjang. Kemudian menghempaskan lagi tubuh ke kursi. Berjam-jam dia bertingkah seperti itu, seakan ada yang ditunggu. Begitu azan subuh bergema barulah dia beranjak dari tempat itu. Rona kekecewaan jelas membayang di wajahnya.
Paginya dia sudah ada di rumah sakit. Membawakan makanan untuk Yazid yang bermalam di rumah sakit dan akan berangkat sekolah. Duduk di sisi ranjang, menatapi tubuh Hayati. Tercenung di sana sampai Ning Antih datang. Kemudian dia pulang. Menunggu warung.
Malamnya, setelah menyiapkan adonan kue dan menutup warung dia tidur sejenak. Selepas tengah malam bangun lagi, menyeret kursi ke belakang jendela, membuka daun jendela, duduk menunggu.
Besok malamnya dia kembali melakukan hal yang sama. Begitu pula besok malamnya lagi. Dan demikian pula yang terjadi pada malam-malam berikutnya. Terus saja begitu, dari malam ke malam. Sekarang sudah malam ketujuh. Dia tetap saja berbuat seperti itu. Me-nung-gu. Dan dia tetap pula kecewa.
Sesungguhnya apa yang dia tunggu? Dalam kekosongan berisi kekalutan pikiran gadis itu tengah menunggu sesuatu bernama keajaiban. Ya, keajaiban, sebagaimana yang biasa dibacanya di buku-buku atau dilihatnya di layar kaca. Bukankah keajaiban merupakan pengharapan terakhir dari orang yang telah kehabisan alternatif, orang yang sudah amat letih digilas penderitaan dan keterpojokan?
Dia berharap di depan rumah tiba-tiba saja terlihat kepulan asap putih. Lalu jin yang ada dalam lampu Aladin muncul di depannya. Tak perlu membawa istana di kedua telapak tangan, cukup sejumlah uang untuk biaya pengobatan Hayati. Atau tiba-tiba terdengar ringkik kuda. Lalu dari kegelapan ujung jalan muncul seorang penunggang kuda bertopeng hitam yang menghentikan kudanya di depan rumah. Setelah menyungging senyum orang itu akan melemparkan pundi-pundi berisi uang, memberi tabik kemudian menghilang lagi ditelan jubah malam. Atau pula tiba-tiba muncul seorang lelaki bergamis yang sambil tertawa renyah membawanya ke sebuah gua. Mengucap “ Sesam, buka pintu! ”, lalu menuntunnya memasuki gua dan mempersilakannya menjumputi kilauan emas intan permata yang nampak menerpa mata.
Tujuh malam dia menunggu hal semacam itu. Sabar. Dan penuh harapan. Ketika keajaiban itu tak jua muncul, Galuh pun mengertakkan geraham, sampai pada putusan untuk menciptakan sendiri “keajaiban” itu.
Maka sehabis mandi sore itu dia berdiri telanjang di depan cermin. Cermin merasa menemukan santapan empuk, segera melahap tubuh telanjang itu, mengerkahnya. Kemudian memantulkannya sebagai sebuah patung yang dipahat sempurna di mana bagian-bagian yang seharusnya menonjol dan melekuk dibentuk tanpa kesalahan sedikit jua pun. Dua sosok telanjang itu kini berhadapan. Saling meneliti.
“ Tubuhmu bagus. “ puji bayangan di cermin.
“ Aku tahu. “ sahut Galuh lirih. “ Entah berapa banyak sudah lelaki yang ingin memilikinya. “
“ Kenapa kini engkau pamerkan di hadapanku? “
“ Aku meminjam matamu agar aku bisa meneliti tubuh indah ini untuk terakhir kali. “
“ Terakhir kali? “ ulang bayangan di cermin. “ Apa maksudmu? “
“ Ya, terakhir kali. Sebab mulai hari ini, tubuh ini bukan milikku lagi. Aku akan menjualnya! “
“ Astaga! “ bayangan di cermin kaget. “ Itu bukan langkah penyelamatan bagi kesulitanmu! Itu bukan jalan ke luar! Itu penjerumusan! “
“ Itu juga kusadari. “ kilah Galuh. “ Tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Yang kupunyai tinggal kehormatan dan tubuh ini! “
“ Jangan lakukan itu, Galuh…. “ suara bayangan di cermin terdengar memelas, amat memelas. “ Kumohon, jangan lakukan…. “
Suara memelas itu sejenak membuat Galuh tertegun, kemudian digeleng-gelengkannya kepala.
“ Harus kulakukan. “ katanya seraya menatap mata sosok di depannya, seakan meminta sejumput pengertian. “ Sebagai seorang wanita, kehormatan memang merupakan satu-satunya harta paling berharga. Itu telah kujaga dengan baik selama ini, kuniatkan untuk dipersembahkan dengan penuh kebanggaan kepada seorang suami. Tetapi dalam situasi sekarang, jika kehormatan dan tubuhku akan bisa menyelamatkan Hayati maka akan kutukar segalanya. “
“ Galuh… “ suara bayangan di cermin makin memelas. “ Ingat, bahaya yang besar senantiasa menyelimuti harapan yang paling besar. Sekali salah melangkah maka kemalanganlah akibatnya. “
“ Kemalangan? “ suara Galuh bernada sinis. “ Kemalangan telah demikian akrab dengan hidupku. “ Galuh ketawa kecil, ketawa pedih. “ Jika kehilangan kehormatan merupakan puncak dari kemalangan itu, akan kusongsong ia. “ mantap sekali kedengar-annya suara itu, kemantapan yang muncul dari akumulasi keputusasaan.
“ Galuh, pikirlah sekali lagi…timbang kembali….”
“ Tak ada yang perlu dipikir lagi. Aku adalah orang kecil yang selalu kalah. Biarlah kusempurnakan kekalahan itu. “ putus Galuh.
Galuh kemudian melihat bayangan di cermin itu menangis, sementara dia sendiri merasa pipinya basah dialiri air mata.


*****

L
ewat telepon umum transaksi disepakati. Tiga juta rupiah, nilai tukarnya. Selapis keperawanan dan layanan sampai pagi, nama proyeknya. Rumah Sofyan di Kandangan, lokasinya.
Bagi Sofyan, jumlah uang bukan soal. Harga tersebut memang lebih mahal dibanding harga pelacur-pelacur kelas atas yang biasa menemaninya di hotel-hotel berbintang Banjarmasin, jauh pula lebih mahal dibanding perek-perek yang berkeliaran di diskotik-diskotik. Tapi yang ini masih perawan, apalagi orang tua gadis itu pernah membanting harga dirinya sebagai lelaki.
Bagi Galuh, hal itu adalah permulaan babakan baru dari hidupnya. Maka senja itu ia berdandan secantik mungkin, mengenakan gaun paling bagus yang dipunyainya. Dia ke luar dari rumah dengan langkah yang seperti melayang, tangannya bergetar saat me-    ngunci pintu, sebab hatinya adalah laut berbadai di bulan mati. Menghadapi pengalaman pertama, apalagi itu berwujud zinah dengan orang yang sama sekali tak dicintai, memang sungguh menggelisahkan. Dan kegelisahan itu meloncat-loncat di matanya, menarikan beragam ekspresi yang tumpang tindih di wajahnya.
Di rumah sakit, dia pandangi wajah Hayati. Wajah lugu itu nampak seperti selalu menyimpan senyum. Tenteram dan damai. Di situ, Galuh selalu merasa menemukan semangat hidup yang memanggil dengan kasih sejati, menghimbau dari kejauhan yang sayup lewat benang surgawi pengikat hati dan jiwa. Dan di situ pula, kini, Galuh melihat adanya kuku-kuku runcing tak beruang tak berwaktu, kuku-kuku maut yang mengintai menunggu ketika.
Sambil menghela nafas berat dia tinggalkan Hayati, melangkah tanpa mempedulikan sapaan Yazid. Yazid entah kenapa tiba-tiba merasa ada gelitik aneh yang mengharu-biru perasaan. Sayup telinganya mendengar suara, suara yang semakin lama semakin nyaring. Suara tangis!.
Kening Yazid berkerut. Ah, tangis siapa itu? Dia tajamkan pendengaran. Dan dia kaget ketika mengenali suara tangis itu sebagai tangis almarhum ayah dan ibunya. Ini mustahil, kata Yazid dalam hati. Tapi tangis itu semakin keras menggedor syarafnya. Duh, kenapa ayah dan ibu menangis sedemikian rupa di alam sana? Menangisi siapa? Menangisi Hayati?
Seperti dituntun tangan gaib Yazid melangkah bergegas melintasi koridor rumah sakit. Tangis itu tetap mengiang, seakan mengikutinya. Ada tarikan aneh yang membuatnya mengambil sepeda di tempat penitipan. Dia kayuh sepeda itu membuntuti becak yang membawa Galuh Ratnasari.


***


S
ofyan menyambut kedatangan sang kunang-kunang dengan seri- ngai. Seringai seekor harimau yang menemukan sikap pasrah korbannya. Dia menuang bir ke gelas, mengangsurkannya kepada Galuh. Galuh menggeleng, menampik minuman itu.
“ Semoga malam ini akan lebih mengakrabkan hubungan kita. “ kata Sofyan.
Sekali reguk bir itu tandas melewati kerongkongan. Sebelum meletakkan cangkir ke meja ia menyapu busa bir yang leleh di ujung bibir.
“ Kamu nampak cantik sekali…. “
Galuh tak menyahut. Dia sibuk menenteramkan dadanya.
“ Sebagai permulaan, aku ingin kita manunggul sejenak. “
Galuh cuma mengangguk. Dia perlahan duduk di pangkuan Sofyan, membiarkan dirinya didekap dari belakang. Sang kunang-kunang bersiap menyongsong takdir, sebaik atau seburuk apa pun takdir itu nanti memperlakukan dirinya. Saat Sofyan mencium lehernya, dia ingat pada Firdaus. Tapi cuma sekejap sebab ia tak ingin emosi menguasai dirinya dan tak ingin berpikir apa-apa. Sendu dia mulai menyanyi.

                               Saputangan babuncu ampat

                              Nang sabuncunya dimakan api
                              Luka di tangan kawa dibabat
                             Luka di hati hancur sakali
                                                Saputangan bersudut empat
                                                Yang sesudutnya dimakan api
                                                Luka di tangan dapat dibalut
                                                Luka di hati hancur sekali

 “ Kamu kuperlukan bukan cuma untukku, Luh, tetapi juga untuk koneksi-koneksiku. “ ada nafas memburu di antara suara Sofyan. “ Dunia bisnis memerlukan minyak pelumas sekaligus pemuas. Kontrak tercipta kadang tidak cukup hanya dengan uang tetapi juga dengan pe- rempuan. Di bagian inilah kamu bisa berperan, Luh. “ Sofyan tertawa. “ Mungkin kamu masih ingat ketika kamu melamar bekerja di perusahaanku. Kukatakan bahwa ijazahmu tak kuperlukan, bahwa tubuhmulah ijazahmu. “ Sofyan ketawa lagi.

                           Kitir-kitiran pucuk kambangku

                                  Bergoyangan pucuk kembangku
                          Ada kumbang madu manyari
                                  Ada kumbang madu menyari
                          Kilir-kiliran banyu mataku
                                  Berderaian air mataku
                         Sudah nasib untungnya diri
                                  Sudah nasib untungnya diri

Sofyan terkekeh. Kekeh tawa Dursasana ketika menyeret Drupadi pada rambutnya, memasuki balairung Astina sehabis Darmakusuma kalah berjudi dengan Sangkuni. Kekeh tawa yang mabuk oleh minuman, kemenangan dan berahi. Jika Drupadi diselamatkan oleh keajaiban kain yang tak pernah habis, keajaiban macam apakah yang bakal menyelamatkan Galuh Ratnasari? Tak ada. Kunang–kunang itu terseret ke kamar. Dan ranjang bersprei merah jambu menunggu. Dia mencari pembenaran atas tindakannya, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa semua nista ini diperuntukan bagi kehidupan Hayati. Maka dimatikannya segala rasa. Matanya nyalang ke langit-langit kamar. Di situ, tiba-tiba Galuh melihat almarhum ayahnya muncul dengan wajah penuh kemurkaan. Sepanjang hidupnya belum pernah ia melihat wajah ayahnya semurka itu. Galuh me- ngerjap. Almarhumah ibunya menampakkan diri. Wajah ibunya yang biasa teduh kini juga penuh kemurkaan. Galuh mengerjap lagi.
“ Aku rela anakku mati! Tapi aku tidak rela anakku menjadi seorang pelacur! “ suara ibunya menggedor hati Galuh.
“ Galuh, apa engkau hendak menghukum kami menjadi kerak neraka? “ suara ayahnya ganti menusuk otak.
“ Sembilan bulan sembilan hari kukandung engkau. Berhujan berpanas kubesarkan engkau. Tak kukira justru kelahiran dirimu yang melemparkan kami ke neraka! “
Hidung Galuh mencium bau amat busuk. Ratusan wajah menyeramkan muncul, taring-taring mereka panjang dan runcing, lidah-lidah mereka juga panjang, menjulur, merah berbuih hijau. Lidah-lidah panjang itu kemudian membelit tubuh ayah dan ibunya. Taring-taring panjang menancap, berebut urat. Tak setetes pun ada percikan darah lan- taran darah langsung dihisap oleh makhluk-makhluk itu. Lalu terdengar teriakan menyayat dari ayah dan ibunya ketika lidah-lidah makhluk itu memanggang tubuh mereka ke kobaran api neraka.
“ Tidak! “ Galuh menjerit.
Dan dia berontak. Sofyan terlempar dari atas tubuhnya. Galuh cepat bangun dari ranjang. Tubuhnya sudah setengah telanjang.
“ Galuh! “ Sofyan membentak.
Galuh tak peduli. Menjumput pakaiannya dari lantai, hendak mengenakannya. Sofyan yang sudah diamuk birahi menjangkau pinggang Galuh. Galuh menghindar, lari ke arah pintu. Sofyan mengejar. Dia berhasil meraih pinggang Galuh, menyeret gadis itu kembali ke ranjang.
“ Bangsat! Lepaskan aku! “
Sofyan terkekeh. Rontaan Galuh menambah rangsang di dirinya.
“ Permainan begitu lebih mengasyikan, Luh! Dari mana kamu punya ide sebagus ini…” katanya.
Ada satu hal yang dilupakan oleh Sofyan, yakni gadis yang tengah meronta-ronta itu adalah seorang gandut yang sedikit banyak menguasai gerak-gerak silat. Tanpa diduga siku kanan Galuh menumbuk ulu hatinya. Sofyan mengaduh dan badannya agak membungkuk menahan sakit. Pegangannya di pinggang Galuh melonggar. Galuh memanfaatkan kesempatan itu. Kedua tangannya mencengkeram kepala Sofyan, dibarengi dengan gerakan pinggul dan bahu Galuh berhasil membanting Sofyan lewat punggungnya.
Sofyan terjajar. Dia sejenak menggeleng-gelengkan kepala, membuang nanar. Rasa sakit, amukan birahi, harga diri, kemarahan dan susupan setan membuatnya kalap. Dia bangkit lagi dan menerkam. Saat itulah terdengar kaca jendela pecah diterjang sesosok tubuh. Yazid. Dia meraih pecahan kaca berujung runcing. Dan memburu. Deras menikam. Sofyan menggerung parau ketika pecahan kaca itu menembusi perutnya. Darah memancur. Galuh menjerit ngeri. Lalu derap kaki orang banyak. Lalu bunyi pintu dan jendela yang didobrak. Lalu suara-suara campur aduk. Lalu sirene bersahutan. Satu sirene mobil ambulan. Satu lagi sirene mobil polisi.
***


F
irdaus memasuki rumah sakit dengan bunga kegembiraan di hati. Dewan Redaksi koran Amandit bersedia membuka ruang khusus sebagai upaya menghimpun dana dari pembaca bagi pengobatan Hayati. Wartawan koran itu lusa akan datang ke Kandangan untuk memotret Hayati dan meng-ambil data-data yang diperlukan.
Kembang kegembiraan itu akhirnya luruh satu-satu manakala berhadapan dengan isak tertahan Ning Antih. Kata demi kata yang kemudian masuk ke telinga membuat seluruh jaringan tubuh Firdaus melemah. Dia jadi nanar. Terduduk lungkrah di bangku depan ruang ICCU. Tangannya menyusut-nyusut rambut, memijit-mijit pelipis. Sejuta semut merah berlomba menggigiti pusat syarafnya.

***

Penutup

P
erempuan mengirim air matanya ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan, ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal, lembut bagai bianglala.24 Bantal? Ah, di ruang itu tak ada bantal, cuma tempat tidur dingin beralas tikar, keterasingan dan kesepian yang terburai di lantai. Dan air mata? Ah, deraian yang luruh pastilah lebih banyak berwarna keruh, sebuah tangisan terhadap sayap-sayap patah. Kalau ada juga air mata yang bening maka itu adalah air mata Galuh yang luruh kemarin, ketika kukabarkan bahwa namanyalah yang pertama ke luar dari mulut Hayati begitu lepas dari jeratan koma.
Kini pernik macam apalagi yang bakal disajikan kehidupan pada Galuh Ratnasari? Sejenak aku menekurkan kepala, ingin mendengar dengan jelas jawaban alam terhadap pertanyaan tersebut. Dinding ruang pengadilan membisu. Meja-meja hakim, jaksa dan panitera, tak bersuara. Pun angin yang menyusup lewat ventilasi.
Sang kunang-kunang itu nampak tegar di kursi terdakwa. Lehernya tegak, matanya lurus ke depan, seakan mengesankan kesiapannya untuk menerima apa pun bunyi putusan yang bakal tiba. Barangkali, baginya dibebaskan atau tidak sudah menjadi hal yang terkepinggirkan. Lain soalnya dengan Syafruddin, SH. dan Erna Yunita, SH., dua pengacara dari LBH Banjarmasin. Kedua pengacara itu tengah menyusuri momen penting dari perjuangan mereka. Dalam kasus ini, mereka telah berjuang dengan gigih, segigih para pembela Mutiari dalam kasus pembunuhan Marsinah, segigih para pembela Iwik dalam kasus pembunuh Udin si wartawan Bernas.
Perlahan kupintaskan pandang ke arah sang hakim. Aku ingin melihat apakah di situ ada siluet wajah Azdak dalam Lingkaran Kapur Putihnya Bertold Brecht, atau wajah Bao dalam cerita klasik cina, atau wajah Benyamin Mangkoedilaga dalam kasus Tempo dahulu. Dan ketika sang hakim itu mulai membacakan putusan, tanganku pun bergerak menghidupkan taperecorder.



Kandangan, September 1998







[1] Kutipan dari puisi Chairil Anwar
[2] Kutipan puisi Latiff Mohidin, Engkaukah Itu?
[3] Benang bola = gulungan benang berbentuk bundar seperti bola
[4] Pisang mahuli = nama jenis pisang, buahnya kecil kira-kira sebesar jempol tangan
[5] Ning = Nek; panggilan kepada perempuan yang sudah tua
[6] Matahari hidup = matahari terbit; arah timur
[7] Pahajatan = wadah memohon restu (dalam arti magis)
[8] Alam karamian = alam keramaian; dunia hiburan
[9] Sarubung = arena terbuka tempat keramaian, berbentuk segiempat panjang, dibatasi oleh pancangan  tiang dari bambu.
[10] sasanggan = mangkok besar dari kuningan
[11] Panting = alat musik sejenis gambus
[12] Babun = gendang
[13] Bleh = dari  kata Obleh, nama seorang tokoh di film boneka Si Unyil di TV
[14] Nyil = panggilan tokoh Unyil.
[15] Kayi = kakek; panggilan pada seorang tua laki-laki.
16 Kutipan puisi D. Zauhidhie, Huma yang Perih
17 Kutipan puisi Kriapur, Prahara Burung-burung
18 SPG = Sekolah Pendidikan Guru
[16] Kutipan dari puisi Yustan Aziddin, Senja Kuning
[17] Tatangar = pertanda, biasanya pertanda buruk
[18] Kalarahu = raksasa yang dalam kepercayaan tradisional menelan bulan atau matahari sehingga terjadi     gerhana.
[19] Surah Al-Baqarah, ayat 155 - 157
23 Kutipan dari puisi Kriapur, Luka di mana-mana.
24 Kutipan dari puisi Sapardi Djoko Damono, Pertemuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar