SANG GUBERNUR PENYAIR
Oleh Burhanuddin Soebely
Bramandita,
namanya. Bram, panggilannya. Nama itu, konon, dilekatkan orang tuanya sebagai
perwujudan kecintaan terhadap Kandangan, kota
yang dibelah oleh Sungai Amandit. Bramandita, menurut ayahnya, boleh ditafsiri
sebagai akronim dari berkah Amandit
tercinta.
40 tahun
usianya. Tinggal di Banjarmasin, di sebuah kompleks perumahan sederhana yang
berjuluk “indah dan asri”. Punya istri. Beranak 3 orang—dua lelaki dan satu
perempuan. Pegawai Negeri Sipil, pekerjaannya. Penyair, profesinya.
Status penyair
itu tidaklah didapat dengan cuma menulis enam-tujuh sajak atau melalui
pertemanan dengan kalangan seniman maupun redaktur koran dan majalah. Status
penyair itu diraihnya dengan balangsar
dada, bahkan berdarah-darah. Puisi menjadikan dia jatuh-bangun dilimbur
badai. Puisi menjadikan dia bilur-merih dalam mengibarkan bendera dan
mempertahankan eksistensi.
Dulu, dalam file Kopkamtib—lembaga paling angker
pada masa rezim Orde Baru—dia berkatagori trouble
maker. Dalam catatan intel Kodam, Polda, dan Kantor Sospol, dia dicap hahawar ambun, termasuk kelompok orang
yang pertama diciduk jika muncul aksi berpotensi menggoyangkan kedudukan The Smiling General. Dalam berkas Biro
Kepegawaian Kantor Gubernur dia dilak sebagai buyang mati hingga terus diperam dengan jabatan staf abadi. Di era
reformasi ini, nasibnya belum berubah juga: tetap lestari di pangkat Penata
Muda Tingkat I golongan ruang III-b, pangkat dan golongan ruang yang telah 12
tahun disandangnya. Kendati begitu, tak pernah ia uring-uringan, tak pernah
pula berkeluh kesah. Dia jalani hidup dengan mata yang berbinar, senyum yang
terkembang, tawa yang renyah, dan semangat yang membuncah. Pokoknya,
kesehariannya nampak ceria, damai, dan bahagia, sehingga kawan-kawan kuliahnya
dulu—yang kini telah menjadi kepala dinas atau setidaknya pejabat eselon
III—tak tahu harus menyebutnya sebagai si Sarawin malang nang
ulak-ulak di luang satu atau si Palui lugu yang ugahari.
Mandeknya karir
kepegawaian berbanding terbalik dengan karir kepenyairan.Jika Sutardji Calzoum
Bachri dijuluki orang sebagai Presiden Penyair Indonesia, maka seniman
Kalimantan Selatan secara aklamasi menyebut Bram sebagai Gubernur Penyair
Kalimantan Selatan.
***
Sang Gubernur
Penyair itu sekarang tengah duduk di teras rumahku. Kepalanya lena di sandaran
kursi. Matanya nanap ke arah arakan awan tipis yang mengikut jalan angin.
“Pernahkah
engkau merasa seperti sebuah balon yang penuh berisi helium?” ucapnya tanpa
mengalihkan pandang.
Aku memilih diam
sebab keberadaannya sore ini terlihat tidak biasa. Sosoknya nampak berantakan—persis
rumpun mawar yang diseruduk ayam lagi birahi. Sungguh, sepanjang pertemanan
kami baru kali inilah aku melihat adanya loncatan-loncatan resah di matanya.
“Engkau
mengambang di udara, membubung.” Bram melanjutkan bicaranya dengan suara yang
dilambari intonasi seorang pembaca puisi. “Lalu, pada ketinggian tertentu
engkau tiba-tiba meledak. Buuummm!” Jemari tangan kirinya melakukan gesture yang mengesankan terjadinya
sebuah ledakan. Seiring dengan itu kepalanya dipalingkan. Matanya kini lekat ke
wajahku. “Pernahkah kau merasa seperti itu?”
Aku mengabaikan
pertanyaannya. “Meledak di udara tentu membuat orang jadi berkeping….” kataku
kemudian.
“Ya…” nada
suaranya agak murung.
“Tentu sakit
sekali rasanya….”
“Ya…” murung
kini nyata di suaranya. “Jadi, pernahkah engkau merasa seperti itu?” dia
menyodorkan pertanyaan ulangan yang menuntut jawaban.
Wahai, ke mana
arah pembicaraan ini? Adakah hubungan antara topik “balon berisi helium yang
meledak” dengan loncatan resah di mata dan nada murung di suaranya?
“Jatuh dari
ketinggian tertentu rasanya pernah kualami.” Jawabku, sekadar menuruti alur
bicaranya. “Tapi meledak di udara dan menjadi kepingan sebelum jatuh rasanya
belum pernah.”
Bram menarik
nafas panjang, sebuah tarikan yang berat dan agak tersendat. Hembusan panjang
nafas itu lewat mulut membuat kentara peningkatan stadium murungnya. Kepalanya
kembali lena di sandaran kursi. Matanya kembali nanap ke awan gerbang senja.
“Aku kini merasa
seperti balon itu…..” nada murungnya ke luar lewat desah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar