dewan kesenian hulu sungai selatan

dewan kesenian hulu sungai selatan
logo

Biarkan Bulan Itu


Pergelaran
 
Biarkan Bulan Itu



Deskripsi






PENDAHULUAN

Bentuk kesenian yang lahir di Kalimantan Selatan paling sedikit ada dua golongan besar, yaitu seni klasik yang banyak dikembangkan oleh kalangan bangsawan (istana) dan seni rakyat dengan sejumlah senimannya. Di samping itu berkembang juga seni yang bersifat religius, berkaitan dengan kepercayaan yang berkembang sejak lama. Seni religius itu masih nampak jelas pada etnik Dayak Bukit—yang sekarang menyebut diri sebagai Dayak Meratus—di kawasan Pegunungan Meratus yang senantiasa mereka mainkan ketika dilaksanakan upacara Bawanang atau Aruh Ganal.
Dalam kehidupan masyarakat sekarang, beberapa bentuk kesenian itu telah mengalami kepunahan maupun pendangkalan kandungan nilainya. Hal itu dapat disebabkan oleh beragam kondisi, baik itu yang bersifat alamiah maupun kesalahan tindakan para pengelolanya; karena ketidakpedulian, ketidakmengertian, dan sebagainya. Oleh sebab itu perlu adanya kegiatan yang tidak cuma berupa pelestarian dan pembinaan, tetapi juga berupa pengembangan agar kesenian tersebut tetap mendapat tempat di tengah perubahan cita rasa estetik masyarakat yang terus dipicu dan dipacu arus perubahan zaman.
Pengembangan adalah upaya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kesenian tradisi yang hidup di tengah-tengah masyarakat tanpa menghilangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sasaran pengem-bangan antara lain adalah teknik penggarapan, materi peristiwa, seniman, dan dampak positifnya terhadap masyarakat baik secara jasmani maupun rohani. Salah satu bentuk pengembangan itu adalah mencobaterapkan sebuah gagasan, metode, maupun teknik penggarapan agar didapatkan nilai tambah bagi karya seni tersebut.

SANDARAN
Cerita Biarkan Bulan Itu karya Burhanuddin Soebely mempunyai latar tempat daerah pedalaman/pegunungan dan perkotaan. Hal ini membuat pergelaran digarap dengan menggunakan dua bentuk kesenian yang berbeda sebagai penanda latar tempat tersebut.
Pada tempatan di wilayah pedalaman/pegunungan, pergelaran digarap dengan pengembangan dari Andi-Andi Gunung dan Kanjar, dua seni tradisi masyarakat Dayak Meratus. Andi-Andi Gunung adalah bentuk teater tutur, sedang Kanjar adalah bentuk tari pergaulan. Keduanya biasa digelar saat upacara Bawanang, ritual pascapanen masyarakat Dayak Meratus.
Pada tempatan di wilayah perkotaan, digunakan  Mamanda, satu bentuk teater rakyat Kalimantan Selatan yang dipengaruhi oleh budaya Melayu.



CERITA
          Sebagaimana bentuk teater rakyat Kalimantan Selatan lain yang istana sentris, cerita Biarkan Bulan Itu juga dijalin mengikuti alur tersebut sebagai simbolisasi kekinian. Persoalan-persoalan kekinian, pesan-pesan pemba-ngunan, diluluhkan sedemikian rupa ke dalam dialog dan monolog para pelaku, dijelujur melalui konflik antartokoh, sehingga bisa sampai kepada penonton tanpa terasa sebagai tempelan.

BUSANA
          Busana yang digunakan disesuaikan dengan latar tempat dari cerita. Busana etnik Dayak Meratus yang telah distilisasi dan disesuaikan dengan keperluan pergelaran, serta pakaian daerah Banjar, berupa pakaian kerak-yatan dan pakaian pembesar dalam Mamanda.

PENGGIRING
          Musik penggiring juga disesuaikan dengan latar tempat dari cerita. Secara umum musik tersebut berupa penggabungan antara musik pentatonik dan diatonik, antara lain biola, panting/kecapi, babun/gendang, limpat, serunai, dan gong.
          Lagu yang sekilas ditampilkan adalah lagu yang biasa dinyanyikan dalam pergelaran Mamanda, berupa lagu berbahasa Banjar. Gerak tari Kanjar yang biasa ditampilkan dengan mengelilingi Langgatan (bangunan dari pucuk daun enau yang dijadikan sentra upacara Bawanang).




PENUTUP
          Pilihan cerita yang digelar oleh Pusat Olah Seni dan Komunikasi (Posko) La-Bastari Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, didasarkan pada persoalan-persoalan kekinian di masyarakat yang memerlukan perhatian dari berbagai pihak. Bentuk kesenian yang dijadikan sandaran pergelaran adalah juga bentuk kesenian yang mulai terancam keberadaannya. Andi-Andi Gunung dan tari Kanjar mulai rapuh kesinambungan keberadaannya karena masyarakat Dayak Meratus banyak memilih hidup di rumah-rumah individual, meninggalkan kehidupan komunal di Balai (rumah besar, rumah adat). Demikian juga dengan Mamanda yang terasa mengalami pendangkalan kandungan nilai.
         





 
  Burhanuddin Soebely


BIARKAN BULAN ITU










           PELAKU


1.    SINDUPATI – PIMPINAN PERKAMPUNGAN TELAGA DARAH
2.    SANTANG – ADIK SINDUPATI
3.    DIANG MALINTANG – ISTRI SINDUPATI
4.    AYAH SINDUPATI
5.    PANGLIMA PERANG KERAJAAN SINGGANG LANGIT
6.    ARGA KUMITIR – BEGUNDAL PASAR






PARADOS


PEANDI-ANDI DI ATAS PENTAS, DIDAMPINGI OLEH BENTARA KANAN DAN BENTARA KIRI

PEANDI-ANDI

Diwata kambang rang cakap malangkapi panggung
Panggung taputar panggung tapusing
Panggung panyambutan maut
iiiii….lah…

Bentara kanan, pukul gendang bertalu
Bentara kiri, tiup serunai bambu
Kita mulai langkah perjalanan
Mengisahkan jalinan kehidupan

Maka tersebutlah cerita tentang kawasan Telaga Darah di pedalaman Kerajaan Singgang Langit. Gunung dan Bukit yang semula menghijau, kini mulai kehilangan warna. Hutan-hutan yang lebat membelantara kian jarang tumbuh kayunya. Tanah-tanah ulayat terus digerus menjadi lahan pertambangan dan perkebunan. Warga kampung pun mulai resah, mulai resah, mulai cemas.

-----------------------------------------------M U S I K -----------------------------------------------

SEMUA PEMAIN MASUK PENTAS, SALAH SATU MEMBAWA LANGGATAN, PERANGKAT UPACARA SUKU PEDALAMAN

SANTANG
Duh, Ning Diwata...
apalagi yang tersisa
di mana lagi kami semaikan asa

hutan-hutan tiada
huma-huma tiada
sungai-sungai jelaga
pancur-pancur berbisa
tanah-tanah rekah
mengalirkan nanah

o, apalagi yang bakal terban
di mana letak keadilan

-------------------------------------------------- M U S I K -------------------------------------------

SEMUA PEMAIN MENARI, MEMBENTUK BLACK OUT DAN KELUAR PENTAS, TINGGAL SINDUPATI DAN DIANG MALINTANG

SINDUPATI
Senja tadi genap sudah tujuh senja aku melihat elang berbulu merah berkulik panjang sembari memutari perkampungan dalam tujuh pusingan pulang balik. Kulikan panjang elang tersebut mirip ratapan. Bagi telingaku seakan berubah menjadi bunyi gong yang mengalun mengiringi upacara kematian.

DIANG MALINTANG
Apa Kanda Sindupati pikir itu merupakan pertanda akan datangnya sesuatu yang kurang baik?

SINDUPATI
Entahlah, Dinda Diang Malintang. Namun di hatiku selalu berbaur perasaan tak nyaman. Sudah berapa malam aku tak dapat tidur dengan nyenyak. Resah, gelisah dan.....entah.

DIANG MALINTANG
Kanda, adakah pantangan-pantangan adat yang telah dilanggar warga masyarakat kita?

SINDUPATI
Kurasa ....tidak ada.

DIANG MALINTANG
Adakah pelanggaran atau kejahatan yang belum kita siasati?

SINDUPATI
Juga tidak ada.

DIANG MALINTANG
Lalu....kenapa alam seakan siap menurunkan kutuk kepada kita?

SINDUPATI
Pertanyaanmu itu adalah juga pertanyaan yang selalu menyeruak di hatiku. Entah kenapa kemauan alam sekarang sukar ditebak, bahkan hitungan pergantian musimnya pun seakan tak lagi berlaku. Alam seakan tak lagi bersahabat.

--------------------------------------------------M U S I K --------------------------------------------

SANTANG
(Dari luar pentas) Kanda Sindupati! (Masuk pentas dengan tergesa) Aku ingin tahu apa tanggapanmu tentang persolan yang kita bicarakan tadi pagi.


SINDUPATI
Dinda Santang, jawabanku tatap seperti semula.

SANTANG
Jadi kau tetap tak memberi izin pada kami untuk berangkat ke balik gunung itu.

SINDUPATI
Ya. Itu bukan langkah penyelesaian terbaik.

SANTANG
Sebagai Kepala Perkampungan rupanya kau sudah tak lagi memikirkan keselamatan warga kita.

DIANG MALINTANG
Dinda, justru keselamatan dan kesejahteraan semua warga yang menjadi pusat pemikiran Kanda Sindupati.

SANTANG
Tapi kenapa dia tak memberi izin pada kami untuk menghentikan tindakan sepihak orang-orang di balik gunung itu?

SINDUPATI
Tindakan mereka memang harus dicermati, tetapi bukan cara menindas ancaman lewat kekerasan, apalagi melalui adu raga.

SANTANG
Agaknya kau telah berubah menjadi seorang pengecut.

SINDUPATI
Santang! Jaga lidahmu!

SANTANG
Telah kujaga lidahku. Sikapmulah yang membuatnya jadi tajam.

SINDUPATI
Sudah kukatakan aku menghindari kekerasan.

SANTANG
Itulah wujud kepengecutanmu.

SINDUPATI
Pengecut? Aku seorang pengecut?

SANTANG
Tidak lebih dari itu. Ayahnda pasti malu melihat anaknya tiba-tiba berubah menjadi seorang pengecut.

SINDUPATI
Kesabaranku ada batasnya, Santang! Jangan sampai nanti engkau merasakan bekas tanganku.

SANTANG
Aku ingin tahu apakah kau masih layak mengucapkan kalimat itu.

KEDUANYA BERGERAK, HENDAK SALING PUKUL

AYAH
(Dari luar pentas) Hentikan! (Masuk pentas dengan tergesa) Kalian sedang apa? Bertengkar? Apa asas musyawarah mufakat sudah sirna dari prinsip kehidupan kalian?

SINDUPATI
Maaf, Ayahnda. Lidah Santang terlalu tajam menikam

SANTANG
Ayahnda, Kanda Sindupati tak lagi memikirkan keselamatan perkampungan. Tidak lagi memikirkan kepentingan warga. Akar-akar kebersamaan, perasaan senasib-sepenanggungan  sudah rapuh dan luruh dari genggamannya.

AYAH
Maksudmu?

SANTANG
Kita sudah menuruti anjuran Kanda Sindupati agar tak bercocok tanam dengan pola ladang berpindah demi kelestarian alam dan lingkungan. Tetapi ia tak berkepedulian apa-apa ketika orang-orang dibalik gunung sana terus-menerus menggunduli hutan tanpa berusaha menanaminya kembali, menggerus tanah-tanah ulayat untuk lahan pertambangan dan perkebunan.

DIANG MALINTANG
Santang, Kanda Sindupati justru tengah memikirkan....

SANTANG
(Cepat memotong) Berpikir? Berpikir apalagi? Berpikir terus-menerus sementara lingkungan kita kian hari kian terancam keutuhannya. Setiap saat kawasan Telaga Darah ini digerogoti. Tak mustahil akan rapuh, longsor dan banjir menunggu giliran menyempurnakan penderitaan kita. Satwa akan kehilangan sarangnya dan berubah menjadi pemangsa kebun penduduk. Belum lagi tuduhan teralamatkan kepada masyarakat kita, tak bijak menyatu dengan lingkungan. Bila terus dibiarkan bencana akan datang.

AYAH
Tindakanmu maunya bagaimana?

SANTANG
Aku dan pemuda kampung akan memberikan teguran langsung kepada orang-orang di balik gunung itu. Andai mereka tak berterima maka runcingnya ujung tombak, tajamnya parang bungkul serta ampuhnya anak sumpitan beracun yang kami miliki barangkali akan turut berbicara dengan cara tersendiri. Tetapi untuk itu Kanda Sindupati selalu tak memberi izin.

SINDUPATI
Singgang Langit kerajaan terhormat, Telaga Darah adalah kawasannya. Terhormat kukatakan, karena ada aturan dan hukum dasar yang menjadi landasan keberadaannya. Hukum dan aturan tersebut dihormati dan harus dijunjung tinggi oleh semua kawulanya, termasuk kita (PAUSE) Engkau sendiri tentu mengetahui bahwa bertindak sendiri-sendiri di luar keabsahan hukum, itu namanya ma-kar, itu namanya kejahatan.

SANTANG
Apakah mereka yang berada dibalik gunung sana peduli dengan hukum?

DIANG MALINTANG
Tak seorangpun yang kebal terhadap hukum, terkutuklah kiranya mereka yang semena-mena melecehkan hukum.

SANTANG
Kutuklah mereka. Sumpahi mereka. Seribu kutuk, sejuta sumpah tak membuat mereka jera.

AYAH
Santang, Anakku. Kau jangan terbakar emosi darah mudamu. Dengarkan dahulu apa rencana dan tindakan yang diambil oleh kakakmu Sindupati.
SINDUPATI
Aku dan Diang Malintang akan turun ke kota. Mudah-mudahan Baginda yang berkuasa di Kerajaan Singgang Langit ini berkenan menerima pelaporan situasi yang ada di sekitar kita.

SANTANG
Apa? Bicara? Aaaah... suara orang udik, orang awam, suara dari bawah, mana mungkin didengar oleh mereka? Mana mungkin diperhatikan?

DIANG MALINTANG
Pasti mereka perhatikan. Sebab kitapun juga bagian dari mereka. Akar-akar kerakyatan dan asas kebersamaan telah dihayati dan diamalkan oleh mereka jauh melebihi yang kita duga. Oleh itu nyaris tak ada suara dari bawah yang tertelan oleh kekuasaan dan tata kerja dari yang namanya kesetiakawanan. Kita percaya akan anggapan yang demikian.

AYAH
Benar demikian, Santang. Tahan perasaanmu, sebab kalau bukan kita sendiri yang menghormati dan menjunjung tinggi semua aturan yang berlaku maka semua gerakan tak akan ada artinya. Sadarlah Santang, berpuluh tahun sudah kawula kerajaan ini menegakkan sendi-sendi kedaulatan. Hukum adalah salah satunya. Kita galang persatuan dan kesatuan. Kebersamaan dan kesetiakawanan kita suburkan menjadi bagian jati diri kita.

SINDUPATI
Perkataan Ayahnda itu benar, Santang. Dengan jalinan sendi-sendi yang kuat itulah berbagai keberhasilan kerajaan telah diraih, lalu diolah lagi menjadi modal lagi untuk menjangkau kebahagian hari esok yang lebih bagus (PAUSE) Sedikit atau banyak, seluruh masyarakat di seantero  kewilayahan Kerajaan Singgang Langit ini telah menikmati hasilnya. Sebab itu tak seorangpun boleh menggoyah sendi-sendi dasar tersebut kalu ia tak ingin disebut penghianat.

SANTANG
Baik. Kali ini aku turuti jalan pikiran kalian. Tapi permintaanku, kita turun beramai-ramai ke pusat kerajaan.

AYAH
Santang, menyampaikan keluhan atau sesuatu masalah tak perlu banyak orang. Bukankah kita sudah memiliki sistem kelembagaan yang secara absah mewakili segala kepentingan kita. (PAUSE) Kehadiran banyak orang selalu mengundang saat yang riskan untuk ditunggangi oleh pihak-pihak yang ingin mengacaukan keadaan. Tak mengapa anakku kalau kali ini kita titipkan semua kepentingan masyarakat kita melalui kakakmu sebagai perwkilan. (PAUSE) (Kepada Sindupati) Sindupati, kapan kau berangkat?

SINDUPATI
Subuh nanti, Ayahnda.


AYAH
Baik, anakku. Doaku selalu menyertai kepergianmu.


---------------------------------------------BLACK OUT---------------------------------------------

DIANG MALINTANG DI ATAS PENTAS

DIANG MALINTANG
(MONOLOG)
Gemerlap lampu-lampu kota. Bising sekali lalu lalang kehidupannya. Aahh, inikah tempat yang sering singgah dalam mimpi orang desa? Inikah tempat yang dianggap menjanjikan kebahagian dalam kehidupan sehingga banyak orang desa berpindah dan meninggalkan huma ladangnya.

----------------------------------------------M U S I K------------------------------------------------
ARGA KUMITIR MASUK PENTAS, MABUK NAMUN DIGAGAH-GAGAHKAN

ARGA KUMITIR
Manakala aku akan mulai memungut upeti dari kawasan kekuasaanku, di suatu pojokan gelap kulihat sesosok tubh. Siapa dia? (PAUSE) Seorang wanita heh? Malam-malam berpakaian aneh, atau sedang cari pasaran? (PAUSE) (BERNADA MERAYU) Aduh, bidadari, dari mana tadinya puan datang?

DIANG MALINTANG
Aku bukan bidadari, aku manusia biasa.

ARGA KUMITIR
Manusia biasa? Rasanya aku tak pernah melihatmu selama ini. Siapa engkau?

DIANG MALINTANG
Aku Diang Malintang, baru kemarin turun dari hunjur Meratus.

ARGA KUMITIR
Pantas...pantas aku tak mengenalmu dan kau pasti tak mengenalku. Arga Kumitir tersebut aku empunya nama. Aku penguasa di kawasan ini. Karenanya, bila ingin membuka usaha di tempat ini, sebelumnya harus membayar upeti kepadaku. Dan kali ini upeti itu adalah dirimu sendiri.

DIANG MALINTANG
Aku tidak melakukan kegiatan apa-apa. Aku cuma sebentar disini. Aku tengah menunggu....

ARGA KUMITIR
(Memotong cepat) Aku tidak peduli setan apapun yang kau tunggu. Sekarang ikut aku atau... kau akan kupaksa!

DIANG MALINTANG
Memaksaku? Dengar Tuan! Ayahku adalah seorang panglima di perkampungan kami. Percuma aku dilahirkan dari merah darahnya, jika aku tak mampu membuktikan kebesarannya di hadapanmu! Majulah! Akan kubuktikan bahwa anak macan tak akan berubah menjadi seekor kucing!

ARGA KUMITIR
Agaknya kau perlu diberi pelajaran (Mencabut keris)

PANGLIMA PERANG
(Dari luar pentas) Hentikan!

----------------------------------------------------M U S I K------------------------------------------

PANGLIMA PERANG MASUK PENTAS


DIANG MALINTANG
Ah, Tuanku Panglima Perang.

ARGA KUMITIR
Panglima Perang? Ah....ma...ma...maaf, Tuanku, hamba cuma bermain-main.

PANGLIMA PERANG
Main-main? Main-main dengan senjata ditangan? Tak tahukah engkau bahwa tak dibolehkan membawa senjata selain petugas kerajaan yang dilindungi peraturan yang berlaku

ARGA KUMITIR
Am…ampun, Tuanku.

PANGLIMA PERANG
Arga Kumitir, aku sudah menerima banyak laporan tentang tindakanmu yang mulai meresahkan masyarakat. Kini hal itu kubuktikan sendiri. Serahkan senjatamu, kalau tidak hukumanmu nanti akan lebih berat.

ARGA KUMITIR MENYERAHKAN SENJATANYA. LALU KELUAR PENTAS. SINDUPATI MASUK PENTAS.

SINDUPATI
Oh...Dinda Diang Malintang, ternyata kau ada disini. Aku mencarimu kemana-mana.

PANGLIMA PERANG
Sindupati, istrimu agaknya tak betah dengan suasana kota.

DIANG MALINTANG
Maafkan, Tuanku, maklum orang kampung.

PANGLIMA PERANG
Sindupati, persolan dan masalah sekitar kawasan perkampungan kalian sudah kubicarakan dengan Baginda. Kami menyadari bahwa wilayah kita amat luas sehingga ada saja celah yang terluput dari pengawasan kami. Syukurlah kami memiliki kawula anak negeri seperti kalian yang memiliki rasa tanggung jawab dan pengabdian besar sehingga masalah yang terluput itu akhirnya sampai juga kepada kami. (PAUSE) Baginda telah menitahkanku untuk mengambil tindakan yang sesuai dan menurut peraturan yang berlaku. Oknum-oknum yang melanggar akan diajukan ke pengadilan. Untuk menunaikan tugas tersebut, besok aku akan berangkat ke lokasi.

DIANG MALINTANG
Gembira sekali kami mendengar hal itu. Terimakasih atas segala perhatian yang diberikan kepada kami.

SINDUPATI
Jika diperlukan hamba siap membantu tugas Tuanku.

PANGLIMA PERANG
Tentu saja akan diperlukan. Bukankah kemanunggalan antara petugas kerajaan dengan rakyat merupakan salah satu pilar kehidupan kerajaan kita?

SINDUPATI
Benar, Tuanku. Mungkin Tuanku hendak mempersiapkan diri untuk keberangkatan besok. Nanti hamba akan menunggu Tuanku di perbatasan perkampungan.

PANGLIMA PERANG
Baiklah, sampai nanti.

----------------------------------------------M U S I K------------------------------------------------

PANGLIMA PERANG KELUAR PENTAS

DIANG MALINTANG
Kanda, di tempat yang bising berdebu seperti ini aku terus memimpikan sebuah rumah di pinggang gunung. Di bawahnya ada sungai jernih membentang berhias hamparan panorama alam lembah hijau. Di situlah anak-anak kita bermain, tumbuh besar dan berkembang.

SINDUPATI
Disana juga harapan-harapan bernas, menunggu kita untuk diolah menjadi kenyataan.

DIANG MALINTANG
Kanda...kau lihat bulan itu (Menunjuk ke suatu arah di atas)

SINDUPATI
Biarkan bulan itu, Dinda.


DIANG MALINTANG
Kenapa? Apakah bulan tidak indah?

SINDUPATI
Di sisiku ada bulan yang lebih indah. Bulan kehidupanku. Bulan kehidupan anak-anakku


---------------------------------------------M U S I K-------------------------------------------------

SELURUH PEMAIN MASUK PENTAS, MENYANYI DAN MENARI BERSAMA.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar