dewan kesenian hulu sungai selatan

dewan kesenian hulu sungai selatan
logo

Rawa Dupa

Burhanuddin Soebely



Rawa Dupa



Peristiwa Satu
Senin, 4 Juli 1988





Berikan kepadaku, yang kecapaian dan yang ter-belenggu, yang berdesakan dan rindu untuk bernafas di langit bebas, yang kaupersampahkan di kepengaban kampung-kampung. Biarkanlah mereka lepas ke pangkuanku, yang gelandangan dan terhempas. Kupasang pelita penunjuk gerbang emas ini, yang selalu menunggu…

B
unyi tik-tak mesin tik terhenti. Sekejap mataku menyapu rangkaian kata di atas kertas. Tanganku bergerak menjangkau cangkir berisi air putih, menghirupnya beberapa reguk, meletakkan cangkir, lalu meneruskan ketikan.

Puisi Emma Lazarus yang tertulis di pijakan kaki Patung Wanita Pembawa Obor Kebebasan ciptaan Frederick Auguste Bartholdi—yang melambangkan kelahiran bangsa Amerika—di gerbang pelabuhan New York itu tentulah akan menjadi salah satu fokus dalam perayaan kemerdekaan Amerika Serikat ke 212. Di sisi lain puisi dan patung tersebut terasa bernoda darah, darah dari orang-orang tak berdosa. Betapa tidak, insiden di Teluk Hormuz, 2 Juli tadi, saat kapal perang AS Vincennes menembak jatuh pesawat Airbus A 300 B milik penerbangan komersial Iran, benar-benar merupakan coreng arang sekaligus tra-gedi berdarah. 200 orang penumpang pesawat dengan nomor penerbangan 655 itu tewas, sebuah angka korban tertinggi dalam sejarah pesawat sipil yang dirontokkan militer.

Tik-tak mesin tik terhenti lagi. Lama. Keningku berkerut beberapa lapis. Kemudian dengan jengkel kucabut kertas dari roll. Sudah empat kali aku mengganti kertas, berarti empat kali pula aku gagal membuat editorial untuk penerbitan lusa. Biasanya membuat editorial bukanlah hal yang teramat sulit, malah menyenangkan. Semua bahan sudah tersedia, tinggal mencari hal aktual dan patut diulas, lalu menyusun kalimat-kalimat. Tapi sekarang?
Kuremas lembaran kertas, mencampakkannya ke wadah sampah di sisi kursi. Sejenak kulenakan kepala ke sandaran kursi, menghela nafas panjang, memenuhi dada de-   ngan udara Banjarmasin yang gerah. Pikiranku mengembara, memutar balik berbagai peristiwa yang baru saja terjadi di seluruh penjuru dunia. Mulai dari pertemuan Presiden Soeharto dengan Menteri Negara Urusan Pertahanan Jepang, Tsutumo Kawara, di Jakarta; diterimanya permohonan Letjen (Purn) Sarwo Edhie Wibowo mundur dari keanggotaan DPR/MPR RI; demonstrasi antibasis militer Amerika di Subic dan Clark, Filipina; penggunaan senjata kimia dalam Perang Irak-Iran yang diakui Menteri Luar Negeri Irak, Tariq Azis; sampai terpilihnya Amerika Serikat sebagai tuan rumah Kejuaraan Dunia Sepak Bola tahun 1994.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara lolong anjing, sebuah lolongan panjang yang seram, irama lolong penggiring langkah hantu-hantu. Di antara lolong itu kedengaran kelepak burung bersayap besar, burung-burung yang terbang berbondong dan mengepak ritmis dalam satu paduan. Kemudian masuk bunyi derak, seperti bunyi lantai bambu yang diinjak-injak oleh sekian banyak kaki manusia. Di belakang derak itu, bunyi gendang bertalu-talu, gemuruh. Di belakangnya lagi, bunyi serunai bambu, melengking nyaring. Dan di belakangnya lagi, gong mendengung.
Suara-suara itu seperti berasal dari dunia lain, menyusur malam, mengalir dan terhempas dari jeram khayali yang entah di mana. Kian lama kian nyaring, seakan sumbernya kian mendekat. Bulu-bulu di tubuhku langsung meriap ketika sehembusan hawa dingin menyusup ke pembuluh darah.
Musik itu kemudian kukenali. Musik suku Bukit yang menghuni kawasan lereng Pegunungan Meratus. Musik yang menggema memanggili Ning Diwata[1], para Putir[2] dan para Sangiyang[3]. Musik yang mengangkat hakikat Sang Jata, penjaga Alam Bawah yang berbentuk seekor naga. Musik yang menyambar hakikat Sang Mahatara, penjaga Alam Atas yang berwujud seekor tingang. Musik berbau maut karena hakikatnya berisi kelebat mandau, parang, tombak dan bilah-bilah damak[4]. Musik Palas Darah atau musik upacara berangkat perang!
 Sumber musik maut itu kedengarannya tak jauh, mungkin sekitar 10 meter dari rumah. Oohh, tidak! Musik itu sekarang sumbernya ada di halaman! Duh, bukan di halaman, tapi telah menyerbu pintu-pintu, menerobos jendela-jendela, menyusupi ventilasi-ventilasi!
Aku menggigil. Musik kini memenuhi ruang tempatku berada. Berdentam-dentam. Mengurung. Melilit. Mengangkatku ke keluasan tanpa batas. Bau dupa semerbak, bercampur harum bunga. Lalu meruap bau darah. Lalu lantai balai[5] berderak. Belasan orang dengan mandau atau parang di tangan batandik[6] mengelilingi lalaya[7].
“ Yeeaaa! “
Lengkingan yang ke luar dari mulutku perlahan menghentikan tandik itu. Musik Palas Darah melemah. Koor mamang[8] para balian[9] menggema seperti dengung lebah. Galang hiyang[10] gemerincing. Kami menggerakkan senjata, menoreh lengan kiri masing-masing. Darah segar memercik, menetes ke lantai bambu. Gong mendentum dalam irama cepat, menggasak malam dengan nada beragam. Sekian banyak orang di sekeliling, lelaki dan perempuan, menghamburi kami dengan beras kuning bercampur aneka kembang.
Dari arah matahari terbit Damang[11] Utai batandik mendatangi, tangannya membawa sebuah mangkok berwarna merah. Tetes-tetes darah ditampung ke dalam cupu, dibawa batandik mengelilingi lalaya tujuh putaran. Damang Utai kemudian menghadap ke arah matahari tenggelam, berdiri tunggal kaki, mengangkat cupu ke depan dada.
Satu demi satu kami mendatangi, mencelupkan jari manis tangan kanan ke dalam cupu dan mencoretkan darah ke dahi dalam bentuk cacak-burung[12] . Aku pada giliran penghabisan. Setelah mencoretkan darah ke dahi aku berlutut di hadapan Damang Utai.
“ Sekarang kita tengah berada dalam saat-saat genting. “ Damang Utai berucap.     “ Kendati begitu bukan berarti kita harus menyerah begitu saja. Perjuangan kita harus terus. “
Damang tak perlu kuatir. “ sahutku mantap. “ Selama nafas masih ada kita akan terus berjuang. “
“ Demikianlah laku dan takdir orang suku Bukit. Sekarang berangkatlah. Cari Panglima Andung Sadayu di benteng. Penuhi kewajiban kalian dan songsong takdir Ning Diwata tanpa rasa gentar. “
Aku mengangguk takzim. “ Sembah disusun restu diharap, jika kami harus rebah jua ke bumi dalam genangan darah, iringi langkah kami ke patilarahan[13] dengan sejumput doa. “
Musik Palas Darah, denting galang hiyang dan kumandang mamang kini seakan bersaing menjangkau nada-nada tinggi. Tombak, sumpitan dan bumbung bambu berisi bilah damak diambil dari lalaya. Tanpa bicara dan tanpa menoleh lagi kami bergerak ke luar balai. Berjalan menyeberangi sungai. Menembus jubah malam.
Lolong anjing kembali merobek gendang telinga. Aku tersentak. Sayup telingaku mendengar dering telepon. Mataku mengerjap beberapa kali, memandang berkeliling kamar kerja. Tak ada yang berubah. Musik Palas Darah hilang suara. Balai, lalaya dan orang-orang suku Bukit tak nampak bayangnya. Cuma tubuhku basah oleh keringat. Tulang dan persendian terasa bagai dilolosi. Letih mendera seakan habis melakukan suatu perjalanan jauh.
Telepon berdering lagi. Kali ini bunyinya menusuk pusat syaraf dan memba- ngunkan rangsang kesadaran. Ya, Tuhan, apa yang baru saja terjadi? Apakah tadi aku terlelap lalu terjerat mimpi? Lunglai aku melangkah ke ruang tengah. Tanganku masih menyisakan getar saat mengangkat gagang telepon.
Suara Boss, demikian aku biasa memanggil pimpinan redaksi koranku, masuk ke telinga. Pembicaraan berlangsung singkat. Isinya, perintah untuk meliput acara pergelaran kesenian di Taman Budaya, acara Parade Tari Daerah Banjar.



*****



L
elaki-lelaki berpakaian prajurit Kerajaan Banjar dengan keris di pinggang dan tombak di tangan kiri berdiri berjajar di kiri-kanan pintu masuk auditorium Taman Budaya, nampak gagah dan penuh wibawa. Kontras dengan mereka puluhan wanita  dalam dandanan putri keraton menyambut ramah tiap pengunjung seraya menyerahkan buklet pergelaran. Di dalam gedung, bau harum dupa mengambang. Dentang-dentang gamelan dalam irama ayakan alun menyuara, menjeratkan suasana mistis yang setapak demi setapak menggandeng orang untuk bermimpi ke balik dinding-dinding keraton Banjar yang penuh dengan berbagai mitos.
Tak lama setelah aku duduk lampu-lampu gedung padam, berganti lampu sorot aneka warna. Tujuh penari wanita memasuki panggung, bergerak ritmis mengikuti irama gamelan, membawakan tari Kenanga Dalam ciptaan Pangeran Hidayatullah di tahun 1808. Tari itu menceritakan keceriaan dan ketangkasan putri-putri keraton Karang Intan saat upacara memetik kembang kenanga dengan menggunakan panah.
Seusai tari itu, gamelan berubah irama, mengungkai irama pedalaman. Tujuh wanita dan tiga lelaki berpakaian suku Bukit memasuki panggung, menggelar tari Tandik Balian. Hatiku berdebar, ingat kejadian di rumah tadi. Maka kulemparkan tatapan impas ke panggung seraya membiarkan imaji berlepas bebas. Pada puncaknya, aku merasakan adanya sungkupan senyap, amat senyap. Sedikit demi sedikit kesadaranku diputar oleh bintik-bintik beratus warna. Aku pun merasa mengawang, seperti ditarik pusat semesta, ke luar dari pengaruh perputaran bumi, masuk ke hening jagat.
Di hening paling dalam, mendadak berkumandang suara teriakan. Teriak kesakit-an. Teriak kematian. Lalu dentum senapan. Lalu gelegar meriam. Menyusup bau mesiu. Mengurai bau darah. Ah, ah, maut pesta pora di padang ilalang. Awan gelap mengerikan berlayar rendah di langit. Cahaya bulan setengah bayang menyodorkan pemandangan yang mendirikan bulu roma. Mayat-mayat gelimpangan, telentang-telungkup, tumpang-tindih, terkapar di antara kerimbunan ilalang, tersangkut di semak-semak pinggiran padang.
Aku mendengus. Mataku yang saga menatap lima lelaki yang mengepungku. Pedang, tombak, parang dan keris memburu tubuhku. Aku berkelebat lincah, mengelak dan menangkis. Suatu saat aku melompat tinggi sambil menebaskan mandau. Darah memancur, salah seorang lelaki itu tumbang. Belum sempat aku memperbaiki posisi sebilah tombak memburu punggungku.
“ Awas! “ kudengar suara teriak memperingatkan.
Belum sirap kumandang suara itu, Andung Sadayu sudah ada di dekatku. Mandaunya menangkis hunjaman tombak dan menebas tubuh pemegangnya. Jerit kematian kembali bergema. Aku melepas senyum terima kasih lalu bergerak dalam langkah segitiga. Mandauku kembali memakan korban seiring dengan robohnya orang keempat oleh tebasan mandau Andung. Berbareng kami melompat. Mandauku memburaikan perut lawan terakhir sementara mandau Andung singgah di leher orang yang sama.
Mendadak kurasakan sesuatu yang panas menembus bahuku, seperti bilah parang yang berabad-abad direndam dalam neraka. Kugigit bibir, meredam teriakan sakit yang hampir saja lepas dari mulut.
Kuatnya gigitan bibir mengembalikan kesadaran. Bunyi gamelan berupa pukulan babun[14], gesekan biola, petikan panting[15]  dan dengung gong memasuki pendengaran. Setelah mengerjap-ngerjapkan mata aku kembali menatap panggung. Di sana tiga pasang lelaki dan wanita lagi menggelar tari Tirik Lalan.
Perlahan kuhapus keringat yang leleh dari pelipis. Ah, apakah yang kualami tadi sekadar rangkaian imajinasi yang terlanjur berlepas bebas? Ataukah rangsang suasana penuh mitos dan magis malam ini yang menyebabkan terciptanya ekstase mistis dalam diri?
Pertanyaan itu tak jua menemu jawab, terus melilit hingga pergelaran selesai. Dengan pikiran masih berbagi aku bergegas menuju tempat parkir. Di situ tanpa sengaja aku menabrak seseorang.
“ Maaf… “ ujarku seraya menyunggingkan sebuah senyum.
“ Tak apa. “ ujarnya, juga disertai senyuman.
Kembang senyuman lelaki itu segera menyeretku kembali ke tengah padang pertempuran. Seluruh jaringan tubuhku kini mengejang. Ya, Tuhan, wajah lelaki di hadapanku ini adalah wajah Andung Sadayu yang tadi bersamaku di medan pertempuran!
Tatapan kami kini berbuhul. Sekejap. Dua kejap. Tiga kejap. Berkejap-kejap. Lewat udara tipis yang membatas kurasakan usap matanya membelai wajahku. Anehnya, aku sendiri merasakan adanya semacam jelujuran rasa rindu yang telah lama tersekap.
Bibir lelaki itu seperti mengucap sesuatu tapi tak kedengaran apa bunyinya. Nafasnya agak tersengal, kentara dari ombak dadanya. Kemudian tanpa memutus buhul tatapan ia mundur selangkah demi selangkah. Menjauh. Sempat kudengar hembusan nafas berat sebelum ia naik ke dalam sebuah Toyota Hard Top. Mesin mobil itu kemudian menderum.
Aku membiarkan saja. Malam pun membiarkan saja. Cuma mataku yang tak lepas mengikutinya sampai ia dan mobilnya hilang dari pandangan. Ada angin bersijingkat lewat membawa berkas-berkas senyap. Aku mendesah, merangkul senyap sembari membisikkan bahwa ada sesuatu yang tercabut dari rongga dadaku. Senyap mengangguk dingin lalu tanpa permisi masuk ke dalam diri, bertahta di singgasana dadaku yang ko-    song. Maka jadilah senyap dan aku meniti lamunan para pertapa.


*****



S
enyap biasanya merupakan kawan paling akrab. Dalam senyap aku bisa berdialog dengan Sang Pencipta. Pada senyap kutimbai telaga kata yang menafasi profesi kewartawananku. Bersama senyap aku bisa hanyut, tenggelam dalam kepulasan yang manis. Tapi sekarang, duh, senyap justru berubah buas, tak henti melecutku dengan cambuk berduri yang ujungnya berwujud wajah lelaki itu.
Aku ingin sendirian, pekikku dalam dada. Aku ingin sendirian. Tapi di mana aku bisa sendirian kalau di dalam kamar tertutup ini pun lelaki itu terus membayangiku? Gilanya, jauh di lubuk hati, aku merasa demikian mengenalnya, demikian akrab, bahkan merasa ia merupakan bagian dari diri dan kehidupanku. Tapi kapan dan di mana aku pernah mengenalnya? Dalam realitas keseharian di Banjarmasin ini ia adalah seorang makh-luk yang teramat asing. Dalam kehidupan selama di Yogya ketika aku menimba ilmu di Publisistik Gadjah Mada ia tak pernah sangkut di kornea mata. Bahkan di tumpukan paling bawah dari album hidupku yang tersimpan di lemari waktu ia pun tak terekam. Jangankan akrab dengannya, siapa dia pun aku tak tahu. Lalu kenapa sekarang ia terasa demikian dekat?
Aku jadi seperti cacing penggal di atas ranjang. Kutekan bantal keras-keras ke wajah. Lama. Sampai paru-paru menjerit dan jantung meronta minta udara. Aku tersengal. Pelipis kian berdenyutan. Aku meregang. Keringat dingin memercik. Saat aku memijit-mijit pelipis, lolong anjing kembali mengejutkan. Telingaku lagi-lagi dimasuki bunyi musik suku Bukit. Berdentam-dentam! Memannggil!
Tanpa bisa ditolak kakiku melangkah ke luar kamar, ke ruang tengah, ke ruang tamu. Tanganku membuka pintu. Serombongan angin dingin membuat tubuhku yang cuma terbungkus daster bergidik. Mataku menelaah. Sesosok tubuh nampak berdiri di luar pagar. Wajahnya teraling gelap sebab cahaya lampu tak sampai ke situ. Orang itu mengangkat tangan, seperti memberi salam.
“ Selamat bertemu lagi, Layang Kinulis…” ucapnya, suaranya terdengar serak.
Layang Kinulis? Nama siapa itu? Keningku berkerut.
“ Anda siapa? “ suaraku terbata-bata.
“ Nanti engkau akan tahu sendiri, “ sahutnya, “ Aku dan Andung Sadayu menunggumu di Loksado. “
Tanpa memberi kesempatan lagi ia berbalik dan melangkah. Aku tertegun sejenak, mengumpulkan keberanian. Kupaksa kaki melangkah ke ambang pagar. Tak ada siapa-siapa di jalanan padahal jalan itu lurus saja.
Langkah kembali kuseret ke rumah. Menuang air putih dari botol ke gelas lalu menghirupnya, membasahi kerongkonganku yang kering. Kurebahkan lagi tubuh ke ranjang. Balai, upacara Palas Darah, Andung Sadayu, benteng, pertempuran, gelimpangan mayat-mayat, sosok misterius, lalu sebuah janji pertemuan di Loksado. Loksado adalah sebuah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Kawasan yang berada di hunjuran Pegunungan Meratus. Kawasan yang didiami oleh orang suku Bukit. Uaahh, begitu banyak peristiwa aneh malam ini. Begitu banyak teka-teki. Begitu banyak tanda tanya. Pertanda apakah ini?
Kudengar jam di ruang tamu berdentang tiga kali. Ada kelelawar mencericit, sayapnya kedengaran menampar ranting-ranting dan dedaunan. Lolong anjing kembali menyuara, kali ini bunyinya mirip rintih orang terluka.


*****































Peristiwa Dua
Kamis, 7 Juli 1988



V
isiun aneh yang tidak diketahui ujung pangkalnya itu datang berulang, melilit hari-hari dan membuat pintalan di jaringan otak. Saat-saat sendiri, menjelang tidur, rasanya merupakan ruang waktu yang ingin kuhindari, namun kodrat manusia taklah bisa kuelakkan. Maka jadilah saat itu sebagai siksaan tersendiri, siksaan yang membuat mata merah dan hati gundah. Kucoba melepaskan diri dengan jalan meninggalkan rumah, menginap di rumah Papa dan Mama atau kawan sekantor, namun visiun itu tetap mengejar, terus datang seakan tidak mengenal ruang dan waktu.
Di kantor, aku baru saja berpikir untuk menceritakan visiun itu pada Mama ketika Boss mendatangi seraya menyerahkan sebuah amplop.
“ Surat dari Dinas Pariwisata. “ katanya, “ Suku Bukit di balai Riam Loksado akan mengadakan upacara adat Bawanang.
Loksado? Suku Bukit? Pintalan di jaringan otakku mengetat. Cepat kuambil surat itu dan membacanya. Dinas Pariwisata hendak menjadikan Bawanang sebagai kegiatan penarik wisatawan, terutama wisatawan lokal. Berbagai acara hendak digelar di Loksado, mulai dari acara kesenian hingga lintas alam dan arung jeram. Koran kami diundang untuk meliput.
“ Kalau  merasa fit kamu boleh berangkat meliputnya, tapi kalau merasa kurang sehat serahkan saja pada Johan. “
Johan adalah koresponden kami untuk wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Loksado memang berada berada dalam wilayah “kekuasaan”nya.
“ Aku akan berangkat. “ putusku tanpa berpikir lagi.
“ Kamu benar-benar merasa fit? Perjalanan ke Loksado terbilang berat, Rey. Kulihat beberapa hari ini kamu nampak agak gelisah. Sekarang saja matamu nampak merah, tanda kurang tidur. “
“ Barangkali aku memang memerlukan penyegaran. “ kilahku. “ Loksado agaknya merupakan tempat yang tepat. “
Boss tersenyum.
“ Kalau begitu datangi Sri, minta siapkan segala keperluan untuk sepuluh hari. “
“ Sepuluh hari? “
“ Kupikir itu cukup untuk menyegarkanmu. “
Aku memngacungkan jempol. Boss ketawa lalu kembali ke kamar kerjanya.  Setelah menghubungi Sri di bagian keuangan segera kutelepon Johan, minta di jemput sore nanti di terminal Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan.



*****


Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis

Di Kandangan aku dibesarkan
dipeluk cium sang rembulan
dibelai timang sang mentari

Di Kandangan aku kenal diri dan cinta
sakit senang seluruh duka

Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis

P
uisi karya penyair Darmansyah Zauhidhie itu menyusupi ingatan saat taksi melewati batas kota Kandangan. Saat almarhum menulis puisi tersebut, di tahun 60-an, barangkali Kandangan memang kota yang indah dan manis. Tapi sekarang, seperempat abad kemudian, masihkah Kandangan seindah dan semanis masa lalu? Entahlah. Aku tak begitu mengenal kota ini. Kehadiranku di Kandangan paling-paling berurusan dengan soal gunting-menggunting pita atau pukul-memukul gong yang dilakukan oleh para pejabat dalam acara-acara serimonial.
Bagi orang jalanan seperti Johan, kota ini tetaplah sama sekaligus berubah. Menu-rutnya, dalam banyak segi Kandangan tak lagi nampak atau terasa seperti beberapa tahun lalu. Kandangan bergincu dan bersolek diri, tapi konon juga semakin lali. Bangunan-bangunan baru dan peremajaan kota memang membuat wajah keriputnya lebih semarak. Seiring dengan itu Kandangan juga berubah dalam derap dan tabiat. Benang yang meng-hubungkan generasi terdahulu dengan generasi sekarang seakan menjuntai. Sikap hidup kaum muda tampil dalam eks-presi  yang  berbeda. Sebuah tatanan religius yang dulu erat menyatu dengan ekosistem yang dogmatis kini seakan pecah-pecah. Mungkin karena kian terbukanya peluang kebebasan. Mungkin pula karena munculnya pemberontakan moral terhadap adat dan keketatan lingkungan.
Aku tak membenarkan pendapat Johan tapi juga tak menyanggahnya, cuma di dalam hati terlontar sebuah pertanyaan kecil : adakah sebuah kota yang tak berubah dalam gilingan roda zaman? Bukankah tempora mutantur nos et mutamur in illis, jaman berubah dan di dalamnya kita berubah pula? Tidakkah semua itu merupakan sebuah frustrasi normal dari putaran jam yang dilipatgandakan oleh perubahan sikap hidup, nilai-nilai, dogma dan religi masyarakat bersangkutan?
“ Tak berminat untuk adu argumen? “ Johan mengusik.
“ Tidak. Pikiranku lagi dipenuhi oleh soal Loksado. “ sahutku setelah memesan segelas es teh di warung dekat terminal.
“ Ada alasan khusus sehingga Loksado terlihat demikian menarik? “
“ Tidak juga. Kawasan itu telah banyak dikunjungi turis-turis mancanegara, sedang aku belum pernah sampai ke sana. “ kilahku.
“ Kapan kita berangkat? “
“ Bukan kita, Han. Aku saja. “
“ Woow, kawasan itu belum engkau kenal, Nona. “ sergahnya.
“ Di situlah letak nikmatnya petualangan. “ sahutku enteng.
Johan ketawa. Dia menghirup kopi lalu menyulut sebatang rokok.
“ Kendati tidak setiap waktu, ada taksi yang akan membawamu ke sana. Engkau bisa menginap di rumah penduduk di sekitar pasar, tidur beralas tikar dan berbantal tas. “
“ Tidak masalah. Itu sudah lebih baik dibanding tidur dalam tenda saat jadi pramuka dulu. “
“ Mmhh, semangatmu nampaknya menggebu, Rey. “ ejeknya.
Aku ketawa kecil. Menghirup minuman sambil melayangkan pandang sejenak ke kesibukan terminal.
“ Engkau punya referensi tentang suku Bukit? “ tanyaku kemudian.
“ Tidak lengkap. Kalau engkau mau, ada orang yang bisa dijadikan narasumber. Dia bertahun-tahun hidup di lingkungan suku Bukit karena dia punya areal kebun yang luas di Loksado. “
“ Siapa? “
“ Afrizal Kusumawardhana. “
Mendengar nama itu pikiranku melayang ke meja kerja di kantor. Di situ, di antara tumpukan map, ada sebuah map khusus bertitel nama Afrizal Kusumawardhana, map yang berisi kolom-kolom hasil tulisannya. Hampir tiap minggu dia mengirimkan kolomnya.
 Kendati agak terpengaruh oleh gaya Catatan Pinggir Goenawan Mohamad kolom-kolomnya terbilang ringkas, puitik dan memikat. Nadanya suka menggedor perasaan dan kesadaran manusia, menohok bermacam ketidakberesan yang muncul dari fenomena keseharian maupun persoalan-persoalan makro dan universal yang mencuat dari perjalanan waktu.
 “ Afrizal si penulis itu? “ kejarku kemudian.
“ Ya. Engkau kenal dia? “
“ Cuma kenal nama dan tulisan-tulisannya. “ sahutku.
“ Seperti May Ziadah mengenal Kahlil Gibran? “
“ Katakanlah begitu, dengan catatan tanpa embel-embel rasa cinta. “
 “ Rasa cinta bisa muncul kemudian, terlebih setelah engkau ketemu dengannya. “ goda Johan sambil tersenyum. “ Dia itu sebenarnya anak istana. Ayahnya kontraktor besar sekaligus pemilik beberapa HPH[16], bisa disebut sebagai salah satu orang terkaya Kalimantan Selatan. Entah kenapa dia justru memilih berkebun di Loksado tinimbang mengelola perusahaan Ayahnya. “
“ Jadi seperti seorang pangeran yang minggat dari kastil? “
“ Tepat. “
Diam-diam aku merekam keterangan itu di dalam hati. Seorang pangeran, lari dari kastil, berkebun di daerah terpencil, dan tumbuh menjadi seorang penulis yang memberangsang. Sekadar menuruti naluri petualang yang selalu mencari tantangan? Atau memang ada sebab tersendiri?
“ Di mana kita bisa menemuinya? Di sini atau di Loksado? “
“ Dia punya rumah di sini. Biasanya tiap malam Sabtu dan malam Minggu dia turun dari kebunnya dan menginap di sini. “
“ Berarti kita harus menunggu satu hari? “
“ Woow, sudah kebelet ingin ketemu, ya….” ejeknya.
Aku ketawa. Johan menghirup tandas kopinya lalu membayar minuman kami. Sejenak kemudian motor kami melaju menuju rumahnya.



*****

B
agi masyarakat Kandangan, malam Jumat merupakan malam yang sakral. Banyak orang menghidupkan parapin[17] , membakar dupa, menyan atau garu, dan mengaji Al-Qur’an. Di rumah Johan pun seperti itu. Bau dupa melayap terbawa angin, menyusup ke hidungku. Sambil berbaring di ranjang kubacai sedikit catatan Johan tentang Suku Bukit.

Mitologi menyebutkan bahwa orang Bukit dan orang Banjar berasal dari rumpun yang sama, diturunkan oleh dua bersaudara bernama Ayuh dan Bambang Siwara. Ayuh menurunkan orang Bukit, Bambang Siwara menurunkan orang Banjar. Konon pada mulanya mereka hidup berdampingan, mendiami tepi-tepi sungai, daerah pesisir dan dataran aluvial Kalimantan Selatan. Berbagai faktor yang kemudian muncul menyebabkan orang Bukit berpindah tempat, memudiki hulu sungai, membentuk wilayah tradisional di kawasan lereng Pegunungan Meratus, antara DAS ( Daerah Aliran Sungai) Sungai Sampanahan dan Sungai Balangan di utara hingga ke kawasan hulu DAS Sungai Riam di selatan.
Mereka hidup secara komunal di dalam rumah besar yang disebut balai. Tiap balai dihuni oleh orang-orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, baik karena pertalian darah maupun perkawinan. Jadilah sebuah balai dihuni oleh 10 sampai 20 kepala keluarga. Jika penghuninya terus bertambah dan balai tak mampu lagi menampung mereka pun memecah diri dan membangun balai baru. Perkawinan di antara mereka dilakukan dengan pola eksogam-balai.

Bacaanku terhadap bahan yang diberikan Johan terhenti sampai di situ. Intuisiku memberi sinyal akan kehadiran orang lain di kamar. Kualihkan pandang. Satu sentakan daya kejut kemudian membuat aku melenting bangun dari ranjang. Mulutku terbuka hendak melepas keterkejutan itu lewat sebuah teriakan, tapi suara ternyata tak kunjung ke luar dari kerongkongan.
Seorang wanita berdiri tak jauh dari ujung ranjang. Berpakaian serba hitam. Rambut terurai hingga ke pinggang. Kepala berlilit timbaran[18]. Dari mana datangnya? Kenapa tak terdengar langkah kakinya? Kami saling pandang. Lama. Dan aku merasa se- perti berada di depan cermin. Kecuali pakaian yang membalut tubuh dan timbaran yang mengikat kepala di antara kami sama sekali tak berbeda. Serupa. Bagai orang kembar. Kukerjapkan mata berkali-kali, tak percaya pada pandanganku. Dan ingatan terhadap seseorang membuat keringat dingin memercik.
“ La…yang…Ki…nu…lis…” bisikku dalam hati.
Sosok itu tersenyum, seperti membenarkan bisik hatiku. Tuhan! Ah! Aku hampir tak bisa menerima kenyataan ini. Ooohh…jadi inilah dia, inilah wanita yang mengganggu hidupku selama beberapa hari ini! Inilah orang yang membuat pikir dan rasaku menjadi benang-benang kusut, yang membuat alur hidupku terasa demikian asing dan aneh!
Senyum masih merekah saat ia melangkah lurus ke arahku. Setapak. Dua tapak. Setiap tapaknya menjadikan detak jantungku mengencang. Duh, ia kini tinggal sedepa dariku. Tuhan, ia terus saja melangkah, seakan hendak menabrakku! Otakku segera memberi perintah untuk menghindar dan lari dari kamar, tapi seluruh jaringan tubuh mengadakan pemberontakan atau barangkali tak kuasa menuruti perintah itu. Sesenti pun aku tak mampu bergerak, bahkan untuk sekadar menggerakkan jari-jemari pun tak bisa! Cuma mataku yang belalak-belalak menatap ke arahnya. Harum dupa kian menyengat ketika ia menabrakku. Tak sedikit pun ada getaran! Dia masuk ke dalam tubuhku! Aku pun mengawang!
Pelan aku melangkah ke depan cermin. Cahaya lampu damar yang agak redup oleh kepulan asap parapin memaksaku menajamkan pandang. Kulihat rambut legamku telah tersanggul rapi, berhias kambang goyang[19]. Alisku sudah dibentuk mangumpang parang[20], tebal di bagian tengah lalu agak meninggi dan ujungnya meruncing melentik ke atas. Bibirku merah oleh sapuan gincu sementara pupur dan pemerah pipi sudah pula memoles. Tubuhku yang padat berisi dibungkus kebaya warna biru dan tapih bahalai [21] bermotif pucuk rebung.
Tanganku bergerak membuka peti, mengambil kotak perhiasan. Kukeluarkan anting-anting baruntai [22] dan memasangnya ke daun telinga. Kukenakan juga kalung dan gelang peninggalan mendiang orang tuaku. Lalu kupandangi lagi bayangan di cermin. Mmhh, aku harus nampak cantik di malam pengantin ini, harus nampak seperti peri yang berjuntai di akar malam pinggiran telaga.
Suara musik, mamang dan galang hiyang para balian melemah dan akhirnya sirap. Istri Damang Utai muncul di ambang ujuk[23].
“ Ke luarlah, “ ujarnya, “ Upacara perkawinanmu segera dimulai. “
Aku mengangguk. Melangkah perlahan, bersiap menyongsong takdir kehidupan baru, kehidupan berumah tangga. Semua kepala yang ada di balai berpaling ke arahku, juga kepala Andung Sadayu. Duh, dia kelihatan tambah tampan. Kepalanya ditutup laung dua lilit[24] berwarna hitam. Tubuh tegapnya dibungkus baju taluk balanga[25] dan celana suluk yang juga berwarna hitam. Lilitan akar bahar di tangan menambah kesan kejantanannya.
Kami pun berjalan di bawah luludung[26], menuju lalaya, duduk bersanding di hadapan Pangulu[27]. Di sisi pangulu duduk Damang Utai, siap menjadi saksi. Di dekat kami kemudian diletakkan peralatan perkawinan. Bumbung bambu berisi lemang yang dipotong menjadi empat bagian dan diikat dengan kain putih, parapah hayam[28], sebilah sisir dan mangkok kuningan berisi minyak kelapa, piring putih berisi sinjang kain[29], dua buah giling pinang[30], mangkok putih berisi beras, dan mayang pinang yang masih terbungkus seludang.
Pangulu sejenak meneliti peralatan perkawinan itu, mengangguk ke arah Damang Utai, lalu menatap ke arah kami. Pelan galang hiyangnya mulai gemerincing, memanggili para putir, sangiyang dan arwah luluhur. Suaranya kemudian nyaring mendaraskan mamang perkawinan.
Anggaririk…..
baiyukan langkang di dupa
baiyukan langkang di marin
cagat manirus bubungan langit
mahabarakan ka Nining Diwata
mahabarakan urang naik bakatun
urang naik bajadi
jangan marusak ka patahunan
sabab ada pandungkulannya
baras bamangkuk wan sinjang kain
wan lamang panggalan wan lagi ada
giling pinang saksi manjuduakan

Sambil terus membaca mamang, pangulu menyerahkan giling pinang, sebuah padaku dan sebuah lagi pada Andung Sadayu. Kami sama mengunyah. Giling pinang di mulutku kemudian dipertukarkan dengan yang di mulut Andung Sadayu. Kami mengunyah lagi. Antara kami kini sudah satu rasa, senasib sepenanggungan.
Setelah meludahkan giling pinang kami diberi dua batang rokok lintingan. Beberapa saat kami mengisap, dipertukarkan pula seperti tadi. Pangulu kemudian membelah seludang mayang. Tanpa dipisah dari tangkai, mayang itu sebagian diletakkan di kepalaku sedang sebagian lain di kepala Andung Sadayu.
Tiba-tiba Andung Sadayu mendorong tubuhku sementara ia sendiri menggulingkan diri. Butir-butir mayang di atas kepalanya bertebaran di lantai balai. Aku terkesiap. Kulihat tangkai mayang itu putus seperti kena tebas benda tajam.
Parang maya[31] siapa ini! “ Pangulu berteriak marah.
Aku bergegas mengambil mandau dari dalam lalaya lalu melemparkannya ke arah Andung Sadayu. Andung sigap menyambut, mencabutnya. Ia kini berdiri menghadap pintu balai.
Damang, lindungi Layang Kinulis! “ serunya.
Damang Utai menarik tanganku, menyuruhku duduk di sisinya. Parang Maya adalah bahasa darah, bahasa harga diri yang tertindas, ilmu pamungkas yang jarang tandingnya dan tak sembarang orang mampu menguasainya. Siapakah orang yang me-     ngirim ilmu pamungkas itu untuk menggagalkan perkawinanku? Mataku kini tak lepas dari Andung. Dia berdiri tunggal kaki, kaki kirinya terlipat ke lutut kanan. Mandau sejajar dada, mengarah ke depan, sementara hulu mandau menempel ke sisi tangan kiri yang membentuk sembah. Mulutnya komat-kamit merapal mamang.
Tak lama kemudian keringat mulai merenik di wajahnya. Kian lama kian nyata, kian lebat kucurannya. Dia kemudian menggeram. Tangan kanannya membawa mandau membentuk sebuah lingkaran lalu menujukan ujung mandau ke lantai. Di bilah mandau muncul cairan merah. Darah! Menetes ke lantai balai!.
“ Siapa pengirim parang maya itu? “ suara Damang Utai menggelegar.
Andung Sadayu tak menyahuti.
“ Layang, ikut aku. “ katanya kepadaku. “ Orang itu menantangku untuk bertarung di dekat air terjun Haratai. Engkau dimintan menjadi saksi pertarungan itu. “
“ Aku juga ikut. “ kata Damang Utai.
“ Tidak. “ tegas sekali suara Andung. “ Ini cuma soal antara kami bertiga. “
Masih dalam pakaian pengantin kami melangkah meninggalkan balai. Malam lagi berbulan mati. Kakiku tersandung akar pohon yang melintang di tanah, keseimbang-anku pun hilang. Andung cepat menjangkau tanganku.
“ Rey…Rey…”
Suara itu menyusup ke telinga. Suara wanita. Kurasakan tepukan halus di pipi. Kubuka mata. Johan dan istrinya nampak cemas.
“ Engkau tak apa-apa? “ tanya istri Johan.
“ He-eh. “
“ Bermimpi, ya? “
“ Begitulah. “
Keduanya menarik nafas lega, tak bertanya lebih jauh. Aku diam-diam mengingat lagi visiun yang baru itu. Terdengar ketukan di pintu. Johan beranjak mendatangi. Sayup kedengaran pembicaran singkat, lalu Johan kembali mendatangiku.
“ Afrizal di luar. “ katanya.
Dan Tuhanlah yang tahu kenapa aku terpana ketika menemui sang pangeran yang minggat dari kastil itu. Dia pun berhal serupa. Matanya agak menyipit menatapku. Di situ kulihat bayangan baur dari visiun yang tumpang-tindih. Aahh, apakah ia juga mengalami hal sepertiku? Menerima visiun aneh berbau cinta, darah dan mesiu?
“ Zal, dia orang yang menentukan dimuat tidaknya tulisan-tulisanmu di koran La-Bastari. “ suara Johan melibas keterpanaan kami.
Sejenak kami saling berjabat tangan.
“ Afrizal. “ ia mengenalkan diri.
“ Reynida. “ aku mengenalkan diri.
Jabat tangan lepas. Aku diam-diam sibuk meredakan sentakan-sentakan aneh dalam dada. Entah kenapa persentuhan sekilas itu membuat seluruh jaringan tubuhku langsung bereaksi, seperti terjadi persinggungan kutub Yin dan Yang, meletik pijar begitu saja.
“ Lain kali jangan main tabrak saja ya, Rey. “ katanya.
“ Sebagai lelaki engkau seharusnya mampu menghindar. “ balasku.
“ Ya, tapi malam itu aku memang lagi kepingin ditabrak gadis cantik. “
Ucapannya membuat aku sedikit jengah. Aku berusaha menutup kejengahan itu dengan sebuah tawa renyah.
“ Kalian sudah kenal? “ sela Johan.
“ Tidak. Cuma beberapa malam lalu dia menabrakku di tempat parkir Taman Budaya Banjarmasin. “
“ Ooo…”
Kami lalu duduk di ruang tamu.
“ Tak biasanya engkau ada di sini malam Jumat. “ kata Johan.
“ Aku perlu sesuatu. Engkau punya Bhagavadgita? “
“ Ada. “
“ Aku mau pinjam. “
“ Sebentar kucarikan “
Johan beranjak meninggalkan kami. Istrinya muncul menghidangkan minuman.
“ Ada yang dicari di Bhagavadgita? “ tanyaku setelah istri Johan meninggalkan kami.
“ Ya, soal reinkarnasi. “
“ Kenapa tertarik dengan soal itu? “
“ Aku ingin menulis novel tentang reinkarnasi, sebagaimana Yukio Mishima menulis tetralogi Spring Snow, Runway Horse…”
The Temple of the Dawn dan The Five Mask of the Heavenly Being. “ tukasku.
“ Tepat. “ ia mengacungkan jempol.
Aku tersenyum. Dia menghirup minuman lalu menyulut sebatang rokok.
“ Engkau lagi tugas dinas di sini? “ tanyanya.
“ Antara ya dan tidak. Yang jelas aku mau ke Loksado, meliput Bawanang. “
“ Aku besok kembali ke Loksado, mau ikut? “ tawarnya.
“ Apa engkau punya surat kelakukan baik? “ ajukku.
“ Ada, langsung ditandatangani Kapolri. “
Kami sama ketawa. Rasanya keakraban antara kami terjalin demikian singkat, seakan dua teman lama yang baru ketemu lagi.
“ Kata Johan engkau punya banyak referensi tentang suku Bukit. “
“ Ada, tapi disketnya di rumahku di Loksado. “
“ Sudah pernah engkau publikasikan? “
“ Belum, masih berupa manuskrip yang belum tersusun urut. Engkau harus me-     rangkainya sendiri nanti. “
“ Ah, kalau begitu aku tak jadi pinjam. Tidak etis rasanya kalau engkau bersusah payah melakukan risetasi sementara hasilnya kuambil begitu saja. “
Rizal tersenyum, senyum yang memikat, mengingatku pada senyum Andung Sadayu.
“ Sesuatu diteliti lalu dipublikasikan karena ada hal yang rasanya perlu diketahui orang lain. Engkau atau aku yang menulis, bukan soal. “
Ucapannya membuat aku mengalah. Johan muncul membawa Bhagavadgita.
“ Kubawa dulu, ya. “ kata Rizal setelah menghabiskan minumannya.
“ Mau apel di malam Jumat? “ goda Johan.
“ Ya, mengapeli Sylvester Stallone, si Rambo yang jagoan itu. Mau ikut nonton, Rey? “
“ Kenapa cuma Rey saja yang ditawari? “ Johan cepat menyambar ujung ucapan Rizal.
“ Aahh, malam Jumat kan biasanya engkau punya acara triple X dengan istrimu. “
Johan mengakak. Dan tatapan mata Rizal seakan mengandung daya magnit yang membuat aku mengikutinya menonton Rambo.

*****


I
nilah gambaran dari sebuah jiwa yang sakit oleh sebuah luka. Inilah tayangan yang tercipta dari puncak onani jiwa, mengetengahkan hiburan palsu mengenai kejagoan diri. Dengan wajah tampan tanpa senyum, tubuh berorot dalam simbahan keringat, Rambo mewujudkan mimpi-mimpi Amerika setelah kegagalan dan kekalahan dalam Perang Vietnam. Seorang diri, Rambo membabat pasukan Vietnam dan Soviet, membebaskan para tawanan perang yang oleh pemerintah telah dianggap missing in action.
Sambil menatap adegan-adegan spektakuler di layar aku memperenak duduk. Ketika Rambo memapah si gadis Vietnam yang terluka, menyusupi belantara menghindari kejaran musuh, pandang mataku mengabur. Sesaat kemudian tak ada lagi Rambo. Tak ada lagi Sylvester Stallone. Yang ada aku. Berjalan tertatih dengan mandau telanjang di tangan, sementara tangan kiri memapah Andung Sadayu yang terluka.
“ Tahanlah…” bisikku seraya terus memapahnya menerobos kerimbunan pohon-pohon. “ Sebentar lagi kita tiba di tempat penambatan kuda. “
“ Bagaimana dengan pasukan kita? “ tanyanya lirih.
“ Beberapa orang gugur, yang lainnya berpencar meloloskan diri dari kepungan. “
“ Kita harus segera menuju titik pertemuan dengan pasukan Tuanku Tumenggung. “
“ Tidak! Itu akan membahayakan beliau. Ingat, pasukan musuh terus memburu. Kita harus mengambil jalan yang bertolak belakang dengan jalan yang diambil Tuanku Tumenggung, lalu memutar menuju balai Rampah Minjalin. Istirahat di situ sambil menyembuhkan luka-lukamu. “
Rentetan tembakan bergema. Rambo nampak memuntahkan peluru senjata semiotomatiknya ke jajaran komputer. Teknologi penyimpan data dan informasi itu pun hancur dalam kepingan. Lampu-lampu bioskop menyala. Rizal terdengar menghembuskan nafas lewat mulut, hembusan yang mengesankan sengal.
“ Di dalam bioskop tadi aku mengalami sesuatu yang aneh. “ ucap Rizal di perjalanan pulang.
“ Hal apa? “ tanyaku sambil lalu.
“ Pada adegan Rambo memapah gadis Vietnam yang tertembak itu, aku merasa diriku berada dalam sebuah hutan, lari menghindari kejaran orang-orang. “
Hatiku berdesir mendengar ucapan itu. “ Siapa yang mengejarmu? Orang-orang Vietnam? “
“ Bukan, “ sahutnya cepat, “ Pasukan kulit putih… “
“ Kalau begitu pasukan Soviet. “ tukasku.
“ Aku serius, Rey. “ ucapnya, mungkin mengira tanggapanku merupakan olok-olok.
“ Aku juga serius, “ sahutku, “ Kalau aku tak serius maka aku tertawa mengakak lantaran menganggapmu mempersonifikasikan diri menjadi Rambo. “
Rizal diam sesaat, memindah persnelling dan membelok ke kiri.
“ Bukan pasukan Soviet, “ katanya kemudian, “ Dari bahasa mereka maka orang-orang itu Belanda…. “
“ Lalu? “ aku mendesak.
“ Aku terkepung, padahal aku sudah terluka. Untung engkau muncul….”
“ Aku? “
“ Ya. Kita kemudian bertempur, pasukan Belanda yang jumlahnya kira-kira sepuluh orang itu habis terbunuh. Engkau lalu memapahku menyusupi kerimbunan hutan. “
Desir di hatiku semakin keras. Jada pada saat yang sama Rizal ternyata juga dihinggapi visiun sebagaimana yang kualami. Sebuah kebetulankah ini? Ataukah memang ada sesuatu di balik semua ini?
“ Saat itu engkau memanggilku dengan nama yang lain…. “
“ Andung Sadayu. “ aku menukas lagi. “ Dan engkau memanggilku dengan nama Layang Kinulis. “
Rizal melambatkan mobil. Tangan kirinya menjangkau  rokok di dashboard sekaligus menyulutnya.
“ Jadi engkau juga mengalami visiun itu? “ tanyanya kemudian.
“ Ya. Bermula pada malam kita ketemu di Taman Budaya Banjarmasin itu. “
Rizal mengisap rokoknya dalam-dalam kemudian menghembuskan nafasnya lambat-lambat.
“ Malam itu saat teman-teman menggelar Tandik Balian aku merasa ada di sebuah padang ilalang. Dalam pertempuran di situlah aku bertemu denganmu….”
“ Tepatnya menolongku. “ aku kembali menukas. “ Menangkis hunjaman tombak yang mengarah punggungku. “
“ Persis! “
Aku terdiam. Jika demikian halnya maka segala peristiwa aneh yang kami alami bukanlah suatu kebetulan, tapi seperti sebuah skenario yang disusun oleh tangan-tangan gaib. Lalu apa makna dari semua ini?
“ Visiun yang datang berulang dan kenyataan adanya dirimu malam itu membuatku berpikir tentang reinkarnasi. “
“ Itu sebabnya engkau mencari Bhagavadgita? “
“ Ya, sebagai bahan penelusuran. Tak disangka aku ketemu lagi denganmu. “
“ Seorang tua menjanjikan sebuah pertemuan di Loksado. Kupikir Loksado merupakan pusat misteri ini sehingga aku nekad berangkat kendati aku tak mengenal wilayah itu. “
“ Kalau begitu kutawarkan kembali, ikut denganku besok? “
“ Ya. “
“ Kendati aku tak punya surat kelakukan baik? “
Aku ketawa. Di sepanjang jalan kuceritakan visiun tentang perkawinan kami yang terpenggal oleh parang maya. Kulihat sebuah senyum tersungging di bibir Rizal.
“ Engkau punya pacar, Rey? “ tanyanya, masih dalam senyum.
“ Memangnya kenapa kalau punya? “ aku ganti bertanya.
“ Aku bukan Andung Sadayu yang mampu menghadapi parang maya. “
Dan tawanya meledak ketika tinjuku mampir di pangkal lengannya.



 












Peristiwa Tiga
Jumat, 8 Juli 1988


“ D
alam perjalanan menuju Loksado, kita kadang terpaksa berhitung dengan berapa jam perjalanan, bukan dengan berapa kilometer jalan yang harus ditempuh. “ kata Rizal sambil memasukkan barang-barang ke mobil.
“ Jalannya buruk sekali? “
“ Yaah, begitulah. Pada ruas-ruas tertentu mobil harus merayap senti demi senti karena kondisi jalan yang seperti sawah, lebih-lebih kalau bekas turun hujan. “ sahutnya, bergaya pemandu profesional.
“ Engkau sudah sering membawa mobil ke sana? “
“ Sering atau jarangnya bukan jaminan bahwa kita bisa sampai ke sana tanpa halangan. Kuharap engkau tidak mengidap penyakit jantung, Rey. “
“ Apa aku perlu surat keterangan dokter? “ ajukku.
Rizal ketawa. Dia memasukkan persnelling satu, mobil pun bergerak meninggalkan Kandangan. Selepas Desa Halunuk perkataannya kubuktikan, “kesaktian” Toyota Hard Top yang biasa muncul di iklan mulai diuji. Jalanan selebar kurang-lebih 4 meter itu berubah amat buruk. Badan jalan seperti bubur sehingga mobil seolah merayap di tanah persawahan. Kerikil dan batu-batu gunung yang semula menguatkan jalan agaknya sudah terhapus, tinggal tanahnya. Licin dan lengket.
Wajar agaknya kalau hatiku bergetar. Sedikit saja ban slip, rem mendadak blong atau mesin tiba-tiba mati maka aku pun akan menjadi tokoh berita di halaman dua koranku, halaman khusus berita kriminal. Barangkali berita itu akan ditambah sebuah ucapan belasungkawa dari seluruh redaksi, berikut sedikit “in memoriam” yang ditulis Boss atau teman-teman dekatku di halaman lain. Wah!.
Kucoba bersikap rilek. Menyerahkan sepenuhnya keselamatan pada kelihayan Rizal mengemudi. Dia nampak santai saja, malah agaknya mengetahui keteganganku sehingga melontarkan topik pembicaraan yang menarik untuk mengalihkan perhatianku. Mula-mula dipancingnya aku dengan nama Miyamoto Mushasi, ronin yang memilih jalan pedang di dalam novel Eiji Yoshikawa. Aku memang sudah melahap buku itu sehingga pembicaraan bersambut.
Rizal bicara tentang pertarungan Mushasi dan Kojiro di Pulau Funashima, pertarungan dua samurai besar yang menjadikan pedang sebagai tonggak hidup. Aku dengan lancar dan mata mengimpi bicara tentang sikap hidup Otsu si pecinta agung yang demikian percaya pada jalan cinta yang ditempuhnya.
“ Tak ada rumah sejati buat yatim piatu seperti aku, yang ada cuma rumah dalam diriku. “ ucap Rizal, menyitir ucapan Otsu di novel itu.
Rangkaian kata-kata itu diucapkannya dengan intonasi yang lain, intonasi bertempo lambat berisi penghayatan penuh sehingga terdengar seperti monolog melanko-lik seorang aktor di panggung. Kutolehkan wajah, menatap lurus ke wajahnya.
“ Aku menangkap gaung kesendirian di ucapan itu. “ kataku tanpa mengalihkan tatapan.
“ Kesendirian memang milik Otsu, wanita yang tertatih-tatih dari satu tempat ke tempat lain, mencari cinta…. “
“ Bukan Otsu, “ potongku, “ Tapi engkau, dirimu. “
“ Kesendirianku? “ ulangnya dengan kening berkerut.
“ Ya. Kesendirian seorang pangeran di luar kastilnya. “
Kerutan di keningnya segera menghilang karena bibirnya kini merekahkan senyum. Intuisiku mengatakan bahwa senyum itu sebuah senyuman pahit.
“ Dari mana engkau tahu, Rey? Dari Johan? “
“ Jangan lupa aku seorang wartawan. “
Rizal ketawa, masih agak pahit nadanya. “ Nanti kita bicara itu, Rey. Sekarang berpegang erat-erat. “ katanya sambil dengan cepat memindah persnelling.
Kualihkan pandang ke depan. Ya. Ampun! Lintasan yang membentang di hadapan mirip tangga menyusur jurang ke punggung gunung. Mobil kami kemudian seperti memanjati anak-anak tangga dari ujung ke ujung. Mesin menggerum parau, membawa ban memanjat naik ke anak tangga yang lebih tinggi, terus demikian, sementara di satu sisi tebing tinggi menjulang dan di sisi lain jurang menghadang.
Sesampai di tanah datar puncak tanjakan, Rizal menghembuskan nafas panjang lewat mulut. Mobil berhenti. Kulihat dia menyulut dua batang rokok kemudian turun dari mobil dan meletakkan sebatang rokok di tonjolan tebing batu.
Aku juga turun dari mobil. Setelah memperhatikannya membuka kap mesin tatap-anku kembali ke rokok di tonjolan tebing.
“ Untuk apa rokok itu? “ tanyaku.
“ Tanda persahabatan terhadap makhluk tak kasatmata di wilayah ini. “ sahutnya sambil duduk di bemper.
“ Engkau percaya? “
“ Rey, Tuhan tidak cuma menciptakan manusia tetapi juga makhluk-makhluk lain yang bagi kita tak kasatmata. Masing-masing punya alam sendiri tapi tak jarang terjadi persentuhan antara keduanya. “
Aku tak berkomentar, menunggu kelanjutan ucapannya.
“ Tempat kita berada ini bernama Ajung Tabalik,  asalnya dari kata Jung Terba-lik. Legenda menyebutkan bahwa tempat ini dulunya merupakan sebuah kapal yang terbalik. Orang-orang dalam kapal kemudian gaib sedangkan kapal itu berubah menjadi batu. “
Aku melayangkan pandang ke bawah. Bentuk tanjakan ini memang seperti sebuah kapal yang terbalik.Sebuah legenda yang disesuaikan dengan keadaan tempatnya? Atau memang begitulah kejadian di masa lalu? Belum sempat aku mencoba mencari jawabnya tiba-tiba kedengaran bunyi ribut di tebing tempat aku bersandar. Reflek aku melompat mendekati Rizal, berpegangan di lengannya. Rizal ketawa, menunjuk ke atas pepohonan. Tiga ekor hirangan [32] nampak bergayutan di dahan-dahan. Mata hirangan itu seperti lurus ke wajahku.
“ Sudah dinginkah mesin mobil kita, Zal? “ tanyaku.
“ Cuma hirangan, Rey….” sahut Rizal, mencoba memupus rasa takut yang tersirat di ucapanku.
“ Siapa berani menjamin bahwa makhluk tak kasatmata itu tidak menampakkan diri dalam wujud hirangan? “ potongku seraya menariknya agar berdiri dari bemper.
Rizal menurunkan kap mesin. Kami masuk lagi ke dalam mobil. Beberapa di-  starter mesin tak jua hidup. Kening Rizal berkerut. Kerutan kening yang kutafsirkan bah-wa ngadatnya mesin itu bukan hal biasa pada mobilnya membuatku ikut ke luar lagi dari mobil saat dia membuka kap mesin. Kendati beberapa kali mesin itu diutak-atik mobil ternyata tak jua hidup ketika distarter.
Saat kami berkonsentrasi pada mesin tiba-tiba kedengaran deheman seseorang. Kami sama kaget lantaran sama sekali tak mendengar adanya langkah kaki. Sambil berpegangan ke lengan Rizal aku menatap ke arah sumber suara. Entah dari mana datangnya, tak jauh dari kami, berdiri seorang tua.
Kucermati sosoknya. Ketuaan usia memang nampak pada kisut wajahnya, tetapi matanya, ya, matanya, bersorot tajam memancarkan wibawa besar. Kumisnya yang memutih melintang bengis. Rambutnya yang juga memutih sedikit mengombak. Mmhh, rangkakan usia seakan tak mampu menindih ketegapan tubuhnya.
Mata elang si orang tua beralih-alih dari wajahku ke wajah Rizal. Terakhir kulihat sorot mata itu berubah lembut, lalu seberkas senyum mekar di bibirnya.
“ Ada yang rusak, Nak? “ suaranya agak serak dalam dialek kental suku Bukit.
“ Entahlah, Apang[33], mungkin mesinnya terlalu panas. “ sahut Rizal.
Si orang tua melongokkan kepala ke arah mesin. Memandang sejenak seperti seorang ahli mesin.
“ Cobalah hidupkan lagi. “ katanya.
Sementara Rizal masuk ke mobil, aku sempat melihat tangan si orang tua sekilas menyentuh tali busi, tali yang telah berkali-kali diperbaiki Rizal. Anehnya, ketika di-       starter mesin langsung hidup. Si orang tua tersenyum dan menutup kap mesin.
“ Terima kasih, Apang. “ kata Rizal. “ Apang mau ke mana? “
“ Ke Kantawan. “ si orang tua menunjuk satu gunung yang menjulang.
“ Sayang sekali kita tak setujuan. “ kata Rizal.
“ Tak apa. Berangkatlah….”
Aku mengangguk hormat ke arahnya. Si orang tua tersenyum lalu melangkah perlahan menuruni tanjakan. Rizal menjalankan mobil. Sekitar 10 meter kemudian dia tiba-tiba memundurkan lagi mobil, menghentikannya di tempat kami tadi dan bergegas membuka pintu. Aku berhal serupa karena heran melihat tingkah Rizal.
Rizal berlari ke pinggir tanah datar.
“ Zal, ada apa? “ tanyaku, heran bercampur cemas.
Rizal cuma menunjuk ke jalanan panjang di bawah kami. Tak ada siapa-siapa di situ. Aku kini mengerti maksud Rizal. Bulu romaku langsung meremang. Ke mana perginya si orang tua berambut berkumis putih itu? Demikian cepatnyakah ia melangkah hingga sudah melewati kelokan nun di bawah sana? Apakah ia berbelok ke arah lain untuk meng-ambil jalan pintas? Atau menghilang begitu saja?
Ketika kami masuk lagi ke mobil mataku tanpa sengaja  memintas ke tebing tempat Rizal tadi meletakkan sebilah rokok. Rokok itu sudah tak ada lagi di situ. Mataku menyapu tempat di bawahnya, mencari-cari kalau rokok tersebut terjatuh. Tak ada juga. Kualihkan pandang ke rokok yang terselip di bibir Rizal, rokok yang tadi dinyalakan bersamaan. Asap masih mengepul, batang rokok masih bersisa separo.
“ Zal, rokok di tebing itu hilang….” suaraku terdengar mengambang.
“ Sudahlah. Jangan bicarakan lagi hal itu. “ katanya sambil menjalankan mobil.
Aku diam, berpegang erat ke dashboard saat mobil meliuk-liuk menyusuri jalan licin yang menurun. Beberapa saat selepas jalan licin “mengerikan” itu kami sampai ke sebuah persimpangan. Mobil pun berbelok ke kanan. Pinggir kiri dan kanan jalanan ditumbuhi oleh pinus dan akasia mangium. Pohon-pohon yang mulai membesar itu berderet rapi, pastilah karena ditata dan ditanam dengan sengaja.
“ Dari persimpangan tadi cuma tinggal sekitar 3 kilometer kita akan mencapai ibukota kecamatan. “ kata Rizal.
“ Sekarang kita ke mana? “
“ Ke rumah. “
“ Rumahmu? “
“ He-eh. Aku punya kebun di sini. “
Aku ingat cerita Johan bahwa anak istana ini memilih mandi keringat dalam berkebun tinimbang hidup sebagai seorang pangeran yang penuh gebyar.
“ Kenapa engkau memilih berkebun daripada mengelola perusahaan Ayahmu? “
“ Ingin tahu? “
“ He-eh. “
“ Untuk apa, Rey? “
Ya, untuk apa? Aku mencari-cari alasan.
“ Untuk membandingkan profilmu dengan sosok Andung Sadayu di visiun kita. “ aku akhirnya menemukan sebuah alasan.
“ Mmhh, benar juga. “ ucapannya diiring senyum. “ Seorang istri memang patut tahu pandangan dan jalur hidup suaminya. “ senyumnya tambah lebar. “ Apalagi, siapa tahu engkau nanti benar-benar jadi istriku, Rey. “
Kurasakan wajahku agak panas mendengar ujung ucapannya, pipiku tentulah memerah oleh rasa jengah. Yang aku heran adalah goyangan daun waru di dada, serasa ada semilir angin sejuk mengusap di situ. Wah, pertanda apa ini?

*****



A
da tiga buah rumah di situ. Kami menuju ke rumah yang dibangun di dekat pinggir sungai. Kendati mendapat berbagai modifikasi rumah tersebut tetap menyisakan kesan arsitektur rumah adat Banjar. Teras dan bagian depan rumah dihias oleh ukiran-ukiran berbentuk naga dan enggang yang telah disetilir, totemik Dunia Atas dan Dunia Bawah dalam kepercayaan tradisional. Konsepsi kesatuan kosmik totemik dipertegas lagi dengan adanya ukiran Pohon Hayat di pintu. Penghuni rumah pun seakan-akan tinggal di bagian Dunia Tengah, diapit oleh Dunia Atas dan Dunia Bawah.
Pintu terbuka. Seorang perempuan baya muncul di sana, mengangguk hormat ke arah Rizal dan melempar senyum kepadaku.
“ Mereka ada di mana? “ tanya Rizal sambil menunjuk dua rumah lainnya.
“ Di kolam ikan. “ sahut si perempuan baya. “ Laila berpesan bahwa kalau pian[34] datang ditunggu di sana. “
“ Oh, ya, kenalkan. Ini Reynida, temanku dari Banjarmasin. Ini Acil[35] Ifah. “
Aku dan Acil Ifah bersalaman.
“ Sudah lama di sini, Cil? “
“ Rasanya hampir lima tahun. “ Acil Ifah menyahut ramah. “ Mari masuk. “
Aku mengedarkan pandang. Bagian dalam rumah nampak lebih indah dari bagian luarnya, ditata dan dibangun dalam gaya arsitektur yang sekarang lagi digandrungi arsitek-arsitek Eropa dan Amerika, perpaduan bentuk-bentuk silindris dengan garis-garis simetris, asimetris dan geometris. Ada taman mini di ruang tamu, memberikan keintiman dan kesempatan untuk mengendurkan irama kehidupan dunia luar dan menyelaraskan diri dengan suasana nyaman di dalam rumah. Apalagi dari luar kedengaran alunan musik alam yang indah, berupa suara desau angin di daun-daun dan gemercik air sungai yang mengalir menampari bebetuan, sebuah tembang nina bobo yang ritmis, lagu sambutan alam saat Adam dan Hawa menjejak dunia.
“ Sebuah rumah yang tenang dan nyaman, “ komentarku setelah melenakan diri di kursi, “ Di ruang dan suasana seperti ini kita akan bisa membaca dengan tenang atau istirah sembari menikmati damainya alunan musik alam. “
“ Apalagi kalau ditemani oleh orang yang dicintai dan anak-anak yang manis serta lucu, seperti orang-orang di rumah sebelah itu. “ tambah Rizal setelah menghirup kopi yang dihidangkan Acil Ifah.
“ Mereka itu siapa? “
“ Teman-teman yang ingin mandiri dan punya kecintaan yang sama terhadap alam dan kehidupan. Di rumah yang satu, Anwar, seorang insinyur kehutanan. Istrinya Laila, insinyur pertanian. Anak mereka satu laki-laki, dua tahun. Di rumah yang lain, Khairil, insinyur teknik sipil yang membangun rumah-rumah ini. Istrinya Farida, seorang insinyur perikanan. Anak mereka perempuan, lahir tahun lalu. “
“ Dan di rumah yang ini? “ pancingku.
 “ Seorang Sisiphus! Makhluk dongeng Albert Camus yang mencoba memberi arti bahagia pada apa yang dinilai orang sia-sia. Memberontak, tabah, tetapi juga kelihatan konyol. “
Keningku berkerut mendengar penilaiannya terhadap diri sendiri itu. Ada nada geram di kalimatnya, tetapi juga meluncas semangat untuk mencapai dan membuktikan cita-cita. Ahaaii, adakah sesuatu yang salah dalam kehidupan keluarga istana yang sukses ini?


*****



K
eramahan alam yang menawarkan kesegaran alami berupa hembus pawana tanpa debu dan polusi, jalan berliku menapak mendaki menurun bukit yang menjanjikan jantung sehat, membuat langkahku ringan terayun di sisi Rizal. Di kiri jalan, warna-warna merah muda mengombak, warna yang berasal dari pucuk-pucuk kayu manis. Di kanan, terhampar kebun rambutan bercampur kakao yang subur.
“ Betapa menyenangkan, “ komentarku, “ Di sini orang seolah menjadi anak alam, para pioner penjelajah padang-padang frontier, para pengembara praire. Segala kekalutan dan kebisingan kota larut bersama sejuk angin dan layapan anak-anak kabut. “
Rizal tersenyum. “ Kata-katamu puitis sekali, Rey. “
“ Kejangkitan penyakitmu. “ sergahku.
Kami ketawa. Daun-daun menjawab dengan desaunya. Air yang mengalir pada parit sisi jalan menyahut dengan riciknya. Dan burung memukul-mukulkan sayap kecilnya ke ranting-ranting. Bising dalam hening. Ah, betapa nikmat dan berharganya alam yang indah dan lestari.
“ Kalian tentu telah bekerja keras untuk mewujudkan hamparan kebun ini. “ kataku sambil melayangkan pandang ke arah perkebunan karet yang nampak menghijau nun di sana.
“ Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan kita lebih mudah menata dan me-  ngelolanya. Tapi dalam soal keuletan, kemampuan membaca pertanda alam dan peng-akraban diri dengan kehidupan hutan, kami harus banyak belajar pada orang suku Bukit. Bayangkan, Rey, cuma dengan parang, belayung dan kebudayaan huma, mereka mampu membuka dan menjinakkan keganasan hutan-hutan. “
“ Kalian banyak belajar pada mereka, lantas apa yang kalian berikan? “
“ Membantu mereka untuk berkebun yang baik, membudidayakan ikan yang baik, atau cara pengelolaan tanah yang baik sehingga dapat dijadikan ladang menetap. “
“ Apa ada hambatan? “ kejarku.
“ Ini wawancara, ya? “ ejeknya.
“ Sebutlah begitu. Liputanku tentang Bawanang nanti sedikit banyak akan bersangkut paut dengan soal transformasi budaya. “ sahutku.
“ Selama ini kami tak mendapat hambatan apa-apa. Mereka sama saja dengan kita dalam mencermati perubahan. Tinggal cara pendekatannya saja. Kupikir transformasi sosial budaya seyogyanya jangan sampai merenggut mereka dari akar kulturalnya. “
“ Agar mereka nanti jangan jadi masyarakat anomis? “ aku menyela.
“ Betul. Mereka harus mampu ke luar dari masyarakat ladang berpindah ke masyarakat ladang menetap dengan kekuatan mereka sendiri, kekuatan yang tetap berlandaskan kultur religinya. “
“ Mmhh, gaya bicaramu sudah seperti pemakalah di ruang seminar. “ aku ganti mengejek.
Rizal mengakak. Kami pun sampai ke tempat teman-temannya. Tempat itu mirip sebuah taman bunga. Ada tiga bangunan terbuka berbentuk payung terkembang di situ, wadah duduk-duduk atau merebahkan diri melepas penat kerja. Pada dua bangunan kelihatan ayunan anak-anak, pastilah itu berisi anak Laila dan Farida yang tengah tidur siang.
“ Olala, pantas lama nian ditunggu, rupanya Awang Sukma berhasil menjerat seorang bidadari. “ seru seorang wanita sebayaku.
Kugamit lengan Rizal. “ Siapa Awang Sukma itu, Zal? “
“ Tokoh legenda, Jaka Tarubnya Kandangan. “ bisiknya. “ Tapi ucapan Laila itu benar juga, Rey. Engkau memang bagai bidadari. “
Pujian atau rayuan? Entahlah. Yang jelas, daun waru di dadaku bergoyang lagi, kali ini lebih keras sehingga aku rikuh menenteramkannya.
“ Siapa bidadari ini, Zal? “ seorang wanita lain berucap.
Rizal cuma tersenyum. Aku pun berkenalan dengan mereka. Para sarjana yang mau jadi start point dalam menata hidup di daerah pedalaman ini ternyata orang-orang yang supel dan ramah.
“ Sayang kamu datang saat musim rambutan sudah lewat. Jika nanti rambutan berbuah lagi kamu akan kukabari. “ ucap Laila ketika kami menyiapkan makan siang.
“ Atau kamu menetap saja di sini, Rey….” Farida melontarkan usul yang menga-getkan.
“ Menetap? “ aku tergagap.
“ Ya. Bangunan yang satu ini sudah amat rindu dikencingi anak pemiliknya. “ sambar Laila sembari menunjuk bangunan payung terkembang yang kami tempati.
Usulan langsung itu sejenak membuat aku tersipu.
“ Apa orang macam dia belum juga punya calon? “ pertanyaan itu lepas begitu saja dari mulutku.
“ Begitulah. Standarnya lumayan tinggi, Rey. Katanya, wanita idamannya adalah wanita yang dunianya tidak cuma berisi bedak, eye shadow, lipstik, atau krim dan lotion ini-itu. Wanita dambaannya adalah wanita yang bisa diajak bertukur pikiran dan berdebat, bisa diajak bicara tentang bermacam soal, mulai soal ipoleksosbudhankam sampai buku, film dan musik. Wanita yang menyenangkan sekaligus menguji intelektual. “
“ Wah….” aku mendecikkan lidah.
“ Memang wah. “ Farida tertawa. “ Menurutnya, pendamping seperti itu diperlukan karena hidup harus punya keseimbangan antara tantangan-tantangan intelektual dan kemesraan-kemesraan emosional. “
“ Kalau dipikir-pikir, kamu agaknya melebihi standar itu, Rey. Kalau tidak demikian dia tidak akan mau membawa kamu sendirian ke sini, apapun alasannya. Dia paling takut dijerat gosip apalagi ditangkap hansip…. “
“ Betul itu, Rey. “ Farida gencar menyambung. “ Tidak pernah dia bawa gadis sendirian. Gadis-gadis yang datang ke sini paling-paling rombongan teman-temannya berkesenian di Kandangan. Itu pun terbatas kalau lagi musim buah atau untuk mengubah suasana latihan mereka. “
“ Stop….stop. “ sergahku. “ Dalam soal mempromosikannya, sales girl kalah jauh oleh kalian. “
Kami sama ketawa.
“ Heii, jangan hahahihi terus, musik perut kami bukan lagi keroncong tapi sudah musik rock. “ seru Rizal dari pinggir kolam ikan.
“ Oke, Boss. Sudah siap, silakan tuan-tuan ke sini. “ Laila balas berseru.
Alangkah nikmat makan di situ. Beras dari hasil sawah mereka sendiri, lalap-lalapan dari kebun sendiri, ikan mas dan gabus dari kolam sendiri. Apalagi angin semilir membuat musik daun-daun lembut nadanya.
“ Zal, kemarin aku ketemu dokter Andi, “ ujar Anwar setelah kami selesai makan, “ Katanya kerangka dulu itu sudah bisa dipastikan kerangka lelaki dan wanita. “
“ Kerangka? Kerangka apa? “ mataku yang tengah memandangi deretan kolam ikan, petak sawah dan hamparan luas kebun karet beralih segera ke wajah Rizal.
“ Sepuluh hari lalu, di Haratai, sebatang kariwaya yang sudah amat tua tumbang. Pada lubang yang terjadi karena akar-akar yang tercerabut ditemukan dua kerangka manusia. Di dada masing-masing kerangka yang masih utuh itu tergeletak sebilah mandau yang juga masih utuh, tidak dimakan karat. Kalau dilihat dari umur kariwaya maka usia kerangka itu paling tidak mencapai satu abad. “
“ Wah, ini berita bagus, Zal. “
“ Nah, nah, naluri wartawannya muncul. “ Laila mengejek.
Aku senyum. “ Di mana sekarang kerangka itu? “
“ Di simpan Damang Antang di balai Riam, “ sahut Anwar, “ Para tetua sepakat untuk mengubur kembali kerangka itu setelah selesai Bawanang. “
“ Jauhkah balai Riam itu, Zal? “ aku mencecar.
“ Kira-kira sejam jalan kaki dari Loksado. “
“ Bisa kita ke sana nanti sore? “
“ Tidak, Rey. “ sahut Rizal. “ Mereka telah memberlakukan pantangan bagi orang luar untuk mengunjungi balai sampai persiapan Bawanang selesai. Minimal, lusa malam baru kita boleh ke sana. “
“ Kalau begitu kita ke Haratai saja, ya, Zal…” pintaku.
“ Boleh, besok pagi, tapi engkau harus siap jalan kaki sekitar 3 jam. “
“ Tidak masalah. “
“ Kalau kamu ke Haratai harap berhati-hati. “ ucap Laila.
“ Jalannya berbahaya? “
“ Bukan jalannya yang berbahaya, tapi manusia yang memandumu ke sana. “
“ Huuu, jelek-jelek begini tingkat karateku ban hitam. “
“ Jurus karate tak akan berguna kalau sudah berhadapan dengan jurus maut rayuan merah muda pucuk kayu manis. “ Farida dengan cepat menyemes bola yang dilambungkan oleh Laila tadi.
Rizal mengacungkan tinju pada keduanya. Farida dan Laila membalasnya dengan juluran lidah. Terdengar tangis bayi, anak Farida.


*****


B
ercocok tanam di ladang yang disebut bahuma tugal merupakan mata pencaharian utama orang suku Bukit sekaligus merupakan tatanan adat yang dipertahankan secara tegar. Keseluruhan aktivitas kehidupan, baik yang menyangkut sosial ekonomi, religi, pandang-an hidup, pandangan tentang alam dan jagat raya, semuanya terkelindan dalam kehi- dupan huma itu. Dan padi, sebagai tanaman utama, mempunyai kedudukan yang tinggi. Padi merupakan buah dari langit yang sakral sehingga proses penanaman benih sampai menjadi gundukan-gundukan kuning emas di lulung atau lumbung sarat dengan upacara ritual yang dilaksanakan tanpa pandang bulu.
Upacara-upacara ritual tersebut tentu saja berkait erat dengan kepercayaan mereka. Orang Bukit mempercayai sejumlah Ilah yang menguasai alam semesta. Karena itu alam selain dipandang sebagai sesuatu yang sakral juga merupakan sesuatu yang ganas dan menakutkan. Manusia sebagai bagian kecil dari alam yang maha luas haruslah bisa menyesuaikan diri. Setiap tindakan maupun usaha penyelewengan dari ketentuan itu sama artinya dengan mengundang bencana. Dan bahuma merupakan pekerjaan yang merusak harmoni lantaran telah mencabik-cabik alam, walaupun hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Agar bencana tak datang melanda dilakukanlah persembahan melewati upacara-upacara ritual sehingga restu para Ilah diperoleh.
Puncak upacara terjadi setelah seluruh padi terkumpul di dalam lulung[36]. Hasil jerih payah dan cucuran keringat itu baru boleh dinikmati sesudah padi-padi mendapatkan kewenangan dan kesucian serta dibebaskan dari segala pantangan. Hal yang harus dilakukan lewat upacara Bawanang. Lalu…
.
Ringkasanku terhadap bahan yang diberikan Rizal terhenti manakala hidungku mencium semerbak bau dupa. Rasanya seluruh tenagaku tersedot oleh layapan bau harum itu. Pulpen di tanganku terlepas. Kepalaku berdenyutan. Pandang mataku mengabur.
Sederet langkah menyuara di lantai balai.  Aku menoleh. Kulihat mata Damang Utai tajam menikam ke wajahku.
“ Layang, ikut aku….” Ujar damang dengan nada memerintah.
Tanpa berucap apa-apa kuiringi langkah Damang Utai ke luar balai. Kami berdiri berhadapan di pinggir sungai. Sebelah kaki damang bertengger di atas batu.
“ Kuminta engkau menghilangkan perasaanmu terhadap Andung Sadayu! “ suara damang yang serak langsung menumbuk dadaku.
“ Aku mencintainya….”  sahutku setelah meredakan tumbukan di dada.
“ Aku tahu, tapi engkau harus ingat pada Simbar Rasinga. “
“ Aku tak terikat secara resmi dengan Simbar Rasinga. “
“ Engkau telah terikat secara adat! “
“ Tidak tertutup kemungkinan untuk memutuskannya. “ aku bersikeras. “ Simbar Rasinga bisa dijodohkan dengan gadis lain, banyak gadis-gadis di balai kita yang diam-diam mendambakannya sebagai suami. “
“ Kalau engkau memutus ikatan itu berarti kau akan menghilangkan nyawa sekian banyak orang! “ suara damang mulai keras nadanya.
“ Untuk menghindari hal itu, aku akan tinggalkan balai ini bersama Andung Sadayu….” nada suaraku juga mulai tinggi.
“ Dan membiarkan orang-orang balai Singgang Langit menyerang balai kita karena telah engkau hinakan martabat dan harga diri mereka! “
Damang bisa menumpukkan kesalahan kepada kami sehingga mereka cuma akan mencari kami. “
“ Aku tidak menghendaki perang di antara suku Bukit kita ! “
“ Lalu? “
“ Lupakan Andung Sadayu, atau… “
“ Atau apa? “ aku menukas.
“ Kubunuh dia! “
“ Apa? “ aku kaget. “ Damang mau membunuh Andung Sadayu setelah aku bersusah payah menyelamatkannya dari kematian? “
“ Ya. Lebih baik gugur kembang setangkai agar kembang setaman tetap berbunga molek! “ tegas sekali suara damang.
Darah mudaku mengombak mendengar itu. Jaringan tubuhku mengejang dijalari bara kemarahan.
“ Bisa saja Damang membunuh Andung Sadayu, tapi dengan satu syarat…”
“ Syarat apa? “ kali ini Damang Utai yang menukas ucapanku.
“ Langkahi mayat Layang Kinulis! “
Kami bersilang tatap di bawah sorot bulan tanduk. Kaki Damang Utai yang bertengger di batu perlahan turun, bergeser sekilan ke depan kaki yang lain. Tubuhnya agak membungkuk. Siku tangan kirinya menggeser sarung mandau. Tangan yang lain terangkat naik, menyilang dada lalu hinggap di hulu mandau. Aku mundur dua tindak. Telapak dan jari-jari tangan kananku mulai merasakan halusnya hulu mandau.
Rembulan tanduk menyilam ke balik awan, seperti tak tega menyaksikan pertarungan kami. Damang Utai menggeser langkah dua tindak, mencari sudut yang bagus untuk melancarkan serangan. Aku membuat langkah menyamping, menutup ruang geraknya.
“ Yeaaaaa! “ Damang Utai membentak.
Bertumpu pada ujung kaki kanan ia melompat. Silang tangannya terbuka, membawa bilah mandau ke udara. Laksana elang mementang sayap ia menyambar ke arahku. Aku bergerak cepat, mundur dua tindak untuk meredam kekuatan daya serangnya. Ta-    ngan kananku juga terpentang membawa bilah mandau.
Traaanggg! Dua bilah mandau beradu. Bunga api meletik. Kami sama terdorong mundur tiga langkah. Aku mengibaskan tangan, membuang sisa getaran tenaga Damang Utai yang terasa menyengat. Rangkakan usia ternyata tak menggerogoti kekuatan tenaganya, damparannya benar-benar mengejutkan dan mampu menindih tenaga mudaku.
Kembali kami saling mengincar. Aku sadar bahwa menunggu datangnya serangan sama artinya dengan memberi keluasan ruang kepada Damang Utai untuk melakukan tekanan. Maka aku pun tak membuang waktu, kuburu ia melewati satu langkah segitiga seraya mengayunkan mandau dalam tebasan silang.
Damang Utai menghindar ke samping kanan. Dari situ ia menyampok mandauku. Aku tak menghendaki kedua mandau beradu maka segera kuubah gerakan. Kuputar mandau di udara lalu membawa ayunan turunnya ke arah leher damang. Ia membuat gerak mengejutkan, bukan melompat mundur atau menghindar ke samping tetapi maju menebas pinggangku. Aku cepat menarik serangan dan membuang tubuh ke belakang. Belum lagi aku siap, damang menggasak dengan tusukan. Kini mau tak mau aku terpaksa me-    nyampok mandaunya. Bunyi benturan mandau kembali bergema. Nyaring sekali. Kami terpisah lima langkah, saling mengawasi dengan nafas yang mulai memburu.
“ Engkau hebat, Layang….” puji Damang Utai.
Damang juga hebat… “ balasku sambil mengatur nafas. “ Tenaga Damang kuat sekali. “ pujiku jujur.
Damang Utai tersenyum dalam kelam, “ Aku merasa bangga sekali melihat balai Rampah Minjalin punya gadis sehebat dirimu. “
Aku membalas senyumnya, menunggu tindakan selanjutnya. Jauh di dalam hati aku berharap agar Damang Utai mengurungkan kehendaknya.
“ Sekarang bersiaplah, Layang, aku akan membawa langkah Simbat Halang…”
Aku terkesiap mendengar itu. Damang Utai ternyata memang benar-benar ingin membunuhku. Langkah Simbat Halang adalah ilmu mandau andalan damang yang cuma dikeluarkan pada saat nyawa berada antara batas hidup dan mati. Langkah pertarungan yang aku sendiri belum pernah melihatnya, cuma mendengar cerita tentang kehebatannya melalui mulut mendiang apang[37]. Langkah itu cuma diturunkan oleh para leluhur kepada orang yang dipilih menjadi damang. Konon langkah Simbat Halang itu diciptakan setelah leluhur kami mengamati gerakan elang saat memburu mangsa di kerimbunan padang ilalang. Gesit. Penuh gerak tipu. Dan juga…ganas.
Damang Utai mengubah posisi tubuh. Tapak kaki kiri perlahan disilangkan satu tapak tangan di depan kaki kanan. Tubuhnya merendah. Tangan kanan terentang ke samping dengan bilah mandau menunjuk lurus ke langit. Tangan kiri melengkung di depan dada dengan jari-jari membentuk gaya sembah. Bibir damang komat-kamit, pastilah merapal mamang.
Hatiku berdebar kencang. Tanganku agak bergetar di hulu mandau. Wibawa langkah Simbat Halang mulai memancar, membuat hati giris, persis seperti girisnya hati binatang buruan menyaksikan elang berterbangan di sekitarnya. Keringat dingin memercik di tubuhku. Aku sadar bahwa yang kuhadapi kali ini adalah pertarungan di ambang hidup mati, bahkan mungkin akan menjadi pertarungan penghabisan dalam sejarah hidupku sebab sebentar lagi aku akan meregang nyawa dalam genangan darah.
“ Mhhh, Simbat Halang ternyata langkah penindas wanita. “ sebuah suara mengu-mandang. Suara Andung Sadayu.
Damang Utai mendengus. Andung Sadayu melangkah ke sisiku.
“ Mundurlah Layang, aku ingin tahu apakah Simbat Halang bisa merajah tubuh-ku. “ katanya.
Aku mundur tiga tindak. Andung Sadayu kini menghadapi Damang Utai, mandaunya sudah telanjang di tangan. Bibirnya komat-kamit merapal mamang. Tanpa suara damang membuat lompatan ke atas, meluncur ke arah Andung, mandaunya melintang kira-kira sehasta di depan wajah sehingga sukar diduga ke mana arah geraknya.
Andung Sadayu menghadapi Simbat Halang dengan cara yang aneh. Dia seperti sebuah layang-layang, mengambang di udara kosong, tak bergerak bila tak ada gerak dari damang, seakan-akan damang adalah talinya. Damang Utai memapas lehernya, Andung bergerak cepat mengatasi kecepatan damang dan mendahului memapas leher damang. Damang Utai menebas pinggang, Andung mendahului kecapatan gerak mandau damang seraya menebas ke sasaran yang sama. Semua gerak Andung seperti bersumber pada gerak Damang Utai.
“ Bagus…Dandang Mangapak… “ seru Damang Utai di tengah dampar serang-annya.
Dandang Mangapak? Hatiku sedikit lega mendengar nama Dandang Mangapak.
Ilmu mandau itu merupakan ilmu mandau yang telah hilang ratusan tahun. Konon ilmu itu merupakan perasan atau saripati dari seluruh ilmu andalan Bumburaya Walu, 8 balian tertinggi suku Bukit. Ilmu yang terputus turunannya lantaran tak seorang pun yang mampu menerima dan menghayatinya.
Kulihat Damang Utai melipatgandakan kecepatan geraknya. Menyambar-nyambar laksana sambaran elang murka. Di bawah seringai bulan tanduk yang kembali menampakkan diri, mereka berdua laksana elang dan layang-layang yang berebut cakrawala. Kadang mereka hinggap di atas batu-batu. Kadang berloncatan di atas pelepah pisang. Kadang berebut pijakan di gerumbul-gerumbul semak. Kadang pula sama menjadikan helai daun ilalang sebagai tumpuan. Saling buru. Saling berebut ruang.
Aku tak lagi tahu berapa lama sudah pertarungan Simbat Halang dan Dandang Mangapak itu berlangsung. Mereka agaknya sama merasa akan adanya bius hawa pertarungan yang semakin memabukkan lantaran menemukan tanding yang setara. Gerak-gerak aneh yang selama ini tersimpan tiba-tiba saja menemukan ruang untuk memunculkan diri, ingin menguras habis setiap gerak dan menghayatinya mumpung lawan mampu mengimbangi.
Bagaimanapun jua kedua ilmu itu demikian menguras pikir, pandang dan tenaga, sementara kemampuan manusia ada batasnya. Dan mereka agaknya telah mencapai batas itu. Setelah terjadi satu sampokan mandau, mereka sama terlempar ke udara. Berjumpalitan sebelum hinggap gamang di atas batu gunung. Dalam jarak 2 depa mereka saling pandang. Tubuh kuyup keringat. Nafas pun mendengus bagai kuda berpacu.
Damang…kenapa? “ suara orang banyak diikuti derap-derap sekian banyak kaki.
Warga balai Rampah Minjalin dengan mandau, parang dan tombak di tangan bermunculan. Agaknya bunyi benturan-benturan mandau membuat orang-orang meng-ambil senjata dan ramai-ramai ke luar dari balai.
Aku diam-diam mengeluh dalam hati. Sepatah kata saja Damang Utai memerintah pastilah sekian banyak senjata itu akan meluruk ke tubuhku dan tubuh Andung.
“ Tidak apa-apa. “ kudengar suara Damang Utai di antara buru nafasnya. “ Aku dan Andung Sadayu tengah berlatih mandau dan sama kehabisan tenaga. “
Aku tak mengerti kenapa Damang Utai berucap seperti itu. Yang nyata pandang mataku mengabur. Kian kabur. Lalu gelap. Yang terasa kemudian adalah usapan kain basah di wajahku. Kubuka mata. Dua raut wajah samar tertangkap pandangku. Aku me-  ngerjap beberapa kali. Raut wajah itu menegas. Wajah Andung Sadayu...oh…bukan…itu wajah Rizal bersama acil Ifah. Sedang kepalaku rebah di pangkuan Rizal.
Kusambut cangkir berisi sir putih yang disodorkan acil Ifah. Kutegakkan badan. Kesejukan air pun menjalari kerongkonganku yang kering.
“ Terima kasih, Cil. “ kataku sambil menyerahkan cangkir.
Acil Ifah tersenyum dan kembali ke ruang belakang. Sekejap kupandang jam dinding. Baru pukul delapan malam.
“ Visiun itu datang lagi? “ tanya Rizal.
Aku mengangguk dan menceritakan apa yang baru kualami.
“ Masih terlalu dini untuk merangkainya, Rey. Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Mari kita ke halaman, teman-teman sedang menjerang ubi dan jagung. “
Kami melangkah ke halaman. Di atas hamparan tikar, Khairil sedang memetik gitar. Suara Farida mengalunkan Huma di Atas Bukitnya Achmad Albar. Lagu ciptaan Syuman Jaya itu seakan merupakan refleksi kehidupan mereka. Keduanya menyanyi sambil menautkan pandang. Kemesraan nampak meletik, berkelindan dengan kebahagiaan menemu ufuk fajar kehidupan.
Daun waru di dadaku kembali bergoyang, terlebih ketika di dekat kompor jerang-an jagung Laila merebahkan kepala ke bahu suaminya. Suara mereka kemudian menyatu mengiringi suara Khairil dan Farida.

Di sana kutemukan bukit yang terbuka
seribu cemara halus menderai
sebatang sungai membelah huma yang cerah
berdua kita bersama tinggal di dalamnya

Nampaknya tiada lagi yang diresahkan
dan juga digelisahkan
kecuali dihayati
secara syahdu bersama
selamanya
bersama selamanya

Tatapanku beralih ke arah Rizal. Ternyata ia juga tengah menatapku. Binar di matanya kembali mengkili hati, melepaskan berkas sunyi yang bersijingkat mencari su-   nyiku. Kualihkan pandang ke arah bulan. Bulan yang hampir purnama seolah menye-nyumi tingkah kami, cahayanya kian cerlang mengecupi kehijauan pucuk-pucuk pinus dan akasia, menambah seri warna merah muda pucuk-pucuk kayu manis, menyemaraki keindahan gerumbul bunga aneka warna. Lalu aku pun tahu bahwa sunyi Rizal diam-diam berhasil merengkuh sunyiku, menggandengnya jauh ke balik bukit-bukit timur tempat fajar bakal menyingsing.


*****










Peristiwa Empat
Sabtu, 9 Juli 1988


S
ejauh manakah alam mengalami perubahan sejak semesta terbentang pada dini purbakala? Haratai barangkali masih seperti dulu-dulu jua, lelap dan damai selama berabad-abad, bagai terlupakan oleh sang waktu. Mungkin cuma guruh air terjun dan kebeningan tasiknya yang membuat kawasan itu masih hidup serta manjadi bagian pesona alam Loksado.
Tempat itu seperti benteng alam berdinding batu setinggi kurang lebih 20 meter. Air mencurah deras dari atas dinding batu, beterjunan ke sebuah tasik kecil untuk kemudian mengalir menyusupi celah batu-batu besar ke arah sebuah anak sungai yang bermuara ke Kali Amandit. Indah memang tempat ini. Mampu mendenyarkan imaji-imaji romantik sekaligus juga membuat orang merasa betapa kecilnya diri, betapa tak berartinya manusia dibanding keluasan serta keperkasaan alam ciptaan-Nya.
Setelah mengambil foto kariwaya rebah berikut liang tanah bekas akar wadah dua kerangka ditemukan, kami menyeberangi jembatan bambu yang menghubungkan tebing dengan sebuah batu besar di tasik. Aku beringsut turun ke batu yang lebih rendah dan berpermukaan datar. Kubasuh muka dengan air jernih tasik. Sejuk. Nyaman. Kuambil verples, mereguk air sirup yang kami bawa dari rumah. Sejuk. Nyaman. Kulipat pipa celana jeans sampai ke lutut lalu mencelupkan kaki ke air. Sejuk. Nyaman.
“ Mau mandi, Rey? “ Rizal ternyata telah beralih ke batu lain, membawa kamera-nya.
“ Nanti, “ sahutku, “ Keringatku masih belum teduh. “
Terdengar cericit halus motor drive, alat yang bisa membantu kamera meng-abadikan beberapa gambar dalam satu detik sehingga menghasilkan satu sekuen foto berisi urutan perubahan ekspresi yang diambil dari satu sudut pandang. Rizal berpindah tempat. Memotret lagi. Berpindah dan kembali memotret.
“ Telah kuabadikan kehadiran bidadari air terjun Haratai. “ katanya setelah duduk lagi di sisiku.
“ Dengan aku ini berapa banyak sudah bidadari yang engkau abadikan? “ ajukku.
“ Tak ada. Baru kali ini aku menemukan bidadari. “
“ Wow, itu ya salah satu jurus rayuan merah muda pucuk kayu manis yang dikatakan Farida kemarin? “
“ Kalau dikau tidak percaya maka belahlah dada hamba. “ selorohnya dengan suara berlagu.
“ Sebelum sampai pada soal belah membelah dada baiknya engkau penuhi dulu janjimu. “
“ Janji apa? “
“ Cerita tentang pangeran yang minggat dari kastilnya. “
“ Perlukah itu, Rey? “
“ Amat perlu, tidak cuma untukku tapi juga untukmu, yaaahh….anggaplah itu sebagai proses kanalisasi dalam teori Freud. “
Kendati sempat menghindar namun setelah terus diajuk akhirnya ia mau juga mengungkai kediriannya. Afrizal Kusumawardhana, namanya. Lahir di bawah naungan naungan rasi Capricorn, 27 tahun yang lalu. Anak kedua dari dua bersaudara. Ayahnya lelaki Banjarmasin, insinyur teknik sipil jebolan Gadjah Mada. Ibunya konon masih berdarah biru, kerabat Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat, sarjana ekonomi kampus biru yang lulus dengan predikat summa cum laude.
“ Bagi sebagian orang, hari-hari terasa amat panjang sehingga menimbulkan kegelisahan untuk melaluinya. Aku agaknya termasuk orang gelisah semacam itu. Kuatasi hari-hari panjang tersebut dengan berbagai kesibukan. Mengikuti segala kegiatan kampus, menulis, melahap sekian banyak majalah, koran, novel, puisi. Namun bila sampai pada saat-saat menjelang tidur, dalam kesendirian di kamar, aku harus mengakui kenyataan bahwa apa-apa yang kulakukan tak lebih dari sebuah kompensasi. “
“ Ada sesuatu yang membuatmu tertekan? “ selaku.
Rizal tenggelam dalam bungkusan asap rokok. Matanya menatap impas ke arah air terjun tapi tatapan itu tak berhenti sampai di sana saja. Jauh melayap. Ke tempat tak berbatas.
“ Secara duniawi di rumahku ada sorga, namun secara batiniah bisa dikatakan kosong melompong. Rumah mewah kami cuma berisi sepi, warna keseharian yang membuat luka lekuk dadaku. Kehidupan dunia modern, gelombang teknologi beserta segala percepatannya, dimensi-dimensi pergaulan kelas elit, sudah mengubah apa-apa yang dahulu terasa indah. “
Suaranya kini mirip erangan. Berlabuh ke dadaku seraya menggaungkan apa yang disebut Rendra jerit anak burung yang gugur dari sarangnya ketika orang-orang memanah rembulan.
“ Orang-orang di rumah sudah tak lagi punya waktu untuk saling berbincang, kalau perbincangan terjadi juga maka muaranya selalulah urusan bisnis. Tak lagi ada waktu untuk santai bersama nonton TV atau video, bahkan tak lagi tersedia sedikit kesempatan untuk makan atau sekadar minum kopi bersama. Tak ada lagi keakraban keluarga, tak ada lagi canda dan kasih sayang. Semua orang di rumah sibuk dengan urusannya sendiri. Rumah pun menyungkupkan arus gerah padaku, sekadar sebuah persinggahan jika letih dan kantuk mendera. “
Rizal menggedikkan kepala, seperti melontarkan kegeraman yang terpendam.
“ Ibumu bagaimana? “ pancingku.
“ Mama yang semula akrab dan penuh perhatian akhirnya juga terseret kegiatan bisnis Papa yang kian besar. Bisnis itu memerlukan juga keterampilan Mama, baik dalam soal manajemen, diplomasi, atau pendekatan pribadi demi terciptanya sebuah kontrak. Mama kemudian juga berubah menjadi sebuah komponen mesin, selanjutnya kakakku menyusul. Lengkaplah sudah komponen mesin itu di rumah. Berputar tanpa henti. Menggilas dan melumat diriku. “
Dia melumatkan puntung rokok ke batu lalu menggantinya dengan batang yang baru. Setelah beberapa kali hisapan dan hembusan asap ia teruskan bicaranya.
“ Yang lebih menyakitkan, Rey, ketika pengelolaan HPH Papa diserahkan pada kakakku. Ia menguras hutan-hutan tanpa memikirkan pelestariannya, main bakar main tebang seenaknya. Tindakannya itu menimbulkan tekanan berat padaku. Bayangkan, di kampus aku dididik untuk memelihara dan mencintai hutan, tapi di rumah aku justru dipampangkan pada hasil pengurasan hutan. “
Hembusan nafasnya terdengar keras, seperti memuntahkan karat yang melekat di dalam dada.
“ Aku muak dengan keadaan macam itu! Aku muak pada keluarga mesin macam itu! Karenanya aku mencari tempat-tempat yang bisa membuat aku merasa atau dihargai sebagai manusia. Maka sehabis wisuda, kujual mobilku, kuambil semua tabunganku, kutinggalkan rumah! “
“ Lalu membeli lahan perkebunan itu? “ aku kembali menyela.
“ Ya. Kuajak teman-teman yang ingin mandiri, punya kecintaan pada alam dan lingkungan yang sehat, punya kemauan keras untuk bekerja. Lima tahun sudah kami di sini, mengelola tanah menata kehidupan. “
Sejenak kami sama tak bersuara, membiarkan guruh air terjun mengillustrasi suasana.
“ Engkau masih sering ke rumahmu yang di Banjarmasin? “ tanyaku kemudian.
“ Sesekali. Keadaannya tidak berubah juga. Perasaan kehilangan karena perginya aku dari rumah jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan perasaan kehilangan kalau sebuah proyek yang diincar lepas ke tangan orang lain. “
Diam lagi. Di antara guruh air terjun tiba-tiba menyelinap bunyi musik, seperti petikan gitar dalam balada Andalusia yang merintih namun romantik.
“ Aku mendengar bunyi petikan gitar. “ kataku dengan suara bergetar sebab hidungku kini mencium layapan harum dupa.
“ Bukan gitar, itu petikan kecapi. “ suara Rizal juga bergetar.
Petikan kecapi dan layapan bau dupa membuat Haratai tiba-tiba terasa diselimuti suasana magis. Jantungku berdetak kian keras. Dadaku mendebur. Bagai ombak. Bergulung. Mendebur. Bergulung. Anak-anak kabut berlayapan, tersibak sejenak ketika kami melaluinya. Di puncak air terjun Haratai seorang lelaki telah menunggu. Aku menyipitkan mata untuk mempertegas pandangan. Lelaki itu kemudian kukenali, Simbar Rasinga.
Tanpa berkata Simbar Rasinga mencabut mandau. Andung Sadayu memberi tanda agar aku menjauh. Dia kemudian juga mencabut mandaunya.
“ Yeaaaa! “ Simbar mengeluarkan pekik pertempuran.
Di tengah udara badannya menggeliat seperti geliat seekor ular. Mandaunya memapas rata. Trang! Bunga api berpijar ketika sepasang mandau bertemu. Andung menjejak bumi dengan mantap sementara Simbar terhuyung tiga tindak.
Simbar mendengus lalu kembali menyerang. Serangan mandaunya kini mendampar dalam kecepatan tinggi. Sekejap mendampar ke atas. Sekejap lagi mendampar ke bawah. Menyilang ke kiri. Membabat ke kanan. Menebas silang. Ganti-berganti. Sambung-menyambung. Seperti kilat meniti angkasa membelah langit.
Andung mengimbanginya dengan memutar mandau bagai kitiran, bergerak meng-imbangi kecepatan mandau lawan, membentuk gulungan sinar yang membungkus tubuh. Mandau keduanya pun hilang wujud, berubah menjadi sinar gemerlapan. Jurus demi jurus dilancarkan. Perubahan demi perubahan gerak yang aneh sama mengincar peluang untuk memancurkan darah lawan.
Suatu saat terdengar teriak kesakitan mengumandang, Keduanya sama terlempar. Tubuh Simbar Rasinga melayang ke bawah air terjun. Mungkin tasik menyambutnya, mungkin pula batu-batu yang menghadangnya. Aku tak peduli. Kuburu tubuh Andung Sadayu. Bahu kirinya robek bekas tebasan mandau. Sekejap kulihat mandaunya juga basah oleh darah.
Kurobeh tapihku. Kubalut lukanya. Setelah itu kami saling tatap. Wajah kami kini rapat, dibatasi ruang sempit dihuni udara tipis. Terasa hembusan nafasnya. Hangat.
“ Layang…”  suaranya antara ada dan tiada.
“ Andung…”. suaraku antara ada dan tiada.
Angin berarak dalam sunyi daun. Awan berarak dalam sunyi langit. Dan aku melihat biru lazuardi di matanya. Sunyi angin, sunyi daun, sunyi langit, sunyi batu, sunyi air, menyatu di bening matanya. Getaran hawa pun tak lagi terasa. Yang terasa adalah usapan lembut tangannya di wajahku. Di helai-helai rambutku. Di leherku. Lalu sesuatu yang hangat menerpa bibirku. Kehangatan yang lembut. Aku meliuk. Dan melenguh halus. Tapi lenguhan itu tak boleh panjang, dia menutupnya dengan sebuah ciuman yang memang diharap. Kami pun berpilin di atas hampar batu.
Bbbyuurrr! Air menyambut tubuh kami. Tenggelam. Dibawa arus deras. Muncul ke permukaan. Menarik nafas sepenuh dada. Berenang mendekati pinggiran batu. Me-rayap naik.
“ Zal…kenapa kita…”
Rizal tak menyahut. Dia naik lebih dahulu ke atas batu dan menarikku. Pakaian kami basah. Kuyup. Tetes-tetes air menitik dari seluruh tubuh. Bunyi kecapi hilang suara. Harum dupa pun sudah tiada. Cuma air terjun Haratai terus gemuruh. Bunyi yang kini terasa menakutkan.
“ Nampaknya Andung Sadayu dan Layang Kinulis tadi menjadikan kita sebagai medium untuk mengekspresikan rasa cinta mereka. “ ucap Rizal.
Ya, itu satu kemungkinan. Kupikir ciuman ketat yang dijelujuri rasa rindu penuh birahi itu pastilah akan berlanjut andai kami tidak terguling dari atas batu dan jatuh ke dalam tasik. Andai berlanjut bagaimana? Siapa yang bisa mencegah?
“ Zal…”
“ Mmhh…”
“ Mengingat kejadian tadi, kemungkinan kita dijadikan medium senantiasa terbuka. Kita harus saling mengingatkan agar tak terjerumus. “ ucapanku bernada tak yakin.
“ Ya, kita harus saling mengingatkan. “ suaranya juga menyiratkan ketidakyakin-an yang sama.
Duh, rasanya memang ingin sekali segera ke luar dari situasi penuh misteri ini. Tapi mungkinkah? Kami agaknya telah terjerat ke dalam pintalan benang-benang magis, ke dalam sebuah rawa dupa yang daya isapnya berada di luar kekuasaan kami. Rasanya kami tak akan bisa lepas dari rawa dupa itu, kecuali kalau daya isap itu lepas dengan sendirinya.
Sekarang tanda-tanda daya isap itu akan lepas sama sekali tak kelihatan, bahkan terasa kian keras. Entah sejak kapan kami kembali menceburkan diri ke dalam tasik. Berenang. Bersimburan air. Bercanda dan tertawa, sebagaimana layaknya sepasang kekasih.
Di perjalanan pulang aku membiarkan saja lengan kirinya melingkari bahuku, bahkan tangan kananku kini melingkari pinggangnya. Dia bernyanyi kecil, You Are The Love of My Life dari Roberta Flack dan George Benson.

You are the love of my life
I knew it right from the start
The moment I looked at you
You found a place in my heart

Suaranya bagus, merdu dan empuk. Bibirku pun perlahan bergerak, suaraku me-  nyatu di lantunan lagu, membentuk sebuah duet.

And in a world full of change
In thing I’m sure of
You are the love of my life
The once thing that makes sense in this life
And I’ll spend the rest of my days
Just lovin’ you

Ayunan ringan langkah kami dengan cepat sampai ke jembatan Batu Balah, sebuah jembatan gantung dari bambu. Di ujung jembatan tumbuh dua batang kariwaya bini yang dahan-dahannya secara aneh saling berjalin sehingga membentuk sebuah gerbang. Di situ Rizal mengambil beberapa fotoku. Aku juga mengambil beberapa posenya. Kemudian stelan otomatis pada kamera difungsikan, kami pun mengambil beberapa sekuen dalam adegan orang yang tengah dimabuk asmara.
Setelah itu kami mampir di sebuah warung, memesan teh. Aku menghapus peluh dengan sapu tangan dan melenakan tubuh di bangku bambu. Di ujung bangku duduk seseorang. Ketika aku menoleh, orang itu tersenyum. Detak jantungku tiba-tiba jadi cepat. Dia adalah si orang tua yang kemarin muncul saat mobil kami mogok di lintasan Ajung Tabalik.
Apang rupanya. “ sapa Rizal.
“ Kalian baru datang dari Haratai? “
“ Ya. “ sahutku.
“ Tidak menemui sesuatu yang aneh di sana? “
Seperti tak sengaja tanganku menyenggol tangan Rizal, bahasa isyarat untuk mencari keterangan lebih jauh.
“ Apa biasanya di situ ada hal-hal yang aneh? “ tanya Rizal, menangkap maksudku.
“ Tidak juga, cuma kadang-kadang pada orang tertentu tercium adanya bau harum dupa dan bunyi petikan kecapi. “ sahut si orang tua sembari membuang puntung rokok-nya.
Rizal mendekati, duduk di sisi si orang tua. Ditawarkannya rokok. Si orang tua mengambil sebatang. Rizal membantu menyalakan.
“ Kata orang, air terjun Haratai itu merupakan tempat kesayangan seorang tokoh bernama Andung Sadayu. “ Rizal mulai menjurus. “ Apang tentu tahu cerita mengenai Andung Sadayu itu. “
Si orang tua kembali tersenyum.
“ Tak banyak yang kuketahui. Andung Sadayu itu seorang Panglima, orang balai Riam. Pemuda yang gagah, amat pandai berburu, dan punya ilmu mandau yang hebat. “
Balai Riam? “ aku mengulang. “ Balai yang akan mengadakan upacara Bawa-    nang lusa malam itu? “
“ Bukan. Balai Riam yang sekarang adalah balai yang beberapa tahun lalu dipindahkan ke Loksado, tetapi mereka memang keturunan orang balai Riam yang dahulu. Balai Riam Andung Sadayu dibakar Belanda, lebih dari seabad yang lalu. “
“ Berarti Andung Sadayu itu hidup lebih dari seabad yang lalu? “
“ Begitulah menurut kisah. “
“ Kata orang, Andung Sadayu itu punya seorang istri. “ Rizal kembali mengarahkan pembicaraan.
“ Betul. Seorang wanita cantik bernama Layang Kinulis, orang balai Rampah Minjalin. “
Balai Rampah Minjalin itu masih ada? “
“ Juga sudah tidak ada lagi. Belanda juga yang membakarnya. “
“ Lalu orang yang bernama Simbar Rasinga? “ kejarku begitu teringat pada visiun yang datang tadi.
Sekejap ekspresi wajah si orang tua mengelam. Sorot matanya meletik pijar, seakan menyimpan hawa amarah.
“ Sudah hampir senja. “ ucapnya. “ Aku harus segera pulang. Kalian juga begitu agar tidak kemalaman di jalan. Loksado masih cukup jauh dari sini. “ si orang tua memutus cerita.
Apang pulang ke mana? “ kejar Rangga, tak puas.
“ Jauh. “
“ Boleh kami ikut? “
“ Kalian takkan bisa mencapainya. “
Ia membayar minumannya kemudian melangkah. Baru tiga langkah ia berhenti dan berbalik lagi ke arah kami.
“ Kalau kalian ingin tahu lebih jauh kisah Andung Sadayu dan Layang Kinulis, temui Damang Antang di balai Riam. “ ujarnya sebelum meninggalkan kami.
Kami menatapi kepergiannya sampai ia hilang di kelokan jalan.
“ Lebih dari seabad yang lalu. “ gumamku.
“ Pasukan Belanda. “ Rizal juga bergumam. “ Agaknya Andung Sadayu dan La-    yang Kinulis hidup saat berlangsungnya Perang Banjar. Perang yang dicetuskan Pangeran Antasari itu bermula pada tahun 1859. “ Rizal membongkar pengetahuan sejarahnya.
“ Terus? “ desakku.
“ Di visiun kita tersebut-sebut soal benteng dan seorang tumenggung. Pada masa Perang Banjar banyak benteng didirikan, tersebar di berbagai tempat. Kemungkinan paling besar dalam kasus kita ini adalah Benteng Madang yang dipimpin oleh Tumenggung Antaluddin. Letak benteng ini tak jauh dari Kandangan. “
“ Lalu? “
“ Menurut cerita, setelah beberapa kali gagal menghancurkan Benteng Madang, Belanda melakukan serangan besar-besaran. Benteng Madang akhirnya berhasil mereka kuasai, tapi mereka cuma mendapatkan benteng yang kosong. Tumenggung Antaluddin dan pasukannya telah meninggalkan benteng melalui jalan rahasia. Belanda  kemudian membakar benteng itu. “
“ Belanda agaknya terus memburu, sampai ke kawasan ini, membakari balai Riam dan balai  Rampah Minjalin. “ aku membuat dugaan. “ Tapi kenapa cuma balai Riam dan Rampah Minjalin yang dibakar? “
“ Mungkin karena Andung Sadayu dan Layang Kinulis merupakan pengikut Tumenggung Antaluddin. “
Misteri itu mulai terkuak sekarang, tetapi masih terlalu banyak bagian-bagian yang kosong untuk dirangkai. Agaknya diperlukan waktu untuk menyambung dan me-     rangkai serpihan demi serpihan kehidupan Andung Sadayu dan Layang Kinulis.
Cil, “ aku memanggil pemilik warung, “ Di balai mana Apang tadi tinggal? “
Pemilik warung menggeleng. “ Tak tahu, “ sahutnya, “ Aku tak pernah melihat orang itu sebelumnya. “
Aneh. Warung ini satu-satunya, setiap orang yang akan ke Loksado atau yang hendak naik lebih ke atas lagi pasti akan melewati warung ini. Mustahil agaknya kalau pemilik warung tak pernah melihat si orang tua, apalagi orang tua itu memiliki pertanda khas yakni sorot yang tajam, rambut yang memutih dan kumis putih yang melintang be-   ngis.
Pemilik warung mungkin menyadari keheranan kami.Ia kemudian menyodorkan selembar daun kepadaku. Kuperhatikan daun di tanganku dengan tatapan tak mengerti.
“ Itu tadi uang yang beliau bayarkan. “
Aku pun terkesima. Aku tadi melihat jelas uang yang diserahkan si orang tua. Kenapa tiba-tiba berubah menjadi selembar daun? Ya, Tuhan, kawasan ini begitu banyak menyodorkan misteri, begitu banyak memampangkan realitas di balik realitas.
“ Beliau tadi orang gaib. “ jelas pemilik warung.
Ah, betapa tipis jarak antara dunia ini dengan dunia lain di baliknya. Dan betapa besarnya kekuasaan Tuhan dalam melakonkan ciptaan-Nya.
Kukembalikan daun itu. Si pemilik warung menolak.
“ Simpanlah. Beliau tadi nampaknya sengaja menunggu kalian di sini. “
Kusimpan daun itu ke dalam dompet. Rizal membayar minuman kami berikut minuman si orang tua. Sepanjang jalan menuju Loksado aku membayangkan lagi sosok si orang tua. Rambut putihnya yang agak berombak. Kumis putihnya yang melintang be- ngis. Sorot matanya yang tajam bagai mata elang. Tubuhnya yang tegap. Caranya berbicara. Gayanya berjalan. Astaga…pasti dia! Tak salah lagi!
“ Aku tahu siapa orang tua itu. “ ucapku kemudian.
“ Aku juga rasanya pernah melihatnya. “ ujar Rizal.
“ Dia adalah Damang Utai di visiun kita. “
“ Kalau begitu dia boss kita. “ Rizal menyelipkan canda.
Kami ketawa, menertawakan diri kami sendiri yang hidup seakan menjadi ba-      yang-bayang orang lain. Malam perlahan menyempurnakan diri. Loksado sudah di depan mata. Rizal kembali bernyanyi. Lagu yang tadi juga, You Are the Love of My life.
Aku tak berkeinginan untuk menimpali suaranya. Kepalaku seperti dijejali oleh berbagai pikiran yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Dan aku jengkel melihat kesantaian Rizal. Maka aku pun kemudian bernyanyi. Lagunya ini :

Burung Kakaktua
Hinggap di jendela
Nenek sudah tua
Giginya tinggal dua.

Gelak Rizal pecah. Ia gemas, mengacak-acak rambutku. Ketawaku berderai. Sambil berlari kecil kutirukan nyanyian Rizal dengan suara yang sengaja amat disumbangkan. Rizal tambah gemas. Dia mengejarku. Seperti dalam film romantik kami berlarian memasuki Loksado.
Loksado ramai sekali malam itu. Rombongan orang-orang yang akan mengikuti kegiatan lintas alam dan arung jeram besok hari maupun para pengunjung yang akan menyaksikan Bawanang besok malam sudah berdatangan. Mereka mendirikan kemah-kemah di lapangan kecamatan, sebagian yang lain menginap di rumah-rumah penduduk.
Pasar yang biasanya cuma ramai seminggu sekali, menjelang hari pasar, nampak semarak. Warung-warung, toko kecil dan pedagang-pedagang kaki lima menawarkan berbagai barang. Di sebuah warung, aku dan Rizal mengisi perut dan menyiapkan diri untuk mendatangi balai Riam.



*****



B
alai Riam yang kami datangi letaknya tak jauh dari pinggir sebuah anak sungai. Bangunan segiempat panjang berdinding palupuh[38]  berlantai bambu beratap daun rumbia itu disangga oleh tiang-tiang yang kukuh. Luasnya sekitar 400 meter persegi. Dihuni oleh 11 jiwa, 23 kepala keluarga.
Aku dan Rizal menaiki tangga limpang[39]  yang ada di pintu balai, melangkah masuk dengan perasaan harap-harap cemas. Rasanya kami berada pada sebuah ruang ke-     ingintahuan yang diimbangi oleh kecemasan terhadap munculnya kekuatan-kekuatan magis yang tak terlawan, seperti kecintaan dan kekuatiran atas kelengangan liar dari bukit-bukit indah berhutan lebat. Apalagi suasana magis itu langsung menyergap manakala memandangi perangkat upacara yang ada di tengah balai, sementara hidung mencium harumnya bau dupa, bau yang sebenarnya ingin kami hindari.
“ Ini yang namanya Lalaya? “ tanyaku, menunjuk ke arah perangkat upacara yang ada di tengah balai.
“ Betul. “ sahut Rizal. “ Fungsinya sebagai sentral upacara, wadah singgah        makhluk-makhluk halus dan wadah meletakkan sesaji. “
Kupandangi perangkat upacara itu. Lalaya berbentuk seperti limas, terbuat dari bambu kuning dan kayu pulantan yang menyatu dengan lantai balai, berhias rumbai-rumbai pucuk enau diselingi kembang-kembang hutan. Rusuk limas paling atas membujur berbentuk ular yang mulutnya menganga ke arah pintu balai. Di depan lalaya, terdapat Campan Nini Bahatara, terbuat dari sebatang bambu yang menusuk papan-papan berbentuk lingkaran. Menurut  Rizal, banyaknya lingkaran papan menunjukkan lamanya aruh[40] . Kulihat kali ini lingkaran itu ada tiga, berarti aruh akan dilaksanakan selama tiga hari. Di depan Campan Nini Bahatara ada lagi perangkat yang dinamakan Sangkar Ma-   yang. Di belakang Lalaya ada Sangkar Galung dan Mahligai Ading.
“ Boleh kita membuat foto? “
“ Boleh. “
Aku memotret dari berbagai sudut. Seorang lelaki tua mendatangi kami.
Damang…” Rizal menyapa.
Ternyata lelaki itu Damang Antang, Kepala Suku Bukit hunjuran Meratus. Usianya kutaksir sudah melewati 70 tahun.
“ Zal, siapa temanmu ini? “ suara Damang Antang terdengar agak bergetar.
“ Reynida, datang dari Banjarmasin hendak menyaksikan Bawanang. “
Aku mengangguk hormat seraya menyunggingkan seulas senyum. Damang Antang berhal serupa.
“ Datang bersama rombongan? “ tanya Damang Antang.
 “ Tidak. Sebenarnya aku sudah beberapa hari ini. “ sahutku.
Damang, bolehkah kami melihat kerangka yang didapat di Haratai itu? “ kata Rizal, langsung ke pokok persoalan.
“ Boleh. Mari ke ujukku. “
Kami pum melangkah mengiringi Damang Antang menuju ujuknya. Di tengah ujuk, di atas hamparan kain kuning, kedua kerangka itu dibaringkan bersisian. Di dada masing-masing diletakkan sebilah mandau, pastilah itu mandau yang tertanam bersama kerangka itu di bawah kariwaya Haratai. Tak jauh dari kepala, sebuah parapin mengepulkan asap, menguarkan harum dupa yang sengit.
Dalam ruang redup berbau dupa, menghadapi dua kerangka tiruan saja sudah membuat hati bergetar, apalagi ini rangka manusia yang sebenarnya. Tak heran kalau sebelah tanganku kemudian menggenggam lengan Rizal.
“ Mau memotret, Rey? “ tanya Rizal.
“ Tidak. Biar mereka tenang di alam sana. “ sahutku.
“ Betul, biar beliau berdua tenang di patilarahan. “ sambung Damang Antang.
Damang, kami sebenarnya ingin mendengar kisah tentang Andung Sadayu dan Layang Kinulis. “ kata Rizal pada Damang Antang.
“ Terutama kisah setelah pertarungan di air terjun Haratai. “ tambahku.
“ Sudah kuduga. “ sahut Damang Antang seraya menyungging senyum.
Ucapan dan sikap Damang Antang yang seperti telah mengetahui lebih dahulu maksud kedatangan kami membuat aku dan Rizal saling pandang sejenak. Damang Antang menyulut rokok. Sejenak matanya menerawang, seakan mengumpulkan ingatan terhadap masa lalu.
“ Setelah pertarungan di air terjun Haratai itu Andung Sadayu dan Layang Kinulis kembali ke Benteng Madang, berjuang bersama Tumenggung Antaluddin untuk mengusir Belanda. Saat Benteng Madang tak bisa dipertahankan lagi, Tumenggung Antaluddin memerintahkan pasukan meninggalkan benteng, berpencar dan meneruskan perjuangan secara gerilya. “
Aku dan Rizal saling pandang, sama merasa bahwa dugaan kami senja tadi benar adanya.
“ Andung Sadayu dan Layang Kinulis kembali ke balai Riam sebab Layang Kinulis saat itu tengah hamil tua. Di balai itu beliau melahirkan seorang putra yang kemudian diberi nama Sawang Panjalin. Kira-kira enam bulan kemudian, pasukan Belanda datang menyerbu. “ Damang Antang melanjutkan kisahnya.
“ Tentu  ada sebabnya kenapa pasukan Belanda sampai ke balai Riam. “ ucapku.
“ Mereka dibawa oleh Simbar Rasinga. “ ada nada geram di suara Damang Antang.
“ Simbar Rasinga? Jadi orang itu tidak mati di air terjun Haratai? “
“ Ya. Kedengkian dan dendam membuatnya jadi pemandu ke balai Riam. Terjadi pertempuran hebat. Di situ Andung Sadayu berhasil membunuh Simbar Rasinga, tapi beliau sendiri kemudian gugur oleh peluru Belanda. Peluru itu sengaja dibuat dari emas sehingga mampu memecahkan kekebalan tubuh beliau. Layang Kinulis juga mengalami nasib yang sama. Sementara balai Riam kemudian dibakar oleh Belanda. “
Aku dan Rizal sama tertunduk. Rasa haru mengepung lantaran mendengar akhir kehidupan Andung Sadayu dan Layang Kinulis. Keakhiran yang heroik memang, tetapi agaknya mereka gugur terlalu dini, barangkali belum 25 tahun usia mereka saat itu.
“ Sisa-sisa orang balai Riam kemudian mengubur jenazah Andung Sadayu dan Layang Kinulis dalam satu liang. Damang Utai menanam sebatang kariwaya di atas kubur sebagai tanda peringatan. “
“ Kariwaya? “ seru Rizal. “ Jadi mereka ini….” Suara Rizal tersekat seperti di tenggorokan, cuma matanya yang memandang ke arah dua kerangka yang terbujur bersisian di hadapan kami.
“ Ya. Ini jenazah Andung Sadayu dan Layang Kinulis. “ Damang Antang menyahut dengan mantap.
Sunyi sejenak. Dari bawah balai kedengaran suara lolong anjing dan dengus babi. Lolong anjing itu mirip erang sehingga tanganku kian keras mencekal lengan Rizal.
“ Dari mana Damang yakin kalau ini jenazah beliau berdua? “
Pertanyaan yang diajukan Rizal itu tepat sekali, soalnya kadang antara mitologi dan kenyataan berbaur jadi satu sehingga sukar dibedakan atau dipilah.
“ Sejak aku kecil, setiap akan memulai musim tanam padi atau setelah selesai Bawanang, kakek membawaku ke bawah kariwaya yang rebah itu, menziarahi kubur padatuan[41]ku sekaligus memohon restu mereka. “
“ Apa hubungan Kakek Damang dengan Andung Sadayu atau Layang Kinulis? “ tanyaku, mendesak untuk memperoleh kepastian.
“ Kakekku bernama Sawang Panjalin, anak Andung Sadayu dan Layang Kinulis. “
Sepi lagi. Lama. Damang Antang membiarkan kami mengencanakan pikiran di alam kesepian itu. Duh, jadi ini jenazah orang yang selama beberapa waktu ini memasuki hidup kami? Akal sehatku sebenarnya menolak untuk mempercayai semua itu, tapi kenyataan yang terpampang, peristiwa-peristiwa yang terjadi, visiun-visiun aneh yang semula tak diketahui ujung pangkalnya, ditambah penuturan amat meyakinkan dari Damang Antang, mau tak mau harus dipercayai. Lalu, apa makna semua ini? Apa yang tersirat di balik hal yang tersurat ini?
Damang…” suaraku akhirnya memecah sepi, “ Terus terang selama beberapa  hari ini beliau berdua sering merasuki diri kami. “ lanjutku mengungkai masalah.
“ Beliau juga sering merasukiku. “ sahut Damang Antang. “ Ketenangan beliau di patilarahan agaknya terusik oleh tumbangnya kariwaya itu. “
“ Lalu apa hubungannya dengan kami? “
“ Itu rahasia Yang Maha Kuasa. Kita cuma bisa menebaknya atau menghubung-hubungkannya dengan hukum sebab-akibat. “
“ Maksud Damang? “
Damang Antang tak segera menyahut. Dari balik kepulan asap rokok ia kembali memandangi wajah kami.
“ Pada penglihatanku, wajah padatuan bagai pinang dibelah dua dengan wajah kalian. Karena itu, barangkali saja Yang Maha Kuasa hendak mempertemukan kalian lewat perantaran lintasan hidup padatuan. “
“ Jelasnya bagaimana? “ kejarku.
“ Yaahh, mungkin kalian telah ditakdirkan berjodoh sebagaimana padatuan dulu berjodoh, dan Yang Maha Kuasa membukakan jalan bagi terlaksananya perjodohan itu lewat peristiwa-peristiwa yang kalian alami. “
Andai lampu di ujuk itu terang tentulah terlihat betap merah wajahku. Rizal mendehem, membuang rikuh. Damang Antang ketawa.


*****





Peristiwa Lima
Minggu, 10 Juli 1988


S
eratus meter menjelang balai Riam jalanan diterangi oleh jejeran obor. Cahaya obor itu berlenggang-lenggok diterpa angin malam yang dingin. Kuambil syal dari tas lalu melilitkannya ke leher untuk mengurangi susupan hawa dingin itu. Celoteh dan tingkah romantis anak-anak muda yang berjalan di depan maupun di belakang kami kadang membuat aku dan Rizal tersenyum.
Balai Riam dipadati manusia. Para pengunjung yang kebanyakan anak-anak muda itu duduk berdesakan di lantai bambu. Suasana mistis yang mengurung membuat mereka mengikuti upacara Bawanang dengan khidmat.
Di arena upacara, beberapa balian tengah melakukan upacara mamalas lalaya. Mereka batandik membawa air mengelilingi lalaya empat putaran. Sementara itu bakul-bakul warga balai mulai dikumpulkan. Bakul itu berisi beras. Banyaknya beras dalam bakul diukur dengan perolehan padi setiap kepala keluarga. Jika beroleh setengah kuyan[42] padi maka beras yang dimasukkan ke dalam bakul sebanyak 2 liter. Di dekat bakul-bakul itu diletakkan sesaji berupa aneka kembang, lemang, ringgitan[43], dan giling pinang yang terletak di atas seludang mayang pinang. Ditempatkan juga sebuah bakul salah[44] berisi ringgitan, lemang dan beras.
Gendang, serunai bambu dan gong perlahan menyuara. Balian Guru[45] mulai merapal mamang, lalu batandik mengelilingi lalaya. Di belakangnya dua orang balian lain mengiringi, membawa bakul salah dan ringgitan. Setelah empat kali mengelilingi lalaya, bakul salah digantungkan di pintu balai. Bakul-bakul warga balai segera dimasukkan ke dalam lalaya.
Kini seluruh balian berkumpul. Tiap kepala keluarga menyerahkan minyak kelapa dan kapur. Minyak kelapa kemudian dicampur ke dalam sebuah piring putih, kapur diletakkan di selembar daun pisang. Para balian secara bersama merapal mamang di-   iringi gemerincing galang hiyang. Mereka kemudian meminyaki rambut dengan minyak kelapa, membuat tanda cacak-burung di kaki dengan kapur, serta membubuhkan tanda balian di lengan dalam bentuk tujuh garis lurus.
Bawanang pun dimulai. Berawal dari upacara babalian ka bandang, upacara pemujaan dan terima kasih kepada cahaya.
Derap kaki para balian di lantai bambu, alunan musik sakral dan daya magis mamang, perlahan melilitku, lalu menghelaku ke suatu tempat yang entah di mana. Tahu-tahu aku telah memijakkan kaki di atas jalan yang lebar dan lurus. Seberkas cahaya pelangi menerangi. Angin pun membawa semerbak bau wangi. Bukan wangi dupa. Bukan wangi menyan putih. Bukan wangi garu. Bukan pula wangi bunga. Wangi yang entah apa. Akal dan perasaanku tak mampu lagi menerka, tak mampu lagi memahami.
Lintang jalanan ternyata berujung pada sebuah lembah. Rumput-rumput muda tumbuh tebal, terhampar bagai permadani. Bunga-bunga yang tak kukenali tengah berada dalam musim mekar, beragam warna berpadu membentuk komposisi lukisan maha indah. Di tengah lembah terdapat sebuah balai, tiang-tiangnya besar sepemeluk orang, entah terbuat dari kayu apa, kuning keemasan warnanya.
Ketika kakiku hendak menaiki tangga limpang, terdengar suara dari dalam balai. Suara seorang wanita.
“ Jangan masuk. Belum waktunya engkau masuk ke balai ini, masih banyak hal yang harus engkau lakukan dalam kehidupanmu. “
Dari dalam balai muncul tiga sosok tubuh. Damang Utai yang penuh perbawa, Andung Sadayu yang memancarkan kesan kejantanan, dan Layang Kinulis yang cantik bagai bidadari.
“ Andikakah yang mengundangku ke sini? “ tanyaku perlahan.
“ Ya, sekadar memenuhi janji pertemuan kita. “ sahut Damang Utai.
Aku jadi ingat peristiwa di Banjarmasin beberapa waktu lalu tentang janji pertemuan di Loksado. Janji memang hutang yang wajib dibayar. Kini mereka telah menunaikannya.
“ Ini pertemuan terakhir kita? “ tanyaku penuh harap lantaran kepingin segera ke luar dari daya isap rawa dupa.
“ Benar. Setelah ini tabir rahasia antara dunia kita akan kembali tertutup. “ sahut Layang Kinulis.
“ Lalu apa yang selanjutkan harus kulakukan? “
“ Jalani takdirmu. Yang Maha Kuasa telah memilihkan hal terbaik bagi lintasan kehidupanmu. “ kini Andung Sadayu yang bersuara.
“ Mari kami antar engkau pulang. “ kata Damang Utai.
Kami berjalan bersama sampai ke ujung lembah. Sekejap kemudian pandang mataku mengabur. Bunyi musik, mamang dan derak lantai bambu yang ditandiki para balian kembali masuk pendengaran. Seiring dengan itu rasa haus menyengat kerong-    kongan.
“ Zal, masih adakah minuman kita? “ kataku setelah menggamit lengan Rizal.
Rizal mengangguk, membuka tas dan mengeluarkan botol Aqua. Rasa dahaga membuat aku menghabiskan minuman itu hampir lebih dari setengah botol.
“ Haus sekali, Rey? “ usik Rizal.
“ Visiun itu datang lagi. “ sahutku. “ Agaknya ini yang terakhir. “
“ Berarti kita akan kembali sepenuhnya menjadi diri kita sendiri? “
“ Kuharap begitu. “
Kami sama tersenyum. Di tempat upacara para balian tengah beristirahat sebelum memasuki upacara berikutnya. Sebuah acara hiburan digelar, tari babangsai. Konon acara ini juga merupakan acara untuk mencari jodoh bagi pemuda dan gadis-gadis suku Bukit.  Mereka menari bersama dalam lingkaran-lingkaran, berputar mengelilingi lalaya.
Damang Antang mendatangi kami. Dia menarik aku dan Rizal ke dalam lingkaran para penari itu. Anehnya, aku dan Rizal secara sempurna dapat mengikuti gerak babangsai padahal baru malam ini aku melihat tari itu.

*****






Peristiwa Enam
Senin, 11 Juli 1988



H
idup ini aneh memang. Kadang muncul hal-hal yang tak bisa dilogikakan. Kadang ada jeratan teka-teki yang tak menemu jawab. Dan kadang juga nampak sebagai sebuah misteri yang terbuka dengan sendirinya. Sebagaimana kata Damang Antang, kesemuanya merupakan rahasia Yang Maha Kuasa dalam melakonkan ciptaan-Nya.
Barangkali Andung Sadayu dan Layang Kinulis, sang padatuan Damang Antang, terusik ketenangannya di patilarahan lantaran tumbangnya kariwaya itu. Barangkali pula mereka ingin lintasan kehidupannya diketahui oleh kalangan yang lebih luas. Dan barangkali juga mereka sekadar dijadikan perantara oleh Yang Maha Kuasa untuk mempertemukan aku dan Rizal. Semuanya barangkali. Kalau ada juga hal yang jelas maka itu cumalah kesepakatan antara aku dan Rizal untuk membiarkan berbagai peristiwa yang kami alami mengalir seperti air. Biarlah semuanya tetap seperti sediakala, sebagaimana adanya, tak perlu dicari di mana hulunya, tak perlu pula diburu di mana hilirnya. Yang kami genggam cuma maknanya, makna yang berpulang pada kebesaran dan kekuasaan Sang Pencipta.
Berbekal sikap macam itulah kami bersiap meninggalkan balai Riam, meninggalkan salah satu episode hidup untuk dikubur oleh sang waktu. Kami sudah sampai di ambang pintu balai ketika Damang Antang memanggil dan mengajak memasuki ujuknya.
Di situ kulihat rangka Andung Sadayu dan Layang Kinulis sudah rapi terbungkus kain putih, tinggal menunggu waktu untuk dimakamkan.
“ Di mana beliau akan dimakamkan? “ tanya Rizal setelah kami duduk.
“ Di suatu tempat yang nyaman dan rindang. “ sahut Damang Antang, tanda tak ingin kubur padatuannya itu diketahui oleh orang luar.
“ Mungkin lusa aku pulang ke Banjarmasin. “ ucapku. “ Terima kasih atas pela-   yanan Damang selama aku di sini. “
Damang Antang tersenyum. Pandang matanya memintas ke arahku.
“ Tidak berminat untuk menetap dan berkebun di sini? “ ia melontarkan kalimat bersayap, kalimat yang dengan jelas kami ketahui ke mana arahnya.
Sebenarnya hatiku mengatakan bahwa minat untuk itu sudah mulai bertunas, bakal berkembang atau layu di genggaman sang waktu tergantung pada proses pemupukan selanjutnya.
“ Bukankah Damang mengatakan bahwa hal semacam itu merupakan rahasia Yang Maha Kuasa? “ kilahku.
Damang Antang ketawa. Rizal kulihat menggigit bibirnya, menahan tawa melihat kerikuhanku.
“ Itu masalah kalian, “ ujar Damang Antang kemudian, “ Cuma jika ujungnya nanti tidak berbuhul janganlah mengulang lintasan hidup padatuanku dahulu, jangan ada sosok Simbar Rasinga. “ tambahnya, mengungkai kebijakan orang tua yang berguru pada pengalaman.
“ Nah, sebelum kalian pulang aku ingin menunaikan pesan padatuan yang kuterima saat upacara tadi malam. “
“ Pesan untuk kami? “
“ Ya. Beliau berdua berpesan agar aku menyerahkan kedua bilah mandau milik beliau pada kalian….”
“ Kepada kami? “ aku mengulang ucapan Damang Antang.
“ Betul. “
Damang, kedua bilah mandau itu adalah pusaka balai Riam. “ kata Rizal. “ Tak terpisahkan dari beliau berdua, jadi saksi cinta dan perjuangan yang patut diteladani oleh segenap keturunan balai Riam. Mungkin kami kurang mampu untuk merawat kedua bilah mandau itu. Jadi…. “
“ Aku mengerti maksudmu, Zal. “ Damang Antang menukas ucapan Rizal. “ Aku berharap semoga kedua mandau itu juga akan jadi saksi cinta dan perjuangan kalian dalam kancah kehidupan ini. “
Tangan kami gemetar saat menerima kedua mandau itu. Senjata peninggalan Andung Sadayu dan Layang Kinulis itu sudah diberi hulu dan sarung yang baru. Sarung berukir motif Pohon Hayat yang telah distilir, hulu berbentuk kepala tingang dan kepala naga.
“ Rawatlah baik-baik. “ ujar Damang Antang.
“ Terima kasih, Damang, kami mohon permisi. “
Damang Antang mengantar kami sampai ke pintu balai. Pagi masih amat muda, berkas-berkas cahaya matahari perlahan tapi pasti mengusir anak-anak kabut yang masih berumah di ranting-ranting.


*****


 S
iang itu kami ada di kebun, berkeliling sambil membersihkan saluran air. Saat kami melepas lelah di bangunan “payung terkembang” acil Ifah datang mengantar seorang lelaki berpakaian parlente. Melihat lelaki itu wajah Rizal berubah dingin, jangankan menyambut ber-diri saja pun tak dilakukannya.
“ Kenalkan, Rey. Ini Surya Kusumawardhana, kakakku, sang pemilik HPH. “ katanya padaku.
Aku dan lelaki itu saling angguk.
“ Kalau engkau ingin belajar cara menerapkan ilmu ekonomi yang baik, engkau boleh minta petunjuknya. “ ada nada sinis di ucapan Rizal.
Keningku berkerut. Hubungan dua saudara ini nampaknya cukup renggang. Perbedaan pendapat dan sikap hidup mereka telah membuat hubungan darah nyaris terabaikan.
“ Ada yang ingin kubicarakan, Zal. “ kata Surya kemudian.
“ Duduklah, tapi maaf tempatnya agak kotor. AC-nya cuma AC alam. “
“ Maaf. Aku mau membantu kerja Farida. “ kataku sambil melangkah meninggalkan mereka.
Kubantu Farida yang tengah memindahkan ikan-ikan besar ke kolam khusus. Para langganan mereka besok akan datang mengambil ikan-ikan itu.
“ Hutan-hutan kita? “ suara Rizal kedengaran ke telinga kami lantaran bernada tinggi dan getas. “ Dulu engkau dengan lantang berkata : aku yang mengelola hutan-hutan itu, Zal, karenanya jangan turut campur urusanku. Dan sekarang, setelah hutan-hutan itu rusak, engkau mengatakan hutan-hutan kita. “
“ Aku mengaku salah, Zal. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki diri. “ sahut Surya.
Suara mereka kembali merendah sehingga kami tak lagi jelas mendengarnya.
“ Kekayaan ternyata bukan merupakan jaminan bagi keharmonisan dan kebahagiaan sebuah keluarga. “ komentar Farida.
“ Yaah, tergantung orangnya dan cara pengelolaannya. “ sahutku. “ Percepatan yang muncul akibat perubahan zaman memerlukan selektivitas yang ketat agar tak kehilangan pegangan dalam mengakomodasi nilai-nilai. “
“ Mmhh, pandanganmu agaknya hampir sama dengan Rizal. Hal itu akan menjadi faktor pemudah untuk melangkah lebih jauh. “ ejeknya.
“ Maksudmu apa? “
“ Sudah gaharu cendana pula. “
Kami ketawa. Semua orang yang kukenal di sini agaknya telah membuat kesimpulan yang sama terhadap arah hubunganku dengan Rizal.
“ Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. “ kataku.
“ Jangan terlalu lama untuk mengambil kesimpulan. “ balas Farida.
Rizal kemudian muncul, wajahnya terlihat agak keruh.
“ Bagaimanapun jua dia Kakakmu, Zal. “ kataku. “ Darah yang mengalir di tubuhnya adalah juga darah yang mengalir di tubuhmu. “
“ Dia datang membawa persoalan baru, tapi juga nempaknya ada perubahan sikap. “
“ Ke arah yang lebih baik? “
“ Nampaknya. Katanya, suatu malam ketika pulang dari Batu Licin menuju Banjarmasin, di daerah Sungai Danau dia terkurung banjir yang datang tiba-tiba. Dia hampir mati, untung bisa ke luar dari mobil setelah berhasil memecahkan kaca depan. Dia melihat dan merasakan sendiri derita orang-orang yang terkena bencana itu. Lalu dia merasa semua itu merupakan teguran hutan padanya. Maut yang begitu dekat, derita orang-orang yang dilihatnya, membuatnya menyadari kebenaran kata-kataku tentang akibat penggundulan hutan.
“ Katanya lagi, dia ingin memperbaiki diri. Lalu memintaku untuk menghijaukan kembali areal hutan yang sudah digundulinya. “
“ Jawabmu apa? “ kejarku.
“ Kataku, akan kupikirkan. Lalu dia pulang. “
“ Kenapa harus dipikir lagi? Bukankah selama ini justru perubahan semacam itu yang engkau harapkan? “
“ Itu baru katanya, belum tentu kenyataan. Bisa saja karena takut kena denda pemerintah dia lalu buru-buru menghijaukan areal agar izin HPH-nya tidak dicabut. “
“ Zal, engkau sering bicara tentang pelestarian hutan-hutan. Tapi ketika Kakakmu meminta tindakan nyata, engkau malah seperti enggan melakukannya. Jangan terjerat hipokrisi, Zal. Biarlah orang lain jadi manusia hipokrit, jangan engkau.
“ Nanti, jika Kakakmu tidak berubah juga, itu urusan akan datang. Tapi engkau telah tunaikan kewajibanmu, telah membuktikan satunya kata dengan perbuatan. “
“ Akur, Rey. “ dukung Farida. “ Manusia yang satu ini memang lama tidak dikasih sambal yang pedas. “
Rizal menggaruk-garuk kepala. Acil Ifah datang lagi., kali ini membawa kabar bahwa makan siang sudah siap.


*****



























Peristiwa Sekian
Minggu, 31 Juli 1994



dalam doa malamku, aku mencoba menafsirimu
dan berguru pada tetes hujan yang bersunyi
di rumah tiram sebelum menjelma mutiara

dalam doa subuhku, aku mencoba menafsirimu
dan berguru pada embun yang membisikkan
rahasianya di rajah daun

dalam doa siangku, aku mencoba menafsirimu
menangkapi isyarat-isyarat mercu
bahasa purbani kerdip matamu

ma, aku mencintaimu
itu sebabnya
aku tak pernah selesai menafsirimu



“ H
uuu, kental sekali pengaruh Sapardi Djoko Damono di situ. “ ejekanku terlontar setelah membaca kata-kata yang tertulis di layar monitor komputer.
Rizal ketawa. Ia menghentikan gerak mouse yang hendak membuat sedikit illustrasi di layar.
“ Puisi konon perasaan paling fitri dari penulisnya. Dan puisi ini kutulis khusus untukmu. “ ujarnya kemudian.
“ Merayu dengan puisi sekarang sudah tak laku lagi. “ aku menambah ejekan.
“ Kalau begitu aku akan merayu dengan cara yang lain. “
“ Cara apa? “
Rizal tak menyahut. Ia cepat berdiri, tangannya meraih pinggangku. Aku meronta, rontaan pemanis suasana. Lantas mataku malu menatap wajah yang rapat di wajahku. Maka aku memejam. Rambatan lunak singgah di bibirku. Terasa lembut. Terasa hangat. Serasa madu. Serasa air suam kuku.
“ Mama! Papa! “
Sebuah suara mengumandang. Seraut wajah anak perempuan muncul di pintu ruang kerja. Wajah buah cinta kami. Di tangannya tergenggam tangkai-tangkai rambutan.
“ Rambutan di kebun sudah mulai masak, Ma. “ ujarnya.
Rizal merengkuhnya ke dalam pelukan, menggendongnya ke luar. Aku mengi- ringi. Di ruang tamu, mataku sekilas melirik ke arah dua bilah mandau yang tergantung di dinding. Di antara kedua mandau itu terpajang sebuah perisai berukir, hadiah Damang Antang sewaktu perkawinan kami dahulu.







Kandangan - Loksado
Oktober 1997





























Sinopsis

R
eynida, seorang wanita wartawan koran La-Bastari, dirasuki oleh visiun-visiun aneh yang menghubungkan dirinya dengan kehidupan masa lalu, masa yang berjarak lebih dari satu abad dari hari-hari kehidupannya. Semerbak bau harum dupa yang mengawali jeratan masa lalu itu seperti sebuah rawa yang mengisap dan menenggelamkan dirinya ke dalam gelimang darah, cinta dan kebencian.

P
enelusuran terhadap visiun aneh tersebut membawanya ke Loksado, sebuah tempat di hunjuran Pegunungan Meratus,  kawasan tradisional orang-orang suku Bukit. Di perjalanan itu Rey bertemu dengan seorang lelaki bernama Afrizal Kusumawardhana, lelaki yang merupakan bagian dari kehidupannya di rawa dupa. Ternyata Afrizal, seorang penulis yang se-   ring mengirimkan kolomnya ke koran Rey, juga menerima visiun yang sama.







DAFTAR ALIH KATA BAHASA BUKIT DAN BANJAR


Peristiwa Satu

Babun = gendang
Balai = rumah besar, rumah adat suku Bukit
Balian = dukun; penghubung/perantara antara dunia nyata dengan dunia supranatura
Batandik = menari dengan gerak dominan pada hentakan kaki
Cacak-burung = tanda berbentuk tanda tambah (+), lambang penolak bala
Damak = anak sumpitan berbisa
Damang = kepala suku
Galang Hiyang = gelang dari perunggu, besarnya kira-kira sebesar telunjuk
Lalaya = bangunan berhias janur pucuk enau yang merupakan sentral upacara, wadah 
               meletakkan sesaji  dan dipercayai merupakan tempat singgah makhluk-makhluk 
               gaib
Mamang = mantera
Ning Diwata = Yang Maha Kuasa dalam kepercayaan suku Bukit
Panting = alat musik sejenis gambus
Patilarahan = dunia arwah
Putir = penjaga (makhluk gaib, dewa-dewa)
Sangiyang = sanghiyang




Peristiwa Dua

Anting-anting baruntai = anting-anting yang diberi runtai, terbuat dari emas tanpa per
                                        mata
Giling pinang = semacam sesaji, terdiri dar kapur, sirih, pinang, gambir dan tembakau
HPH = Hak Pengusahaan Hutan
Kambang goyang = hiasan di atas sanggul berupa kuntum kembang bertangkai panjang, 
                                 bisa berupa satu  tangkai terpisah bisa pula berupa rumpun
Laung dua lilit = tutup kepala dari kain yang dililitkan ke kepala sebanyak dua belitan,
                            ujungnya diikat di  belakang kepala
Luludung =sehelai sarung yang direntangkan di atas kepala pengantin
Mangumpang parang = seperti sarung parang
Pangulu = Penghulu; Kepala Adat
Parapah hayam = ayam masak yang dipanggang dan tidak dipotong-potong
Parapin = pedupaan dari tanah liat
Parang Maya = jenis magi hitam/black magic
Sinjang kain = sepotong kain (biasanya sarung lelaki), lambang kesungguhan niat
Taluk balanga = baju tangan panjang tanpa leher atau berleher rendah dan tegak

Tapih bahalai = sarung/kain yang ujungnya tidak dijahit/dipertemukan
Timbaran = nama sejenis kulit kayu
Ujuk = kamar pada balai



Peristiwa Tiga

Acil = Bibi; sebutan kekeluargaan untuk orang yang lebih tua.
Apang = Bapak; Ayah (bahasa Bukit)
Hirangan = sejenis kera berbulu hitam
Pian =  Anda, sebutan halus pada orang yang dihormati atau yang lebih tua.
Lulung = lumbung



Peristiwa Empat

Aruh = pesta; upacara
Padatuan = ayah dan ibu dari kakek, generasi keempat ke atas dari ego
Palupuh = gedek
Limpang = tangga dari sebatang kayu yang ditakik-takik untuk pijakan

.

Peristiwa Lima

Bakul salah = bakul penebus
Balian Guru = balian tertua, atau balian yang tertinggi ilmu/tingkatannya
Kuyan = ukuran perolehan padi
Ringgitan = perangkat upaca ra dari pucuk enau

.





[1] Ning Diwata = Yang Maha Kuasa dalam kepercayaan suku Bukit
[2] Putir = penjaga (makhluk gaib, dewa-dewa)
[3] Sangiyang = sanghiyang
[4] Damak = anak sumpitan berbisa
[5] Balai = ru,mah besar, rumah adat suku Bukit
[6] Batandik = menari dengan grak dominan pada hentakan kaki
[7] Lalaya = bangunan berhias janur pucuk enau yang merupakan sentral upacara, wadah meletakkan sesaji dan 
                dipercayai merupakan tempat singgah makhluk-makhluk gaib
[8] Mamang = mantera
[9] Balian = dukun; penghubung/perantara antara dunia nyata dengan dunia supranatura
[10] Galang Hiyang = gelang dari perunggu, besarnya kira-kira sebesar telunjuk
[11] Damang = kepala suku
[12] Cacak-burung = tanda berbentuk tanda tambah (+), lambang penolak bala
[13] Patilarahan = dunia arwah
[14] Babun = gendang
[15] Panting = alat musik sejenis gambus
[16] HPH = Hak Pengusahaan Hutan
[17] Parapin = pedupaan dari tanah liat
[18] Timbaran = nama sejenis kulit kayu
[19] Kambang goyang = hiasan di atas sanggul berupa kuntum kembang bertangkai panjang, bisa berupa satu 
       tangkai terpisah bisa pula berupa rumpun
[20] Mangumpang parang = seperti sarung parang
[21] Tapih bahalai = sarung/kain yang ujungnya tidak dijahit/dipertemukan
[22] Anting-anting baruntai = anting-anting yang diberi runtai, terbuat dari emas tanpa permata
[23] Ujuk = kamar pada balai
[24] Laung dua lilit = tutup kepala dari kain yang dililitkan ke kepala sebanyak dua belitan, ujungnya diikat di
       belakang kepala
[25] Taluk balanga = baju tangan panjang tanpa leher atau berleher rendah dan tegak
[26] Luludung =sehelai sarung yang direntangkan di atas kepala pengantin
[27] Pangulu = Penghulu; Kepala Adat
[28] Parapah hayam = ayam masak yang dipanggang dan tidak dipotong-potong
[29] Sinjang kain = sepotong kain (biasanya sarung lelaki), lambang kesungguhan niat
[30] Giling pinang = semacam sesaji, terdiri dar kapur, sirih, pinang, gambir dan tembakau
[31] Parang Maya = jenis magi hitam/black magic
[32] Hirangan = sejenis kera berbulu hitam
[33] Apang = Bapak;Ayah (bahasa Bukit)
[34] Pian =  Anda, sebutan halus pada orang yang dihormati atau yang lebih tua.
[35] Acil = Bibi; sebutan kekeluargaan untuk orang yang lebih tua.
[36] Lulung = lumbung
[37] Apang = ayah; bapak.
[38] Palupuh = gedek
[39] Limpang = tangga dari sebatang kayu yang ditakik-takik untuk pijakan
[40] Aruh = pesta; upacara
[41] Padatuan = ayah dan ibu dari kakek, generasi keempat ke atas dari ego.
[42] Kuyan = ukuran perolehan padi
[43] Ringgitan = perangkat upaca ra dari pucuk enau
[44] Bakul salah = bakul penebus
[45] Balian Guru = balian tertua, atau balian yang tertinggi ilmu/tingkatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar