Rawa Dupa
Peristiwa Satu
Senin, 4 Juli 1988
Berikan
kepadaku, yang kecapaian dan yang ter-belenggu, yang berdesakan dan rindu untuk
bernafas di langit bebas, yang kaupersampahkan di kepengaban kampung-kampung.
Biarkanlah mereka lepas ke pangkuanku, yang gelandangan dan terhempas. Kupasang
pelita penunjuk gerbang emas ini, yang selalu menunggu…
B
|
unyi tik-tak mesin tik terhenti. Sekejap mataku menyapu rangkaian
kata di atas kertas. Tanganku bergerak menjangkau cangkir berisi air putih,
menghirupnya beberapa reguk, meletakkan cangkir, lalu meneruskan ketikan.
Puisi
Emma Lazarus yang tertulis di pijakan kaki Patung Wanita Pembawa Obor Kebebasan
ciptaan Frederick Auguste Bartholdi—yang melambangkan kelahiran bangsa
Amerika—di gerbang pelabuhan New York
itu tentulah akan menjadi salah satu fokus dalam perayaan kemerdekaan Amerika
Serikat ke 212. Di sisi lain puisi dan patung tersebut terasa bernoda darah,
darah dari orang-orang tak berdosa. Betapa tidak, insiden di Teluk Hormuz, 2
Juli tadi, saat kapal perang AS Vincennes menembak jatuh pesawat Airbus A 300 B
milik penerbangan komersial Iran, benar-benar merupakan coreng arang sekaligus
tra-gedi berdarah. 200 orang penumpang pesawat dengan nomor penerbangan 655 itu
tewas, sebuah angka korban tertinggi dalam sejarah pesawat sipil yang
dirontokkan militer.
Tik-tak mesin tik terhenti lagi. Lama.
Keningku berkerut beberapa lapis. Kemudian dengan jengkel kucabut kertas dari
roll. Sudah empat kali aku mengganti kertas, berarti empat kali pula aku gagal
membuat editorial untuk penerbitan lusa. Biasanya membuat editorial bukanlah
hal yang teramat sulit, malah menyenangkan. Semua bahan sudah tersedia, tinggal
mencari hal aktual dan patut diulas, lalu menyusun kalimat-kalimat. Tapi
sekarang?
Kuremas lembaran
kertas, mencampakkannya ke wadah sampah di sisi kursi. Sejenak kulenakan kepala
ke sandaran kursi, menghela nafas panjang, memenuhi dada de- ngan udara Banjarmasin yang gerah. Pikiranku mengembara,
memutar balik berbagai peristiwa yang baru saja terjadi di seluruh penjuru dunia.
Mulai dari pertemuan Presiden Soeharto dengan Menteri Negara Urusan Pertahanan
Jepang, Tsutumo Kawara, di Jakarta; diterimanya permohonan Letjen (Purn) Sarwo
Edhie Wibowo mundur dari keanggotaan DPR/MPR RI; demonstrasi antibasis militer
Amerika di Subic dan Clark, Filipina; penggunaan senjata kimia dalam Perang
Irak-Iran yang diakui Menteri Luar Negeri Irak, Tariq Azis; sampai terpilihnya
Amerika Serikat sebagai tuan rumah Kejuaraan Dunia Sepak Bola tahun 1994.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara
lolong anjing, sebuah lolongan panjang yang seram, irama lolong penggiring
langkah hantu-hantu. Di antara lolong itu kedengaran kelepak burung bersayap
besar, burung-burung yang terbang berbondong dan mengepak ritmis dalam satu
paduan. Kemudian masuk bunyi derak, seperti bunyi lantai bambu yang
diinjak-injak oleh sekian banyak kaki manusia. Di belakang derak itu, bunyi gendang
bertalu-talu, gemuruh. Di belakangnya lagi, bunyi serunai bambu, melengking
nyaring. Dan di belakangnya lagi, gong mendengung.
Suara-suara itu seperti berasal dari
dunia lain, menyusur malam, mengalir dan terhempas dari jeram khayali yang
entah di mana. Kian lama kian nyaring, seakan sumbernya kian mendekat.
Bulu-bulu di tubuhku langsung meriap ketika sehembusan hawa dingin menyusup ke
pembuluh darah.
Musik itu kemudian kukenali. Musik suku
Bukit yang menghuni kawasan lereng Pegunungan Meratus. Musik yang menggema
memanggili Ning Diwata[1],
para Putir[2]
dan para Sangiyang[3].
Musik yang mengangkat hakikat Sang Jata,
penjaga Alam Bawah yang berbentuk seekor naga. Musik yang menyambar hakikat
Sang Mahatara, penjaga Alam Atas yang
berwujud seekor tingang. Musik berbau
maut karena hakikatnya berisi kelebat mandau, parang, tombak dan bilah-bilah damak[4].
Musik Palas Darah atau musik upacara
berangkat perang!
Sumber musik maut
itu kedengarannya tak jauh, mungkin sekitar 10 meter dari rumah. Oohh, tidak!
Musik itu sekarang sumbernya ada di halaman! Duh, bukan di halaman, tapi telah
menyerbu pintu-pintu, menerobos jendela-jendela, menyusupi ventilasi-ventilasi!
Aku menggigil. Musik kini memenuhi ruang tempatku berada.
Berdentam-dentam. Mengurung. Melilit. Mengangkatku ke keluasan tanpa batas. Bau
dupa semerbak, bercampur harum bunga. Lalu meruap bau darah. Lalu lantai balai[5]
berderak. Belasan orang dengan mandau atau parang di tangan batandik[6]
mengelilingi lalaya[7].
“ Yeeaaa! “
Lengkingan yang ke luar dari mulutku perlahan menghentikan tandik itu. Musik Palas Darah melemah. Koor mamang[8]
para balian[9]
menggema seperti dengung lebah. Galang
hiyang[10]
gemerincing. Kami menggerakkan senjata, menoreh lengan kiri masing-masing.
Darah segar memercik, menetes ke lantai bambu. Gong mendentum dalam irama
cepat, menggasak malam dengan nada beragam. Sekian banyak orang di sekeliling,
lelaki dan perempuan, menghamburi kami dengan beras kuning bercampur aneka
kembang.
Dari arah matahari terbit Damang[11]
Utai batandik mendatangi,
tangannya membawa sebuah mangkok berwarna merah. Tetes-tetes darah ditampung ke
dalam cupu, dibawa batandik
mengelilingi lalaya tujuh putaran. Damang Utai kemudian menghadap ke arah matahari
tenggelam, berdiri tunggal kaki, mengangkat cupu ke depan dada.
Satu demi satu kami mendatangi, mencelupkan jari manis tangan kanan
ke dalam cupu dan mencoretkan darah ke dahi dalam bentuk cacak-burung[12]
. Aku pada giliran penghabisan. Setelah mencoretkan darah ke dahi aku
berlutut di hadapan Damang Utai.
“ Sekarang kita tengah berada dalam saat-saat genting. “ Damang Utai berucap. “ Kendati begitu bukan berarti kita harus
menyerah begitu saja. Perjuangan kita harus terus. “
“ Damang tak perlu kuatir.
“ sahutku mantap. “ Selama nafas masih ada kita akan terus berjuang. “
“ Demikianlah laku dan takdir orang suku Bukit. Sekarang
berangkatlah. Cari Panglima Andung Sadayu di benteng. Penuhi kewajiban kalian
dan songsong takdir Ning Diwata tanpa
rasa gentar. “
Aku mengangguk takzim. “ Sembah disusun restu diharap, jika kami
harus rebah jua ke bumi dalam genangan darah, iringi langkah kami ke patilarahan[13]
dengan sejumput doa. “
Musik Palas Darah, denting
galang hiyang dan kumandang mamang kini seakan bersaing menjangkau
nada-nada tinggi. Tombak, sumpitan dan bumbung bambu berisi bilah damak diambil dari lalaya. Tanpa bicara dan tanpa menoleh lagi kami bergerak ke luar balai. Berjalan menyeberangi sungai.
Menembus jubah malam.
Lolong anjing kembali merobek gendang telinga. Aku tersentak. Sayup
telingaku mendengar dering telepon. Mataku mengerjap beberapa kali, memandang
berkeliling kamar kerja. Tak ada yang berubah. Musik Palas Darah hilang suara. Balai,
lalaya dan orang-orang suku Bukit tak nampak bayangnya. Cuma tubuhku basah
oleh keringat. Tulang dan persendian terasa bagai dilolosi. Letih mendera
seakan habis melakukan suatu perjalanan jauh.
Telepon berdering lagi. Kali ini bunyinya menusuk pusat syaraf dan
memba- ngunkan rangsang kesadaran. Ya, Tuhan, apa yang baru saja terjadi?
Apakah tadi aku terlelap lalu terjerat mimpi? Lunglai aku melangkah ke ruang
tengah. Tanganku masih menyisakan getar saat mengangkat gagang telepon.
Suara Boss, demikian aku
biasa memanggil pimpinan redaksi koranku, masuk ke telinga. Pembicaraan
berlangsung singkat. Isinya, perintah untuk meliput acara pergelaran kesenian
di Taman Budaya, acara Parade Tari Daerah Banjar.
*****
L
|
elaki-lelaki berpakaian prajurit Kerajaan Banjar dengan keris di pinggang
dan tombak di tangan kiri berdiri berjajar di kiri-kanan pintu masuk auditorium
Taman Budaya, nampak gagah dan penuh wibawa. Kontras dengan mereka puluhan
wanita dalam dandanan putri keraton menyambut
ramah tiap pengunjung seraya menyerahkan buklet pergelaran. Di dalam gedung,
bau harum dupa mengambang. Dentang-dentang gamelan dalam irama ayakan alun menyuara, menjeratkan
suasana mistis yang setapak demi setapak menggandeng orang untuk bermimpi ke
balik dinding-dinding keraton Banjar yang penuh dengan berbagai mitos.
Tak lama setelah aku duduk lampu-lampu gedung padam, berganti lampu
sorot aneka warna. Tujuh penari wanita memasuki panggung, bergerak ritmis
mengikuti irama gamelan, membawakan tari Kenanga
Dalam ciptaan Pangeran Hidayatullah di tahun 1808. Tari itu menceritakan
keceriaan dan ketangkasan putri-putri keraton Karang Intan saat upacara memetik
kembang kenanga dengan menggunakan panah.
Seusai tari itu, gamelan berubah irama, mengungkai irama pedalaman.
Tujuh wanita dan tiga lelaki berpakaian suku Bukit memasuki panggung, menggelar
tari Tandik Balian. Hatiku berdebar,
ingat kejadian di rumah tadi. Maka kulemparkan tatapan impas ke panggung seraya
membiarkan imaji berlepas bebas. Pada puncaknya, aku merasakan adanya sungkupan
senyap, amat senyap. Sedikit demi sedikit kesadaranku diputar oleh
bintik-bintik beratus warna. Aku pun merasa mengawang, seperti ditarik pusat
semesta, ke luar dari pengaruh perputaran bumi, masuk ke hening jagat.
Di hening paling dalam, mendadak berkumandang suara teriakan. Teriak
kesakit-an. Teriak kematian. Lalu dentum senapan. Lalu gelegar meriam. Menyusup
bau mesiu. Mengurai bau darah. Ah, ah, maut pesta pora di padang ilalang. Awan gelap mengerikan
berlayar rendah di langit. Cahaya bulan setengah bayang menyodorkan pemandangan
yang mendirikan bulu roma. Mayat-mayat gelimpangan, telentang-telungkup,
tumpang-tindih, terkapar di antara kerimbunan ilalang, tersangkut di
semak-semak pinggiran padang.
Aku mendengus. Mataku yang saga menatap lima lelaki yang mengepungku. Pedang, tombak,
parang dan keris memburu tubuhku. Aku berkelebat lincah, mengelak dan
menangkis. Suatu saat aku melompat tinggi sambil menebaskan mandau. Darah memancur,
salah seorang lelaki itu tumbang. Belum sempat aku memperbaiki posisi sebilah
tombak memburu punggungku.
“ Awas! “ kudengar suara teriak memperingatkan.
Belum sirap kumandang suara itu, Andung Sadayu sudah ada di dekatku.
Mandaunya menangkis hunjaman tombak dan menebas tubuh pemegangnya. Jerit kematian
kembali bergema. Aku melepas senyum terima kasih lalu bergerak dalam langkah
segitiga. Mandauku kembali memakan korban seiring dengan robohnya orang keempat
oleh tebasan mandau Andung. Berbareng kami melompat. Mandauku memburaikan perut
lawan terakhir sementara mandau Andung singgah di leher orang yang sama.
Mendadak kurasakan sesuatu yang panas menembus bahuku, seperti bilah
parang yang berabad-abad direndam dalam neraka. Kugigit bibir, meredam teriakan
sakit yang hampir saja lepas dari mulut.
Kuatnya gigitan bibir mengembalikan kesadaran. Bunyi gamelan berupa
pukulan babun[14],
gesekan biola, petikan panting[15]
dan
dengung gong memasuki pendengaran. Setelah mengerjap-ngerjapkan mata aku
kembali menatap panggung. Di sana
tiga pasang lelaki dan wanita lagi menggelar tari Tirik Lalan.
Perlahan kuhapus keringat yang leleh dari pelipis. Ah, apakah yang
kualami tadi sekadar rangkaian imajinasi yang terlanjur berlepas bebas? Ataukah
rangsang suasana penuh mitos dan magis malam ini yang menyebabkan terciptanya
ekstase mistis dalam diri?
Pertanyaan itu tak jua menemu jawab, terus melilit hingga pergelaran
selesai. Dengan pikiran masih berbagi aku bergegas menuju tempat parkir. Di
situ tanpa sengaja aku menabrak seseorang.
“ Maaf… “ ujarku seraya menyunggingkan sebuah senyum.
“ Tak apa. “ ujarnya, juga disertai senyuman.
Kembang senyuman lelaki itu segera menyeretku kembali ke tengah padang pertempuran.
Seluruh jaringan tubuhku kini mengejang. Ya, Tuhan, wajah lelaki di hadapanku
ini adalah wajah Andung Sadayu yang tadi bersamaku di medan pertempuran!
Tatapan kami kini berbuhul. Sekejap. Dua kejap. Tiga kejap.
Berkejap-kejap. Lewat udara tipis yang membatas kurasakan usap matanya membelai
wajahku. Anehnya, aku sendiri merasakan adanya semacam jelujuran rasa rindu
yang telah lama tersekap.
Bibir lelaki itu seperti mengucap sesuatu tapi tak kedengaran apa
bunyinya. Nafasnya agak tersengal, kentara dari ombak dadanya. Kemudian tanpa
memutus buhul tatapan ia mundur selangkah demi selangkah. Menjauh. Sempat
kudengar hembusan nafas berat sebelum ia naik ke dalam sebuah Toyota Hard Top.
Mesin mobil itu kemudian menderum.
Aku membiarkan saja. Malam pun membiarkan saja. Cuma mataku yang tak
lepas mengikutinya sampai ia dan mobilnya hilang dari pandangan. Ada angin bersijingkat
lewat membawa berkas-berkas senyap. Aku mendesah, merangkul senyap sembari
membisikkan bahwa ada sesuatu yang tercabut dari rongga dadaku. Senyap
mengangguk dingin lalu tanpa permisi masuk ke dalam diri, bertahta di
singgasana dadaku yang ko- song. Maka
jadilah senyap dan aku meniti lamunan para pertapa.
*****
S
|
enyap biasanya merupakan kawan paling akrab. Dalam senyap aku bisa
berdialog dengan Sang Pencipta. Pada senyap kutimbai telaga kata yang menafasi
profesi kewartawananku. Bersama senyap aku bisa hanyut, tenggelam dalam
kepulasan yang manis. Tapi sekarang, duh, senyap justru berubah buas, tak henti
melecutku dengan cambuk berduri yang ujungnya berwujud wajah lelaki itu.
Aku ingin sendirian, pekikku dalam dada. Aku ingin sendirian. Tapi
di mana aku bisa sendirian kalau di dalam kamar tertutup ini pun lelaki itu
terus membayangiku? Gilanya, jauh di lubuk hati, aku merasa demikian
mengenalnya, demikian akrab, bahkan merasa ia merupakan bagian dari diri dan
kehidupanku. Tapi kapan dan di mana aku pernah mengenalnya? Dalam realitas
keseharian di Banjarmasin
ini ia adalah seorang makh-luk yang teramat asing. Dalam kehidupan selama di
Yogya ketika aku menimba ilmu di Publisistik Gadjah Mada ia tak pernah sangkut
di kornea mata. Bahkan di tumpukan paling bawah dari album hidupku yang
tersimpan di lemari waktu ia pun tak terekam. Jangankan akrab dengannya, siapa
dia pun aku tak tahu. Lalu kenapa sekarang ia terasa demikian dekat?
Aku jadi seperti cacing penggal di atas ranjang. Kutekan bantal
keras-keras ke wajah. Lama. Sampai paru-paru menjerit dan jantung meronta minta
udara. Aku tersengal. Pelipis kian berdenyutan. Aku meregang. Keringat dingin
memercik. Saat aku memijit-mijit pelipis, lolong anjing kembali mengejutkan.
Telingaku lagi-lagi dimasuki bunyi musik suku Bukit. Berdentam-dentam!
Memannggil!
Tanpa bisa ditolak kakiku melangkah ke luar kamar, ke ruang tengah,
ke ruang tamu. Tanganku membuka pintu. Serombongan angin dingin membuat tubuhku
yang cuma terbungkus daster bergidik. Mataku menelaah. Sesosok tubuh nampak
berdiri di luar pagar. Wajahnya teraling gelap sebab cahaya lampu tak sampai ke
situ. Orang itu mengangkat tangan, seperti memberi salam.
“ Selamat bertemu lagi, Layang Kinulis…” ucapnya, suaranya terdengar
serak.
Layang Kinulis? Nama siapa itu? Keningku berkerut.
“ Anda siapa? “ suaraku terbata-bata.
“ Nanti engkau akan tahu sendiri, “ sahutnya, “ Aku dan Andung
Sadayu menunggumu di Loksado. “
Tanpa memberi kesempatan lagi ia berbalik dan melangkah. Aku
tertegun sejenak, mengumpulkan keberanian. Kupaksa kaki melangkah ke ambang
pagar. Tak ada siapa-siapa di jalanan padahal jalan itu lurus saja.
Langkah kembali kuseret ke rumah. Menuang air putih dari botol ke
gelas lalu menghirupnya, membasahi kerongkonganku yang kering. Kurebahkan lagi
tubuh ke ranjang. Balai, upacara Palas Darah, Andung Sadayu, benteng,
pertempuran, gelimpangan mayat-mayat, sosok misterius, lalu sebuah janji
pertemuan di Loksado. Loksado adalah sebuah kecamatan dalam wilayah Kabupaten
Hulu Sungai Selatan. Kawasan yang berada di hunjuran Pegunungan Meratus.
Kawasan yang didiami oleh orang suku Bukit. Uaahh, begitu banyak peristiwa aneh
malam ini. Begitu banyak teka-teki. Begitu banyak tanda tanya. Pertanda apakah
ini?
Kudengar jam di ruang tamu berdentang tiga kali. Ada kelelawar mencericit, sayapnya kedengaran
menampar ranting-ranting dan dedaunan. Lolong anjing kembali menyuara, kali ini
bunyinya mirip rintih orang terluka.
*****
Peristiwa Dua
Kamis, 7
Juli 1988
V
|
isiun aneh yang tidak diketahui ujung pangkalnya itu datang berulang,
melilit hari-hari dan membuat pintalan di jaringan otak. Saat-saat sendiri,
menjelang tidur, rasanya merupakan ruang waktu yang ingin kuhindari, namun
kodrat manusia taklah bisa kuelakkan. Maka jadilah saat itu sebagai siksaan
tersendiri, siksaan yang membuat mata merah dan hati gundah. Kucoba melepaskan
diri dengan jalan meninggalkan rumah, menginap di rumah Papa dan Mama atau
kawan sekantor, namun visiun itu tetap mengejar, terus datang seakan tidak mengenal
ruang dan waktu.
Di kantor, aku baru saja berpikir untuk menceritakan visiun itu pada
Mama ketika Boss mendatangi seraya menyerahkan sebuah amplop.
“ Surat
dari Dinas Pariwisata. “ katanya, “ Suku Bukit di balai Riam Loksado akan mengadakan upacara adat Bawanang. “
Loksado? Suku Bukit? Pintalan di jaringan otakku mengetat. Cepat
kuambil surat
itu dan membacanya. Dinas Pariwisata hendak menjadikan Bawanang sebagai kegiatan penarik wisatawan, terutama wisatawan
lokal. Berbagai acara hendak digelar di Loksado, mulai dari acara kesenian
hingga lintas alam dan arung jeram. Koran kami diundang untuk meliput.
“ Kalau merasa fit kamu boleh
berangkat meliputnya, tapi kalau merasa kurang sehat serahkan saja pada Johan.
“
Johan adalah koresponden kami untuk wilayah Kabupaten Hulu Sungai
Selatan. Loksado memang berada berada dalam wilayah “kekuasaan”nya.
“ Aku akan berangkat. “ putusku tanpa berpikir lagi.
“ Kamu benar-benar merasa fit? Perjalanan ke Loksado terbilang
berat, Rey. Kulihat beberapa hari ini kamu nampak agak gelisah. Sekarang saja
matamu nampak merah, tanda kurang tidur. “
“ Barangkali aku memang memerlukan penyegaran. “ kilahku. “ Loksado
agaknya merupakan tempat yang tepat. “
Boss tersenyum.
“ Kalau begitu datangi Sri, minta siapkan segala keperluan untuk
sepuluh hari. “
“ Sepuluh hari? “
“ Kupikir itu cukup untuk menyegarkanmu. “
Aku memngacungkan jempol. Boss ketawa lalu kembali ke kamar
kerjanya. Setelah menghubungi Sri di
bagian keuangan segera kutelepon Johan, minta di jemput sore nanti di terminal
Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
*****
Roma atau Paris
Indah Kandangan
kotaku manis
Di Kandangan aku
dibesarkan
dipeluk cium sang
rembulan
dibelai timang
sang mentari
Di Kandangan aku
kenal diri dan cinta
sakit senang
seluruh duka
Roma atau Paris
Indah Kandangan
kotaku manis
P
|
uisi karya penyair Darmansyah Zauhidhie itu menyusupi ingatan saat
taksi melewati batas kota
Kandangan. Saat almarhum menulis puisi tersebut, di tahun 60-an, barangkali
Kandangan memang kota
yang indah dan manis. Tapi sekarang, seperempat abad kemudian, masihkah
Kandangan seindah dan semanis masa lalu? Entahlah. Aku tak begitu mengenal kota ini. Kehadiranku di
Kandangan paling-paling berurusan dengan soal gunting-menggunting pita atau
pukul-memukul gong yang dilakukan oleh para pejabat dalam acara-acara serimonial.
Bagi orang jalanan seperti Johan, kota ini tetaplah sama sekaligus berubah. Menu-rutnya,
dalam banyak segi Kandangan tak lagi nampak atau terasa seperti beberapa tahun
lalu. Kandangan bergincu dan bersolek diri, tapi konon juga semakin lali.
Bangunan-bangunan baru dan peremajaan kota
memang membuat wajah keriputnya lebih semarak. Seiring dengan itu Kandangan
juga berubah dalam derap dan tabiat. Benang yang meng-hubungkan generasi
terdahulu dengan generasi sekarang seakan menjuntai. Sikap hidup kaum muda
tampil dalam eks-presi yang berbeda. Sebuah tatanan religius yang dulu
erat menyatu dengan ekosistem yang dogmatis kini seakan pecah-pecah. Mungkin
karena kian terbukanya peluang kebebasan. Mungkin pula karena munculnya
pemberontakan moral terhadap adat dan keketatan lingkungan.
Aku tak membenarkan pendapat Johan tapi juga tak menyanggahnya, cuma
di dalam hati terlontar sebuah pertanyaan kecil : adakah sebuah kota yang tak berubah dalam
gilingan roda zaman? Bukankah tempora
mutantur nos et mutamur in illis, jaman berubah dan di dalamnya kita
berubah pula? Tidakkah semua itu merupakan sebuah frustrasi normal dari putaran
jam yang dilipatgandakan oleh perubahan sikap hidup, nilai-nilai, dogma dan
religi masyarakat bersangkutan?
“ Tak berminat untuk adu argumen? “ Johan mengusik.
“ Tidak. Pikiranku lagi dipenuhi oleh soal Loksado. “ sahutku
setelah memesan segelas es teh di warung dekat terminal.
“ Ada
alasan khusus sehingga Loksado terlihat demikian menarik? “
“ Tidak juga. Kawasan itu telah banyak dikunjungi turis-turis
mancanegara, sedang aku belum pernah sampai ke sana. “ kilahku.
“ Kapan kita berangkat? “
“ Bukan kita, Han. Aku saja. “
“ Woow, kawasan itu belum engkau kenal, Nona. “ sergahnya.
“ Di situlah letak nikmatnya petualangan. “ sahutku enteng.
Johan ketawa. Dia menghirup kopi lalu menyulut sebatang rokok.
“ Kendati tidak setiap waktu, ada taksi yang akan membawamu ke sana. Engkau bisa
menginap di rumah penduduk di sekitar pasar, tidur beralas tikar dan berbantal
tas. “
“ Tidak masalah. Itu sudah lebih baik dibanding tidur dalam tenda
saat jadi pramuka dulu. “
“ Mmhh, semangatmu nampaknya menggebu, Rey. “ ejeknya.
Aku ketawa kecil. Menghirup minuman sambil melayangkan pandang
sejenak ke kesibukan terminal.
“ Engkau punya referensi tentang suku Bukit? “ tanyaku kemudian.
“ Tidak lengkap. Kalau engkau mau, ada orang yang bisa dijadikan
narasumber. Dia bertahun-tahun hidup di lingkungan suku Bukit karena dia punya
areal kebun yang luas di Loksado. “
“ Siapa? “
“ Afrizal Kusumawardhana. “
Mendengar nama itu pikiranku melayang ke meja kerja di kantor. Di
situ, di antara tumpukan map, ada sebuah map khusus bertitel nama Afrizal
Kusumawardhana, map yang berisi kolom-kolom hasil tulisannya. Hampir tiap
minggu dia mengirimkan kolomnya.
Kendati agak terpengaruh oleh
gaya Catatan Pinggir Goenawan Mohamad kolom-kolomnya
terbilang ringkas, puitik dan memikat. Nadanya suka menggedor perasaan dan
kesadaran manusia, menohok bermacam ketidakberesan yang muncul dari fenomena
keseharian maupun persoalan-persoalan makro dan universal yang mencuat dari perjalanan
waktu.
“ Afrizal si penulis itu? “
kejarku kemudian.
“ Ya. Engkau kenal dia? “
“ Cuma kenal nama dan tulisan-tulisannya. “ sahutku.
“ Seperti May Ziadah mengenal Kahlil Gibran? “
“ Katakanlah begitu, dengan catatan tanpa embel-embel rasa cinta. “
“ Rasa cinta bisa muncul
kemudian, terlebih setelah engkau ketemu dengannya. “ goda Johan sambil
tersenyum. “ Dia itu sebenarnya anak istana. Ayahnya kontraktor besar sekaligus
pemilik beberapa HPH[16],
bisa disebut sebagai salah satu orang terkaya Kalimantan Selatan. Entah kenapa
dia justru memilih berkebun di Loksado tinimbang mengelola perusahaan Ayahnya.
“
“ Jadi seperti seorang pangeran yang minggat dari kastil? “
“ Tepat. “
Diam-diam aku merekam keterangan itu di dalam hati. Seorang
pangeran, lari dari kastil, berkebun di daerah terpencil, dan tumbuh menjadi
seorang penulis yang memberangsang. Sekadar menuruti naluri petualang yang
selalu mencari tantangan? Atau memang ada sebab tersendiri?
“ Di mana kita bisa menemuinya? Di sini atau di Loksado? “
“ Dia punya rumah di sini. Biasanya tiap malam Sabtu dan malam
Minggu dia turun dari kebunnya dan menginap di sini. “
“ Berarti kita harus menunggu satu hari? “
“ Woow, sudah kebelet ingin
ketemu, ya….” ejeknya.
Aku ketawa. Johan menghirup tandas kopinya lalu membayar minuman
kami. Sejenak kemudian motor kami melaju menuju rumahnya.
*****
B
|
agi masyarakat Kandangan, malam Jumat merupakan malam yang sakral.
Banyak orang menghidupkan parapin[17]
, membakar dupa, menyan atau garu, dan mengaji Al-Qur’an. Di rumah Johan pun
seperti itu. Bau dupa melayap terbawa angin, menyusup ke hidungku. Sambil
berbaring di ranjang kubacai sedikit catatan Johan tentang Suku Bukit.
Mitologi menyebutkan bahwa
orang Bukit dan orang Banjar berasal dari rumpun yang sama, diturunkan oleh dua
bersaudara bernama Ayuh dan Bambang Siwara. Ayuh menurunkan orang Bukit,
Bambang Siwara menurunkan orang Banjar. Konon pada mulanya mereka hidup
berdampingan, mendiami tepi-tepi sungai, daerah pesisir dan dataran aluvial Kalimantan Selatan. Berbagai faktor yang kemudian muncul
menyebabkan orang Bukit berpindah tempat, memudiki hulu sungai, membentuk
wilayah tradisional di kawasan lereng Pegunungan Meratus, antara DAS ( Daerah
Aliran Sungai) Sungai Sampanahan dan Sungai Balangan di utara hingga ke kawasan
hulu DAS Sungai Riam di selatan.
Mereka hidup secara komunal
di dalam rumah besar yang disebut balai. Tiap balai dihuni oleh orang-orang
yang memiliki hubungan kekeluargaan, baik karena pertalian darah maupun perkawinan.
Jadilah sebuah balai dihuni oleh 10 sampai 20 kepala keluarga. Jika penghuninya
terus bertambah dan balai tak mampu lagi menampung mereka pun memecah diri dan
membangun balai baru. Perkawinan di antara mereka dilakukan dengan pola
eksogam-balai.
Bacaanku terhadap bahan yang diberikan Johan terhenti sampai di
situ. Intuisiku memberi sinyal akan kehadiran orang lain di kamar. Kualihkan
pandang. Satu sentakan daya kejut kemudian membuat aku melenting bangun dari
ranjang. Mulutku terbuka hendak melepas keterkejutan itu lewat sebuah teriakan,
tapi suara ternyata tak kunjung ke luar dari kerongkongan.
Seorang wanita berdiri tak jauh dari ujung ranjang. Berpakaian serba
hitam. Rambut terurai hingga ke pinggang. Kepala berlilit timbaran[18].
Dari mana datangnya? Kenapa tak terdengar langkah kakinya? Kami saling pandang.
Lama. Dan aku merasa se- perti berada di depan cermin. Kecuali pakaian yang
membalut tubuh dan timbaran yang
mengikat kepala di antara kami sama sekali tak berbeda. Serupa. Bagai orang
kembar. Kukerjapkan mata berkali-kali, tak percaya pada pandanganku. Dan
ingatan terhadap seseorang membuat keringat dingin memercik.
“ La…yang…Ki…nu…lis…” bisikku dalam hati.
Sosok itu tersenyum, seperti membenarkan bisik hatiku. Tuhan! Ah!
Aku hampir tak bisa menerima kenyataan ini. Ooohh…jadi inilah dia, inilah
wanita yang mengganggu hidupku selama beberapa hari ini! Inilah orang yang
membuat pikir dan rasaku menjadi benang-benang kusut, yang membuat alur hidupku
terasa demikian asing dan aneh!
Senyum masih merekah saat ia melangkah lurus ke arahku. Setapak. Dua
tapak. Setiap tapaknya menjadikan detak jantungku mengencang. Duh, ia kini
tinggal sedepa dariku. Tuhan, ia terus saja melangkah, seakan hendak
menabrakku! Otakku segera memberi perintah untuk menghindar dan lari dari
kamar, tapi seluruh jaringan tubuh mengadakan pemberontakan atau barangkali tak
kuasa menuruti perintah itu. Sesenti pun aku tak mampu bergerak, bahkan untuk
sekadar menggerakkan jari-jemari pun tak bisa! Cuma mataku yang belalak-belalak
menatap ke arahnya. Harum dupa kian menyengat ketika ia menabrakku. Tak sedikit
pun ada getaran! Dia masuk ke dalam tubuhku! Aku pun mengawang!
Pelan aku melangkah ke depan cermin. Cahaya lampu damar yang agak
redup oleh kepulan asap parapin
memaksaku menajamkan pandang. Kulihat rambut legamku telah tersanggul rapi,
berhias kambang goyang[19].
Alisku sudah dibentuk mangumpang parang[20],
tebal di bagian tengah lalu agak meninggi dan ujungnya meruncing melentik ke
atas. Bibirku merah oleh sapuan gincu sementara pupur dan pemerah pipi sudah
pula memoles. Tubuhku yang padat berisi dibungkus kebaya warna biru dan tapih bahalai [21]
bermotif pucuk rebung.
Tanganku bergerak membuka peti, mengambil kotak perhiasan.
Kukeluarkan anting-anting baruntai [22]
dan memasangnya ke daun telinga. Kukenakan juga kalung dan gelang peninggalan
mendiang orang tuaku. Lalu kupandangi lagi bayangan di cermin. Mmhh, aku harus
nampak cantik di malam pengantin ini, harus nampak seperti peri yang berjuntai
di akar malam pinggiran telaga.
Suara musik, mamang dan galang hiyang para balian melemah dan akhirnya sirap. Istri Damang Utai muncul di ambang ujuk[23].
“ Ke luarlah, “ ujarnya, “ Upacara perkawinanmu segera dimulai. “
Aku mengangguk. Melangkah perlahan, bersiap menyongsong takdir
kehidupan baru, kehidupan berumah tangga. Semua kepala yang ada di balai berpaling ke arahku, juga kepala
Andung Sadayu. Duh, dia kelihatan tambah tampan. Kepalanya ditutup laung dua lilit[24]
berwarna hitam. Tubuh tegapnya dibungkus baju taluk balanga[25]
dan celana suluk yang juga berwarna
hitam. Lilitan akar bahar di tangan menambah kesan kejantanannya.
Kami pun berjalan di bawah luludung[26],
menuju lalaya, duduk bersanding di hadapan
Pangulu[27].
Di sisi pangulu duduk Damang Utai, siap menjadi saksi. Di
dekat kami kemudian diletakkan peralatan perkawinan. Bumbung bambu berisi
lemang yang dipotong menjadi empat bagian dan diikat dengan kain putih, parapah hayam[28],
sebilah sisir dan mangkok kuningan berisi minyak kelapa, piring putih berisi sinjang kain[29],
dua buah giling pinang[30],
mangkok putih berisi beras, dan mayang pinang yang masih terbungkus seludang.
Pangulu sejenak meneliti peralatan perkawinan itu, mengangguk ke arah Damang Utai, lalu menatap ke arah kami.
Pelan galang hiyangnya mulai
gemerincing, memanggili para putir, sangiyang dan arwah luluhur. Suaranya
kemudian nyaring mendaraskan mamang
perkawinan.
Anggaririk…..
baiyukan langkang
di dupa
baiyukan langkang
di marin
cagat manirus
bubungan langit
mahabarakan ka
Nining Diwata
mahabarakan urang
naik bakatun
urang naik bajadi
jangan marusak ka
patahunan
sabab ada
pandungkulannya
baras bamangkuk
wan sinjang kain
wan lamang
panggalan wan lagi ada
giling pinang
saksi manjuduakan
Sambil terus membaca mamang,
pangulu menyerahkan giling pinang,
sebuah padaku dan sebuah lagi pada Andung Sadayu. Kami sama mengunyah. Giling pinang di mulutku kemudian
dipertukarkan dengan yang di mulut Andung Sadayu. Kami mengunyah lagi. Antara
kami kini sudah satu rasa, senasib sepenanggungan.
Setelah meludahkan giling
pinang kami diberi dua batang rokok lintingan. Beberapa saat kami mengisap,
dipertukarkan pula seperti tadi. Pangulu
kemudian membelah seludang mayang. Tanpa dipisah dari tangkai, mayang itu
sebagian diletakkan di kepalaku sedang sebagian lain di kepala Andung Sadayu.
Tiba-tiba Andung Sadayu mendorong tubuhku sementara ia sendiri
menggulingkan diri. Butir-butir mayang di atas kepalanya bertebaran di lantai balai. Aku terkesiap. Kulihat tangkai
mayang itu putus seperti kena tebas benda tajam.
“ Parang maya[31]
siapa ini! “ Pangulu berteriak marah.
Aku bergegas mengambil mandau dari dalam lalaya lalu melemparkannya ke arah Andung Sadayu. Andung sigap
menyambut, mencabutnya. Ia kini berdiri menghadap pintu balai.
“ Damang, lindungi Layang
Kinulis! “ serunya.
Damang Utai menarik tanganku, menyuruhku duduk di sisinya. Parang Maya adalah bahasa darah, bahasa
harga diri yang tertindas, ilmu pamungkas yang jarang tandingnya dan tak
sembarang orang mampu menguasainya. Siapakah orang yang me- ngirim ilmu pamungkas itu untuk
menggagalkan perkawinanku? Mataku kini tak lepas dari Andung. Dia berdiri
tunggal kaki, kaki kirinya terlipat ke lutut kanan. Mandau sejajar dada,
mengarah ke depan, sementara hulu mandau menempel ke sisi tangan kiri yang
membentuk sembah. Mulutnya komat-kamit merapal mamang.
Tak lama kemudian keringat mulai merenik di wajahnya. Kian lama kian
nyata, kian lebat kucurannya. Dia kemudian menggeram. Tangan kanannya membawa
mandau membentuk sebuah lingkaran lalu menujukan ujung mandau ke lantai. Di
bilah mandau muncul cairan merah. Darah! Menetes ke lantai balai!.
“ Siapa pengirim parang maya itu?
“ suara Damang Utai menggelegar.
Andung Sadayu tak menyahuti.
“ Layang, ikut aku. “ katanya kepadaku. “ Orang itu menantangku
untuk bertarung di dekat air terjun Haratai. Engkau dimintan menjadi saksi
pertarungan itu. “
“ Aku juga ikut. “ kata Damang
Utai.
“ Tidak. “ tegas sekali suara Andung. “ Ini cuma soal antara kami
bertiga. “
Masih dalam pakaian pengantin kami melangkah meninggalkan balai. Malam lagi berbulan mati. Kakiku
tersandung akar pohon yang melintang di tanah, keseimbang-anku pun hilang.
Andung cepat menjangkau tanganku.
“ Rey…Rey…”
Suara itu menyusup ke telinga. Suara wanita. Kurasakan tepukan halus
di pipi. Kubuka mata. Johan dan istrinya nampak cemas.
“ Engkau tak apa-apa? “ tanya istri Johan.
“ He-eh. “
“ Bermimpi, ya? “
“ Begitulah. “
Keduanya menarik nafas lega, tak bertanya lebih jauh. Aku diam-diam
mengingat lagi visiun yang baru itu. Terdengar ketukan di pintu. Johan beranjak
mendatangi. Sayup kedengaran pembicaran singkat, lalu Johan kembali
mendatangiku.
“ Afrizal di luar. “ katanya.
Dan Tuhanlah yang tahu kenapa aku terpana ketika menemui sang
pangeran yang minggat dari kastil itu. Dia pun berhal serupa. Matanya agak
menyipit menatapku. Di situ kulihat bayangan baur dari visiun yang
tumpang-tindih. Aahh, apakah ia juga mengalami hal sepertiku? Menerima visiun
aneh berbau cinta, darah dan mesiu?
“ Zal, dia orang yang menentukan dimuat tidaknya tulisan-tulisanmu
di koran La-Bastari. “ suara Johan
melibas keterpanaan kami.
Sejenak kami saling berjabat tangan.
“ Afrizal. “ ia mengenalkan diri.
“ Reynida. “ aku mengenalkan diri.
Jabat tangan lepas. Aku diam-diam sibuk meredakan sentakan-sentakan
aneh dalam dada. Entah kenapa persentuhan sekilas itu membuat seluruh jaringan
tubuhku langsung bereaksi, seperti terjadi persinggungan kutub Yin dan Yang,
meletik pijar begitu saja.
“ Lain kali jangan main tabrak saja ya, Rey. “ katanya.
“ Sebagai lelaki engkau seharusnya mampu menghindar. “ balasku.
“ Ya, tapi malam itu aku memang lagi kepingin ditabrak gadis cantik.
“
Ucapannya membuat aku sedikit jengah. Aku berusaha menutup
kejengahan itu dengan sebuah tawa renyah.
“ Kalian sudah kenal? “ sela Johan.
“ Tidak. Cuma beberapa malam lalu dia menabrakku di tempat parkir
Taman Budaya Banjarmasin. “
“ Ooo…”
Kami lalu duduk di ruang tamu.
“ Tak biasanya engkau ada di sini malam Jumat. “ kata Johan.
“ Aku perlu sesuatu. Engkau punya Bhagavadgita? “
“ Ada.
“
“ Aku mau pinjam. “
“ Sebentar kucarikan “
Johan beranjak meninggalkan kami. Istrinya muncul menghidangkan
minuman.
“ Ada
yang dicari di Bhagavadgita? “
tanyaku setelah istri Johan meninggalkan kami.
“ Ya, soal reinkarnasi. “
“ Kenapa tertarik dengan soal itu? “
“ Aku ingin menulis novel tentang reinkarnasi, sebagaimana Yukio
Mishima menulis tetralogi Spring Snow,
Runway Horse…”
“ The Temple of the Dawn dan
The Five Mask of the Heavenly Being.
“ tukasku.
“ Tepat. “ ia mengacungkan jempol.
Aku tersenyum. Dia menghirup minuman lalu menyulut sebatang rokok.
“ Engkau lagi tugas dinas di sini? “ tanyanya.
“ Antara ya dan tidak. Yang jelas aku mau ke Loksado, meliput Bawanang. “
“ Aku besok kembali ke Loksado, mau ikut? “ tawarnya.
“ Apa engkau punya surat
kelakukan baik? “ ajukku.
“ Ada,
langsung ditandatangani Kapolri. “
Kami sama ketawa. Rasanya keakraban antara kami terjalin demikian
singkat, seakan dua teman lama yang baru ketemu lagi.
“ Kata Johan engkau punya banyak referensi tentang suku Bukit. “
“ Ada,
tapi disketnya di rumahku di Loksado. “
“ Sudah pernah engkau publikasikan? “
“ Belum, masih berupa manuskrip yang belum tersusun urut. Engkau
harus me- rangkainya sendiri nanti. “
“ Ah, kalau begitu aku tak jadi pinjam. Tidak etis rasanya kalau
engkau bersusah payah melakukan risetasi sementara hasilnya kuambil begitu
saja. “
Rizal tersenyum, senyum yang memikat, mengingatku pada senyum Andung
Sadayu.
“ Sesuatu diteliti lalu dipublikasikan karena ada hal yang rasanya
perlu diketahui orang lain. Engkau atau aku yang menulis, bukan soal. “
Ucapannya membuat aku mengalah. Johan muncul membawa Bhagavadgita.
“ Kubawa dulu, ya. “ kata Rizal setelah menghabiskan minumannya.
“ Mau apel di malam Jumat? “ goda Johan.
“ Ya, mengapeli Sylvester Stallone, si Rambo yang jagoan itu. Mau
ikut nonton, Rey? “
“ Kenapa cuma Rey saja yang ditawari? “ Johan cepat menyambar ujung
ucapan Rizal.
“ Aahh, malam Jumat kan biasanya engkau punya acara triple X
dengan istrimu. “
Johan mengakak. Dan tatapan mata Rizal seakan mengandung daya magnit
yang membuat aku mengikutinya menonton Rambo.
*****
I
|
nilah gambaran dari sebuah jiwa yang sakit oleh sebuah luka. Inilah
tayangan yang tercipta dari puncak onani jiwa, mengetengahkan hiburan palsu
mengenai kejagoan diri. Dengan wajah tampan tanpa senyum, tubuh berorot dalam
simbahan keringat, Rambo mewujudkan mimpi-mimpi Amerika setelah kegagalan dan
kekalahan dalam Perang Vietnam.
Seorang diri, Rambo membabat pasukan Vietnam dan Soviet, membebaskan
para tawanan perang yang oleh pemerintah telah dianggap missing in action.
Sambil menatap adegan-adegan spektakuler di layar aku memperenak
duduk. Ketika Rambo memapah si gadis Vietnam yang terluka, menyusupi
belantara menghindari kejaran musuh, pandang mataku mengabur. Sesaat kemudian
tak ada lagi Rambo. Tak ada lagi Sylvester Stallone. Yang ada aku. Berjalan
tertatih dengan mandau telanjang di tangan, sementara tangan kiri memapah
Andung Sadayu yang terluka.
“ Tahanlah…” bisikku seraya terus memapahnya menerobos kerimbunan
pohon-pohon. “ Sebentar lagi kita tiba di tempat penambatan kuda. “
“ Bagaimana dengan pasukan kita? “ tanyanya lirih.
“ Beberapa orang gugur, yang lainnya berpencar meloloskan diri dari
kepungan. “
“ Kita harus segera menuju titik pertemuan dengan pasukan Tuanku
Tumenggung. “
“ Tidak! Itu akan membahayakan beliau. Ingat, pasukan musuh terus
memburu. Kita harus mengambil jalan yang bertolak belakang dengan jalan yang
diambil Tuanku Tumenggung, lalu memutar menuju balai Rampah Minjalin. Istirahat di situ sambil menyembuhkan
luka-lukamu. “
Rentetan tembakan bergema. Rambo nampak memuntahkan peluru senjata
semiotomatiknya ke jajaran komputer. Teknologi penyimpan data dan informasi itu
pun hancur dalam kepingan. Lampu-lampu bioskop menyala. Rizal terdengar
menghembuskan nafas lewat mulut, hembusan yang mengesankan sengal.
“ Di dalam bioskop tadi aku mengalami sesuatu yang aneh. “ ucap
Rizal di perjalanan pulang.
“ Hal apa? “ tanyaku sambil lalu.
“ Pada adegan Rambo memapah gadis Vietnam yang tertembak itu, aku
merasa diriku berada dalam sebuah hutan, lari menghindari kejaran orang-orang.
“
Hatiku berdesir mendengar ucapan itu. “ Siapa yang mengejarmu? Orang-orang Vietnam?
“
“ Bukan, “ sahutnya cepat, “ Pasukan kulit putih… “
“ Kalau begitu pasukan Soviet. “ tukasku.
“ Aku serius, Rey. “ ucapnya, mungkin mengira tanggapanku merupakan
olok-olok.
“ Aku juga serius, “ sahutku, “ Kalau aku tak serius maka aku
tertawa mengakak lantaran menganggapmu mempersonifikasikan diri menjadi Rambo.
“
Rizal diam sesaat, memindah persnelling dan membelok ke kiri.
“ Bukan pasukan Soviet, “ katanya kemudian, “ Dari bahasa mereka
maka orang-orang itu Belanda…. “
“ Lalu? “ aku mendesak.
“ Aku terkepung, padahal aku sudah terluka. Untung engkau muncul….”
“ Aku? “
“ Ya. Kita kemudian bertempur, pasukan Belanda yang jumlahnya
kira-kira sepuluh orang itu habis terbunuh. Engkau lalu memapahku menyusupi kerimbunan
hutan. “
Desir di hatiku semakin keras. Jada pada saat yang sama Rizal
ternyata juga dihinggapi visiun sebagaimana yang kualami. Sebuah kebetulankah
ini? Ataukah memang ada sesuatu di balik semua ini?
“ Saat itu engkau memanggilku dengan nama yang lain…. “
“ Andung Sadayu. “ aku menukas lagi. “ Dan engkau memanggilku dengan
nama Layang Kinulis. “
Rizal melambatkan mobil. Tangan kirinya menjangkau rokok di dashboard
sekaligus menyulutnya.
“ Jadi engkau juga mengalami visiun itu? “ tanyanya kemudian.
“ Ya. Bermula pada malam kita ketemu di Taman Budaya Banjarmasin
itu. “
Rizal mengisap rokoknya dalam-dalam kemudian menghembuskan nafasnya
lambat-lambat.
“ Malam itu saat teman-teman menggelar Tandik Balian aku merasa ada di sebuah padang ilalang. Dalam pertempuran di situlah
aku bertemu denganmu….”
“ Tepatnya menolongku. “ aku kembali menukas. “ Menangkis hunjaman
tombak yang mengarah punggungku. “
“ Persis! “
Aku terdiam. Jika demikian halnya maka segala peristiwa aneh yang
kami alami bukanlah suatu kebetulan, tapi seperti sebuah skenario yang disusun
oleh tangan-tangan gaib. Lalu apa makna dari semua ini?
“ Visiun yang datang berulang dan kenyataan adanya dirimu malam itu
membuatku berpikir tentang reinkarnasi. “
“ Itu sebabnya engkau mencari Bhagavadgita?
“
“ Ya, sebagai bahan penelusuran. Tak disangka aku ketemu lagi
denganmu. “
“ Seorang tua menjanjikan sebuah pertemuan di Loksado. Kupikir
Loksado merupakan pusat misteri ini sehingga aku nekad berangkat kendati aku
tak mengenal wilayah itu. “
“ Kalau begitu kutawarkan kembali, ikut denganku besok? “
“ Ya. “
“ Kendati aku tak punya surat
kelakukan baik? “
Aku ketawa. Di sepanjang jalan kuceritakan visiun tentang perkawinan
kami yang terpenggal oleh parang maya.
Kulihat sebuah senyum tersungging di bibir Rizal.
“ Engkau punya pacar, Rey? “ tanyanya, masih dalam senyum.
“ Memangnya kenapa kalau punya? “ aku ganti bertanya.
“ Aku bukan Andung Sadayu yang mampu menghadapi parang maya. “
Dan tawanya meledak ketika tinjuku mampir di pangkal lengannya.
Peristiwa Tiga
Jumat, 8
Juli 1988
“ D
|
alam perjalanan menuju Loksado, kita kadang terpaksa berhitung
dengan berapa jam perjalanan, bukan dengan berapa kilometer jalan yang harus
ditempuh. “ kata Rizal sambil memasukkan barang-barang ke mobil.
“ Jalannya buruk sekali? “
“ Yaah, begitulah. Pada ruas-ruas tertentu mobil harus merayap senti
demi senti karena kondisi jalan yang seperti sawah, lebih-lebih kalau bekas
turun hujan. “ sahutnya, bergaya pemandu profesional.
“ Engkau sudah sering membawa mobil ke sana? “
“ Sering atau jarangnya bukan jaminan bahwa kita bisa sampai ke sana tanpa halangan.
Kuharap engkau tidak mengidap penyakit jantung, Rey. “
“ Apa aku perlu surat
keterangan dokter? “ ajukku.
Rizal ketawa. Dia memasukkan persnelling satu, mobil pun bergerak
meninggalkan Kandangan. Selepas Desa Halunuk perkataannya kubuktikan,
“kesaktian” Toyota Hard Top yang biasa muncul di iklan mulai diuji. Jalanan
selebar kurang-lebih 4 meter itu berubah amat buruk. Badan jalan seperti bubur
sehingga mobil seolah merayap di tanah persawahan. Kerikil dan batu-batu gunung
yang semula menguatkan jalan agaknya sudah terhapus, tinggal tanahnya. Licin
dan lengket.
Wajar agaknya kalau hatiku bergetar. Sedikit saja ban slip, rem
mendadak blong atau mesin tiba-tiba mati maka aku pun akan menjadi tokoh berita
di halaman dua koranku, halaman khusus berita kriminal. Barangkali berita itu
akan ditambah sebuah ucapan belasungkawa dari seluruh redaksi, berikut sedikit
“in memoriam” yang ditulis Boss atau teman-teman dekatku di halaman
lain. Wah!.
Kucoba bersikap rilek. Menyerahkan
sepenuhnya keselamatan pada kelihayan Rizal mengemudi. Dia nampak santai saja,
malah agaknya mengetahui keteganganku sehingga melontarkan topik pembicaraan
yang menarik untuk mengalihkan perhatianku. Mula-mula dipancingnya aku dengan
nama Miyamoto Mushasi, ronin yang memilih jalan pedang di dalam novel Eiji
Yoshikawa. Aku memang sudah melahap buku itu sehingga pembicaraan bersambut.
Rizal bicara tentang pertarungan Mushasi dan Kojiro di Pulau Funashima,
pertarungan dua samurai besar yang menjadikan pedang sebagai tonggak hidup. Aku
dengan lancar dan mata mengimpi bicara tentang sikap hidup Otsu si pecinta agung yang demikian percaya
pada jalan cinta yang ditempuhnya.
“ Tak ada rumah sejati buat yatim piatu seperti aku, yang ada cuma
rumah dalam diriku. “ ucap Rizal, menyitir ucapan Otsu di novel itu.
Rangkaian kata-kata itu diucapkannya dengan intonasi yang lain,
intonasi bertempo lambat berisi penghayatan penuh sehingga terdengar seperti
monolog melanko-lik seorang aktor di panggung. Kutolehkan wajah, menatap lurus
ke wajahnya.
“ Aku menangkap gaung kesendirian di ucapan itu. “ kataku tanpa
mengalihkan tatapan.
“ Kesendirian memang milik Otsu,
wanita yang tertatih-tatih dari satu tempat ke tempat lain, mencari cinta…. “
“ Bukan Otsu, “ potongku, “ Tapi engkau, dirimu. “
“ Kesendirianku? “ ulangnya dengan kening berkerut.
“ Ya. Kesendirian seorang pangeran di luar kastilnya. “
Kerutan di keningnya segera menghilang karena bibirnya kini
merekahkan senyum. Intuisiku mengatakan bahwa senyum itu sebuah senyuman pahit.
“ Dari mana engkau tahu, Rey? Dari Johan? “
“ Jangan lupa aku seorang wartawan. “
Rizal ketawa, masih agak pahit nadanya. “ Nanti kita bicara itu,
Rey. Sekarang berpegang erat-erat. “ katanya sambil dengan cepat memindah
persnelling.
Kualihkan pandang ke depan. Ya. Ampun! Lintasan yang membentang di
hadapan mirip tangga menyusur jurang ke punggung gunung. Mobil kami kemudian
seperti memanjati anak-anak tangga dari ujung ke ujung. Mesin menggerum parau,
membawa ban memanjat naik ke anak tangga yang lebih tinggi, terus demikian,
sementara di satu sisi tebing tinggi menjulang dan di sisi lain jurang
menghadang.
Sesampai di tanah datar puncak tanjakan, Rizal menghembuskan nafas
panjang lewat mulut. Mobil berhenti. Kulihat dia menyulut dua batang rokok
kemudian turun dari mobil dan meletakkan sebatang rokok di tonjolan tebing
batu.
Aku juga turun dari mobil. Setelah memperhatikannya membuka kap
mesin tatap-anku kembali ke rokok di tonjolan tebing.
“ Untuk apa rokok itu? “ tanyaku.
“ Tanda persahabatan terhadap makhluk tak kasatmata di wilayah ini.
“ sahutnya sambil duduk di bemper.
“ Engkau percaya? “
“ Rey, Tuhan tidak cuma menciptakan manusia tetapi juga
makhluk-makhluk lain yang bagi kita tak kasatmata. Masing-masing punya alam
sendiri tapi tak jarang terjadi persentuhan antara keduanya. “
Aku tak berkomentar, menunggu kelanjutan ucapannya.
“ Tempat kita berada ini bernama Ajung
Tabalik, asalnya dari kata Jung Terba-lik.
Legenda menyebutkan bahwa tempat ini dulunya merupakan sebuah kapal yang terbalik.
Orang-orang dalam kapal kemudian gaib sedangkan kapal itu berubah menjadi batu.
“
Aku melayangkan pandang ke bawah. Bentuk tanjakan ini memang seperti
sebuah kapal yang terbalik.Sebuah legenda yang disesuaikan dengan keadaan
tempatnya? Atau memang begitulah kejadian di masa lalu? Belum sempat aku
mencoba mencari jawabnya tiba-tiba kedengaran bunyi ribut di tebing tempat aku
bersandar. Reflek aku melompat mendekati Rizal, berpegangan di lengannya. Rizal
ketawa, menunjuk ke atas pepohonan. Tiga ekor hirangan [32]
nampak bergayutan di dahan-dahan. Mata hirangan
itu seperti lurus ke wajahku.
“ Sudah dinginkah mesin mobil kita, Zal? “ tanyaku.
“ Cuma hirangan, Rey….”
sahut Rizal, mencoba memupus rasa takut yang tersirat di ucapanku.
“ Siapa berani menjamin bahwa makhluk tak kasatmata itu tidak
menampakkan diri dalam wujud hirangan?
“ potongku seraya menariknya agar berdiri dari bemper.
Rizal menurunkan kap mesin. Kami masuk lagi ke dalam mobil. Beberapa
di- starter
mesin tak jua hidup. Kening Rizal berkerut. Kerutan kening yang kutafsirkan
bah-wa ngadatnya mesin itu bukan hal
biasa pada mobilnya membuatku ikut ke luar lagi dari mobil saat dia membuka kap
mesin. Kendati beberapa kali mesin itu diutak-atik mobil ternyata tak jua hidup
ketika distarter.
Saat kami berkonsentrasi pada mesin tiba-tiba kedengaran deheman
seseorang. Kami sama kaget lantaran sama sekali tak mendengar adanya langkah
kaki. Sambil berpegangan ke lengan Rizal aku menatap ke arah sumber suara.
Entah dari mana datangnya, tak jauh dari kami, berdiri seorang tua.
Kucermati sosoknya. Ketuaan usia memang nampak pada kisut wajahnya,
tetapi matanya, ya, matanya, bersorot tajam memancarkan wibawa besar. Kumisnya
yang memutih melintang bengis. Rambutnya yang juga memutih sedikit mengombak.
Mmhh, rangkakan usia seakan tak mampu menindih ketegapan tubuhnya.
Mata elang si orang tua beralih-alih dari wajahku ke wajah Rizal.
Terakhir kulihat sorot mata itu berubah lembut, lalu seberkas senyum mekar di
bibirnya.
“ Ada
yang rusak, Nak? “ suaranya agak serak dalam dialek kental suku Bukit.
“ Entahlah, Apang[33],
mungkin mesinnya terlalu panas. “ sahut Rizal.
Si orang tua melongokkan kepala ke arah mesin. Memandang sejenak
seperti seorang ahli mesin.
“ Cobalah hidupkan lagi. “ katanya.
Sementara Rizal masuk ke mobil, aku sempat melihat tangan si orang
tua sekilas menyentuh tali busi, tali yang telah berkali-kali diperbaiki Rizal.
Anehnya, ketika di- starter mesin langsung hidup. Si orang
tua tersenyum dan menutup kap mesin.
“ Terima kasih, Apang. “
kata Rizal. “ Apang mau ke mana? “
“ Ke Kantawan. “ si orang tua menunjuk satu gunung yang menjulang.
“ Sayang sekali kita tak setujuan. “ kata Rizal.
“ Tak apa. Berangkatlah….”
Aku mengangguk hormat ke arahnya. Si orang tua tersenyum lalu
melangkah perlahan menuruni tanjakan. Rizal menjalankan mobil. Sekitar 10 meter
kemudian dia tiba-tiba memundurkan lagi mobil, menghentikannya di tempat kami
tadi dan bergegas membuka pintu. Aku berhal serupa karena heran melihat tingkah
Rizal.
Rizal berlari ke pinggir tanah datar.
“ Zal, ada apa? “ tanyaku, heran bercampur cemas.
Rizal cuma menunjuk ke jalanan panjang di bawah kami. Tak ada
siapa-siapa di situ. Aku kini mengerti maksud Rizal. Bulu romaku langsung
meremang. Ke mana perginya si orang tua berambut berkumis putih itu? Demikian
cepatnyakah ia melangkah hingga sudah melewati kelokan nun di bawah sana? Apakah ia berbelok
ke arah lain untuk meng-ambil jalan pintas? Atau menghilang begitu saja?
Ketika kami masuk lagi ke mobil mataku tanpa sengaja memintas ke tebing tempat Rizal tadi
meletakkan sebilah rokok. Rokok itu sudah tak ada lagi di situ. Mataku menyapu
tempat di bawahnya, mencari-cari kalau rokok tersebut terjatuh. Tak ada juga.
Kualihkan pandang ke rokok yang terselip di bibir Rizal, rokok yang tadi
dinyalakan bersamaan. Asap masih mengepul, batang rokok masih bersisa separo.
“ Zal, rokok di tebing itu hilang….” suaraku terdengar mengambang.
“ Sudahlah. Jangan bicarakan lagi hal itu. “ katanya sambil
menjalankan mobil.
Aku diam, berpegang erat ke dashboard
saat mobil meliuk-liuk menyusuri jalan licin yang menurun. Beberapa saat
selepas jalan licin “mengerikan” itu kami sampai ke sebuah persimpangan. Mobil
pun berbelok ke kanan. Pinggir kiri dan kanan jalanan ditumbuhi oleh pinus dan
akasia mangium. Pohon-pohon yang mulai membesar itu berderet rapi, pastilah
karena ditata dan ditanam dengan sengaja.
“ Dari persimpangan tadi cuma tinggal sekitar 3 kilometer kita akan
mencapai ibukota kecamatan. “ kata Rizal.
“ Sekarang kita ke mana? “
“ Ke rumah. “
“ Rumahmu? “
“ He-eh. Aku punya kebun di sini. “
Aku ingat cerita Johan bahwa anak istana ini memilih mandi keringat
dalam berkebun tinimbang hidup sebagai seorang pangeran yang penuh gebyar.
“ Kenapa engkau memilih berkebun daripada mengelola perusahaan
Ayahmu? “
“ Ingin tahu? “
“ He-eh. “
“ Untuk apa, Rey? “
Ya, untuk apa? Aku mencari-cari alasan.
“ Untuk membandingkan profilmu dengan sosok Andung Sadayu di visiun
kita. “ aku akhirnya menemukan sebuah alasan.
“ Mmhh, benar juga. “ ucapannya diiring senyum. “ Seorang istri
memang patut tahu pandangan dan jalur hidup suaminya. “ senyumnya tambah lebar.
“ Apalagi, siapa tahu engkau nanti benar-benar jadi istriku, Rey. “
Kurasakan wajahku agak panas mendengar ujung ucapannya, pipiku tentulah
memerah oleh rasa jengah. Yang aku heran adalah goyangan daun waru di dada,
serasa ada semilir angin sejuk mengusap di situ. Wah, pertanda apa ini?
*****
A
|
da tiga buah rumah di situ. Kami menuju ke rumah yang dibangun di
dekat pinggir sungai. Kendati mendapat berbagai modifikasi rumah tersebut tetap
menyisakan kesan arsitektur rumah adat Banjar. Teras dan bagian depan rumah
dihias oleh ukiran-ukiran berbentuk naga dan enggang yang telah disetilir,
totemik Dunia Atas dan Dunia Bawah dalam kepercayaan tradisional. Konsepsi
kesatuan kosmik totemik dipertegas lagi dengan adanya ukiran Pohon Hayat di
pintu. Penghuni rumah pun seakan-akan tinggal di bagian Dunia Tengah, diapit
oleh Dunia Atas dan Dunia Bawah.
Pintu terbuka. Seorang perempuan baya muncul di sana, mengangguk hormat ke arah Rizal dan
melempar senyum kepadaku.
“ Mereka ada di mana? “ tanya Rizal sambil menunjuk dua rumah
lainnya.
“ Di kolam ikan. “ sahut si perempuan baya. “ Laila berpesan bahwa
kalau pian[34]
datang ditunggu di sana.
“
“ Oh, ya, kenalkan. Ini Reynida, temanku dari Banjarmasin. Ini Acil[35] Ifah.
“
Aku dan Acil Ifah
bersalaman.
“ Sudah lama di sini, Cil?
“
“ Rasanya hampir lima
tahun. “ Acil Ifah menyahut ramah. “
Mari masuk. “
Aku mengedarkan pandang. Bagian dalam rumah nampak lebih indah dari
bagian luarnya, ditata dan dibangun dalam gaya
arsitektur yang sekarang lagi digandrungi arsitek-arsitek Eropa dan Amerika,
perpaduan bentuk-bentuk silindris dengan garis-garis simetris, asimetris dan
geometris. Ada
taman mini di ruang tamu, memberikan keintiman dan kesempatan untuk
mengendurkan irama kehidupan dunia luar dan menyelaraskan diri dengan suasana
nyaman di dalam rumah. Apalagi dari luar kedengaran alunan musik alam yang
indah, berupa suara desau angin di daun-daun dan gemercik air sungai yang
mengalir menampari bebetuan, sebuah tembang nina bobo yang ritmis, lagu
sambutan alam saat Adam dan Hawa menjejak dunia.
“ Sebuah rumah yang tenang dan nyaman, “ komentarku setelah
melenakan diri di kursi, “ Di ruang dan suasana seperti ini kita akan bisa
membaca dengan tenang atau istirah sembari menikmati damainya alunan musik
alam. “
“ Apalagi kalau ditemani oleh orang yang dicintai dan anak-anak yang
manis serta lucu, seperti orang-orang di rumah sebelah itu. “ tambah Rizal
setelah menghirup kopi yang dihidangkan Acil
Ifah.
“ Mereka itu siapa? “
“ Teman-teman yang ingin mandiri dan punya kecintaan yang sama
terhadap alam dan kehidupan. Di rumah yang satu, Anwar, seorang insinyur
kehutanan. Istrinya Laila, insinyur pertanian. Anak mereka satu laki-laki, dua
tahun. Di rumah yang lain, Khairil, insinyur teknik sipil yang membangun
rumah-rumah ini. Istrinya Farida, seorang insinyur perikanan. Anak mereka
perempuan, lahir tahun lalu. “
“ Dan di rumah yang ini? “ pancingku.
“ Seorang
Sisiphus! Makhluk dongeng Albert Camus yang mencoba memberi arti bahagia pada
apa yang dinilai orang sia-sia. Memberontak, tabah, tetapi juga kelihatan
konyol. “
Keningku berkerut mendengar penilaiannya terhadap diri sendiri itu. Ada nada geram di
kalimatnya, tetapi juga meluncas semangat untuk mencapai dan membuktikan
cita-cita. Ahaaii, adakah sesuatu yang salah dalam kehidupan keluarga istana
yang sukses ini?
*****
K
|
eramahan alam yang menawarkan kesegaran alami berupa hembus pawana
tanpa debu dan polusi, jalan berliku menapak mendaki menurun bukit yang
menjanjikan jantung sehat, membuat langkahku ringan terayun di sisi Rizal. Di
kiri jalan, warna-warna merah muda mengombak, warna yang berasal dari
pucuk-pucuk kayu manis. Di kanan, terhampar kebun rambutan bercampur kakao yang
subur.
“ Betapa menyenangkan, “ komentarku, “ Di sini orang seolah menjadi
anak alam, para pioner penjelajah padang-padang frontier, para pengembara
praire. Segala kekalutan dan kebisingan kota
larut bersama sejuk angin dan layapan anak-anak kabut. “
Rizal tersenyum. “ Kata-katamu puitis sekali, Rey. “
“ Kejangkitan penyakitmu. “ sergahku.
Kami ketawa. Daun-daun menjawab dengan desaunya. Air yang mengalir
pada parit sisi jalan menyahut dengan riciknya. Dan burung memukul-mukulkan
sayap kecilnya ke ranting-ranting. Bising dalam hening. Ah, betapa nikmat dan
berharganya alam yang indah dan lestari.
“ Kalian tentu telah bekerja keras untuk mewujudkan hamparan kebun
ini. “ kataku sambil melayangkan pandang ke arah perkebunan karet yang nampak
menghijau nun di sana.
“ Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan kita lebih mudah menata
dan me- ngelolanya. Tapi dalam soal
keuletan, kemampuan membaca pertanda alam dan peng-akraban diri dengan
kehidupan hutan, kami harus banyak belajar pada orang suku Bukit. Bayangkan,
Rey, cuma dengan parang, belayung dan kebudayaan huma, mereka mampu membuka dan
menjinakkan keganasan hutan-hutan. “
“ Kalian banyak belajar pada mereka, lantas apa yang kalian berikan?
“
“ Membantu mereka untuk berkebun yang baik, membudidayakan ikan yang
baik, atau cara pengelolaan tanah yang baik sehingga dapat dijadikan ladang
menetap. “
“ Apa ada hambatan? “ kejarku.
“ Ini wawancara, ya? “ ejeknya.
“ Sebutlah begitu. Liputanku tentang Bawanang nanti sedikit banyak akan bersangkut paut dengan soal
transformasi budaya. “ sahutku.
“ Selama ini kami tak mendapat hambatan apa-apa. Mereka sama saja
dengan kita dalam mencermati perubahan. Tinggal cara pendekatannya saja.
Kupikir transformasi sosial budaya seyogyanya jangan sampai merenggut mereka
dari akar kulturalnya. “
“ Agar mereka nanti jangan jadi masyarakat anomis? “ aku menyela.
“ Betul. Mereka harus mampu ke luar dari masyarakat ladang berpindah
ke masyarakat ladang menetap dengan kekuatan mereka sendiri, kekuatan yang
tetap berlandaskan kultur religinya. “
“ Mmhh, gaya
bicaramu sudah seperti pemakalah di ruang seminar. “ aku ganti mengejek.
Rizal mengakak. Kami pun sampai ke tempat teman-temannya. Tempat itu
mirip sebuah taman bunga. Ada
tiga bangunan terbuka berbentuk payung terkembang di situ, wadah duduk-duduk
atau merebahkan diri melepas penat kerja. Pada dua bangunan kelihatan ayunan
anak-anak, pastilah itu berisi anak Laila dan Farida yang tengah tidur siang.
“ Olala, pantas lama nian ditunggu, rupanya Awang Sukma berhasil
menjerat seorang bidadari. “ seru seorang wanita sebayaku.
Kugamit lengan Rizal. “ Siapa Awang Sukma itu, Zal? “
“ Tokoh legenda, Jaka Tarubnya Kandangan. “ bisiknya. “ Tapi ucapan
Laila itu benar juga, Rey. Engkau memang bagai bidadari. “
Pujian atau rayuan? Entahlah. Yang jelas, daun waru di dadaku
bergoyang lagi, kali ini lebih keras sehingga aku rikuh menenteramkannya.
“ Siapa bidadari ini, Zal? “ seorang wanita lain berucap.
Rizal cuma tersenyum. Aku pun berkenalan dengan mereka. Para sarjana yang mau jadi start point dalam menata hidup di daerah pedalaman ini ternyata
orang-orang yang supel dan ramah.
“ Sayang kamu datang saat musim rambutan sudah lewat. Jika nanti
rambutan berbuah lagi kamu akan kukabari. “ ucap Laila ketika kami menyiapkan
makan siang.
“ Atau kamu menetap saja di sini, Rey….” Farida melontarkan usul
yang menga-getkan.
“ Menetap? “ aku tergagap.
“ Ya. Bangunan yang satu ini sudah amat rindu dikencingi anak
pemiliknya. “ sambar Laila sembari menunjuk bangunan payung terkembang yang
kami tempati.
Usulan langsung itu sejenak membuat aku tersipu.
“ Apa orang macam dia belum juga punya calon? “ pertanyaan itu lepas
begitu saja dari mulutku.
“ Begitulah. Standarnya lumayan tinggi, Rey. Katanya, wanita
idamannya adalah wanita yang dunianya tidak cuma berisi bedak, eye shadow, lipstik, atau krim dan
lotion ini-itu. Wanita dambaannya adalah wanita yang bisa diajak bertukur
pikiran dan berdebat, bisa diajak bicara tentang bermacam soal, mulai soal
ipoleksosbudhankam sampai buku, film dan musik. Wanita yang menyenangkan
sekaligus menguji intelektual. “
“ Wah….” aku mendecikkan lidah.
“ Memang wah. “ Farida tertawa. “ Menurutnya, pendamping seperti itu
diperlukan karena hidup harus punya keseimbangan antara tantangan-tantangan
intelektual dan kemesraan-kemesraan emosional. “
“ Kalau dipikir-pikir, kamu agaknya melebihi standar itu, Rey. Kalau
tidak demikian dia tidak akan mau membawa kamu sendirian ke sini, apapun
alasannya. Dia paling takut dijerat gosip apalagi ditangkap hansip…. “
“ Betul itu, Rey. “ Farida gencar menyambung. “ Tidak pernah dia
bawa gadis sendirian. Gadis-gadis yang datang ke sini paling-paling rombongan
teman-temannya berkesenian di Kandangan. Itu pun terbatas kalau lagi musim buah
atau untuk mengubah suasana latihan mereka. “
“ Stop….stop. “ sergahku. “ Dalam soal mempromosikannya, sales girl kalah jauh oleh kalian. “
Kami sama ketawa.
“ Heii, jangan hahahihi terus, musik perut kami bukan lagi keroncong
tapi sudah musik rock. “ seru Rizal dari pinggir kolam ikan.
“ Oke, Boss. Sudah siap, silakan
tuan-tuan ke sini. “ Laila balas berseru.
Alangkah nikmat makan di situ. Beras dari hasil sawah mereka
sendiri, lalap-lalapan dari kebun sendiri, ikan mas dan gabus dari kolam
sendiri. Apalagi angin semilir membuat musik daun-daun lembut nadanya.
“ Zal, kemarin aku ketemu dokter Andi, “ ujar Anwar setelah kami
selesai makan, “ Katanya kerangka dulu itu sudah bisa dipastikan kerangka
lelaki dan wanita. “
“ Kerangka? Kerangka apa? “ mataku yang tengah memandangi deretan
kolam ikan, petak sawah dan hamparan luas kebun karet beralih segera ke wajah
Rizal.
“ Sepuluh hari lalu, di Haratai, sebatang kariwaya yang sudah amat
tua tumbang. Pada lubang yang terjadi karena akar-akar yang tercerabut
ditemukan dua kerangka manusia. Di dada masing-masing kerangka yang masih utuh
itu tergeletak sebilah mandau yang juga masih utuh, tidak dimakan karat. Kalau
dilihat dari umur kariwaya maka usia kerangka itu paling tidak mencapai satu
abad. “
“ Wah, ini berita bagus, Zal. “
“ Nah, nah, naluri wartawannya muncul. “ Laila mengejek.
Aku senyum. “ Di mana sekarang kerangka itu? “
“ Di simpan Damang Antang
di balai Riam, “ sahut Anwar, “ Para tetua sepakat untuk mengubur kembali kerangka itu
setelah selesai Bawanang. “
“ Jauhkah balai Riam itu,
Zal? “ aku mencecar.
“ Kira-kira sejam jalan kaki dari Loksado. “
“ Bisa kita ke sana
nanti sore? “
“ Tidak, Rey. “ sahut Rizal. “ Mereka telah memberlakukan pantangan
bagi orang luar untuk mengunjungi balai sampai
persiapan Bawanang selesai. Minimal,
lusa malam baru kita boleh ke sana.
“
“ Kalau begitu kita ke Haratai saja, ya, Zal…” pintaku.
“ Boleh, besok pagi, tapi engkau harus siap jalan kaki sekitar 3
jam. “
“ Tidak masalah. “
“ Kalau kamu ke Haratai harap berhati-hati. “ ucap Laila.
“ Jalannya berbahaya? “
“ Bukan jalannya yang berbahaya, tapi manusia yang memandumu ke sana. “
“ Huuu, jelek-jelek begini tingkat karateku ban hitam. “
“ Jurus karate tak akan berguna kalau sudah berhadapan dengan jurus
maut rayuan merah muda pucuk kayu manis. “ Farida dengan cepat menyemes bola
yang dilambungkan oleh Laila tadi.
Rizal mengacungkan tinju pada keduanya. Farida dan Laila membalasnya
dengan juluran lidah. Terdengar tangis bayi, anak Farida.
*****
B
|
ercocok tanam di ladang
yang disebut bahuma tugal merupakan mata pencaharian utama orang suku Bukit
sekaligus merupakan tatanan adat yang dipertahankan secara tegar. Keseluruhan
aktivitas kehidupan, baik yang menyangkut sosial ekonomi, religi, pandang-an
hidup, pandangan tentang alam dan jagat raya, semuanya terkelindan dalam kehi-
dupan huma itu. Dan padi, sebagai tanaman utama, mempunyai kedudukan yang
tinggi. Padi merupakan buah dari langit yang sakral sehingga proses penanaman
benih sampai menjadi gundukan-gundukan kuning emas di lulung atau lumbung sarat
dengan upacara ritual yang dilaksanakan tanpa pandang bulu.
Upacara-upacara ritual
tersebut tentu saja berkait erat dengan kepercayaan mereka. Orang Bukit
mempercayai sejumlah Ilah yang menguasai alam semesta. Karena itu alam selain
dipandang sebagai sesuatu yang sakral juga merupakan sesuatu yang ganas dan
menakutkan. Manusia sebagai bagian kecil dari alam yang maha luas haruslah bisa
menyesuaikan diri. Setiap tindakan maupun usaha penyelewengan dari ketentuan
itu sama artinya dengan mengundang bencana. Dan bahuma merupakan pekerjaan yang
merusak harmoni lantaran telah mencabik-cabik alam, walaupun hal itu dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Agar bencana tak datang melanda dilakukanlah
persembahan melewati upacara-upacara ritual sehingga restu para Ilah diperoleh.
Puncak upacara terjadi
setelah seluruh padi terkumpul di dalam lulung[36].
Hasil jerih payah dan cucuran keringat itu baru boleh dinikmati sesudah
padi-padi mendapatkan kewenangan dan kesucian serta dibebaskan dari segala
pantangan. Hal yang harus dilakukan lewat upacara Bawanang. Lalu…
.
Ringkasanku terhadap bahan yang diberikan Rizal terhenti manakala
hidungku mencium semerbak bau dupa. Rasanya seluruh tenagaku tersedot oleh
layapan bau harum itu. Pulpen di tanganku terlepas. Kepalaku berdenyutan.
Pandang mataku mengabur.
Sederet langkah menyuara di lantai balai. Aku menoleh. Kulihat
mata Damang Utai tajam menikam ke
wajahku.
“ Layang, ikut aku….” Ujar damang
dengan nada memerintah.
Tanpa berucap apa-apa kuiringi langkah Damang Utai ke luar balai.
Kami berdiri berhadapan di pinggir sungai. Sebelah kaki damang bertengger di atas batu.
“ Kuminta engkau menghilangkan perasaanmu terhadap Andung Sadayu! “
suara damang yang serak langsung
menumbuk dadaku.
“ Aku mencintainya….” sahutku
setelah meredakan tumbukan di dada.
“ Aku tahu, tapi engkau harus ingat pada Simbar Rasinga. “
“ Aku tak terikat secara resmi dengan Simbar Rasinga. “
“ Engkau telah terikat secara adat! “
“ Tidak tertutup kemungkinan untuk memutuskannya. “ aku bersikeras.
“ Simbar Rasinga bisa dijodohkan dengan gadis lain, banyak gadis-gadis di balai kita yang diam-diam mendambakannya
sebagai suami. “
“ Kalau engkau memutus ikatan itu berarti kau akan menghilangkan
nyawa sekian banyak orang! “ suara damang
mulai keras nadanya.
“ Untuk menghindari hal itu, aku akan tinggalkan balai ini bersama Andung Sadayu….” nada
suaraku juga mulai tinggi.
“ Dan membiarkan orang-orang balai
Singgang Langit menyerang balai kita
karena telah engkau hinakan martabat dan harga diri mereka! “
“ Damang bisa menumpukkan
kesalahan kepada kami sehingga mereka cuma akan mencari kami. “
“ Aku tidak menghendaki perang di antara suku Bukit kita ! “
“ Lalu? “
“ Lupakan Andung Sadayu, atau… “
“ Atau apa? “ aku menukas.
“ Kubunuh dia! “
“ Apa? “ aku kaget. “ Damang mau
membunuh Andung Sadayu setelah aku bersusah payah menyelamatkannya dari
kematian? “
“ Ya. Lebih baik gugur kembang setangkai agar kembang setaman tetap
berbunga molek! “ tegas sekali suara damang.
Darah mudaku mengombak mendengar itu. Jaringan tubuhku mengejang
dijalari bara kemarahan.
“ Bisa saja Damang membunuh
Andung Sadayu, tapi dengan satu syarat…”
“ Syarat apa? “ kali ini Damang
Utai yang menukas ucapanku.
“ Langkahi mayat Layang Kinulis! “
Kami bersilang tatap di bawah sorot bulan tanduk. Kaki Damang Utai yang bertengger di batu
perlahan turun, bergeser sekilan ke depan kaki yang lain. Tubuhnya agak
membungkuk. Siku tangan kirinya menggeser sarung mandau. Tangan yang lain terangkat
naik, menyilang dada lalu hinggap di hulu mandau. Aku mundur dua tindak.
Telapak dan jari-jari tangan kananku mulai merasakan halusnya hulu mandau.
Rembulan tanduk menyilam ke balik awan, seperti tak tega menyaksikan
pertarungan kami. Damang Utai
menggeser langkah dua tindak, mencari sudut yang bagus untuk melancarkan
serangan. Aku membuat langkah menyamping, menutup ruang geraknya.
“ Yeaaaaa! “ Damang Utai
membentak.
Bertumpu pada ujung kaki kanan ia melompat. Silang tangannya
terbuka, membawa bilah mandau ke udara. Laksana elang mementang sayap ia
menyambar ke arahku. Aku bergerak cepat, mundur dua tindak untuk meredam
kekuatan daya serangnya. Ta- ngan
kananku juga terpentang membawa bilah mandau.
Traaanggg! Dua bilah mandau beradu. Bunga api meletik. Kami sama
terdorong mundur tiga langkah. Aku mengibaskan tangan, membuang sisa getaran
tenaga Damang Utai yang terasa
menyengat. Rangkakan usia ternyata tak menggerogoti kekuatan tenaganya,
damparannya benar-benar mengejutkan dan mampu menindih tenaga mudaku.
Kembali kami saling mengincar. Aku sadar bahwa menunggu datangnya
serangan sama artinya dengan memberi keluasan ruang kepada Damang Utai untuk melakukan tekanan. Maka aku pun tak membuang
waktu, kuburu ia melewati satu langkah segitiga seraya mengayunkan mandau dalam
tebasan silang.
Damang Utai menghindar ke samping kanan. Dari situ ia menyampok mandauku.
Aku tak menghendaki kedua mandau beradu maka segera kuubah gerakan. Kuputar mandau
di udara lalu membawa ayunan turunnya ke arah leher damang. Ia membuat gerak mengejutkan, bukan melompat mundur atau
menghindar ke samping tetapi maju menebas pinggangku. Aku cepat menarik
serangan dan membuang tubuh ke belakang. Belum lagi aku siap, damang menggasak dengan tusukan. Kini
mau tak mau aku terpaksa me- nyampok
mandaunya. Bunyi benturan mandau kembali bergema. Nyaring sekali. Kami terpisah
lima langkah,
saling mengawasi dengan nafas yang mulai memburu.
“ Engkau hebat, Layang….” puji Damang
Utai.
“ Damang juga hebat… “
balasku sambil mengatur nafas. “ Tenaga Damang
kuat sekali. “ pujiku jujur.
Damang Utai tersenyum dalam kelam, “ Aku merasa bangga sekali melihat balai Rampah Minjalin punya gadis
sehebat dirimu. “
Aku membalas senyumnya, menunggu tindakan selanjutnya. Jauh di dalam
hati aku berharap agar Damang Utai
mengurungkan kehendaknya.
“ Sekarang bersiaplah, Layang, aku akan membawa langkah Simbat Halang…”
Aku terkesiap mendengar itu. Damang
Utai ternyata memang benar-benar ingin membunuhku. Langkah Simbat Halang adalah ilmu mandau andalan damang yang cuma dikeluarkan pada saat nyawa berada antara batas
hidup dan mati. Langkah pertarungan yang aku sendiri belum pernah melihatnya,
cuma mendengar cerita tentang kehebatannya melalui mulut mendiang apang[37].
Langkah itu cuma diturunkan oleh para leluhur kepada orang yang dipilih menjadi
damang. Konon langkah Simbat Halang itu diciptakan setelah
leluhur kami mengamati gerakan elang saat memburu mangsa di kerimbunan padang
ilalang. Gesit. Penuh gerak tipu. Dan juga…ganas.
Damang Utai mengubah posisi tubuh. Tapak kaki kiri perlahan disilangkan
satu tapak tangan di depan kaki kanan. Tubuhnya merendah. Tangan kanan
terentang ke samping dengan bilah mandau menunjuk lurus ke langit. Tangan kiri
melengkung di depan dada dengan jari-jari membentuk gaya sembah. Bibir damang komat-kamit, pastilah merapal mamang.
Hatiku berdebar kencang. Tanganku agak bergetar di hulu mandau.
Wibawa langkah Simbat Halang mulai
memancar, membuat hati giris, persis seperti girisnya hati binatang buruan
menyaksikan elang berterbangan di sekitarnya. Keringat dingin memercik di
tubuhku. Aku sadar bahwa yang kuhadapi kali ini adalah pertarungan di ambang
hidup mati, bahkan mungkin akan menjadi pertarungan penghabisan dalam sejarah
hidupku sebab sebentar lagi aku akan meregang nyawa dalam genangan darah.
“ Mhhh, Simbat Halang ternyata
langkah penindas wanita. “ sebuah suara mengu-mandang. Suara Andung Sadayu.
Damang Utai mendengus. Andung Sadayu melangkah ke sisiku.
“ Mundurlah Layang, aku ingin tahu apakah Simbat Halang bisa merajah tubuh-ku. “ katanya.
Aku mundur tiga tindak. Andung Sadayu kini menghadapi Damang Utai, mandaunya sudah telanjang di
tangan. Bibirnya komat-kamit merapal mamang.
Tanpa suara damang membuat lompatan
ke atas, meluncur ke arah Andung, mandaunya melintang kira-kira sehasta di
depan wajah sehingga sukar diduga ke mana arah geraknya.
Andung Sadayu menghadapi Simbat
Halang dengan cara yang aneh. Dia seperti sebuah layang-layang, mengambang
di udara kosong, tak bergerak bila tak ada gerak dari damang, seakan-akan damang adalah
talinya. Damang Utai memapas
lehernya, Andung bergerak cepat mengatasi kecepatan damang dan mendahului memapas leher damang. Damang Utai menebas pinggang, Andung mendahului kecapatan
gerak mandau damang seraya menebas ke
sasaran yang sama. Semua gerak Andung seperti bersumber pada gerak Damang Utai.
“ Bagus…Dandang Mangapak…
“ seru Damang Utai di tengah dampar
serang-annya.
Dandang Mangapak? Hatiku sedikit lega mendengar nama Dandang Mangapak.
Ilmu mandau itu merupakan ilmu mandau yang telah hilang ratusan
tahun. Konon ilmu itu merupakan perasan atau saripati dari seluruh ilmu andalan
Bumburaya Walu, 8 balian tertinggi suku Bukit. Ilmu yang
terputus turunannya lantaran tak seorang pun yang mampu menerima dan
menghayatinya.
Kulihat Damang Utai
melipatgandakan kecepatan geraknya. Menyambar-nyambar laksana sambaran elang
murka. Di bawah seringai bulan tanduk yang kembali menampakkan diri, mereka
berdua laksana elang dan layang-layang yang berebut cakrawala. Kadang mereka
hinggap di atas batu-batu. Kadang berloncatan di atas pelepah pisang. Kadang
berebut pijakan di gerumbul-gerumbul semak. Kadang pula sama menjadikan helai
daun ilalang sebagai tumpuan. Saling buru. Saling berebut ruang.
Aku tak lagi tahu berapa lama sudah pertarungan Simbat Halang dan Dandang
Mangapak itu berlangsung. Mereka agaknya sama merasa akan adanya bius hawa
pertarungan yang semakin memabukkan lantaran menemukan tanding yang setara.
Gerak-gerak aneh yang selama ini tersimpan tiba-tiba saja menemukan ruang untuk
memunculkan diri, ingin menguras habis setiap gerak dan menghayatinya mumpung
lawan mampu mengimbangi.
Bagaimanapun jua kedua ilmu itu demikian menguras pikir, pandang dan
tenaga, sementara kemampuan manusia ada batasnya. Dan mereka agaknya telah
mencapai batas itu. Setelah terjadi satu sampokan mandau, mereka sama terlempar
ke udara. Berjumpalitan sebelum hinggap gamang di atas batu gunung. Dalam jarak
2 depa mereka saling pandang. Tubuh kuyup keringat. Nafas pun mendengus bagai
kuda berpacu.
“ Damang…kenapa? “ suara
orang banyak diikuti derap-derap sekian banyak kaki.
Warga balai Rampah
Minjalin dengan mandau, parang dan tombak di tangan bermunculan. Agaknya bunyi
benturan-benturan mandau membuat orang-orang meng-ambil senjata dan ramai-ramai
ke luar dari balai.
Aku diam-diam mengeluh dalam hati. Sepatah kata saja Damang Utai memerintah pastilah sekian
banyak senjata itu akan meluruk ke tubuhku dan tubuh Andung.
“ Tidak apa-apa. “ kudengar suara Damang Utai di antara buru nafasnya. “ Aku dan Andung Sadayu tengah
berlatih mandau dan sama kehabisan tenaga. “
Aku tak mengerti kenapa Damang
Utai berucap seperti itu. Yang nyata pandang mataku mengabur. Kian kabur.
Lalu gelap. Yang terasa kemudian adalah usapan kain basah di wajahku. Kubuka
mata. Dua raut wajah samar tertangkap pandangku. Aku me- ngerjap beberapa kali. Raut wajah itu
menegas. Wajah Andung Sadayu...oh…bukan…itu wajah Rizal bersama acil Ifah. Sedang kepalaku rebah di
pangkuan Rizal.
Kusambut cangkir berisi sir putih yang disodorkan acil Ifah. Kutegakkan badan. Kesejukan
air pun menjalari kerongkonganku yang kering.
“ Terima kasih, Cil. “
kataku sambil menyerahkan cangkir.
Acil Ifah tersenyum dan kembali ke ruang belakang. Sekejap kupandang jam
dinding. Baru pukul delapan malam.
“ Visiun itu datang lagi? “ tanya Rizal.
Aku mengangguk dan menceritakan apa yang baru kualami.
“ Masih terlalu dini untuk merangkainya, Rey. Sudahlah, jangan
dipikirkan lagi. Mari kita ke halaman, teman-teman sedang menjerang ubi dan
jagung. “
Kami melangkah ke halaman. Di atas hamparan tikar, Khairil sedang
memetik gitar. Suara Farida mengalunkan Huma
di Atas Bukitnya Achmad Albar. Lagu ciptaan Syuman Jaya itu seakan
merupakan refleksi kehidupan mereka. Keduanya menyanyi sambil menautkan
pandang. Kemesraan nampak meletik, berkelindan dengan kebahagiaan menemu ufuk
fajar kehidupan.
Daun waru di dadaku kembali bergoyang, terlebih ketika di dekat
kompor jerang-an jagung Laila merebahkan kepala ke bahu suaminya. Suara mereka
kemudian menyatu mengiringi suara Khairil dan Farida.
Di sana kutemukan
bukit yang terbuka
seribu cemara
halus menderai
sebatang sungai
membelah huma yang cerah
berdua kita
bersama tinggal di dalamnya
Nampaknya tiada
lagi yang diresahkan
dan juga
digelisahkan
kecuali dihayati
secara syahdu
bersama
selamanya
bersama selamanya
Tatapanku beralih ke arah Rizal. Ternyata ia juga tengah menatapku.
Binar di matanya kembali mengkili hati, melepaskan berkas sunyi yang
bersijingkat mencari su- nyiku.
Kualihkan pandang ke arah bulan. Bulan yang hampir purnama seolah menye-nyumi
tingkah kami, cahayanya kian cerlang mengecupi kehijauan pucuk-pucuk pinus dan
akasia, menambah seri warna merah muda pucuk-pucuk kayu manis, menyemaraki
keindahan gerumbul bunga aneka warna. Lalu aku pun tahu bahwa sunyi Rizal
diam-diam berhasil merengkuh sunyiku, menggandengnya jauh ke balik bukit-bukit
timur tempat fajar bakal menyingsing.
*****
Peristiwa Empat
Sabtu, 9
Juli 1988
S
|
ejauh manakah alam mengalami perubahan sejak semesta terbentang pada
dini purbakala? Haratai barangkali masih seperti dulu-dulu jua, lelap dan damai
selama berabad-abad, bagai terlupakan oleh sang waktu. Mungkin cuma guruh air
terjun dan kebeningan tasiknya yang membuat kawasan itu masih hidup serta
manjadi bagian pesona alam Loksado.
Tempat itu seperti benteng alam berdinding batu setinggi kurang
lebih 20 meter. Air mencurah deras dari atas dinding batu, beterjunan ke sebuah
tasik kecil untuk kemudian mengalir menyusupi celah batu-batu besar ke arah
sebuah anak sungai yang bermuara ke Kali Amandit. Indah memang tempat ini.
Mampu mendenyarkan imaji-imaji romantik sekaligus juga membuat orang merasa
betapa kecilnya diri, betapa tak berartinya manusia dibanding keluasan serta
keperkasaan alam ciptaan-Nya.
Setelah mengambil foto kariwaya rebah berikut liang tanah bekas akar
wadah dua kerangka ditemukan, kami menyeberangi jembatan bambu yang
menghubungkan tebing dengan sebuah batu besar di tasik. Aku beringsut turun ke
batu yang lebih rendah dan berpermukaan datar. Kubasuh muka dengan air jernih
tasik. Sejuk. Nyaman. Kuambil verples, mereguk air sirup yang kami bawa dari
rumah. Sejuk. Nyaman. Kulipat pipa celana jeans sampai ke lutut lalu
mencelupkan kaki ke air. Sejuk. Nyaman.
“ Mau mandi, Rey? “ Rizal ternyata telah beralih ke batu lain,
membawa kamera-nya.
“ Nanti, “ sahutku, “ Keringatku masih belum teduh. “
Terdengar cericit halus motor
drive, alat yang bisa membantu kamera meng-abadikan beberapa gambar dalam
satu detik sehingga menghasilkan satu sekuen foto berisi urutan perubahan
ekspresi yang diambil dari satu sudut pandang. Rizal berpindah tempat. Memotret
lagi. Berpindah dan kembali memotret.
“ Telah kuabadikan kehadiran bidadari air terjun Haratai. “ katanya
setelah duduk lagi di sisiku.
“ Dengan aku ini berapa banyak sudah bidadari yang engkau abadikan?
“ ajukku.
“ Tak ada. Baru kali ini aku menemukan bidadari. “
“ Wow, itu ya salah satu jurus rayuan merah muda pucuk kayu manis yang
dikatakan Farida kemarin? “
“ Kalau dikau tidak percaya maka belahlah dada hamba. “ selorohnya
dengan suara berlagu.
“ Sebelum sampai pada soal belah membelah dada baiknya engkau penuhi
dulu janjimu. “
“ Janji apa? “
“ Cerita tentang pangeran yang minggat dari kastilnya. “
“ Perlukah itu, Rey? “
“ Amat perlu, tidak cuma untukku tapi juga untukmu,
yaaahh….anggaplah itu sebagai proses kanalisasi dalam teori Freud. “
Kendati sempat menghindar namun setelah terus diajuk akhirnya ia mau
juga mengungkai kediriannya. Afrizal Kusumawardhana, namanya. Lahir di bawah
naungan naungan rasi Capricorn, 27 tahun yang lalu. Anak kedua dari dua
bersaudara. Ayahnya lelaki Banjarmasin, insinyur teknik sipil jebolan Gadjah
Mada. Ibunya konon masih berdarah biru, kerabat Kraton Ngayogyokarto
Hadiningrat, sarjana ekonomi kampus biru yang lulus dengan predikat summa cum laude.
“ Bagi sebagian orang, hari-hari terasa amat panjang sehingga
menimbulkan kegelisahan untuk melaluinya. Aku agaknya termasuk orang gelisah
semacam itu. Kuatasi hari-hari panjang tersebut dengan berbagai kesibukan.
Mengikuti segala kegiatan kampus, menulis, melahap sekian banyak majalah,
koran, novel, puisi. Namun bila sampai pada saat-saat menjelang tidur, dalam
kesendirian di kamar, aku harus mengakui kenyataan bahwa apa-apa yang kulakukan
tak lebih dari sebuah kompensasi. “
“ Ada sesuatu yang membuatmu tertekan? “ selaku.
Rizal tenggelam dalam bungkusan asap rokok. Matanya menatap impas ke
arah air terjun tapi tatapan itu tak berhenti sampai di sana saja. Jauh
melayap. Ke tempat tak berbatas.
“ Secara duniawi di rumahku ada sorga, namun secara batiniah bisa
dikatakan kosong melompong. Rumah mewah kami cuma berisi sepi, warna keseharian
yang membuat luka lekuk dadaku. Kehidupan dunia modern, gelombang teknologi
beserta segala percepatannya, dimensi-dimensi pergaulan kelas elit, sudah
mengubah apa-apa yang dahulu terasa indah. “
Suaranya kini mirip erangan. Berlabuh ke dadaku seraya menggaungkan
apa yang disebut Rendra jerit anak burung
yang gugur dari sarangnya ketika orang-orang memanah rembulan.
“ Orang-orang di rumah sudah tak lagi punya waktu untuk saling
berbincang, kalau perbincangan terjadi juga maka muaranya selalulah urusan
bisnis. Tak lagi ada waktu untuk santai bersama nonton TV atau video, bahkan
tak lagi tersedia sedikit kesempatan untuk makan atau sekadar minum kopi
bersama. Tak ada lagi keakraban keluarga, tak ada lagi canda dan kasih sayang.
Semua orang di rumah sibuk dengan urusannya sendiri. Rumah pun menyungkupkan
arus gerah padaku, sekadar sebuah persinggahan jika letih dan kantuk mendera. “
Rizal menggedikkan kepala, seperti melontarkan kegeraman yang
terpendam.
“ Ibumu bagaimana? “ pancingku.
“ Mama yang semula akrab dan penuh perhatian akhirnya juga terseret
kegiatan bisnis Papa yang kian besar. Bisnis itu memerlukan juga keterampilan
Mama, baik dalam soal manajemen, diplomasi, atau pendekatan pribadi demi
terciptanya sebuah kontrak. Mama kemudian juga berubah menjadi sebuah komponen
mesin, selanjutnya kakakku menyusul. Lengkaplah sudah komponen mesin itu di
rumah. Berputar tanpa henti. Menggilas dan melumat diriku. “
Dia melumatkan puntung rokok ke batu lalu menggantinya dengan batang
yang baru. Setelah beberapa kali hisapan dan hembusan asap ia teruskan
bicaranya.
“ Yang lebih menyakitkan, Rey, ketika pengelolaan HPH Papa
diserahkan pada kakakku. Ia menguras hutan-hutan tanpa memikirkan
pelestariannya, main bakar main tebang seenaknya. Tindakannya itu menimbulkan
tekanan berat padaku. Bayangkan, di kampus aku dididik untuk memelihara dan mencintai
hutan, tapi di rumah aku justru dipampangkan pada hasil pengurasan hutan. “
Hembusan nafasnya terdengar keras, seperti memuntahkan karat yang
melekat di dalam dada.
“ Aku muak dengan keadaan macam itu! Aku muak pada keluarga mesin
macam itu! Karenanya aku mencari tempat-tempat yang bisa membuat aku merasa
atau dihargai sebagai manusia. Maka sehabis wisuda, kujual mobilku, kuambil
semua tabunganku, kutinggalkan rumah! “
“ Lalu membeli lahan perkebunan itu? “ aku kembali menyela.
“ Ya. Kuajak teman-teman yang ingin mandiri, punya kecintaan pada
alam dan lingkungan yang sehat, punya kemauan keras untuk bekerja. Lima tahun
sudah kami di sini, mengelola tanah menata kehidupan. “
Sejenak kami sama tak bersuara, membiarkan guruh air terjun
mengillustrasi suasana.
“ Engkau masih sering ke rumahmu yang di Banjarmasin? “ tanyaku
kemudian.
“ Sesekali. Keadaannya tidak berubah juga. Perasaan kehilangan
karena perginya aku dari rumah jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan
perasaan kehilangan kalau sebuah proyek yang diincar lepas ke tangan orang
lain. “
Diam lagi. Di antara guruh air terjun tiba-tiba menyelinap bunyi
musik, seperti petikan gitar dalam balada Andalusia yang merintih namun
romantik.
“ Aku mendengar bunyi petikan gitar. “ kataku dengan suara bergetar
sebab hidungku kini mencium layapan harum dupa.
“ Bukan gitar, itu petikan kecapi. “ suara Rizal juga bergetar.
Petikan kecapi dan layapan bau dupa membuat Haratai tiba-tiba terasa
diselimuti suasana magis. Jantungku berdetak kian keras. Dadaku mendebur. Bagai
ombak. Bergulung. Mendebur. Bergulung. Anak-anak kabut berlayapan, tersibak
sejenak ketika kami melaluinya. Di puncak air terjun Haratai seorang lelaki
telah menunggu. Aku menyipitkan mata untuk mempertegas pandangan. Lelaki itu
kemudian kukenali, Simbar Rasinga.
Tanpa berkata Simbar Rasinga mencabut mandau. Andung Sadayu memberi
tanda agar aku menjauh. Dia kemudian juga mencabut mandaunya.
“ Yeaaaa! “ Simbar mengeluarkan pekik pertempuran.
Di tengah udara badannya menggeliat seperti geliat seekor ular.
Mandaunya memapas rata. Trang! Bunga api berpijar ketika sepasang mandau
bertemu. Andung menjejak bumi dengan mantap sementara Simbar terhuyung tiga
tindak.
Simbar mendengus lalu kembali menyerang. Serangan mandaunya kini
mendampar dalam kecepatan tinggi. Sekejap mendampar ke atas. Sekejap lagi
mendampar ke bawah. Menyilang ke kiri. Membabat ke kanan. Menebas silang.
Ganti-berganti. Sambung-menyambung. Seperti kilat meniti angkasa membelah
langit.
Andung mengimbanginya dengan memutar mandau bagai kitiran, bergerak
meng-imbangi kecepatan mandau lawan, membentuk gulungan sinar yang membungkus
tubuh. Mandau keduanya pun hilang wujud, berubah menjadi sinar gemerlapan.
Jurus demi jurus dilancarkan. Perubahan demi perubahan gerak yang aneh sama
mengincar peluang untuk memancurkan darah lawan.
Suatu saat terdengar teriak kesakitan mengumandang, Keduanya sama
terlempar. Tubuh Simbar Rasinga melayang ke bawah air terjun. Mungkin tasik
menyambutnya, mungkin pula batu-batu yang menghadangnya. Aku tak peduli. Kuburu
tubuh Andung Sadayu. Bahu kirinya robek bekas tebasan mandau. Sekejap kulihat
mandaunya juga basah oleh darah.
Kurobeh tapihku. Kubalut
lukanya. Setelah itu kami saling tatap. Wajah kami kini rapat, dibatasi ruang
sempit dihuni udara tipis. Terasa hembusan nafasnya. Hangat.
“ Layang…” suaranya antara
ada dan tiada.
“ Andung…”. suaraku antara ada dan tiada.
Angin berarak dalam sunyi daun. Awan berarak dalam sunyi langit. Dan
aku melihat biru lazuardi di matanya. Sunyi angin, sunyi daun, sunyi langit, sunyi
batu, sunyi air, menyatu di bening matanya. Getaran hawa pun tak lagi terasa.
Yang terasa adalah usapan lembut tangannya di wajahku. Di helai-helai rambutku.
Di leherku. Lalu sesuatu yang hangat menerpa bibirku. Kehangatan yang lembut.
Aku meliuk. Dan melenguh halus. Tapi lenguhan itu tak boleh panjang, dia
menutupnya dengan sebuah ciuman yang memang diharap. Kami pun berpilin di atas
hampar batu.
Bbbyuurrr! Air menyambut tubuh kami. Tenggelam. Dibawa arus deras.
Muncul ke permukaan. Menarik nafas sepenuh dada. Berenang mendekati pinggiran
batu. Me-rayap naik.
“ Zal…kenapa kita…”
Rizal tak menyahut. Dia naik lebih dahulu ke atas batu dan
menarikku. Pakaian kami basah. Kuyup. Tetes-tetes air menitik dari seluruh
tubuh. Bunyi kecapi hilang suara. Harum dupa pun sudah tiada. Cuma air terjun
Haratai terus gemuruh. Bunyi yang kini terasa menakutkan.
“ Nampaknya Andung Sadayu dan Layang Kinulis tadi menjadikan kita
sebagai medium untuk mengekspresikan rasa cinta mereka. “ ucap Rizal.
Ya, itu satu kemungkinan. Kupikir ciuman ketat yang dijelujuri rasa
rindu penuh birahi itu pastilah akan berlanjut andai kami tidak terguling dari
atas batu dan jatuh ke dalam tasik. Andai berlanjut bagaimana? Siapa yang bisa
mencegah?
“ Zal…”
“ Mmhh…”
“ Mengingat kejadian tadi, kemungkinan kita dijadikan medium
senantiasa terbuka. Kita harus saling mengingatkan agar tak terjerumus. “
ucapanku bernada tak yakin.
“ Ya, kita harus saling mengingatkan. “ suaranya juga menyiratkan
ketidakyakin-an yang sama.
Duh, rasanya memang ingin sekali segera ke luar dari situasi penuh
misteri ini. Tapi mungkinkah? Kami agaknya telah terjerat ke dalam pintalan
benang-benang magis, ke dalam sebuah rawa dupa yang daya isapnya berada di luar
kekuasaan kami. Rasanya kami tak akan bisa lepas dari rawa dupa itu, kecuali
kalau daya isap itu lepas dengan sendirinya.
Sekarang tanda-tanda daya isap itu akan lepas sama sekali tak
kelihatan, bahkan terasa kian keras. Entah sejak kapan kami kembali menceburkan
diri ke dalam tasik. Berenang. Bersimburan air. Bercanda dan tertawa,
sebagaimana layaknya sepasang kekasih.
Di perjalanan pulang aku membiarkan saja lengan kirinya melingkari
bahuku, bahkan tangan kananku kini melingkari pinggangnya. Dia bernyanyi kecil,
You Are The Love of My Life dari
Roberta Flack dan George Benson.
You are the love
of my life
I knew it right
from the start
The moment I
looked at you
You found a place
in my heart
Suaranya bagus, merdu dan empuk. Bibirku pun perlahan bergerak,
suaraku me- nyatu di lantunan lagu,
membentuk sebuah duet.
And in a world
full of change
In thing I’m sure
of
You are the love
of my life
The once thing
that makes sense in this life
And I’ll spend the
rest of my days
Just lovin’ you
Ayunan ringan langkah kami dengan cepat sampai ke jembatan Batu
Balah, sebuah jembatan gantung dari bambu. Di ujung jembatan tumbuh dua batang kariwaya bini yang dahan-dahannya secara
aneh saling berjalin sehingga membentuk sebuah gerbang. Di situ Rizal mengambil
beberapa fotoku. Aku juga mengambil beberapa posenya. Kemudian stelan otomatis
pada kamera difungsikan, kami pun mengambil beberapa sekuen dalam adegan orang
yang tengah dimabuk asmara.
Setelah itu kami mampir di sebuah warung, memesan teh. Aku menghapus
peluh dengan sapu tangan dan melenakan tubuh di bangku bambu. Di ujung bangku
duduk seseorang. Ketika aku menoleh, orang itu tersenyum. Detak jantungku
tiba-tiba jadi cepat. Dia adalah si orang tua yang kemarin muncul saat mobil
kami mogok di lintasan Ajung Tabalik.
“ Apang rupanya. “ sapa
Rizal.
“ Kalian baru datang dari Haratai? “
“ Ya. “ sahutku.
“ Tidak menemui sesuatu yang aneh di sana? “
Seperti tak sengaja tanganku menyenggol tangan Rizal, bahasa isyarat
untuk mencari keterangan lebih jauh.
“ Apa biasanya di situ ada hal-hal yang aneh? “ tanya Rizal,
menangkap maksudku.
“ Tidak juga, cuma kadang-kadang pada orang tertentu tercium adanya
bau harum dupa dan bunyi petikan kecapi. “ sahut si orang tua sembari membuang
puntung rokok-nya.
Rizal mendekati, duduk di sisi si orang tua. Ditawarkannya rokok. Si
orang tua mengambil sebatang. Rizal membantu menyalakan.
“ Kata orang, air terjun Haratai itu merupakan tempat kesayangan
seorang tokoh bernama Andung Sadayu. “ Rizal mulai menjurus. “ Apang tentu tahu cerita mengenai Andung
Sadayu itu. “
Si orang tua kembali tersenyum.
“ Tak banyak yang kuketahui. Andung Sadayu itu seorang Panglima,
orang balai Riam. Pemuda yang gagah,
amat pandai berburu, dan punya ilmu mandau yang hebat. “
“ Balai Riam? “ aku
mengulang. “ Balai yang akan
mengadakan upacara Bawa- nang lusa malam itu? “
“ Bukan. Balai Riam yang
sekarang adalah balai yang beberapa
tahun lalu dipindahkan ke Loksado, tetapi mereka memang keturunan orang balai Riam yang dahulu. Balai Riam Andung Sadayu dibakar
Belanda, lebih dari seabad yang lalu. “
“ Berarti Andung Sadayu itu hidup lebih dari seabad yang lalu? “
“ Begitulah menurut kisah. “
“ Kata orang, Andung Sadayu itu punya seorang istri. “ Rizal kembali
mengarahkan pembicaraan.
“ Betul. Seorang wanita cantik bernama Layang Kinulis, orang balai Rampah Minjalin. “
“ Balai Rampah Minjalin
itu masih ada? “
“ Juga sudah tidak ada lagi. Belanda juga yang membakarnya. “
“ Lalu orang yang bernama Simbar Rasinga? “ kejarku begitu teringat
pada visiun yang datang tadi.
Sekejap ekspresi wajah si orang tua mengelam. Sorot matanya meletik
pijar, seakan menyimpan hawa amarah.
“ Sudah hampir senja. “ ucapnya. “ Aku harus segera pulang. Kalian
juga begitu agar tidak kemalaman di jalan. Loksado masih cukup jauh dari sini.
“ si orang tua memutus cerita.
“ Apang pulang ke mana? “
kejar Rangga, tak puas.
“ Jauh. “
“ Boleh kami ikut? “
“ Kalian takkan bisa mencapainya. “
Ia membayar minumannya kemudian melangkah. Baru tiga langkah ia
berhenti dan berbalik lagi ke arah kami.
“ Kalau kalian ingin tahu lebih jauh kisah Andung Sadayu dan Layang
Kinulis, temui Damang Antang di balai Riam. “ ujarnya sebelum
meninggalkan kami.
Kami menatapi kepergiannya sampai ia hilang di kelokan jalan.
“ Lebih dari seabad yang lalu. “ gumamku.
“ Pasukan Belanda. “ Rizal juga bergumam. “ Agaknya Andung Sadayu
dan La- yang Kinulis hidup saat berlangsungnya Perang
Banjar. Perang yang dicetuskan Pangeran Antasari itu bermula pada tahun 1859. “
Rizal membongkar pengetahuan sejarahnya.
“ Terus? “ desakku.
“ Di visiun kita tersebut-sebut soal benteng dan seorang tumenggung.
Pada masa Perang Banjar banyak benteng didirikan, tersebar di berbagai tempat.
Kemungkinan paling besar dalam kasus kita ini adalah Benteng Madang yang
dipimpin oleh Tumenggung Antaluddin. Letak benteng ini tak jauh dari Kandangan.
“
“ Lalu? “
“ Menurut cerita, setelah beberapa kali gagal menghancurkan Benteng
Madang, Belanda melakukan serangan besar-besaran. Benteng Madang akhirnya
berhasil mereka kuasai, tapi mereka cuma mendapatkan benteng yang kosong.
Tumenggung Antaluddin dan pasukannya telah meninggalkan benteng melalui jalan
rahasia. Belanda kemudian membakar
benteng itu. “
“ Belanda agaknya terus memburu, sampai ke kawasan ini, membakari balai Riam dan balai Rampah Minjalin. “ aku
membuat dugaan. “ Tapi kenapa cuma balai Riam
dan Rampah Minjalin yang dibakar? “
“ Mungkin karena Andung Sadayu dan Layang Kinulis merupakan pengikut
Tumenggung Antaluddin. “
Misteri itu mulai terkuak sekarang, tetapi masih terlalu banyak
bagian-bagian yang kosong untuk dirangkai. Agaknya diperlukan waktu untuk
menyambung dan me- rangkai serpihan
demi serpihan kehidupan Andung Sadayu dan Layang Kinulis.
“ Cil, “ aku memanggil
pemilik warung, “ Di balai mana Apang tadi tinggal? “
Pemilik warung menggeleng. “ Tak tahu, “ sahutnya, “ Aku tak pernah
melihat orang itu sebelumnya. “
Aneh. Warung ini satu-satunya, setiap orang yang akan ke Loksado
atau yang hendak naik lebih ke atas lagi pasti akan melewati warung ini.
Mustahil agaknya kalau pemilik warung tak pernah melihat si orang tua, apalagi
orang tua itu memiliki pertanda khas yakni sorot yang tajam, rambut yang
memutih dan kumis putih yang melintang be-
ngis.
Pemilik warung mungkin menyadari keheranan kami.Ia kemudian
menyodorkan selembar daun kepadaku. Kuperhatikan daun di tanganku dengan
tatapan tak mengerti.
“ Itu tadi uang yang beliau bayarkan. “
Aku pun terkesima. Aku tadi melihat jelas uang yang diserahkan si
orang tua. Kenapa tiba-tiba berubah menjadi selembar daun? Ya, Tuhan, kawasan
ini begitu banyak menyodorkan misteri, begitu banyak memampangkan realitas di
balik realitas.
“ Beliau tadi orang gaib. “ jelas pemilik warung.
Ah, betapa tipis jarak antara dunia ini dengan dunia lain di
baliknya. Dan betapa besarnya kekuasaan Tuhan dalam melakonkan ciptaan-Nya.
Kukembalikan daun itu. Si pemilik warung menolak.
“ Simpanlah. Beliau tadi nampaknya sengaja menunggu kalian di sini.
“
Kusimpan daun itu ke dalam dompet. Rizal membayar minuman kami
berikut minuman si orang tua. Sepanjang jalan menuju Loksado aku membayangkan
lagi sosok si orang tua. Rambut putihnya yang agak berombak. Kumis putihnya
yang melintang be- ngis. Sorot matanya yang tajam bagai mata elang. Tubuhnya
yang tegap. Caranya berbicara. Gayanya berjalan. Astaga…pasti dia! Tak salah
lagi!
“ Aku tahu siapa orang tua itu. “ ucapku kemudian.
“ Aku juga rasanya pernah melihatnya. “ ujar Rizal.
“ Dia adalah Damang Utai
di visiun kita. “
“ Kalau begitu dia boss kita.
“ Rizal menyelipkan canda.
Kami ketawa, menertawakan diri kami sendiri yang hidup seakan
menjadi ba- yang-bayang orang lain.
Malam perlahan menyempurnakan diri. Loksado sudah di depan mata. Rizal kembali
bernyanyi. Lagu yang tadi juga, You Are
the Love of My life.
Aku tak berkeinginan untuk menimpali suaranya. Kepalaku seperti
dijejali oleh berbagai pikiran yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Dan aku
jengkel melihat kesantaian Rizal. Maka aku pun kemudian bernyanyi. Lagunya ini
:
Burung Kakaktua
Hinggap di jendela
Nenek sudah tua
Giginya tinggal
dua.
Gelak Rizal pecah. Ia gemas, mengacak-acak rambutku. Ketawaku
berderai. Sambil berlari kecil kutirukan nyanyian Rizal dengan suara yang
sengaja amat disumbangkan. Rizal tambah gemas. Dia mengejarku. Seperti dalam
film romantik kami berlarian memasuki Loksado.
Loksado ramai sekali malam itu. Rombongan orang-orang yang akan
mengikuti kegiatan lintas alam dan arung jeram besok hari maupun para
pengunjung yang akan menyaksikan Bawanang
besok malam sudah berdatangan. Mereka mendirikan kemah-kemah di lapangan
kecamatan, sebagian yang lain menginap di rumah-rumah penduduk.
Pasar yang biasanya cuma ramai seminggu sekali, menjelang hari
pasar, nampak semarak. Warung-warung, toko kecil dan pedagang-pedagang kaki
lima menawarkan berbagai barang. Di sebuah warung, aku dan Rizal mengisi perut
dan menyiapkan diri untuk mendatangi balai
Riam.
*****
B
|
alai Riam yang kami datangi letaknya tak jauh dari pinggir sebuah anak
sungai. Bangunan segiempat panjang berdinding palupuh[38] berlantai bambu beratap daun rumbia itu
disangga oleh tiang-tiang yang kukuh. Luasnya sekitar 400 meter persegi. Dihuni
oleh 11 jiwa, 23 kepala keluarga.
Aku dan Rizal menaiki tangga limpang[39] yang ada di pintu balai, melangkah masuk dengan perasaan harap-harap cemas. Rasanya
kami berada pada sebuah ruang ke-
ingintahuan yang diimbangi oleh kecemasan terhadap munculnya
kekuatan-kekuatan magis yang tak terlawan, seperti kecintaan dan kekuatiran
atas kelengangan liar dari bukit-bukit indah berhutan lebat. Apalagi suasana
magis itu langsung menyergap manakala memandangi perangkat upacara yang ada di
tengah balai, sementara hidung mencium
harumnya bau dupa, bau yang sebenarnya ingin kami hindari.
“ Ini yang namanya Lalaya?
“ tanyaku, menunjuk ke arah perangkat upacara yang ada di tengah balai.
“ Betul. “ sahut Rizal. “ Fungsinya sebagai sentral upacara, wadah
singgah makhluk-makhluk halus dan
wadah meletakkan sesaji. “
Kupandangi perangkat upacara itu. Lalaya berbentuk seperti limas, terbuat dari bambu kuning dan kayu
pulantan yang menyatu dengan lantai balai,
berhias rumbai-rumbai pucuk enau diselingi kembang-kembang hutan. Rusuk limas
paling atas membujur berbentuk ular yang mulutnya menganga ke arah pintu balai. Di depan lalaya, terdapat Campan Nini
Bahatara, terbuat dari sebatang bambu yang menusuk papan-papan berbentuk
lingkaran. Menurut Rizal, banyaknya
lingkaran papan menunjukkan lamanya aruh[40]
. Kulihat kali ini lingkaran itu ada tiga, berarti aruh akan dilaksanakan selama tiga hari. Di depan Campan Nini Bahatara ada lagi perangkat
yang dinamakan Sangkar Ma- yang. Di belakang Lalaya ada Sangkar Galung dan
Mahligai Ading.
“ Boleh kita membuat foto? “
“ Boleh. “
Aku memotret dari berbagai sudut. Seorang lelaki tua mendatangi
kami.
“ Damang…” Rizal menyapa.
Ternyata lelaki itu Damang
Antang, Kepala Suku Bukit hunjuran Meratus. Usianya kutaksir sudah melewati 70
tahun.
“ Zal, siapa temanmu ini? “ suara Damang Antang terdengar agak bergetar.
“ Reynida, datang dari Banjarmasin hendak menyaksikan Bawanang. “
Aku mengangguk hormat seraya menyunggingkan seulas senyum. Damang Antang berhal serupa.
“ Datang bersama rombongan? “ tanya Damang Antang.
“ Tidak. Sebenarnya aku sudah
beberapa hari ini. “ sahutku.
“ Damang, bolehkah kami
melihat kerangka yang didapat di Haratai itu? “ kata Rizal, langsung ke pokok
persoalan.
“ Boleh. Mari ke ujukku. “
Kami pum melangkah mengiringi Damang
Antang menuju ujuknya. Di tengah ujuk, di atas hamparan kain kuning,
kedua kerangka itu dibaringkan bersisian. Di dada masing-masing diletakkan
sebilah mandau, pastilah itu mandau yang tertanam bersama kerangka itu di bawah
kariwaya Haratai. Tak jauh dari kepala, sebuah parapin mengepulkan asap, menguarkan harum dupa yang sengit.
Dalam ruang redup berbau dupa, menghadapi dua kerangka tiruan saja
sudah membuat hati bergetar, apalagi ini rangka manusia yang sebenarnya. Tak
heran kalau sebelah tanganku kemudian menggenggam lengan Rizal.
“ Mau memotret, Rey? “ tanya Rizal.
“ Tidak. Biar mereka tenang di alam sana. “ sahutku.
“ Betul, biar beliau berdua tenang di patilarahan. “ sambung Damang
Antang.
“ Damang, kami sebenarnya
ingin mendengar kisah tentang Andung Sadayu dan Layang Kinulis. “ kata Rizal
pada Damang Antang.
“ Terutama kisah setelah pertarungan di air terjun Haratai. “
tambahku.
“ Sudah kuduga. “ sahut Damang
Antang seraya menyungging senyum.
Ucapan dan sikap Damang
Antang yang seperti telah mengetahui lebih dahulu maksud kedatangan kami
membuat aku dan Rizal saling pandang sejenak. Damang Antang menyulut rokok. Sejenak matanya menerawang, seakan
mengumpulkan ingatan terhadap masa lalu.
“ Setelah pertarungan di air terjun Haratai itu Andung Sadayu dan
Layang Kinulis kembali ke Benteng Madang, berjuang bersama Tumenggung
Antaluddin untuk mengusir Belanda. Saat Benteng Madang tak bisa dipertahankan
lagi, Tumenggung Antaluddin memerintahkan pasukan meninggalkan benteng,
berpencar dan meneruskan perjuangan secara gerilya. “
Aku dan Rizal saling pandang, sama merasa bahwa dugaan kami senja
tadi benar adanya.
“ Andung Sadayu dan Layang Kinulis kembali ke balai Riam sebab Layang Kinulis saat itu tengah hamil tua. Di balai itu beliau melahirkan seorang
putra yang kemudian diberi nama Sawang Panjalin. Kira-kira enam bulan kemudian,
pasukan Belanda datang menyerbu. “ Damang
Antang melanjutkan kisahnya.
“ Tentu ada sebabnya kenapa
pasukan Belanda sampai ke balai Riam.
“ ucapku.
“ Mereka dibawa oleh Simbar Rasinga. “ ada nada geram di suara Damang Antang.
“ Simbar Rasinga? Jadi orang itu tidak mati di air terjun Haratai? “
“ Ya. Kedengkian dan dendam membuatnya jadi pemandu ke balai Riam. Terjadi pertempuran hebat.
Di situ Andung Sadayu berhasil membunuh Simbar Rasinga, tapi beliau sendiri
kemudian gugur oleh peluru Belanda. Peluru itu sengaja dibuat dari emas sehingga
mampu memecahkan kekebalan tubuh beliau. Layang Kinulis juga mengalami nasib
yang sama. Sementara balai Riam
kemudian dibakar oleh Belanda. “
Aku dan Rizal sama tertunduk. Rasa haru mengepung lantaran mendengar
akhir kehidupan Andung Sadayu dan Layang Kinulis. Keakhiran yang heroik memang,
tetapi agaknya mereka gugur terlalu dini, barangkali belum 25 tahun usia mereka
saat itu.
“ Sisa-sisa orang balai Riam
kemudian mengubur jenazah Andung Sadayu dan Layang Kinulis dalam satu liang. Damang Utai menanam sebatang kariwaya di
atas kubur sebagai tanda peringatan. “
“ Kariwaya? “ seru Rizal. “ Jadi mereka ini….” Suara Rizal tersekat
seperti di tenggorokan, cuma matanya yang memandang ke arah dua kerangka yang
terbujur bersisian di hadapan kami.
“ Ya. Ini jenazah Andung Sadayu dan Layang Kinulis. “ Damang Antang menyahut dengan mantap.
Sunyi sejenak. Dari bawah balai
kedengaran suara lolong anjing dan dengus babi. Lolong anjing itu mirip
erang sehingga tanganku kian keras mencekal lengan Rizal.
“ Dari mana Damang yakin
kalau ini jenazah beliau berdua? “
Pertanyaan yang diajukan Rizal itu tepat sekali, soalnya kadang
antara mitologi dan kenyataan berbaur jadi satu sehingga sukar dibedakan atau
dipilah.
“ Sejak aku kecil, setiap akan memulai musim tanam padi atau setelah
selesai Bawanang, kakek membawaku ke
bawah kariwaya yang rebah itu, menziarahi kubur padatuan[41]ku
sekaligus memohon restu mereka. “
“ Apa hubungan Kakek Damang
dengan Andung Sadayu atau Layang Kinulis? “ tanyaku, mendesak untuk memperoleh
kepastian.
“ Kakekku bernama Sawang Panjalin, anak Andung Sadayu dan Layang
Kinulis. “
Sepi lagi. Lama. Damang Antang
membiarkan kami mengencanakan pikiran di alam kesepian itu. Duh, jadi ini
jenazah orang yang selama beberapa waktu ini memasuki hidup kami? Akal sehatku
sebenarnya menolak untuk mempercayai semua itu, tapi kenyataan yang terpampang,
peristiwa-peristiwa yang terjadi, visiun-visiun aneh yang semula tak diketahui
ujung pangkalnya, ditambah penuturan amat meyakinkan dari Damang Antang, mau tak mau harus dipercayai. Lalu, apa makna semua
ini? Apa yang tersirat di balik hal yang tersurat ini?
“ Damang…” suaraku
akhirnya memecah sepi, “ Terus terang selama beberapa hari ini beliau berdua sering merasuki diri
kami. “ lanjutku mengungkai masalah.
“ Beliau juga sering merasukiku. “ sahut Damang Antang. “ Ketenangan beliau di patilarahan agaknya terusik oleh tumbangnya kariwaya itu. “
“ Lalu apa hubungannya dengan kami? “
“ Itu rahasia Yang Maha Kuasa. Kita cuma bisa menebaknya atau
menghubung-hubungkannya dengan hukum sebab-akibat. “
“ Maksud Damang? “
Damang Antang tak segera menyahut. Dari balik kepulan asap rokok ia kembali
memandangi wajah kami.
“ Pada penglihatanku, wajah padatuan
bagai pinang dibelah dua dengan wajah kalian. Karena itu, barangkali saja Yang
Maha Kuasa hendak mempertemukan kalian lewat perantaran lintasan hidup padatuan. “
“ Jelasnya bagaimana? “ kejarku.
“ Yaahh, mungkin kalian telah ditakdirkan berjodoh sebagaimana padatuan dulu berjodoh, dan Yang Maha
Kuasa membukakan jalan bagi terlaksananya perjodohan itu lewat
peristiwa-peristiwa yang kalian alami. “
Andai lampu di ujuk itu
terang tentulah terlihat betap merah wajahku. Rizal mendehem, membuang rikuh. Damang Antang ketawa.
*****
Peristiwa Lima
Minggu, 10 Juli 1988
S
|
eratus meter menjelang balai Riam
jalanan diterangi oleh jejeran obor. Cahaya obor itu berlenggang-lenggok
diterpa angin malam yang dingin. Kuambil syal dari tas lalu melilitkannya ke
leher untuk mengurangi susupan hawa dingin itu. Celoteh dan tingkah romantis
anak-anak muda yang berjalan di depan maupun di belakang kami kadang membuat
aku dan Rizal tersenyum.
Balai Riam dipadati manusia. Para pengunjung yang kebanyakan anak-anak
muda itu duduk berdesakan di lantai bambu. Suasana mistis yang mengurung
membuat mereka mengikuti upacara Bawanang
dengan khidmat.
Di arena upacara, beberapa balian
tengah melakukan upacara mamalas lalaya.
Mereka batandik membawa air
mengelilingi lalaya empat putaran.
Sementara itu bakul-bakul warga balai
mulai dikumpulkan. Bakul itu berisi beras. Banyaknya beras dalam bakul diukur
dengan perolehan padi setiap kepala keluarga. Jika beroleh setengah kuyan[42]
padi maka beras yang dimasukkan ke dalam bakul sebanyak 2 liter. Di dekat
bakul-bakul itu diletakkan sesaji berupa aneka kembang, lemang, ringgitan[43],
dan giling pinang yang terletak di
atas seludang mayang pinang. Ditempatkan juga sebuah bakul salah[44]
berisi ringgitan, lemang dan
beras.
Gendang, serunai bambu dan gong perlahan menyuara. Balian Guru[45]
mulai merapal mamang, lalu batandik mengelilingi lalaya. Di belakangnya dua orang balian lain mengiringi, membawa bakul salah dan ringgitan. Setelah empat kali mengelilingi lalaya, bakul salah digantungkan di pintu balai. Bakul-bakul warga balai
segera dimasukkan ke dalam lalaya.
Kini seluruh balian
berkumpul. Tiap kepala keluarga menyerahkan minyak kelapa dan kapur. Minyak
kelapa kemudian dicampur ke dalam sebuah piring putih, kapur diletakkan di
selembar daun pisang. Para balian
secara bersama merapal mamang
di- iringi gemerincing galang hiyang. Mereka kemudian meminyaki
rambut dengan minyak kelapa, membuat tanda cacak-burung
di kaki dengan kapur, serta membubuhkan tanda
balian di lengan dalam bentuk tujuh garis lurus.
Bawanang pun dimulai. Berawal dari upacara babalian ka bandang, upacara pemujaan dan terima kasih kepada
cahaya.
Derap kaki para balian di
lantai bambu, alunan musik sakral dan daya magis mamang, perlahan melilitku, lalu menghelaku ke suatu tempat yang
entah di mana. Tahu-tahu aku telah memijakkan kaki di atas jalan yang lebar dan
lurus. Seberkas cahaya pelangi menerangi. Angin pun membawa semerbak bau wangi.
Bukan wangi dupa. Bukan wangi menyan putih. Bukan wangi garu. Bukan pula wangi
bunga. Wangi yang entah apa. Akal dan perasaanku tak mampu lagi menerka, tak
mampu lagi memahami.
Lintang jalanan ternyata berujung pada sebuah lembah. Rumput-rumput
muda tumbuh tebal, terhampar bagai permadani. Bunga-bunga yang tak kukenali
tengah berada dalam musim mekar, beragam warna berpadu membentuk komposisi
lukisan maha indah. Di tengah lembah terdapat sebuah balai, tiang-tiangnya besar sepemeluk orang, entah terbuat dari
kayu apa, kuning keemasan warnanya.
Ketika kakiku hendak menaiki tangga limpang, terdengar suara dari dalam balai. Suara seorang wanita.
“ Jangan masuk. Belum waktunya engkau masuk ke balai ini, masih banyak hal yang harus engkau lakukan dalam
kehidupanmu. “
Dari dalam balai muncul
tiga sosok tubuh. Damang Utai yang
penuh perbawa, Andung Sadayu yang memancarkan kesan kejantanan, dan Layang
Kinulis yang cantik bagai bidadari.
“ Andikakah yang mengundangku ke sini? “ tanyaku perlahan.
“ Ya, sekadar memenuhi janji pertemuan kita. “ sahut Damang Utai.
Aku jadi ingat peristiwa di
Banjarmasin beberapa waktu lalu tentang janji pertemuan di Loksado. Janji
memang hutang yang wajib dibayar. Kini mereka telah menunaikannya.
“ Ini pertemuan terakhir kita? “ tanyaku penuh harap lantaran
kepingin segera ke luar dari daya isap rawa dupa.
“ Benar. Setelah ini tabir rahasia antara dunia kita akan kembali
tertutup. “ sahut Layang Kinulis.
“ Lalu apa yang selanjutkan harus kulakukan? “
“ Jalani takdirmu. Yang Maha Kuasa telah memilihkan hal terbaik bagi
lintasan kehidupanmu. “ kini Andung Sadayu yang bersuara.
“ Mari kami antar engkau pulang. “ kata Damang Utai.
Kami berjalan bersama sampai ke ujung lembah. Sekejap kemudian
pandang mataku mengabur. Bunyi musik, mamang
dan derak lantai bambu yang ditandiki
para balian kembali masuk
pendengaran. Seiring dengan itu rasa haus menyengat kerong- kongan.
“ Zal, masih adakah minuman kita? “ kataku setelah menggamit lengan
Rizal.
Rizal mengangguk, membuka tas dan mengeluarkan botol Aqua. Rasa
dahaga membuat aku menghabiskan minuman itu hampir lebih dari setengah botol.
“ Haus sekali, Rey? “ usik Rizal.
“ Visiun itu datang lagi. “ sahutku. “ Agaknya ini yang terakhir. “
“ Berarti kita akan kembali sepenuhnya menjadi diri kita sendiri? “
“ Kuharap begitu. “
Kami sama tersenyum. Di tempat upacara para balian tengah beristirahat sebelum memasuki upacara berikutnya.
Sebuah acara hiburan digelar, tari babangsai.
Konon acara ini juga merupakan acara untuk mencari jodoh bagi pemuda dan
gadis-gadis suku Bukit. Mereka menari
bersama dalam lingkaran-lingkaran, berputar mengelilingi lalaya.
Damang Antang mendatangi kami. Dia menarik aku dan Rizal ke dalam lingkaran
para penari itu. Anehnya, aku dan Rizal secara sempurna dapat mengikuti gerak babangsai padahal baru malam ini aku
melihat tari itu.
*****
Peristiwa Enam
Senin, 11
Juli 1988
H
|
idup ini aneh memang. Kadang muncul hal-hal yang tak bisa
dilogikakan. Kadang ada jeratan teka-teki yang tak menemu jawab. Dan kadang
juga nampak sebagai sebuah misteri yang terbuka dengan sendirinya. Sebagaimana
kata Damang Antang, kesemuanya merupakan
rahasia Yang Maha Kuasa dalam melakonkan ciptaan-Nya.
Barangkali Andung Sadayu dan Layang Kinulis, sang padatuan Damang Antang, terusik ketenangannya di patilarahan lantaran tumbangnya kariwaya itu. Barangkali pula
mereka ingin lintasan kehidupannya diketahui oleh kalangan yang lebih luas. Dan
barangkali juga mereka sekadar dijadikan perantara oleh Yang Maha Kuasa untuk
mempertemukan aku dan Rizal. Semuanya barangkali. Kalau ada juga hal yang jelas
maka itu cumalah kesepakatan antara aku dan Rizal untuk membiarkan berbagai
peristiwa yang kami alami mengalir seperti air. Biarlah semuanya tetap seperti
sediakala, sebagaimana adanya, tak perlu dicari di mana hulunya, tak perlu pula
diburu di mana hilirnya. Yang kami genggam cuma maknanya, makna yang berpulang
pada kebesaran dan kekuasaan Sang Pencipta.
Berbekal sikap macam itulah kami bersiap meninggalkan balai Riam, meninggalkan salah satu
episode hidup untuk dikubur oleh sang waktu. Kami sudah sampai di ambang pintu balai ketika Damang Antang memanggil dan mengajak memasuki ujuknya.
Di situ kulihat rangka Andung Sadayu dan Layang Kinulis sudah rapi
terbungkus kain putih, tinggal menunggu waktu untuk dimakamkan.
“ Di mana beliau akan dimakamkan? “ tanya Rizal setelah kami duduk.
“ Di suatu tempat yang nyaman dan rindang. “ sahut Damang Antang, tanda tak ingin kubur padatuannya itu diketahui oleh orang
luar.
“ Mungkin lusa aku pulang ke Banjarmasin. “ ucapku. “ Terima kasih
atas pela- yanan Damang selama aku di sini. “
Damang Antang tersenyum. Pandang matanya memintas ke arahku.
“ Tidak berminat untuk menetap dan berkebun di sini? “ ia
melontarkan kalimat bersayap, kalimat yang dengan jelas kami ketahui ke mana
arahnya.
Sebenarnya hatiku mengatakan bahwa minat untuk itu sudah mulai
bertunas, bakal berkembang atau layu di genggaman sang waktu tergantung pada
proses pemupukan selanjutnya.
“ Bukankah Damang
mengatakan bahwa hal semacam itu merupakan rahasia Yang Maha Kuasa? “ kilahku.
Damang Antang ketawa. Rizal kulihat menggigit bibirnya, menahan tawa
melihat kerikuhanku.
“ Itu masalah kalian, “ ujar Damang
Antang kemudian, “ Cuma jika ujungnya nanti tidak berbuhul janganlah mengulang
lintasan hidup padatuanku dahulu,
jangan ada sosok Simbar Rasinga. “ tambahnya, mengungkai kebijakan orang tua
yang berguru pada pengalaman.
“ Nah, sebelum kalian pulang aku ingin menunaikan pesan padatuan yang kuterima saat upacara tadi
malam. “
“ Pesan untuk kami? “
“ Ya. Beliau berdua berpesan agar aku menyerahkan kedua bilah mandau
milik beliau pada kalian….”
“ Kepada kami? “ aku mengulang ucapan Damang Antang.
“ Betul. “
“ Damang, kedua bilah
mandau itu adalah pusaka balai Riam.
“ kata Rizal. “ Tak terpisahkan dari beliau berdua, jadi saksi cinta dan
perjuangan yang patut diteladani oleh segenap keturunan balai Riam. Mungkin kami kurang mampu untuk merawat kedua bilah
mandau itu. Jadi…. “
“ Aku mengerti maksudmu, Zal. “ Damang
Antang menukas ucapan Rizal. “ Aku berharap semoga kedua mandau itu juga akan
jadi saksi cinta dan perjuangan kalian dalam kancah kehidupan ini. “
Tangan kami gemetar saat menerima kedua mandau itu. Senjata
peninggalan Andung Sadayu dan Layang Kinulis itu sudah diberi hulu dan sarung
yang baru. Sarung berukir motif Pohon Hayat yang telah distilir, hulu berbentuk
kepala tingang dan kepala naga.
“ Rawatlah baik-baik. “ ujar Damang
Antang.
“ Terima kasih, Damang,
kami mohon permisi. “
Damang Antang mengantar kami sampai ke pintu balai. Pagi masih amat muda, berkas-berkas cahaya matahari perlahan
tapi pasti mengusir anak-anak kabut yang masih berumah di ranting-ranting.
*****
S
|
iang itu kami ada di kebun, berkeliling sambil membersihkan saluran
air. Saat kami melepas lelah di bangunan “payung terkembang” acil Ifah datang mengantar seorang
lelaki berpakaian parlente. Melihat lelaki itu wajah Rizal berubah dingin,
jangankan menyambut ber-diri saja pun tak dilakukannya.
“ Kenalkan, Rey. Ini Surya Kusumawardhana, kakakku, sang pemilik
HPH. “ katanya padaku.
Aku dan lelaki itu saling angguk.
“ Kalau engkau ingin belajar cara menerapkan ilmu ekonomi yang baik,
engkau boleh minta petunjuknya. “ ada nada sinis di ucapan Rizal.
Keningku berkerut. Hubungan dua saudara ini nampaknya cukup
renggang. Perbedaan pendapat dan sikap hidup mereka telah membuat hubungan
darah nyaris terabaikan.
“ Ada yang ingin kubicarakan, Zal. “ kata Surya kemudian.
“ Duduklah, tapi maaf tempatnya agak kotor. AC-nya cuma AC alam. “
“ Maaf. Aku mau membantu kerja Farida. “ kataku sambil melangkah
meninggalkan mereka.
Kubantu Farida yang tengah memindahkan ikan-ikan besar ke kolam
khusus. Para langganan mereka besok akan datang mengambil ikan-ikan itu.
“ Hutan-hutan kita? “ suara Rizal kedengaran ke telinga kami
lantaran bernada tinggi dan getas. “ Dulu engkau dengan lantang berkata : aku
yang mengelola hutan-hutan itu, Zal, karenanya jangan turut campur urusanku.
Dan sekarang, setelah hutan-hutan itu rusak, engkau mengatakan hutan-hutan
kita. “
“ Aku mengaku salah, Zal. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki
diri. “ sahut Surya.
Suara mereka kembali merendah sehingga kami tak lagi jelas mendengarnya.
“ Kekayaan ternyata bukan merupakan jaminan bagi keharmonisan dan
kebahagiaan sebuah keluarga. “ komentar Farida.
“ Yaah, tergantung orangnya dan cara pengelolaannya. “ sahutku. “
Percepatan yang muncul akibat perubahan zaman memerlukan selektivitas yang
ketat agar tak kehilangan pegangan dalam mengakomodasi nilai-nilai. “
“ Mmhh, pandanganmu agaknya hampir sama dengan Rizal. Hal itu akan
menjadi faktor pemudah untuk melangkah lebih jauh. “ ejeknya.
“ Maksudmu apa? “
“ Sudah gaharu cendana pula. “
Kami ketawa. Semua orang yang kukenal di sini agaknya telah membuat
kesimpulan yang sama terhadap arah hubunganku dengan Rizal.
“ Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. “ kataku.
“ Jangan terlalu lama untuk mengambil kesimpulan. “ balas Farida.
Rizal kemudian muncul, wajahnya terlihat agak keruh.
“ Bagaimanapun jua dia Kakakmu, Zal. “ kataku. “ Darah yang mengalir
di tubuhnya adalah juga darah yang mengalir di tubuhmu. “
“ Dia datang membawa persoalan baru, tapi juga nempaknya ada
perubahan sikap. “
“ Ke arah yang lebih baik? “
“ Nampaknya. Katanya, suatu malam ketika pulang dari Batu Licin
menuju Banjarmasin, di daerah Sungai Danau dia terkurung banjir yang datang
tiba-tiba. Dia hampir mati, untung bisa ke luar dari mobil setelah berhasil
memecahkan kaca depan. Dia melihat dan merasakan sendiri derita orang-orang
yang terkena bencana itu. Lalu dia merasa semua itu merupakan teguran hutan
padanya. Maut yang begitu dekat, derita orang-orang yang dilihatnya, membuatnya
menyadari kebenaran kata-kataku tentang akibat penggundulan hutan.
“ Katanya lagi, dia ingin memperbaiki diri. Lalu memintaku untuk
menghijaukan kembali areal hutan yang sudah digundulinya. “
“ Jawabmu apa? “ kejarku.
“ Kataku, akan kupikirkan. Lalu dia pulang. “
“ Kenapa harus dipikir lagi? Bukankah selama ini justru perubahan
semacam itu yang engkau harapkan? “
“ Itu baru katanya, belum tentu kenyataan. Bisa saja karena takut
kena denda pemerintah dia lalu buru-buru menghijaukan areal agar izin HPH-nya
tidak dicabut. “
“ Zal, engkau sering bicara tentang pelestarian hutan-hutan. Tapi
ketika Kakakmu meminta tindakan nyata, engkau malah seperti enggan
melakukannya. Jangan terjerat hipokrisi, Zal. Biarlah orang lain jadi manusia
hipokrit, jangan engkau.
“ Nanti, jika Kakakmu tidak berubah juga, itu urusan akan datang.
Tapi engkau telah tunaikan kewajibanmu, telah membuktikan satunya kata dengan
perbuatan. “
“ Akur, Rey. “ dukung Farida. “ Manusia yang satu ini memang lama
tidak dikasih sambal yang pedas. “
Rizal menggaruk-garuk kepala. Acil
Ifah datang lagi., kali ini membawa kabar bahwa makan siang sudah siap.
*****
Peristiwa Sekian
Minggu, 31
Juli 1994
dalam doa malamku, aku
mencoba menafsirimu
dan berguru pada tetes
hujan yang bersunyi
di rumah tiram sebelum menjelma
mutiara
dalam doa subuhku, aku
mencoba menafsirimu
dan berguru pada embun yang
membisikkan
rahasianya di rajah daun
dalam doa siangku, aku
mencoba menafsirimu
menangkapi isyarat-isyarat
mercu
bahasa purbani kerdip
matamu
ma, aku mencintaimu
itu sebabnya
aku tak pernah selesai
menafsirimu
“ H
|
uuu, kental sekali pengaruh Sapardi Djoko Damono di situ. “ ejekanku
terlontar setelah membaca kata-kata yang tertulis di layar monitor komputer.
Rizal
ketawa. Ia menghentikan gerak mouse
yang hendak membuat sedikit illustrasi di layar.
“
Puisi konon perasaan paling fitri dari penulisnya. Dan puisi ini kutulis khusus
untukmu. “ ujarnya kemudian.
“
Merayu dengan puisi sekarang sudah tak laku lagi. “ aku menambah ejekan.
“
Kalau begitu aku akan merayu dengan cara yang lain. “
“
Cara apa? “
Rizal tak menyahut. Ia cepat berdiri, tangannya meraih pinggangku.
Aku meronta, rontaan pemanis suasana. Lantas mataku malu menatap wajah yang
rapat di wajahku. Maka aku memejam. Rambatan lunak singgah di bibirku. Terasa lembut.
Terasa hangat. Serasa madu. Serasa air suam kuku.
“ Mama! Papa! “
Sebuah suara mengumandang. Seraut wajah anak perempuan muncul di
pintu ruang kerja. Wajah buah cinta kami. Di tangannya tergenggam
tangkai-tangkai rambutan.
“ Rambutan di kebun sudah mulai masak, Ma. “ ujarnya.
Rizal merengkuhnya ke dalam pelukan, menggendongnya ke luar. Aku
mengi- ringi. Di ruang tamu, mataku sekilas melirik ke arah dua bilah mandau
yang tergantung di dinding. Di antara kedua mandau itu terpajang sebuah perisai
berukir, hadiah Damang Antang sewaktu
perkawinan kami dahulu.
Kandangan - Loksado
Oktober 1997
Sinopsis
R
|
eynida, seorang wanita wartawan koran
La-Bastari, dirasuki oleh visiun-visiun aneh yang menghubungkan dirinya dengan
kehidupan masa lalu, masa yang berjarak lebih dari satu abad dari hari-hari
kehidupannya. Semerbak bau harum dupa yang mengawali jeratan masa lalu itu
seperti sebuah rawa yang mengisap dan menenggelamkan dirinya ke dalam gelimang
darah, cinta dan kebencian.
P
|
enelusuran terhadap visiun aneh tersebut
membawanya ke Loksado, sebuah tempat di hunjuran Pegunungan Meratus, kawasan tradisional orang-orang suku Bukit.
Di perjalanan itu Rey bertemu dengan seorang lelaki bernama Afrizal
Kusumawardhana, lelaki yang merupakan bagian dari kehidupannya di rawa dupa.
Ternyata Afrizal, seorang penulis yang se-
ring mengirimkan kolomnya ke koran Rey, juga menerima visiun yang sama.
DAFTAR ALIH KATA BAHASA BUKIT DAN BANJAR
Peristiwa Satu
Babun = gendang
Balai = rumah besar,
rumah adat suku Bukit
Balian = dukun; penghubung/perantara antara dunia nyata dengan dunia
supranatura
Batandik = menari dengan gerak dominan pada hentakan kaki
Cacak-burung = tanda berbentuk tanda tambah (+), lambang penolak bala
Damak = anak sumpitan
berbisa
Damang = kepala suku
Galang
Hiyang = gelang dari perunggu, besarnya kira-kira
sebesar telunjuk
Lalaya = bangunan
berhias janur pucuk enau yang merupakan sentral upacara, wadah
meletakkan
sesaji dan dipercayai merupakan tempat
singgah makhluk-makhluk
gaib
Mamang = mantera
Ning Diwata = Yang Maha
Kuasa dalam kepercayaan suku Bukit
Panting = alat musik
sejenis gambus
Patilarahan = dunia arwah
Putir = penjaga
(makhluk gaib, dewa-dewa)
Sangiyang = sanghiyang
Peristiwa Dua
Anting-anting
baruntai = anting-anting yang diberi runtai, terbuat dari emas tanpa per
mata
Giling pinang = semacam
sesaji, terdiri dar kapur, sirih, pinang, gambir dan tembakau
HPH = Hak
Pengusahaan Hutan
Kambang goyang = hiasan di atas
sanggul berupa kuntum kembang bertangkai panjang,
bisa berupa satu tangkai terpisah
bisa pula berupa rumpun
Laung dua lilit = tutup kepala
dari kain yang dililitkan ke kepala sebanyak dua belitan,
ujungnya diikat di belakang
kepala
Luludung =sehelai sarung
yang direntangkan di atas kepala pengantin
Mangumpang parang = seperti sarung
parang
Pangulu = Penghulu;
Kepala Adat
Parapah hayam = ayam masak
yang dipanggang dan tidak dipotong-potong
Parapin = pedupaan dari
tanah liat
Parang Maya = jenis magi
hitam/black magic
Sinjang kain = sepotong kain
(biasanya sarung lelaki), lambang kesungguhan niat
Taluk balanga = baju tangan
panjang tanpa leher atau berleher rendah dan tegak
Tapih bahalai = sarung/kain
yang ujungnya tidak dijahit/dipertemukan
Timbaran = nama sejenis
kulit kayu
Ujuk = kamar pada balai
Peristiwa Tiga
Acil = Bibi; sebutan
kekeluargaan untuk orang yang lebih tua.
Apang = Bapak; Ayah
(bahasa Bukit)
Hirangan = sejenis kera
berbulu hitam
Pian = Anda, sebutan halus pada orang yang dihormati
atau yang lebih tua.
Lulung = lumbung
Peristiwa Empat
Aruh = pesta; upacara
Padatuan = ayah dan ibu
dari kakek, generasi keempat ke atas dari ego
Palupuh = gedek
Limpang = tangga dari
sebatang kayu yang ditakik-takik untuk pijakan
.
Peristiwa Lima
Bakul salah = bakul penebus
Balian Guru = balian tertua,
atau balian yang tertinggi ilmu/tingkatannya
Kuyan = ukuran
perolehan padi
Ringgitan = perangkat
upaca ra dari pucuk enau
.
[1] Ning Diwata = Yang Maha Kuasa dalam kepercayaan suku Bukit
[2] Putir = penjaga (makhluk gaib, dewa-dewa)
[3] Sangiyang = sanghiyang
[4] Damak = anak sumpitan berbisa
[5] Balai = ru,mah besar, rumah adat suku Bukit
[6] Batandik = menari dengan grak dominan pada hentakan kaki
[7] Lalaya = bangunan berhias janur pucuk enau yang merupakan sentral
upacara, wadah meletakkan sesaji dan
dipercayai merupakan tempat
singgah makhluk-makhluk gaib
[8] Mamang = mantera
[9] Balian = dukun; penghubung/perantara antara dunia nyata dengan
dunia supranatura
[10] Galang Hiyang = gelang dari perunggu, besarnya kira-kira sebesar
telunjuk
[11] Damang = kepala suku
[12] Cacak-burung = tanda berbentuk tanda tambah (+), lambang penolak
bala
[13] Patilarahan = dunia arwah
[14] Babun = gendang
[15] Panting = alat musik sejenis gambus
[16] HPH = Hak Pengusahaan Hutan
[17] Parapin = pedupaan dari tanah liat
[18] Timbaran = nama sejenis kulit kayu
[19] Kambang goyang = hiasan di atas sanggul berupa kuntum kembang
bertangkai panjang, bisa berupa satu
tangkai terpisah bisa pula berupa rumpun
[20] Mangumpang parang = seperti sarung parang
[21] Tapih bahalai = sarung/kain yang ujungnya tidak
dijahit/dipertemukan
[22] Anting-anting baruntai = anting-anting yang diberi runtai, terbuat
dari emas tanpa permata
[23] Ujuk = kamar pada balai
[24] Laung dua lilit = tutup kepala dari kain yang dililitkan ke kepala
sebanyak dua belitan, ujungnya diikat di
belakang kepala
[25] Taluk balanga = baju tangan panjang tanpa leher atau berleher
rendah dan tegak
[26] Luludung =sehelai sarung yang direntangkan di atas kepala pengantin
[27] Pangulu = Penghulu; Kepala Adat
[28] Parapah hayam = ayam masak yang dipanggang dan tidak
dipotong-potong
[29] Sinjang kain = sepotong kain (biasanya sarung lelaki), lambang
kesungguhan niat
[30] Giling pinang = semacam sesaji, terdiri dar kapur, sirih, pinang,
gambir dan tembakau
[31] Parang Maya = jenis magi hitam/black magic
[32] Hirangan = sejenis kera berbulu hitam
[33] Apang = Bapak;Ayah (bahasa Bukit)
[34] Pian = Anda, sebutan halus
pada orang yang dihormati atau yang lebih tua.
[35] Acil = Bibi; sebutan kekeluargaan untuk orang yang lebih tua.
[36] Lulung = lumbung
[37] Apang = ayah; bapak.
[38] Palupuh = gedek
[39] Limpang = tangga dari sebatang kayu yang ditakik-takik untuk
pijakan
[40] Aruh = pesta; upacara
[41] Padatuan = ayah dan ibu dari kakek, generasi keempat ke atas dari
ego.
[42] Kuyan = ukuran perolehan padi
[43] Ringgitan = perangkat upaca ra dari pucuk enau
[44] Bakul salah = bakul penebus
[45] Balian Guru = balian tertua, atau balian yang tertinggi
ilmu/tingkatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar