dewan kesenian hulu sungai selatan

dewan kesenian hulu sungai selatan
logo

SEJARAH

BENTENG BELANDA
DI HAMAWANG

Sedikit demi sedikit kompeni Belanda menancapkan kuku-kuku penjajahannya di Tanah Banjar. Mula-mula mereka cuma datang untuk membeli lada, lalu melakukan monopoli, membuka kantor dagang, mendirikan Benteng Tatas di Banjarmasin, membuka tambang batu bara, dan akhirnya sejak tanggal 11 Juni 1860 menghapus Kerajaan Banjar dan memasukkan seluruh wilayah kerajaan ke dalam kekuasaan Pemerintah Belanda.
Untuk mengamankan wilayah dan pemerintahannya, Kompeni Belanda menggunakan sistem benteng stelsel. Di tempat-tempat strategis, biasanya di pinggiran sungai besar, didirikan benteng sebagai markas tentara.
Di Kandangan, kompeni Belanda juga mendirikan sebuah benteng. Lokasinya terletak di Hamawang (sekarang merupakan kompleks Batalyon Infanteri 621 Kandangan). Tidaklah diketahui secara pasti kapan benteng itu didirikan, diperkirakan sekitar tahun 1858, saat Tamjidillah yang didukung penuh oleh Belanda menduduki tahta Kerajaan Banjar (3 Nopember 1857 s.d. 25 Juni 1859).
Saat pendirian benteng, jalan darat belum lagi dibuat. Lalu lintas perhubungan dilakukan lewat sungai. Pada waktu itu, aliran Sungai Amandit bukanlah sebagaimana aliran yang ada sekarang. Sungai Amandit mengalir melalui Hamawang, Sungai Paring, Muhara Ulin, Wasah, Simpur, sampai ke Kalumpang. Di sini, aliran sungai kemudian bersambung dengan aliran Sungai Negara sehingga bercabang dua. Cabang yang satu, dengan melawan arus, akan sampai ke Negara. Cabang yang lain, dengan mengikut arus, akan sampai ke Margasari, terus ke Marabahan, sampai ke Banjarmasin.
Kompeni Belanda pun menggunakan jalan sungai tersebut. Bertolak dari Banjarmasin, mencapai Kalumpang, terus menghulu ke Simpur. Di Simpur, mereka mendirikan bivak atau permukiman sementara, sebab perjalanan ke Kandangan terhambat oleh perlawanan dari rakyat.
Perlawanan rakyat itu dipimpin oleh Tumenggung Raksa Yuda yang oleh rakyat lebih dikenal dengan sebutan Datu Hamawang. Tumenggung Raksa Yuda dibantu oleh Tumenggung Antaluddin dan Panglima Mat Lima.
Menyikapi perlawanan rakyat, Belanda mendatangkan pasukan bantuan dari Banjarmasin. Setelah merasa kuat mereka pun berangkat memudiki Sungai Amandit. Pertempuran terjadi di Hamawang.
Didukung persenjataan berupa senapan dan meriam, Belanda berhasil mendarat lalu mendirikan benteng. Lokasi benteng mula-mula terletak di lokasi Masjid Quba Hamawang sekarang ini. Sementara di seberang sungai (daerah Hamawang Kiri) merupakan lokasi pertahanan para tumenggung.
Secara bertahap Belanda kemudian memindahkan bentengnya ke hulu, ke Hamawang Muka. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, benteng Belanda di Hamawang Muka berdiri kukuh, menjadi benteng tentara yang tetap dipertahankan hingga ke masa penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia, tahun 1949.
Dalam upaya mengamankan benteng, Belanda melakukan kerja paksa pada para penduduk untuk mengalihkan aliran Sungai Amandit. Aliran sungai ke arah Hamawang ditutup, sehingga aliran sungai dari Hamawang ke Kalumpang menjadi mati. Sebagai gantinya, dibuatlah aliran sungai ke arah Lungau/Simpang Ampat Hantasan.
Perkembangan selanjutnya, dari Benteng Hamawang itulah Belanda membangun kota Kandangan. Jalan darat mulai dirintis, baik ke arah Banjarmasin maupun ke arah Barabai dan Amuntai.
Setelah Perang Banjar berakhir dan wilayah Kerajaan Banjar sepenuhnya berada dalam kekuasaan Belanda, dibangunlah jalan raya dari Banjarmasin melalui Martapura ke Hulu Sungai sampai ke Ampah dan Muhara Uya. Belanda juga memerintahkan agar kampung-kampung dipindahkan ke tepi jalan dengan bangunan rumah-rumah yang berbaris menghadap ke jalan raya.
Kebijakan Belanda itu menimbulkan perubahan tersendiri terhadap keberadaan kampung-kampung. Jika semula orang mendirikan kampung amat tergantung pada keberadaan sungai maka patokan itu tak lagi dipertahankan sepenuhnya. Kota dan desa pun bertumbuhan di sekitar jalan raya, seperti sekarang ini.
Akan halnya Tumenggung Raksa Yuda atau Datu Hamawang, beliau kemudian gaib. Sementara Panglima Mat Lima ikut berjuang dengan Pangeran Antasari hingga ke daerah Puruk Cahu, sampai akhir hayatnya. Tumenggung Antaluddin juga mengikut Antasari, mempimpin perlawanan rakyat, di antaranya dengan mendirikan Benteng Madang.

BENTENG MADANG

Pangeran Antasari mencetuskan Perang Banjar (Belanda menyebutnya Banjarmasinsche Krijg, Perang Banjarmasin) pada tanggal 28 April 1859. Berbekal 3000 orang pasukan Antasari menyerang benteng Belanda di Pengaron. Sehari kemudian, 29 April 1859, tambang batu bara Oranye Nassau diserbu. Sementara pengepungan berlangsung, tanggal 1 Mei 1859, pasukan Antasari menyerang tambang batu baru Juliana Hermina.
Dukungan terhadap Perang Banjar semakin meluas, terlebih setelah Pangeran Hidayat menggabungkan diri. Para pahlawan dan pemimpin rakyat sama angkat senjata. Demang Lehman di Martapura. Tumenggung Surapati di Muara Teweh. Tumenggung Jalil di Amuntai. Penghulu Rasyid di Kelua. Tumenggung Naro di Baruh Bahino. Buyasin di Tanah Laut. Panglima Batur di Marabahan. Sambang atau Sultan Kuning di Rantau. Tumenggung Antaluddin di Kandangan.
Akhir bulan Desember 1859, Tumenggung Antaluddin bersama dengan Demang Lehman, Pangeran Aminullah, Kusin dan Ali Akbar, mempertahankan Benteng Munggu Tajur dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Belanda datang lagi dengan persenjataan yang lebih lengkap, termasuk meriam-meriam besar, mengepung Benteng Munggu Tajur dari tiga jurusan. Setelah melewati pertempuran sengit, Tumenggung Antaluddin dan kawan-kawan terpaksa meninggalkan benteng. Benteng Munggu Tajur pun dibakar Belanda.
Tanggal 28 April 1860, malam hari, di Benteng Patigan, dalam rangka peringatan setahun berkobarnya Perang Banjar, diadakan api unggun. Hadir di situ Pangeran Hidayat, Pangeran Antasari, Tumenggung Antaluddin, Demang Lehman, Tumenggung Jalil, dan beberapa pemimpin perlawanan di daerah Hulu Sungai lainnya. Dalam pertemuan tersebut diangkat dan ditetapkan para Tumenggung, Demang, Penghulu, Kiai dan Pambakal. Kepada masing-masing orang diserahkan surat bertulisan Arab-Melayu di atas lempengan timah hitam dan dibubuhi cap Kerajaan Banjar. Hasil lainnya adalah keputusan untuk memperkuat benteng yang ada dan mendirikan benteng-benteng baru dan gardu-gardu pertahanan.
Tak lama setelah itu, Tumenggung Antaluddin dan Sambang mempertahankan Benteng Tambai Mekah di dekat Tambarangan. Empat kali Belanda menyerang baru berhasil menguasai dan membakar benteng. Sambang terluka parah, tetapi berhasil menyelamatkan diri, baru dapat ditangkap Belanda tahun 1863. Sementara itu Tumenggung Antaluddin diperintahkan untuk mendirikan sebuah benteng di Kandangan.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama berdirilah sebuah benteng di puncak bukit yang dikenal sebagai Gunung Madang, sekitar 4 km dari Kandangan. Benteng Madang dibangun dengan menggunakan 7 lapis batang kayu madang yang terdapat di sekitar tempat itu. Luas bangunannya sekitar 400 meter persegi, berbentuk bundar, bertingkat dua. Tingkat atas digunakan sebagai tempat pengintaian sekaligus tempat pasukan bersenjata api, termasuk 3 pucuk meriam lila.
Pada pinggir puncak bagian selatan dan utara bersusun batu-batu besar, tempat pertahanan bagian bawah yang juga dipersenjatai dengan 3 pucuk meriam lila. Di bagian barat atau belakang benteng terdapat hutan bambu yang cukup lebat sehingga menjadi pagar hidup. Bagian timur, lerengnya merupakan jalan menuju benteng. Jalan itu sengaja dibersihkan dari pepohonan dan semak-semak, sebab di depan pintu benteng ada tumpukan kayu-kayu gelondongan yang dapat digulingkan jika serdadu Belanda mencoba naik.
Alat pertahanan lainnya adalah berupa jembatan-jembatan palsu, terbuat dari kayu-kayu gelondongan. Jika diinjak jembatan akan berguling. Orang yang tidak waspada akan kehilangan keseimbangan, tercebur ke sungai dan disambut oleh sungga, yaitu batangan besi runcing yang tersimpan di bawah permukaan air. Pada beberapa bagian pinggiran sungai juga terpasang sungga, menahan orang yang menyeberang dengan berenang atau naik perahu. Di bentangan padang ilalang terdapat juga lubang-lubang jebakan yang di dalamnya berisi sungga. Selain itu ada juga jalan rahasia di bawah tanah, jalan yang merupakan keluar-masuk pasukan penyergap.
Dari Benteng Madang itulah dikirim kelompok-kelompok laskar untuk melakukan penyergapan terhadap pasukan Belanda, terutama terhadap pasukan patroli. Penyergapan-penyergapan yang mendatangkan banyak korban membuat Belanda melakukan penyelidikan intensif terhadap pusat pasukan Antaluddin.
Keberadaan Benteng Madang akhirnya diketahui Belanda akibat pengkhianatan seorang wanita pedagang yang biasa membawa barang dagangan ke benteng. Belanda pun segera mempersiapkan pasukan untuk menyerbu Benteng Madang.
Tanggal 3 September 1860, Belanda memberangkatkan pasukan dari benteng mereka di Hamawang. Pasukan bergerak melewati daerah Karang Jawa dan Ambarai. Sebelum mencapai Benteng Madang, beberapa orang serdadu sudah menjadi korban, saat melewati jembatan Serongga, mati dengan tubuh tertancap ke sungga. Pertempuran terjadi di kaki Gunung Madang. Banyak korban di pihak Belanda sehingga mereka memutuskan untuk mengundurkan diri.
Serangan ke Benteng Madang diulang lagi pada hari-hari berikutnya, tapi selalu gagal. Medan yang ada dan keperkasaan Laskar Madang membuat benteng sukar untuk ditaklukkan. Belanda pun menambah kekuatan penyerangan. Serangan dilakukan lagi pada tanggal 13 September 1860, dipimpin oleh Letnan de Brauw dan Sersan de Vries. Benteng Madang diserbu dari arah muka dan belakang.
Tumenggung Antaluddin dan Laskar Madang bertempur dengan gigih. Setelah melewati pertempuran sengit, pasukan Belanda kembali dipukul mundur. Sersan de Vries tewas. Letnan de Brauw luka-luka, kena tembak di pahanya.
Rentetan kekalahan dan kegagalan menaklukkan Benteng Madang tersebut kemudian membuat Belanda mengerahkan segenap kekuatan yang ada di Benteng Hamawang. Kapten Koch memimpin langsung pasukan. Tanggal 18 September 1860, pasukan Belanda menyerbu Benteng Madang. Kali ini lengkap dengan meriam-meriam besar beroda. Pertempuran hebat berkobar, hampir sehari penuh. Menjelang senja, pasukan Belanda akhirnya berhasil dipukul mundur. Bahkan Kapten Koch tewas di Madang.
Akibat pertempuran itu Benteng Madang rusak berat. Laskar Madang juga banyak yang gugur. Salah satu di antaranya adalah Kiai Cakrawati, tertembak di matanya. Kiai Cakrawati bersama istrinya Galuh Sarinah datang membawa pasukan untuk membantu Antaluddin dari garis pertahanan Pagar Haur. Agar jangan melemahkan semangat tempur pasukan, sesaat setelah kematian suaminya, Galuh Sarinah mengenakan pakaian Kiai Cakrawati, terus bertempur memimpin pasukannya. Sejak itu Galuh Sarinah terus mengenakan pakaian laki-laki dan menyebut dirinya sebagai Kiai Cakrawati.
Sementara itu, menyadari kekuatan Benteng Madang, Belanda mendatangkan pasukan dari benteng mereka di Barabai dan Amuntai. Mereka mendatangkan juga pasukan dari Batalyon 13 Banjarmasin yang dipimpin oleh Mayor Schuak (orang Hulu Sungai biasa menyebut Mayor Schuak dengan sebutan Mayor Sahak). Mayor Schuak mempersiapkan serangan besar-besaran ke Benteng Madang.
Kabar persiapan serangan besar-besaran Belanda sudah didengar oleh Tumenggung Antaluddin. Menyikapi keadaan tersebut, ditambah keadaan Benteng Madang yang belum sempat diperbaiki, Tumenggung Antaluddin mengadakan musyawarah dengan para pimpinan Laskar Madang. Bertolak dari berbagai pertimbangan maka diputuskan untuk meninggalkan Benteng Madang, meneruskan perjuangan dengan menggabungkan diri ke benteng-benteng lain. Dasar pertimbangan yang mengemuka saat itu adalah : jika Laskar Madang habis berguguran dalam mempertahankan benteng maka perlawanan terhadap Belanda di kawasan Amandit khususnya dan di kawasan Hulu Sungai umumnya akan melemah. Hal itu akan membuat Belanda dapat memusatkan perhatian untuk menggempur pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat yang tengah berjuang di daerah lain. Pemikiran tentang kesinambungan perjuangan tersebut akhirnya memunculkan keputusan untuk mengorbankan sebuah benteng daripada Belanda mendapatkan banyak kemudahan untuk memadamkan Perang Banjar.
Maka Laskar Madang pun dibagi menjadi tiga bagian. Dua bagian meninggalkan benteng dengan mengambil jalan berbeda, sebagian menuju arah utara sedang sebagian lain menuju arah selatan. Pasukan bagian ketiga tetap bertahan di dalam benteng, bertempur sembari memberi waktu kepada pasukan yang meninggalkan benteng untuk menjauh. Pasukan di Benteng Madang ini nantinya secara bertahap juga akan meninggalkan benteng melalui jalan rahasia.
Di pihak Belanda, Mayor Schuak juga mengambil siasat yang berbeda. Kalau sebelumnya serangan dilakukan pada siang hari maka kali ini serangan akan dilaksanakan pada malam hari. Maka pada tanggal 18 September 1860 pasukan Belanda meluruk ke Benteng Madang dari empat jurusan.
Menjelang tengah malam, komando penyerbuan diberikan oleh Mayor Schuak. Serangan Belanda itu disambut oleh sisa Laskar Madang yang berada dalam benteng. Pertempuran pun berkobar hingga subuh.
Dalam upaya mengacaukan konsentrasi Laskar Madang yang bertahan di benteng, Belanda menembakkan meriam berisi uang logam. Diharapkan Laskar Madang yang bertahan di benteng akan meninggalkan posnya dan berebutan mengambili uang yang berhamburan sehingga pasukan Belanda punya peluang untuk mendekati Benteng Madang.
Ketika pagi tiba, tak terdengar lagi tembakan balasan dari dalam benteng. Belanda mengira siasatnya berhasil. Mereka pun segera menyerbu menaiki gunung, menghancur-kan pintu benteng. Betapa terkejutnya Mayor Schuak saat mendapati Benteng Madang dalam keadaan kosong. Di situ cuma ditemukan mayat seorang laskar. Tumenggung Antaluddin telah membawa sisa pasukannya meninggalkan benteng, sesuai dengan siasat yang telah disusun.
Penuh rasa marah Mayor Schuak memerintahkan serdadunya untuk membakar Benteng Madang. Benteng Madang pun tak lagi bersisa, hangus menjadi abu yang diterbangkan angin.
Tumenggung Antaluddin bergerak menyusur kawasan Pegunungan Meratus, kemudian bermarkas di Gunung Panginangan Ratu. Mereka terus melakukan berbagai gangguan terhadap Belanda.
Tanggal 21 April 1861, pasukan Antaluddin bersama dengan pasukan Demang Lehman, menyerbu Benteng Hamawang. Pasukan kemudian ditarik mundur karena datangnya pasukan bantuan Belanda yang masuk lewat Simpur.
Di bulan Agustus 1861, pasukan Antaluddin bersama pasukan Kiai Cakrawati (Galuh Sarinah) dan Kiai Raksapati terlibat pertempuran dengan Belanda di Gunung Pamaton dan Gunung Halau-Halau.
Setelah Pangeran Antasari meninggal karena sakit pada tanggal 11 Oktober 1862, Tumenggung Antaluddin memutuskan untuk bermukim di Gunung Panginangan Ratu.

AMUK HANTARUKUNG

Perang Banjar atau Banjarmasinsche Krijg mendekati ujungnya. Satu demi satu para pimpinan perjuangan berpulang atau berhasil ditangkap Belanda. Tumenggung Jalil gugur saat mempertahankan Benteng Tundakan, Batu Mandi, tanggal 24 September 1861. Pangeran Hidayat menyerahkan diri kepada Belanda pada tanggal 30 Januari 1862, lalu bersama keluarganya diasingkan Belanda ke Cianjur, tanggal 3 Maret 1862. Pangeran Antasari—sang pencetus Perang Banjar—yang bergelar Penembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin itu telah pula berpulang ke rahmatullah karena sakit, tanggal 11 Oktober 1862. Jenazahnya semula dikebumikan di dekat benteng pertahanan terakhirnya, di kampung Sampirang, Bayan Begog. Makam di daerah Puruk Cahu di hulu Sungai Teweh Kalimantan Tengah ini digali setelah Indonesia merdeka. Jenazah Antasari dipindahkan ke Makam Pahlawan Banjar, di dekat Masjid Jami Banjarmasin, tanggal 11 Nopember 1958. Demang Lehman berhasil ditangkap Belanda, kemudian digantung di alun-alun Martapura, tanggal 27 Februari 1864. Sekitar setahun kemudian, Penghulu Rasyid berkuang darah, rebah tanpa kepala di Kampung Habau, Kelua. Tumenggung Naro gugur di Gunung Kayu, Sungai Pitap, Balangan. Tanggal 26 Januari 1866, Buyasin gugur dalam pertempuran di kawasan Sungai Lintuni. Tahun 1875, Tumenggung Surapati meninggal oleh deraan sakit.
Kendati demikian, perjuangan yang dibuhul semangat Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing terus berlangsung. Sultan Muhammad Seman, putra Antasari, menyambut estafeta, berkisar di kerimbunan hutan-hutan Barito, meneriakkan komando perjuangan.
Di antara amis darah dan udara bau mesiu itu, tersebutlah seorang lelaki bernama Bukhari. Lelaki itu dilahirkan di Hantarukung, Kandangan, sekitar tahun 1850. Ayahnya bernama Manggir, biasa dipanggil dengan nama gelaran Ning Andang. Ibunya bernama Bariah. Dan salah seorang adiknya, Santar namanya.
Bukhari dibesarkan di Puruk Cahu. Ketika Sultan Muhammad Seman mengambil alih pimpinan perjuangan melawan Belanda, Bukhari diangkat sebagai punakawan dan Pemayung Sultan.
Menjelang bulan September 1899, Sultan Muhammad Seman memerintahkan Bukhari pulang ke Hantarukung untuk mengobarkan perjuangan di daerah Amandit. Sultan berharap perlawanan rakyat di sana dapat membesar sehingga tekanan Belanda terhadap perjuangan di kawasan Puruk Cahu sedikit berkurang lantaran pihak Belanda terbagi konsentrasinya.
Bukhari menyambut gembira tugas itu. Maka berbekal sebuah surat bercap Kerajaan Banjar, Bukhari diiringi Santar mengayun langkah meninggalkan Benteng Gunung Bondang di Puruk Cahu, pulang ke Hantarukung, kampung halamannya.
Di Hantarukung, kesengsaraan tengah melanda rakyat. Mereka dipaksa oleh Belanda untuk menggali sungai. Kerja paksa ditambah beban pajak kepala yang amat tinggi membuat rakyat menyambut hangat kedatangan dan maksud Bukhari untuk mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Pangirak Yuya, salah seorang pemimpin Hantarukung, diam-diam segera mengumpulkan pengikut. Api juang pun perlahan memarak nyala di kampung Hantarukung, Hamparaya dan Ulin. Dalam waktu singkat 25 orang penduduk bergabung.
Untuk meyakinkan para pengikutnya, Bukhari sempat memperlihatkan kemampuan dan ilmunya. Tusukan senjata tajam tak meninggalkan bekas di tubuhnya. Dicincang dalam gulungan tikar purun tak sedikit pun meninggalkan luka. Sekali lompat dapat menyeberangi sungai. Bahkan dengan ringan ia dapat berdiri di atas pelepah pisang.
Maka dengan dalih bahwa penduduk Hantarukung, Hamparaya dan Ulin tak mau lagi kerja menggali sungai, serta tak mau pula membayar pajak, perlawanan terhadap Belanda pun dicetuskan.
Pembangkangan dan terbengkalainya proyek penggali-an sungai itu membuat pemerintah Belanda marah. Tanggal 18 September 1899, sebuah kereta berkuda ke luar dari Benteng Hamawang. Di dalamnya, Controleur Adsenerpont Domes dan Aspirant K. Wehonleschen. Mereka diiringi oleh 5 orang pejabat bumiputra dan sepasukan serdadu bersenjata lengkap.
Menjelang kampung Hantarukung, suasana nampak sepi. Saat melewati jalanan sempit dan berlumpur, roda kereta terbenam. Sementara serdadu Belanda sibuk mengeluarkan roda kereta dari benaman lumpur muncullah Pangirak Yuya dan Atma. Di tangan Yuya tergenggam sebilah parang bungkul dan sebatang tombak. Di tangan Atma terkokang sebuah senapan lantak.
Ketika Domes tengah bertanya-jawab dengan Yuya, Atma melepaskan tembakan. Belum lagi bunyi tembakan itu sirna, terdengar teriakan Allahu Akbar dan kumandang Shalawat Nabi, diikuti serbuan pasukan Bukhari dan Santar. Pertempuran sengit pun berkobar.
Peristiwa tanggal 18 September 1899 yang dalam sejarah dikenal dengan sebutan Amuk Hantarukung menimbulkan banyak korban. Controleur Domes, Aspirant K. Wehonleschen, dan seorang pejabat bumiputra, tewas di situ. Serdadu Belanda, dengan membawa orang-orang yang terluka, segera mengundurkan diri, kembali ke Benteng Hamawang.
Malamnya, di Benteng Hamawang diadakan rapat. Keberadaan dan ketangguhan Bukhari dicermati dan disiasati. Bertolak dari pengalaman perang di Tanah Banjar selama ini dan pengetahuan para pejabat bumiputra, Belanda kemudian menyiapkan senjata pamungkas untuk Bukhari, yakni butiran peluru yang terbuat dari emas.
Siangnya, hari Senin tanggal 19 September 1899, gerbang Benteng Hamawang kembali terbuka. Berkekuatan 2 kompi bersenjata lengkap, Belanda berniat melakukan pembalasan.
Serangan balasan itu pada dasarnya sudah diperhitung-kan oleh Bukhari. Dia dan pasukannya bersembunyi di hutan, menunggu kedatangan pasukan Belanda.
Tak lama kemudian derap langkah pasukan Belanda terdengar menggema. Menjelang kampung Hantarukung, di sebuah lahan persawahan, pasukan Belanda mulai membentuk posisi tempur. Tembakan peringatan dilepaskan. Teriakan agar penduduk menyerah dikumandangkan.
Terdengar sahutan berupa gema takbir dari berbagai penjuru. Semak belukar pun tersilak. Bukhari, Landuk, dan H. Matamin, mendahului ke luar dari persembunyian, menyerbu dengan senjata terhunus. Anggota pasukan lainnya segera mengiringi, berlarian menyerbu sasaran. Pertempuran sengit kembali terjadi. Amuk.
Darah membanjir di Hantarukung. Di antara teriak kesakitan dan erang kematian, beberapa serdadu Belanda yang telah disiapkan sebagai penembak jitu mengambil posisi seraya memasukkan butiran peluru emas ke senapan. Pada saat yang tepat, senapan-senapan berpeluru emas meletus. Peluru emas tersebut berhasil menembus tubuh Bukhari, memecahkan kekebalannya. Sang Pamayung Sultan pun rebah, berkuah darah.
Rubuhnya Bukhari diikuti oleh tumbangnya Landuk dan H. Matamin. Melihat pemimpin mereka rubuh, pasukan Hantarukung cerai-berai. Beberapa orang sempat mengundur-kan diri ke dalam hutan. Beberapa lagi terluka dan tertangkap.
Pembersihan kampung Hantarukung, Hamparaya dan Ulin dilakukan Belanda secara besar-besaran. Penangkapan dan penyiksaan merupakan bagian tak terpisahkan dari operasi militer itu. Bahkan jenazah Bukhari, Landuk dan H. Matamin dibawa ke Kandangan, dipamerkan di sepanjang jalan.
Jenazah Bukhari, Landuk dan H. Matamin kemudian dikuburkan dalam satu liang di daerah Parincahan. Makam ketiga pahlawan Hantarukung tersebut dikenal sebagai Makam Tumpang Talu, makam bertumpang tiga.
Kekejaman Belanda belum berakhir sampai di situ. 9 orang pengikut Bukhari mengakhiri hayat di tiang gantungan. Mereka adalah Sahintul, Fakih, Unin, Mayasin, H. Sanuddin, Alas, Tanang, Tasih, dan Atma. Kesembilan orang itu kemudian dimakamkan di kompleks kuburan Bawah Tandui di kampung Hantarukung dan di kompleks kuburan Talaga Gajah di Hamparaya.
4 orang pengikut yang lain, yaitu Hala, Bain, Idir dan Hair, gugur setelah menerima berbagai siksaan di dalam penjara. 10 orang lagi mendapat hukuman buang ke luar daerah, yakni Sudin, Bulat, Matasin, Usin, Unan, Saal, Lasan, Sahinin, Amin, dan Santar.
Bukhari dan 25 orang pengikutnya, pelaku Amuk Hantarukung, menerima takdir masing-masing. Takdir para pejuang yang mengikhlaskan nyawa dan nasibnya bagi banua agar lepas dari cengkeraman para penjajah.
HULU SUNGAI SELATAN
DI MASA JEPANG
Perang Pasifik pecah. Tanggal 24 Januari 1942, Jepang berhasil menduduki Balikpapan. Mereka selanjutnya menyusup ke kawasan Kalimantan Selatan, melalui Pegunungan Meratus, sampai di Muara Uya. Dari sini mereka berangkat kelompok demi kelompok—tiap kelompok beranggotakan 5 sampai 10 orang—untuk menduduki kota-kota strategis di Kalimantan Selatan. Pergerakan pasukan itu menggunakan fasilitas seadanya. Ada yang berjalan kaki. Ada yang naik perahu. Ada yang menggunakan rakit bambu. Ada pula yang menggunakan sepeda atau mobil. Kendaraan itu tentu saja mereka rampas dari rakyat di sepanjang jalan yang mereka temui.
Tugas mereka berhasil dalam waktu singkat, nyaris tanpa perlawanan berarti dari pihak Belanda. Tanggal 6 Februari 1942, kota Tanjung dikuasai. Tanggal 8 Februari 1942, menyusul giliran kota Amuntai dan Barabai. Pada hari yang sama, kota Kandangan pun tak luput jadi sasaran mereka.
Sebelumnya, menyikapi pergerakan pasukan Jepang itu, pemerintah Belanda di Kandangan melakukan bumi hangus. Berbagai fasilitas, seperti mesin-mesin pabrik dan percetakan, dirusak dan dimusnahkan. Bahkan, untuk menghambat gerak laju pasukan Jepang, jembatan besi (sekarang jembatan Antaluddin) diledakkan. Peledakan jembatan besi ini langsung memakan korban. Montang (kas klerk pada kantor Controleur Kandangan) yang saat itu berada di depan sekolah rakyat (Hollands Inlandse School / HIS, sekarang SDN Kandangan Kota 1) mati lantaran kepalanya kejatuhan besi akibat ledakan.
Tanggal 8 Februari 1942, pagi hari, tentara Jepang memasuki Kandangan. Di depan rumah kediaman resmi Controleur (sekarang Kantor Bupati HSS) telah menunggu beberapa pejabat pemerintahan Belanda. Controleur Hoof van Plaatselijke Bestuur, Contoleur Landrente (Pejabat Dinas Pajak) Santi de Pareira, dan Landbouw Consulent Dept. van Financien (Inspektur Pertanian Wilayah Hulu Sungai) Ir. Ramsdong, tampil dalam seragam resmi, siap untuk melakukan penyerahan kekuasaan.
Komandan tentara Jepang yang menyaksikan porak-porandanya kota Kandangan dan runtuhnya jembatan besi, jadi marah. Dia langsung menjatuhkan hukuman mati kepada ketiga pejabat Belanda itu. Rakyat pun dikumpulkan. Tak lama kemudian, di tebing Sungai Amandit, tepat di bawah jembatan yang runtuh, tusukan bayonet dan tebasan samurai bersarang di tubuh ketiga pejabat Belanda tersebut.
Sejak itu teror dan kekejaman dipampangkan kepada rakyat. Diikuti oleh pen-jepang-an rakyat, terutama bagi para pelajar dan pemuda. Sekolah dibatasi mata pelajarannya. Huruf-huruf Jepang, seperti Kitakana, Hiragana dan Kanji, diajarkan. Menyanyikan lagu berirama mars, taiso (olahraga senam), dan konrokosyi (gotong royong) menjadi hal utama.
Setiap pagi, diwajibkan untuk melakukan Seikerei, suatu sikap membungkuk hormat ke arah utara, ke arah Tokyo, tempat Kaisar Tenno Heika bersemayam. Tanggal 8 tiap bulan, dilakukan upacara pembacaan Syosyo, sabda Kaisar Tenno Heika, yang dibacakan oleh Kepala Sekolah. Upacara itu diakhiri dengan koor pekik penuh semangat : Dai Nippon Teikoku, Banzai! (Hidup Kekaisaran Nippon Raya), Tenno Heika, Banzai! (Hidup Tenno Heika!). Di dalam kelas, dipimpin oleh Ketua Kelas, dipekikkan semboyan :Warera no kotoba, wa Nipponggo. Asia no kotoba, wa Nipponggo (Bahasa kami adalah Bahasa Jepang. Bahasa Asia adalah Bahasa Jepang).
Semboyan-semboyan muluk juga ditanamkan ke hati rakyat, seperti Jepang Adalah Saudara Tua; Inggris Kita Linggis Amerika Kita Setrika; Bersanding Bahu Mencapai Kemenangan, dan semacamnya.
Jepang juga membentuk gerakan-gerakan pemuda guna dijadikan tenaga pembangunan atau tentara cadangan, juga agar gampang memobilisasi massa. Gerakan pemuda itu antara lain :
a. Seinen Dan, untuk pemuda berusia 15 sampai 20 tahun. Dari tiap son (desa) satu buntai (regu), dipusatkan pada Fuku Gun (kecamatan) dan Gun (kewedanaan). Tugasnya bersifat lokal.

b. Konan Hokoku Dan, untuk para pemuda berusia 20 tahun sampai 35 tahun. Dari tiap Fuku Gun satu sotai (seksi), dipusatkan pada Gun.

c. Bo-Ei-Tai-Sin-Tai, sebagai pengembangan dari Konan Hokoku Dan. Kesatuan Bo-Ei-Tai-Sin-Tai ini mendapat latihan militer dan pengetahuan senjata ringan.

Dalam menjalankan pemerintahan, Jepang tetap menggunakan sistem pemerintahan Belanda yang dulu terdiri dari Afdeling, Onderafdeling, Distrik, Onderdistrik, dan desa/kampung. Di masa Jepang, Ken menguasai daerah yang dulu dinamakan Afdeling, meliputi daerah Hulu Sungai, berkedudukan di Kandangan. Kepala pemerintahan yang di masa Belanda disebut Asisten Residen kini dinamakan Ken Kanrikan. Wilayah Ken Kan Rikan membawahi beberapa Bunken, wilayah yang dulu disebut Onderafdeling. Kepala pemerintahan Bunken disebut Bunken Kanrikan. Wilayah Bunken membawahi beberapa Gun, wilayah yang dulu disebut Distrik. Kepala pemerintahan Gun dinamakan Gun-co. Wilayah Gun membawahi beberapa Fuku Gun, wilayah yang dulu disebut Onderdistrik. Kepala Pemerintahan Fuku Gun disebut Fuku-Gun-co. Wilayah Fuku Gun membawahi beberapa Son, yaitu desa atau kampung. Kepala Kampung atau Pambakal disebut Son-co. Di tiap kampung dibentuk Tonari Gumi atau Rukun Tetangga. Ketua Rukun Tetangga disebut Gumico

Untuk menunjang biaya perang, Jepang mendirikan beberapa perusahaan dalam bentuk perseroan terbatas, antara lain pabrik semen Nomura Teindo Kabushiki Kaisha di Muara Banta, dan Kasen Ongkokai Kabushiki Kaisha di daerah pasar Kandangan. Selain itu dibangun juga rel kereta api/lori yang menghubungkan Desa Longawang, Telaga Langsat dan Negara untuk digunakan sebagai angkutan batubara.

Jepang juga menyadari pentingnya peranan pers sebagai alat propaganda. Dalam waktu tidak terlalu lama, mereka pun menerbitkan surat kabar. Mula-mula surat kabar itu diterbitkan di Banjarmasin. Komandan Tentara Jepang, Kolonel Yamamoto, memanggil A. A. Hamidhan—yang sebelum Jepang masuk ke Kalimantan Selatan merupakan penerbit dan pimpinan redaksi harian Suara Kalimantan Banjarmasin--untuk ditugasi mengelola sebuah surat kabar. Bulan Maret tahun 1942, terbitlah sebuah surat kabar yang bernama Kalimantan Raya. Selama beberapa bulan, Jepang tak mencampuri penerbitan itu. Perubahan terjadi setelah pergantian kekuasaan wilayah dari Rikugun (Angkatan Darat Jepang) kepada Kaigun (Angkatan Laut Jepang).
Sejak dikuasai oleh Kaigun isi Kalimantan Raya harus disensor. Bahkan namanya kemudian diubah menjadi Borneo Shimbun. Pimpinan Umumnya orang Jepang, mula-mula Watanabe, kemudian digantikan oleh K. Kato. Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawabnya A. A. Hamidhan.
Borneo Shimbun pada awalnya diterbitkan 4 halaman. 2 halaman berhuruf latin berbahasa Indonesia, sedang 2 halaman lagi menggunakan huruf Kanji Jepang. Penerbitan seperti ini tak berlangsung lama. Setelah mesin percetakan didatangkan dari Jawa, Borneo Shimbun berbahasa Indonesia akhirnya diterbitkan terpisah. Para wartawan Borneo Shimbun ini antara lain A. A. Hamidhan, Gusti Sugian Noor, F. Mohani, Marwan Ali, Ahmad Basuni, Zaglulsyah, Abdul Wahab, Syahransyah, Rosita Gani, Yanti Tayana, dan Golek Kencana,

Di Kandangan, tahun 1943, Haspan Hadna menerbitkan sebuah majalah hiburan bernama Purnama Raya. Majalah ini banyak memuat karya sastra dari sastrawan Hulu Sungai Selatan zaman itu, seperti Artum Artha, Maseri Matali, S. M. Darul, dan lain-lain. Sayangnya, majalah ini tak berumur lama, dibredel oleh Bunken Kanrikan. Haspan Hadna kemudian diperintahkan untuk mengelola Borneo Shimbun edisi Kandangan, edisi khusus untuk wilayah Hulu Sungai.
Borneo Shimbun edisi Kandangan ini dikelola oleh Ahmad Basuni, Haspan Hadna, dan Merah Daniel Bangsawan. Kantor redaksi dan tata usahanya bertempat di toko Ang Kim Can, sebuah bangunan toko terbesar di pasar Kandangan (sekarang kompleks bangunan Kantor Bank Rakyat Indonesia/ BRI Unit Pasar Kandangan dan Bank Pembangunan Daerah/BPD).
Berita dan tulisan yang muncul di Borneo Shimbun disensor secara ketat oleh Jepang. Berita-berita itu hampir seluruhnya diperoleh dari Kantor Berita Domei Banjarmasin dan Jakarta.
Di sisi lain, untuk menutup informasi yang berbeda dengan kehendak Jepang, radio-radio milik rakyat dilak, sebagian besar bahkan disita. Dengan demikian informasi atau berita yang dibaca dan didengar cumalah hal yang berkaitan dengan kepentingan pemerintah Jepang.




BERITA PROKLAMASI
KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

Memasuki minggu ketiga Agustus 1945 suasana Kandangan terlihat lain dari biasa. Pejabat pemerintahan Jepang menampakkan wajah yang keruh seperti orang menyimpan rasa prihatin. Beberapa kantor pemerintahan terlihat lengang. Saikeirei tak terurusi. Kelompok Seinendan, Konan Hokoku Dan, Bo Ei Tai Sin Tai, tidak lagi dikumpulkan. Suplai bahan berita dari Kantor Berita Domei untuk Borneo Shimboen edisi Kandangan telah terhenti sejak tanggal 13 Agustus.
Kelainan suasana itu membuat tokoh-tokoh pergerakan dan redaktur Borneo Shimboen diliputi tanda tanya, utamanya tentang perkembangan terakhir Perang Pasifik. Maka Zafri Zamzam, Haji Muhammad Arsyad (Muhammad Arsyad) dan Hamli Carang berinisiatif untuk menghadap Ken Kanrikan Kanda. Penguasa tertinggi Jepang di Kandangan itu sambil terisak mengatakan bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Kanda memberi wanti-wanti agar berita tersebut off the record alias jangan disiarkan.
Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Perang Pasifik berakhir. Tapi apa yang terjadi di tanah air? Para tokoh perge-rakan makin penasaran. Untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut mereka pun menempuh berbagai jalan. Akhirnya melalui sebuah radio gelap (radio yang didengarkan secara sembunyi-sembunyi) milik A. Kusasi di kampung Pandai diketahuilah bahwa Indonesia telah merdeka. Teks Proklamasi Kemerdekaan dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disiarkan berulang-ulang lewat pemancar di Jakarta berhasil dicatat dengan lengkap.
Sementara itu, pada malam Senin tanggal 19 Agustus 1945, Shumano, Kepala Perusahaan Kasen Ongko Kai Kabushiki Kaisha, memanggil Artum Artha untuk menghadap ke kediamannya di Simpang Tiga Kandangan Hulu. Shumano adalah seorang Letnan Kolonel Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang “dikaryakan”, sedang Artum Artha waktu itu menjabat sebagai Kepala Seksi Urusan Distribusi di perusahaan tersebut. Dengan suara agak patah-patah Shumano memberitahukan bahwa kemerdekaan Republik Indonesia telah diproklamasikan oleh Soekarno – Hatta di Jakarta. Shumano juga mengatakan agar berita tentang proklamasi itu harus dirahasiakan, jika bocor kepalalah taruhannya.

Ancaman Kanda dan Shumano terhadap penyebarluasan berita tidaklah membuat riwang tekad bulat para tokoh pergerakan. Dengan meniadakan keganasan Kempeitai (Polisi Militer Jepang), menyampingkan berhiasnya tubuh oleh terjangan peluru karaben, atau penggalnya leher akibat kelebatan pedang samurai, tim redaksi Borneo Shimboen edisi Kandangan sepakat untuk basaung nasib bataruh panyawaan (bersabung nasib mempertaruhkan nyawa) untuk menyebarluaskan berita tentang kemerdekaan Republik Indonesia.
Maka pada edisi tanggal 20 Agustus 1945, halaman pertama Borneo Shimboen edisi Kandangan memuat teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan teks Pembukaan UUD 1945.
Kandangan menjadi geger. Di rumah-rumah, di warung-warung dan di jalan-jalan pernyataan kemerdekaan menjadi pembicaraan hangat.
Hari-hari selanjutnya merupakan hari-hari yang tenang sekaligus menggelisahkan . Tenang, karena tidak terdapat insiden apa-apa. Sepanjang tidak mengganggu keberadaan tentara Jepang, kegiatan para pemuda dan tokoh pergerakan tidak mendapat halangan. Tidak heran kalau bendera Merah Putih berkibaran dan lagu kebangsaan Indonesia Raya sering berkumandang. Bahkan di depan Kantor Kenkanrikan di Kota Kandangan (sekarang Pendopo Kabupaten Hulu Sungai Selatan) Hamli Carang mendirikan sebuah tugu kemerdekaan berbentuk lilin menyala. Tugu tersebut kemudian dihancurkan oleh tentara NICA.
Di desa-desa penduduk juga turut bergembira menyambut kemerdekaan itu. Bendera-bendera Merah Putih kecil, baik terbuat dari kain maupun kertas minyak tampak di depan rumah. Jika tak punya bendera, penduduk dengan berbagai cara menggambar bendera Merah Putih di dinding depan rumah.
Namun hari-hari tersebut juga menggelisahkan, terutama bagi para tokoh pergerakan. Kemerdekaan telah diproklamasikan, tapi setelah itu bagaimana? Teks proklamasi menyebutkan bahwa pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Itu berarti bahwa pemindahan kekuasaan akan berlangsung dengan teratur dan lancar. Karena itulah tokoh-tokoh pergerakan di Kandangan bersikap menunggu, tidak memanfaatkan sepenuhnya kesempatan yang disodorkan keadaan.
Di samping itu keberadaan Jepang tetaplah angker. Mereka terikat tanggung jawab kepada Sekutu untuk menjaga keamanan dan ketertiban sampai tentara Sekutu mengambil alih. Mereka memang memberikan banyak kebebasan kepada para tokoh pergerakan dan penduuduk, namun mereka juga tak memberi-kan jalan bagaimana seyogyanya pemindahan kekuasaan itu. Mereka tahu benar jika soal itu terangkat ke permukaan, bentrokan kemungkinan besar akan terjadi sebagaimana yang berlangsung di Jawa. Karena itulah mereka mengambil siasat “ membuka banyak pintu tetapi mengunci rapat pintu ke ruang utama .“
Sikap Jepang yang “bersahabat“ dan sikap para tokoh pergerakan yang “menunggu“ menyebabkan tidak munculnya usaha-usaha untuk merebut senjata Jepang atau untuk meng-ambil alih kekuasaan dan membentuk aparat pemerintahan. Orang-orang bekas Seinendan, Konan Hokoku Dan serta Bo Ei Tai Sen Tai, yang pernah mendapat sedikit latihan militer, dengan senang kembali ke rumah dan menikmati hidup keseharian tanpa disiplin militer.
Munculnya keadaan macam itu sedikit banyak punya hubungan dengan pengawasan ketat Jepang terhadap A.A. Hamidhan di Banjarmasin. A.A. Hamidhan, pemimpin redaksi Borneo Shimboen Banjarmasin, merupakan anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dari daerah Kali-mantan yang diberangkatkan Jepang ke Jakarta. Dia mengikuti sidang PPKI dalam rangka menetapkan UUD 1945, memilih presiden dan wakil presiden, serta mengusulkan Ir. Pangeran Mohammad Noor sebagai Gubernur Kalimantan, juga mengu-sulkan Mr. Rusbandi sebagai Ketua KNI ( Komite Nasional Indonesia ) Daerah dan Dr. Susudoro sebagai Ketua PNI (Partai Nasional Indonesia) di Daerah.
Tanggal 20 Agustus 1945, A.A. Hamidhan telah berada kembali di Banjarmasin. Dia mengemban tugas :
1. Mendirikan KNI Daerah Kalimantan.
2. Mendirikan PNI
3. Mendirikan BKR ( Badan Keamanan Rakyat )
Di samping membawa dua surat keputusan tentang penunjukan Mr. Rusbandi dan Dr. Susudoro sebagai Ketua KNI Daerah dan Ketua PNI, dibawa pula surat kabar Asia Raya pim-pinan B.M. Diah yang memuat teks Proklamasi Kemerdekaan, teks Pembukaan UUD 1945 beserta isinya, dan berita tentang kemerdekaan lainnya.
Namun pengawasan ketat Jepang membuat A.A. Hamidhan tak boleh menerima tamu, bahkan dia kemudian disembunyikan ke Rantau, tanah kelahirannya. Semua itu membuat tugas yang diembannya tidak bisa dilaksanakan, bahkan surat kabarnya pun tidak boleh memuat berita-berita kemerdekaan. Setelah melalui proses tawar-menawar, Jepang mengizinkan Borneo Shimboen edisi Banjarmasin memuat berita tentang pengangkatan Kepala Negara Indonesia Merdeka dan bentuk Indonesia Merdeka. Berita tersebut dimuat di edisi hari Minggu tanggal 26 Agustus 1945 :
Pemuatan berita harus diimbali dengan diberangkat-kannya A. A. Hamidhan serta keluarga ke Jakarta. pada keesokan harinya. Keberangkatan yang disertai juga oleh Mr. Rusbandi dan Dr. Susudoro itu diatur oleh Jepang
Tindak lanjut kemerdekaan pun jalan di tempat. Banjarmasin dan daerah-daerah lain di Kalimantan Selatan berada dalam suasana yang tidak jauh berbeda dengan Kandangan.
PASAR MALAM
KEMERDEKAAN
Dalam upaya penanganan masalah-masalah pasca perang, di Asia Selatan Sekutu membentuk South East Asian Command (SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Muda Lord Louis Mountbatten. SEAC bermarkas di Singapura. Luasnya wilayah yang harus ditangani membuat SEAC membentuk beberapa subkomando. Khusus untuk Indonesia dibentuk Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI).
AFNEI membagi lagi wilayah Indonesia kedalam empat wilayah, masing-masing dipimpin oleh seorang panglima. Mayor Jenderal Chambers untuk wilayah Sumatera. Mayor Jenderal Mansergh menangani daerah Jawa Timur. Mayor Jenderal Howthorn bertugas di daerah Jawa Barat. Jenderal Thomas Albert Blamey menangani wilayah Indonesia bagian Timur dan Australia.
Selain membentuk komando dan subkomando tersebut, Sekutu membentuk pula Civil Affairs atau Civil Administration yang bertugas mengatur pemerintahan di daerah-daerah pendu-dukan. Badan ini pengelolaannya diserahkan kepada negara-negara anggota Sekutu yang mengenal benar wilayah yang bakal dimasuki. Maksudnya adalah agar peralihan kekuasaan dan penataan pemerintahan di wilayah yang bersangkutan bisa dikerjakan dengan lancar dan berlangsung dalam waktu yang relatif singkat. Salah satu badan ini adalah Netherlands Indies Civil Administration (NICA),
Kedatangan pasukan AFNEI ke Kalimantan Selatan didahului dengan dijatuhkannya selebaran dari sebuah pesawat terbang. Selebaran itu merupakan seruan dari Jenderal Thomas Albert Blamey, pimpinan tertinggi tentara Australia, panglima AFNEI untuk kawasan Indonesia Timur dan Australia.
Isi selebaran itu pada intinya memberitahukan bahwa :
1. pada tanggal 2 September 1945, Jepang telah menandatangani surat pernyataan menyerah tanpa syarat
2. ucapan selamat kepada semua penduduk terutama para tawanan perang karena tentara Australia akan segera datang membebaskan mereka
3. agar rakyat tetap tenang dan menunggu petunjuk selanjutnya.
Pasukan AFNEI yang masuk ke Kalimantan Selatan adalah tentara Australia pimpinan Kolonel Rabson. Pasukan berkekuatan 250 orang ini mendarat di Banjarmasin melalui Lapangan Udara Ulin, pada tanggal 17 September 1945. Di samping tentara Australia ikut pula tentara NICA sekitar 150 orang, dipimpin oleh Mayor A. L. van Assenderp.
Tugas NICA adalah :
1. memberi advis kepada komandan teringgi dari tentara Sekutu tentang keadaan dalam negeri yang diduduki
2. melakukan pemerintahan bala tentara dalam daerah itu atas nama komandan tersebut.
3. memberikan pertolongan dan keringanan kehidupan kepada penduduk dalam soal ekonomi, memberikan bantuan kesehatan dan perlindungan terhadap mereka
4. memberikan pertolongan dan mengusahakan kepada mereka yang meninggalkan tempat kediamannya dengan terpaksa untuk kembali ke tempat asalnya agar mereka dapat melakukan pekerjaan untuk penghidupan mereka.
Agar tugas tersebut dapat terlaksana dengan baik maka NICA berusaha menarik hati bangsa Indonesia, atau dengan kata lain berusaha dengan segala cara untuk menjauhkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sesampai di Banjarmasin pasukan tersebut menempati Grand Hotel (sekarang Wisma Banjar, di dekat Masjid Sabilal Muhtadin Banjarmasin). Setelah terjadi upacara serah terima kekuasaan dari Jepang kepada mereka, dalam waktu singkat pasukan disebar ke Kandangan, Barabai dan Puruk Cahu.
Keberadaan Kandangan sebagai pusat pemerintahan Jepang untuk wilayah Hulu Sungai membuat tentara Australia dan NICA segera menguasainya. Langkah strategis yang mereka lakukan adalah menambah jumlah pasukan dengan jalan membebaskan orang-orang Belanda, bekas-bekas pegawai mereka dahulu dan simpatisan lainnya yang ditawan Jepang atau yang kembali ke masyarakat, kemudian mempersenjatainya.
Pada mulanya masyarakat menyambut kedatangan tentara itu dengan sangka baik, menganggapnya sebagai bagian dari hal pemindahan kekuasaan sebagaimana yang disebutkan dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun tindakan-tindakan yang kemudian dipertontonkan oleh pasukan itu terutama oleh tentara NICA menyebabkan anggapan semula berubah, bahkan mencetuskan beberapa insiden berdarah.
Di hari permulaan kedatangan tentara Australia dan NICA, kalangan pergerakan di Kandangan menggelar satu manuver bermakna ganda. Secara rahasia dibentuklah Panitia Pasar Malam Kemerdekaan. Ketuanya H. M. Syukeri alias Haji Sunu, sekretarisnya Abdul Jabar.
Pasar malam pada dasarnya cumalah merupakan sarana untuk mengumpul massa. Titik tuju sebenarnya adalah :
a. memaklumkan kepada tentara Australia dan NICA bahwa mereka sekarang berada dalam wilayah Republik Indonesia, wilayah negara yang merdeka dan berdaulat, kendati pun belum terdapat adanya pemerintahan resmi.
b. mengingatkan dan membangunkan kesadaran masya-rakat bawa mereka merupakan warga dari sebuah negara yang telah lepas dari belenggu penjajahan.
Tujuan ganda tersebut merupakan upaya antisipasi terhadap perkembangan keadaan yang terasa kian tidak menentu. Di satu sisi, belum diketahui secara jelas maksud kedatangan dari tentara penakluk Jepang itu, seberapa lama mereka bakal bercokol, dan tindakan macam apa yang akan mereka lakukan terhadap kegiatan masyarakat. Di sisi lain, belum terlihat tanda-tanda pemerintah RI untuk merealisasikan tindak lanjut dari pernyataan kemerdekaan tersebut di wilayah Kalimantan Selatan umumnya dan khususnya di Kandangan sebagai pusat pemerintahan Hulu Sungai.
Pasar Malam Kemerdekaan itu, rencananya akan berlangsung selama seminggu dengan mengambil tempat di alun-alun (sekarang kompleks lapangan tenis Amanditaria).
Pada malam pertama, sementara H. M. Syukeri menyampaikan pidato pembukaan, Artum Artha selaku pembawa acara bergegas mencari teks Pembukaan UUD 1945. Dalam pikiran Arthum, karena Borneo Shimboen pernah memuatnya tentulah teks tersebut ada dalam arsip atau dokumentansi redaksi kendati pun penerbitan surat kabar tersebut telah dihentikan.
Di jalan Pasar Kandangan, Artum bertemu dengan H. A. Basuni. Mantan pimpinan redaksi itu diminta segera ke panggung pasar malam dengan membawa teks Pembukaan UUD 1945. H. A. Basuni segera menaiki tangga bekas kantor Borneo Shimboen, mengambil teks, dan berlari kecil ke panggung pasar malam. Belum sempat ia meredakan nafas yang memburu, Artum Artha telah mempersilakannya menaiki panggung. Waktu itu sudah sekitar pukul 22.00 waktu setempat.
Kumandang suara H. A. Basuni menimbulkan gaung tersendiri di hati pengunjung. Begitu Pembukaan UUD 1945 selesai dibacakan, dijelaskanlah secara singkat arti dari proklamasi kemerdekaan. Rakyat menyambut semua itu dengan sorak-sorai yang gegap-gempita, sementara Zafri Zamzam berkeliling alun-alun sambil mengibar-ngibarkan bendera Merah Putih.
Kumandang suara H. A. Basuni ternyata juga menimbulkan reaksi tersendiri pada tentara Australia, uta-manya tentara NICA. Tanpa diduga serentetan bunyi tem-bakan senapan bergema. Pasukan tentara bersenjata senapan, pistol dan gada kayu menyerbu, membubarkan rakyat. Bentrokan nyaris terjadi. pertimbangan terhadap faktor persenjataan dan untuk menghindari korban sia-sia, panitia pasar malam menganjurkan rakyat untuk bubar. Tentara Australia dan NICA dengan cepat menggiring rakyat meninggalkan alun-alun. Sesekali terdengar lagi bunyi tembakan, terutama di daerah Simpang Lima dan di depan Pasanggerahan (sekarang gedung DPRD HSS).
Pasar Malam kemerdekaan tak bisa lagi dilang-sungkan. Senjata telah bicara. Peluru pertama tentara Australia dan NICA telah meletus di Kandangan. Suasana yang dalam sebulan terakhir terbilang tenang perlahan tapi pasti mulai diletiki bara.
PEMBENTUKAN PPRIM
DAN KNI DAERAH NEGARA
Sejak zaman dahulu lintas perhubungan antara Negara dan Banjarmasin lebih banyak dilakukan melewati jalur sungai. Jalur perhubungan yang relatif lebih aman dan mudah dibanding lewat darat. Hal tersebut membuat ruang mobilitas orang-orang pergerakan di Negara lebih terbuka dalam menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh di Banjar-masin. Perkembangan keadaan yang terjadi di Banjarmasin dapat lebih cepat sampai ke Negara.
Setelah Jepang menyerah, tentaranya yang semula ditempatkan di Negara ditarik ke Kandangan. Di bekas asrama tentara Jepang yang terletak di kampung Tambak Bitin, 25 September 1945, dilangsungkan pertemuan para pemimpin pergerakan di daerah Negara. Menyikapi berita kemerdekaan yang telah diperoleh, dibentuklah suatu badan bernama PPRIM (Panitia Persiapan Republik Indonesia Merdeka). Badan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan dan melancarkan jalannya perjuangan serta pemerintahan.
PPRIM dipimpin oleh M. Umar Rasjid (M. Umar Rasyid) dan Barak Djuhri (Barak Juhri), dilengkapi dengan penulis, bendahara, pembantu-pembantu, bidang agama, keamanan, pemuda dan propaganda/penerangan.
Selain membentuk PPRIM, juga dibentuk KNI (Komite Nasional Indonesia) Daerah Negara. Ketuanya adalah M. Tauran dan Wakil Ketua M. Umar Rasjid.
PAWAI MERAH PUTIH
Perkembangan selanjutnya kian menegaskan keinginan Belanda untuk kembali berkuasa. Secara bertahap tentara Australia meninggalkan Kalimantan Selatan. Panglima tentara Australia, Jenderal Thomas Albert Blamey pada tanggal 1 Oktober 1945 menandatangani sebuah pengumuman yang berisi penyerahan kekuasaan Sekutu kepada NICA.
NICA dengan berbagai pertimbangan sengaja tidak menyiarkan pengumunan tersebut. Mereka terlebih dahulu mengondisikan keadaan untuk memantapkan posisinya, Mereka merekrut bekas KNIL dan Heiho, pegawai-pegawai sipil, dan kepolisian. dari Balikpapan didatangkan tentara yang dikenal sebagai Kompi X. Tentara ini sebagian besar terdiri dari orang Indonesia, bekas serdadu Belanda, bekas romusha, dan orang-orang politik yang dibawa ke Australia sewaktu Jepang berkuasa di Indonesia.
Mereka juga mencaplok bidang ekonomi dan perdagangan, membentuk komisi untuk menyita barang-barang milik Jepang. Semua gudang-gudang perusahaan maupun perlengkapan serta kantor-kantor ditempeli plakat besar bertulisan NICA atau NIGIO (Ned Indo goverments Import en Export Organisatie).
Tindakan NICA tersebut rupanya secara diam-diam tidak berkenan di hati beberapa orang tentara Australia. Mereka ini justru bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. Di Banjarmasin, 2 orang tentara Australia, Charles Forstar (seorang tentara di bagian senjata otomatis) dan Victor Little (tentara di bagian komunikasi/radio), menyerahkan 5 lembar pamflet dari politisi Indonesia di Australia kepada Hadharyah M.
Pamflet berbahasa Inggeris dari kaum politisi Indonesia yang beralamat di Metropole Hotel Melbourne tersebut agaknya dibawa dari Australia, ditujukan kepada orang-orang Indonesia yang selama jepang berkuasa berada di Negeri Kanguru. Setelah diterjemahkan oleh M. Afiat, ditulis kembali dengan menggunakan huruf Arab dan Latin, kemudian diperbanyak sekitar 400 lembar.
Isi pamflet menyatakan bahwa :
a. Indonesia telah merdeka
b. mengajak segala lapisan masyarakat dan golongan pegawai, polisi, buruh dan rakyat umumnya untuk bersatu dan menolak kehadiran NICA.

Tanggal 1 Oktober 1945 pamflet disebar ke seluruh daerah Kalimantan Selatan. Penyebaran untuk daerah Kandangan dan Rantau dipelopori oleh H. M. Rusli dan Hasnan Basuki.
Tidak berapa lama setelah tersebarnya pamflet, seorang tentara dari Kompi X bernama Selamat diam-diam membuat sebuah spanduk. Spanduk berbahasa Inggeris itu nampak tergantung diantara 2 tiang telepon, melintang di jalan ke arah pasar Kandangan (tepatnya di depan Kantor Pengadilan sekarang).
Tulisan yang dibuat dengan cat merah dan hitam itu berbunyi :
• WE ARE ALL INDONESIAN
• INDONESIA IS LIBERTY
• INDONESIA IS NOBLEITY
Adanya pamflet dan spanduk menimbulkan pengaruh tersendiri. Rakyat semakin menyadari bahwa Indonesia telah merdeka dan perlu ditegakkan kelangsungannya, terle-bih setelah mengetahui bahwa Ir. Pangeran Mohammad Noor oleh Pemerintah RI telah diangkat sebagai Gubernur Provinsi Kalimantan.
Di pihak lain, NICA melangkah lebih jauh. Mayor A.L. van Assenderp mengundang para Kiai (Wedana) ke Banjarmasin untuk membentuk pemerintahan NICA Belanda. Pertemuan pembentukan pemerintahan itu direncanakan berlangsung tanggal 10 Oktober 1945. Rencana tersebut diketahui oleh PB PRI sebab para Kiai pada dasarnya merupakan Ketua PRI di wilayah masing-masing. Karena itu, PB PRI mendahului langkah NICA dengan mengadakan rapat kilat bersama para Kiai pada tanggal 9 Oktober 1945.
Rapat yang berlangsung di suatu tempat di jalan Andalas Banjarmasin (sekarang daerah Pasar Lama) mengha-silkan beberapa ketetapan :
1. Mengangkat Pangeran Musa Ardikesuma sebagai Residen RI di Kalimantan
2. Membentuk KNI Daerah Kalimantan di Banjarmasin, dengan susunan pengurus :
Ketua : A. Ruslan
Penulis I : Hadharyah M
Penulis II : F. Mohani
3. Pada tanggal 10 Oktober 1945 diadakan penurunan bendera Belanda dan upacara penaikan Bendera Merah Putih disertai alunan lagu Indonesia Raya
4. Mengadakan arak-arakan atau pawai dengan bendera dan lencana Merah Putih. sementara rumah-rumah diwajibkan memasang pula Bendera Merah Putih
5. Acara yang sama akan dilangsungkan pula secara serentak di daerah Hulu Sungai.

Ketetapan beserta instruksi kepada pengurus PRI di Hulu Sungai segera disampaikan dengan berbagai cara sehingga bisa diterima pada malam menjelang pelaksanaan.
Di Negara, instruksi PB PRI dibawa oleh H. Achmad Matarip ( H. Akhmad Matarip), Ideham dan Masdar yang kebetulan berada di Banjarmasin. Instruksi itu berhasil dilaksanakan dengan baik.
Di halaman Kantor Kiai Di Negara dilangsungkan upacara penaikan bendera Merah-Putih dengan diiringi lagu Indonesia Raya. Sebagian besar rumah-rumah penduduk juga memasang bendera Merah Putih. Dengan berdirinya pemerintahan RI itu PPRIM beserta perangkat organisasinya merubah nama menjadi PERI (Pembantu Republik Indo-nesia).
Kibaran bendera Merah Putih berlangsung sekitar 15 hari. Setelah itu Kiai M. Yusran datang dari Banjarmasin membawa keputusan rapat pamong praja, yaitu agar bendera Merah Putih diganti dengan bendera Belanda. Sewaktu bendera Belanda dinaikkan terjadi insiden, bendera tersebut dirobek oleh H. M. Tauran. Namun kelicikan kaki tangan NICA akhirnya membuat para pemimpin di Negara terpecah.
Di Kandangan, arak-arakan merah putih berlangsung secara spontan, tidak melalui mobilisasi massa terlebih dahulu. Beberapa tokoh pergerakan, diantaranya Artum Artha, membuat lencana merah putih di pasar Kandangan. Pembuatan lencana dilakukan oleh Badraini, pemilik Liberty Taylor. Lencana sebesar 5 cm itu menarik perhatian orang-orang. Mereka bertanya untuk apa lencana itu. Dijawab oleh Artum untuk dipakai melakukan arak-arakan keliling kota. Orang-orang pun masing-masing meminta dan menyematkannya di dada.
Saat arak-arakan akan dimulai ratusan orang telah berkumpul. Mereka pun bergerak ke arah alun-alun. Dari bekas Kantor Borneo Shimbun muncul Zafry Zamzam seraya membawa sebuah bendera Merah Putih berukuran besar. Kemudian dari arah Teluk Masjid muncul pula serombongan orang yang melambai-lambaikan bendera Merah Putih ukuran kecil.
Rombongan menderap menuju alun-alun. Yel-yel bertema Indonesia merdeka bergema sepanjang jalan. Menjelang alun-alun, dari arah Simpang Lima datang pula rombongan lain, sama melambai-lambaikan Merah Putih. Belum lagi mencapai alun-alun, tentara Australia dan NICA berdatangan. dengan senjata teracung mereka berusaha membubarkan rakyat. Rakyat tidak gentar, mereka bersikeras untuk melanjutkan acara.
Perundingan berlangsung dalam bahasa Inggris patah-patah. Sementara itu rakyat mulai menampakkan emosinya. Tentara Australia agaknya melihat gelagat buruk. Mereka akhirnya mengizinkan dilaksanakannya penaikan Bendera Merah Putih dengan diirngi lagu Indonesia Raya, tetapi tidak mengizinkan diteruskannya arak-arakan.
Maka dalam suasana khidmat, diiring alunan lagu Indonesia Raya, Zafri Zamzam, H.M. Rusli, Abdul Wahab Syahrani dan H. A. Kusasi menaikkan Sang Dwiwarna ke puncak tiang.
Setelah itu rakyat dibubarkan, digiring dengan ancaman senjata siap tembak untuk meninggalkan alun-alun. Rakyat pulang melalui jalan semula. Mereka kini kian mengerti ke mana sebenarnya arah kemauan NICA. Apalagi ketika pada tanggal 24 Oktober 1945 penyerahkan kekuasaan Sekutu kepada NICA diumumkan.
TUMBUHNYA
ORGANISASI KELASKARAN
Pengumunan penyerahan kekuasaan dari Sekutu kepada NICA menunjukkan bahwa NICA telah yakin terhadap kekuatannya. Di pihak lain kekecewaan rakyat semakin besar, terlebih saat Pangeran Musa Ardikesuma yang telah diangkat sebagai Residen RI Daerah Kalimantan menerima tawaran NICA untuk menjadi Districts Hoofd. Tumpukan kekecewaan kemudian berkembang menjadi kebencian terhadap NICA dan orang-orang yang bersedia menjadi kaki-tangannya. Refleksi rasa benci itu akhirnya meledak menjadi tindak kekerasan.
Di Kandangan sering terjadi peristiwa pembunuhan terhadap kaki-tangan NICA, pembunuhan yang tidak diketa-hui siapa pelakunya. Cara seperti itu oleh masyarakat sering disebut sebagai dimatii hantu atau dibunuh hantu. Mayat-mayat dengan tubuh penuh luka bekas senjata tajam kadang tergeletak begitu saja di pinggir-pinggir jalan, kadang pula nampak mengambang dan hanyut di sungai.
Rakyat mulai menghimpun diri ke dalam organisasi perjuangan, atau menggiatkan aktivitas organisasi yang telah ada. Menyadari akan pentingnya taktik, strategi dan keteram-pilan perang modern, latihan kemiliteran menjadi prioritas di samping penggalangan dan pembinaan anggota.
Aktivitas organisasi perjuangan rakyat semacam itu membuatnya lebih dikenal sebagai organisasi kelaskaran. Organisasi-organisasi yang tumbuh dan berkembang di Hulu Sungai Selatan antara lain :
1. GERAKAN RAKYAT MEMPERTAHANKAN REPUBLIK INDONESIA (GERMERI)

Germeri didirikan beberapa hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI. Pada tanggal 23 Agustus 1945, jam 19.30, Hasnan Basuki, Sudibyo dan Iskahar berkumpul di Ulin, di rumah Bayam S. Di situ diresmikanlah berdirinya Gerakan Rakyat mempertahankan Republik Indonesia (Germeri) berikut perangkat organisasinya. Bertindak sebagai Pimpinan Umum adalah Hasnan Basuki, Wakil Bayam S, Kepala Urusan KeLaskaran H. Akhmad Jingga. Iskahar dan Sudibyo merupakan para pelatih ketentaraan, terutama dalam hal penerapan taktik gerilya dan sabotase.
Latihan dilakukan secara amat rahasia di hutan Kamal Kampung Ulin, Parigi Kampung Ulin, Sungai Paring kampung Amawang Kanan, Karangan Kampung Amparaya, dan Malutu Kampung Sungai Raya. Setelah menyelesaikan latihan, tiap anggota berkewajiban mencari anggota baru sebanyak 10 orang. Tiap anggota baru kemudian punya kewajiban yang sama, mencari lagi anggota tambahan sebanyak 10 orang. Begitu seterusnya sehingga Germeri berhasil menghimpun kekuatan di berbagai daerah, antara lain di Rantau, Binuang, Martapura dan Gambut.
Perkembangan organisasi yang kian meluas itu membuat markas pimpinan dibagi menjadi 2 tempat, yaitu di Ulin dan di Dalam Pagar-Martapura. Daerah Dalam Pagar merupakan tempat penyimpanan dokumen-dokumen penting dan sering menjadi persembunyian para pemimpin Germeri, adanya pengaruh kharisma dan perlindungan dari Tuan Guru H. Zainal Ilmi menjadikan daerah tersebut aman dari gangguan tentara Belanda.
Pada tanggal 25 Maret 1946, seorang utusan dari Jawa, Kapten Amir, datang menemui Hasnan Basuki dan Bayam S. Kapten Amir membawa instruksi agar Germeri dilebur menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) melalui Surat Keputusan No. 003/K.II/B.7 yang ditandatangani oleh S. Dakono. Selain SK dan surat-surat lainnya diserahkan pula granat tangan no. 38 dan bahan/alat pembakar.
Germeri/TRI mempunyai bengkel pembuatan senjata berupa senapan dumdum dan pistol. Pembuatnya adalah Arjan, Muhammad, H.Jarun dan Bakri, biasanya dibuat dari besi-besi sisa ranjang dan sepeda. Salah satu tempat pembuatannya adalah di rumah H. Jahri alias Amir Husin Zakaria.
Setelah bergabung ke dalam ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. desa Ulin merupakan salah satu Markas Pangkalan di bawah pimpinan H. Jahri. Saat Serangan Umum ke Kandangan, 3 Agustus 1949, Gusti Aman selaku Komandan Komando Militer Daerah Tengah datang mengambil anggota pasukan pangkalan ini sebanyak 83 orang dan membawa mereka berkumpul ke Jambu. Dalam Serangan Umum tersebut, seorang anggota pasukan bernama Dahri bin Ibat gugur.

2. GERAKAN PEMUDA REPUBLIK INDONESIA (GEPERINDO)
Setelah Pasar Malam Kemerdekaan bulan September 1945, dibentuklah sebuah gerakan bawah tanah bernama Gerakan Pemuda Republik Indonesia (Geperindo). Anggo-tanya 9 orang, semua menggunakan nama samaran dengan awal huruf A, yaitu Artum Artha, A. Zainal Abidin, A. Muthy, A. Mursyid, A. Gaffar. A. Ganie, A. Roosli. dan Bariyah Ariati.
Geperindo mengkhususkan diri pada pembuatan dan penyebaran pamflet. Markasnya di rumah A. Zainal Abidin, Jalan Parindra (Koeboerweg) No. 11 Kandangan. Rapat per-tama dilakukan pada suatu malam di belakang rumah Abdul Gaffar, di bawah lindungan po-hon pisang. Anggota sepakat untuk mempro-duksi pamflet dan menyebarkannya .
Di Markas, A. Zainal Abidin mengetik pamflet dengan menggunakan mesin tik merk Remington. Pita mesin tik diulur ke bawah rumah dan dipegang oleh Artum Artha. Maksudnya agar pita dapat digulung dengan cepat dan dimusnahkan jika terjadi penggerebekan oleh NICA.

Isi pamflet adalah :
• MERDEKA! INDONESIA MERDEKA! SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA! (GEPERINDO)
• BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA JATUH! HIDUP INDONESIA MERDEKA! (GEPERINDO)
• NYAHLAH BANGSA BELANDA! KAMI MERDEKA! (GEPERINDO)
• KITA BELA REPUBLIK INDONESIA (GEPE-RINDO)
• REPUBLIK INDONESIA ADALAH NEGARA KAMI! INDONESIA MERDEKA! (GEPERINDO)

Pamflet pertama dipasang Zainal di batang kacang di Simpang Lima. Pamflet kedua ditempelkan Artum Artha di papan nama Jalan Parindra. Pamflet ketiga dilekatkan A.Muthy di batang jati di dekat pasanggerahan. Pamflet keempat diletakkan A. Mursyid di dinding warung dekat masjid Taqwa. Pamflet kelima dipaku A. Ganie di dinding bekas kantor Borneo Shimboen di Jalan Pasar.
A. Muthy juga membuat pamflet sebanyak 2 lembar, berbunyi :
• NYAHLAH SEMUA BANGSA BELANDA!
• BANGSA INDONESIA JANGAN KERJA DI
BELANDA!

Pamflet dipasang oleh A. Muthy dan A. Mursjid.
Dalam perkembangan selanjutnya anggota gerakan ini meneruskan perjuangan masing-masing, baik itu melalui pers perjuangan maupun melalui ALRI D. IV.

3. BARISAN PELOPOR PEMBERONTAK KALIMANTAN INDONESIA (BPPKI)
Sekitar Oktober 1945, berdiri lagi sebuah gerakan bernama Barisan Pelopor Pemberontak Kalimantan Indonesia (BPPKI) di bawah pimpinan M. Yusi. Pada tahap pertama gerakan ini giat mengadakan pertemuan rahasia untuk menggalang kekuatan. BPPKI pun berkembang, meliputi daerah Kandangan, Rantau, Barabai, sampai ke Amuntai dan Tanjung.
Di Kandangan, Komandan Kompi BPPKI adalah H. Rafa’i, Wakil Komandan H. M. Syamsi Rais dan H. Baderi, serta Muhni sebagai Pembantu Umum. Unsur pimpinan lainnya adalah Hasnan BasukiA. Jabar, A. Samad, A. Kusasi, H. Saniah, H. Rabiul Saleh, Naseri dan Jafar.
Kiprah BPPKI lebih banyak berupa sabotase, infiltrasi, psywar dan pembunuhan terhadap antek-antek NICA. Boleh dikata BPPKI merupakan organisasi yang tergiat dalam melakukan sabotase dan pembakaran milik NICA.
Di Kandangan, BPPKI pernah melakukan beberapa misi, misalnya sabotase berupa pemutusan kawat telepon, pembakaran terhadap Freubelschool oleh H. Baderi, pembakaran arena pasar malam yang diadakan NICA untuk merayakan HUT Ratu Belanda oleh Hairul. Pernah juga dilakukan pelemparan granat terhadap Kiai Besar Hulu Sungai oleh Jaderi dan Tarman, sayang misi ini gagal karena kurangnya pengalaman menggunakan granat. Abdul Hamid Rizal juga pernah melakukan pembakaran tongkang berisi 40 ton karet di Sungai Negara, misi ini juga digagalkan Belanda sehingga 40 ton karet tersebut bisa mereka selamatkan.

4. GERAKAN PEMUDA ISLAM INDONESIA (GPII)
Gerakan ini berdiri di desa Bariyang, Amawang Kiri, sekitar Oktober 1945. Mulanya penduduk dikondisikan melalui pembentukan syarikat kematian. Permulaan tahun 1946, setelah kondisi ke arah pembentukan organisasi keLaskaran dirasa sudah mantap, melalui pembicaraan antara guru Ibas dan Tamar serta pemuka masyarakat lainya dibentuklah Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Bertindak sebagai ketua adalah Tamar alias Raden Martoyo alias Gusti Yunansyah. Wakil Ketua Hamdi, dan sekretaris Darham. Anggota gerakan berjumlah sekitar 100 orang.
Program GPII adalah melakukan latihan ketentaraan dan pembuatan senjata dumdum. Latihan dilakukan di satu tempat yang diberi nama Palasungan, desa Bariyang Dalam. Sedangkan pembuatan senjata dilakukan di Bayur atau lebih dikenal dengan sebutan Pedalaman Alam gaib. Senjata-senjata berupa senapan dumdum itu dibuat oleh Masrani, Darham, Djawari (Jawari) dan Ibas.
Perkembangan berikut dari GPII adalah menggabungkan diri dengan ALRI D. IV. Daerah Bariyang merupakan sebuah Markas Pangkalan dengan sebutan Pangkalan Berandan. Komandan di Pangkalan ini adalah Santang.

4. PETIR/BPRI

Pertengahan bulan Nopember 1945 di Kampung Habirau, Negara, didirikan gerakan pemuda yang diberi nama Penolong Tentara Indonesia Republik (PETIR). Ketuanya Asri M, Wakil Ketua Barak Juhri, Penulis Ishak Hasyim, Bendahara Abd. Maki, dibantu oleh M. Yunan, Utuh Naseri dan Abulhasan.
Tidak berapa lama setelah pembentukan Petir, di Negara datang rombongan ekspedisi 9 Pelopor dari kesatuan BPRI (Barisan Pemberontak rakyat Indonesia) Jawa Timur yang dipimpin oleh Bung Tomo. Mereka terdiri dari H. Akhmad Hasan, Mohammad Asnawi Arsyad, Mohammad Maran Bahran, Abdul Manaf, Jaderi Sulaiman, Utut, Burhan Faktar, Anang Baseri, dan H. Muradi.
Pada tanggal 2 Desember 1945, malam hari, di rumah H. Akhmad Matarip kampung Habirau diadakan pertemuan antara rombongan 9 Pelopor BPRI dengan Asri M, H. Busra, H. Akhmad Matarip, H. Syuaib dan H. Makrup. Petir pun dilebur menjadi BPRI.
Setelah menetapkan Negara sebagai pusat BPRI Kalimantan, keesokan harinya tim ekspedisi itu kembali ke Marabahan dengan membawa 12 orang pejuang dari Negara untuk membantu perjuangan di daerah tersebut.
Tanggal 12 Desember 1945 para pemimpin BPRI Negara ditangkapi oleh NICA. Agar perjuangan dapat diteruskan, BPRI kemudian dipimpin oleh Abdul Hamid Rizal.Tahapan perjuangan selanjutnya BPRI melebur ke dalam ALRI D. IV. Daerah Negara merupakan sentra pembuatan senjata, seperti senapan dumdum, pistol dan granat tangan. Boleh dikata Negara merupakan pemasok utama persenjataan buatan sendiri bagi ALRI D. IV, paling tidak orang-orang Negara menyebar di sentra-sentra pembuatan senjata di berbagai wilayah. Negara kemudian merupakan satu Markas Daerah ALRI D. IV dengan kode K.1 Palembang.

6. LASKAR SYAIFULLAH DAN BANTENG INDO- NESIA
Laskar Saifullah dan Banteng Indonesia merupakan cikal bakal ALRI D. IV. Kiprah dan perkembangannya tak bisa dilepaskan dari keberadaan Hassan Basry.
Hassan Basry, pemuda kelahiran Kandangan 17 Juni 1923, pada awal revolusi kemerdekaan berjuang bersama rekan-rekannya di Surabaya. Dalam suatu rapat pemuda di markas BPOG (Badan Pembantoe Oesaha Goebernoer/Badan Pembantu Usaha Gubernur) Kalimantan di Jalan Embong Tanjung 17 Surabaya, 10 Oktober 1945, Hassan Basry mengusulkan agar terlebih dahulu dilakukan peninjauan dan penyelidikan ke Kalimantan sebelum mengirimkan tim ekspedisi atau pasukan tentara. Semangat yang tengah menggebu membuat usul itu tidak disetujui. Hassan Basry tetap pada pendiriannya dan menarik diri dari keanggotaan ekspedisi Husin Hamzah - Firmansyah yang rencananya akan diberangkatkan ke Kalimantan. Hassan Basry bertekad akan melakukan tugas sukarela sendirian ke Kalimantan.
Keinginan Hassan Basry mendapat dukungan G. Obos, Gt. Mayur dan A.Gani Nazir dari BPOG Kalimantan. Ia pun diusulkan BPOG Kalimantan ke Menteri Pertahanan RI untuk menjadi koordinator perjuangan bersenjata Kalimantan.
Tanggal 13 Oktober 1945, berbekal SK No. 018/MP/ PK/1945, Hassan Basry berangkat dari Pelabuhan Kalimas Surabaya, menumpang perahu layar Bintang Tolen. Ia mendarat di Pelabuhan Banjarmasin pada tanggal 30 Oktober 1945. Selama di Banjarmasin ia aktif melancarkan propaganda antipenjajah dan mengajak pemuda-pemuda untuk menentang setiap tindakan NICA. Dalam suatu kesempatan ia bertemu dengan Abdul Hamidhan dari Amuntai, diserahkannyalah beberapa pamflet dan dokumen perjuangan untuk Amuntai.
Dengan perantaraan Abdul Kudusi dokumen tersebut segera diseludupkan ke Amuntai sebagai bahan perjuangan Gerpindom (Gerakan Rakyat Pengejar/ Pembela Indonesia Merdeka) yang telah berdiri di Amuntai. Selain itu dititipkan pula sepucuk surat untuk disampaikan kepada H. Ismail Jinal, orang tua Hassan Basry di Kandangan.
Kegiatan Hassan Basry diketahui oleh NICA. Ia pun segera meninggalkan Banjarmasin, menyingkir ke Kan-dangan. Ia disembunyikan di rumah H. Masdar di Karang Jawa Muka. Saat itu ternyata NICA telah menyebar pengumuman bahwa siapa yang dapat menangkap atau menyerahkan Hassan Basry hidup atau mati akan mendapat hadiah uang, dan jika ada warga yang ketahuan menyembunyikan Hassan Basry maka seluruh kampung berikut penghuninya akan dibakar dan dibunuh.
Hassan Basry kemudian diungsikan ke rumah H. Agus di Karang Jawa Hulu. Beberapa keluarga dekatnya, seperti Guru Sidik, Jaman, Darmawi, Hamson, Asmuni, Naseran, Iberam, membagi tugas untuk melayani segala keperluan sekaligus pengamanan Hasan Basry.
Berkeliarannya patroli militer, patroli polisi dan spion-spion Belanda, membuat Hassan Basry kembali diungsikan oleh Guru Dumam. Kali ini ke daerah pegunungan, ke rumah H. Dawawi, Maru’fi Utir dan Su Su Jafar. Di sini Hassan Basry terus didampingi oleh Ma’rufi Utir dan Samidrie Dumam.
Terjalinlah kontak dengan Gumberi alias Atsmawaty, pimpinan organiasi kelaskaran yang bermarkas di Haruyan. Tanggal 5 dan 6 Mei 1946 diadakan permusya-waratan di Haruyan. Dibentuklah Laskar Syaifullah, Hassan Basry diangkat sebagai Pimpinan Umum dan Atsmawaty sebagai Wakilnya. Anggotanya sebagian besar adalah bekas Kaigun Heiho, Keibodan, Seinendan, Bo Ei Tai Sin Tai, Pandu Anshor, Hizbul Wathon, serta beberapa pemimpin NU dan Muhammadiyah Haruyan,
Program pertama Laskar Syaifullah bertitik berat pada pembinaan personil, berupa penanaman disiplin dan latihan kemiliteran. Setiap orang wajib memiliki semangat heroisme dan patriotisme yang tinggi. Seseorang yang akan menjadi anggota harus disumpah bahwa mereka tidak akan mengkhianati organisasi, siapa pun yang melanggar akan dikenakan hukuman mati.
Para pelatih Laskar Syaifullah ini adalah Hamzah Arifin, Sakar alias A. Muis, Tulamak, Ma’rufi Utir dan Bidinsyah alias Setia Budi.
Suatu ketika Hassan Basry meninggalkan markas Laskar Syaifullah untuk mencari hubungan ke Jawa dan Kalimantan Timur. Usaha mencari hubungan ke Jawa gagal karena blokade laut Belanda demikian rapat sehingga perahu-perahu tak ada yang berani menyusup serta berlayar ke Jawa. Perjalanan ke Kalimantan Timur tidak memuskan, kendati tentara Australia menawarkan banyak senjata namun harganya sangat mahal serta harus dibayar tunai. Hassan Basry kembali dengan tangan kosong. Sementara itu NICA telah mencium kegiatan Laskar Syaifullah. Markas Laskar Syaifullah diserbu. Banyak anggotanya ditangkap, sebagian lagi cerai-berai melarikan diri.
Di atas reruntuhan Laskar Syaifullah itulah Hassan Basry membangun kembali sebuah organisasi perjuangan bernama Banteng Indonesia, sekitar bulan September 1946. Latihan-latihan diadakan lagi di Haruyan. Tempat latihan lainnya di Tabihi (sekarang Jalan Gerilya), sebuah kampung di pinggiran Kandangan.
Di Banteng Indonesia ini terjadilah perubahan radikal yang menentukan gerak perjuangan selanjutnya. Jika arah pembentukan Laskar Syaifullah ditujukan untuk melakukan pengacauan dari dalam dan sebagai penyambut tentara dari Jawa, maka dengan perhitungan bahwa tentara dari Jawa tak akan dapat menerobos blokade laut Belanda, tujuan Banteng Indonesia diarahkan pada penggalangan kemandirian dan kekuatan sendiri untuk melumpuhkan NICA dengan meng-gunakan senjata.
Tidak berapa lama kemudian Hasnan Basuki dan H. M. Rusli menggabung ke dalam Banteng Indonesia. Organi-sasi Banteng Indonesia semakin besar, terlebih setelah daerah Negara dan Alabio yang berada di bawah pengaruh Hasnan Basuki dan H. M. Rusli juga menggabungkan diri dan mengirimkan anggota untuk mengikuti latihan.
Di Tabihi latihan dilakukan di hutan Durian Ba-kampat, Tabihi Kiri dekat Bilui. Peserta latihan mula-mula berjumlah 28 orang, yaitu :
• Sukeri KS dan kawan-kawan dari Padang Batung sebanyak 5 orang
• A. Rizal dan kawan dari Negara sebanyak 2 orang
• Amir Kasan dan kawan dari Ulin sebanyak 2 orang
• Basuni dan kawan dari Kandangan Hulu sebanyak 2 orang
• Setia Budi dan kawan-kawan dari Tabihi Kiri sebanyak 6 orang
• H. Busra dan kawan-kawan dari Tabihi Simpang Tiga sebanyak 6 orang
• 5 orang dari Hulu Banyu
Dalam latihan senjata dipergunakan sepucuk karaben Hamburg 95, pemberian Masdar yang selama Jepang berkuasa disembunyikannya. Itulah senjata pertama yang menjadi senjata pusaka andalan Banteng Indonesia. Selain itu juga ada sebuah granat peninggalan tentara Australia.
Banteng Indonesia inilah yang pada tanggal 18 Nopember 1946 menjadi inti pembentukan Batalyon Rahasia “A” ALRI Divisi IV Kalimantan Selatan.

7. TENTARA REPUBLIK INDONESIA (TRI)

Awal bulan September 1945 di rumah H. Abbas, seorang guru agama, di kampung Tabihi kedatangan seorang pemuda dari Jawa Timur bernama Sucipto. Pemuda tersebut mengemban satu misi yaitu menyiapkan/membentuk pasukan Tentara Republik Indo-nesia (TRI) guna membela negara Republik Indonesia
Menanggapi maksud tersebut, H. Abbas memang-gil Mawardi, Syahdan, Sakerani dan Hanafiah. Sucipto meminta mereka segera mencari anggota seba-nyak-banyaknya untuk dijadikan pasukan TRI. Tak berapa lama kemudian latihan militer pun diadakan setiap sore, bertempat di padang Hariyung, Karang Jawa. Pelatihnya adalah Sucipto sendiri, dibantu oleh seorang mantan Heiho bernama Masrum. Dalam latihan ini, karena belum mempunyai senjata api maka sebagai pengganti dipergunakan batang singkong dan pelepah rumbia. Kegiatan lainnya berlangsung di malam hari, Mawardi, Kastan, Syahdan dan Hanafiah, diperintah oleh Sucipto untuk menempelkan pamflet-pamflet yang isinya berupa kalimat-kalimat anti NICA.
Ketika Hassan Basry suatu saat berada di rumah Ma’rufi Utir di Karang Jawa, Mawardi dipanggil dan diminta untuk menggabungkan TRI ke dalam pasukan Batalyon Rahasia “A” ALRI Divisi IV. Ajakan tersebut disambut dengan baik. Pasukan TRI yang kehilangan pimpinan karena Sucipto ditawan oleh Polisi Belanda segera menggabungkan diri. Anggota pasukan yang menggabung ke dalam Yon (R) “A” ALRI Divisi IV itu kurang lebih 35 orang, antara lain : Mawardi, Syahdan, Masrum, Jahri, Hanafiah H. D., Hanafiah H. Abbas, Baseri, Tukacil, Abd. Majid, Karta, Hairul, Minderi, Adi (Baderi), Yusi. U., Dahlan, Sakerani, Tutut, Hasan dan Utuh.

8. PARTAI PEMBELA INDONESIA RAYA
(PARPINRA)
Tahun 1946, di Kampung Sarang Halang, Sungai Raya, berdiri sebuah organisasi bernama Partai Pembela Indonesia Raya (Parpinra). Organisasi ini dipimpin oleh H. Abd. Samad, salah seorang tokoh agama di daerah tersebut.
H. Abd. Samad dalam melakukan dakwah ke berba-gai tempat, di samping membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan agama juga hal-hal yang berhubungan dengan bela negara. Banyak orang yang kemuudian menggabungkan diri ke dalam Parpinra. Program pun dilanjutkan dengan latihan kemiliteran.
Dalam latihan kemiliteran dipergunakan 5 pucuk senjata api, berupa 2 pucuk Karaben 95 dan 3 pucuk Karaben Itali. Senjata tersebut sebelumnya disembunyikan di sebuah sumur di belakang rumah Asisten Kiai Gusti Hasan. Informasi tersebut diteruskan oleh seorang Lanwagh (Polisi) Onder District Zuit van Amandit (Amandit Selatan) ke Parpinra ( d. h. i.. H. Ramli).
Sesuai perkembangan aktivitas Parpinra kemudian diintegrasikan ke dalam ALRI D. IV “A”. Pada tahun 1947, dalam rangka penegasan eksistensi ALRI D. IV “A” seluruh senjata api dikonsentrasi di Markas Besar. Lukman dan Nasri diperintahkan oleh Hassan Basry untuk membawa sebuah surat kepada H. Ramli. Isi surat berupa instruksi agar membawa seluruh senjata api yang ada ke pedalaman segera dilaksanakan oleh H. Ramli dan kawan-kawan. Jadilah kelima pucuk senjata itu sebagai penambah modal perjuangan ALRI D. IV “A”.


2 komentar:

  1. Saya dukung pelestarian khazanah cerita rakyat kandangan, kalimantan selatan seperti datu ulin dan asal mula kampung ulin, legenda batu laki dan batu bini, legenda gunung batu bangkai loksado, legenda datu ayuh dan bambang basiwara, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabo di kalumpang, datu patinggi di telaga langsat,legenda mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari di hamalau, datu kandangan dan datu kertamina, datu hamawang dan sejarah mesjid quba, tumenggung antaluddin mempertahankan benteng gunung madang, bukhari dan perang amuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singakarsa di pandai, mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran dan datu balimau, kuburan tumpang talu di parincahan, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan pemberontak ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Basyri dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan.Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.

    BalasHapus
  2. mantap blog nya. akhirnya saya lebih tahu tentang sejarah perlawanan rakyat kandangan. ada cerita menarik seputar pabrik nomura. saat itu kakek saya yang bernama alm. baderi bekerja di pabrik nomura, pada hari itu datang seorang mandor pabrik berkebangsaan jepang kerumah nenek (alm. lamrah) yang sedang hamil tua. mandor tersebut mencari bahri (dengan dialek jepang) oleh orang sekitar -karena dialek jepang- mereka mengira mencari baderi dan ditunjukan rumah alm kakek. mandor tersebut marah-marah dengan alm. nenek karena kakek baderi tidak masuk kerja, alm. nenek dimaki-maki. dan penjelasan alm. nenek bahwa kakek bekerja dianggap bohong. alhamdulillah, saat kemarahan mandor tersebut semakin memuncak, kakek datang dengan dan oleh alm. nenek ditunjukan kepada mandor tersebut bahwa kakek datang bekeja. mandor jepang tersebut akhirnya sadar dia salah orang dan meminta maaf kepada alm. nenek sambil merunduk. dan pada malam harinya, mandor jepang tersebut datang kerumah kakek dengan membawa makanan ransum tentara, kain kelambu untuk bayi dan makanan2 lain yang pada saat itu susah didapat.

    BalasHapus