dewan kesenian hulu sungai selatan

dewan kesenian hulu sungai selatan
logo

Narasi

Burhanuddin Soebely



Narasi



SATU


Selalu ada kegetiran pada pagi. Sisa malam, sisa pelita, sisa mimpi, sisa risau, membekaskan muram pada dinding. Selebihnya : embun pamit pada daun, daun pamit pada pohon. Selebihnya lagi : kelepak sayap-sayap kecil dan kicau burung. Bagi telingaku, kicau--yang seyojana menjadi musik merdu penggiring bermulanya putaran roda kehidupan—itu adalah sederetan nada sumbang.. Barangkali karena putaran roda kehidupan itu sekadar perpanjangan waktu bagi jerat getir. Atau barangkali juga karena aku merasa bahwa aku tak ubahnya setangkai kembang lalang, penghuni padang, jauh dari vas penghuni meja.
Memang, selalu ada kegetiran pada pagi. Tapi pagi ini, seperti dua pagi  lalu, kembali menjadi pagi yang aneh. Dari atas sepeda yang dikayuh perlahan, mata dan otakku diam-diam merekam keanehan itu.  Kandangan lebih sepi dari hari-hari biasa. Pohon-pohon asam Jawa yang berderet di sepanjang jalan utama meluruhkan daun-daun kuningnya, berserakan kehilangan sentuhan sapu. Murid-murid Hutsu Djokyu Kogakko[1] asyik bermain di halaman sekolah, tak ada taiso[2], tak ada saikerei[3]. Pekik ”Tenno Heika, Banzai. Dai Nippon Teikoku, Banzai. Werara no kotoba wa Nippon- go, Asia no kotoba wa Nippon-go”[4] yang biasa bergema kini hilang suara. Di tanah lapang,  kelompok Seinendan, Konan Hokoku Dan, Bo Ei Tai Sin Tai[5], tak lagi  berlatih, cuma duduk-duduk santai di bawah kerindangan pohon. Kantor-kantor pemerintahan lengang, termasuk Kantor Ken Kanrikan[6]. Di pos penjagaan, wajah-wajah tentara Kaigun[7] yang biasa garang terlihat lesu, menyiratkan warna keruh. Bahkan bendera Hinomaru[8] menghilang dari puncak tiang.
Memasuki kawasan pasar, kubelokkan sepeda ke depan kantor redaksi Borneo Shimbun edisi Kandangan, tempatku bekerja. Kantor juga sepi. Di dalam, cuma ada Abdis. Pemuda itu duduk tercenung, dibungkus asap rokok.
“ Sudah ada berita yang masuk, Dis? “
“ Belum ada…”
Keningku berkerut. Sudah lima hari, sejak tanggal 13 Agustus 1945, suplai berita dari Kantor Berita Domei terhenti. Sensor ketat yang biasa diberlakukan oleh bagian Seimuka terhadap berita-berita dan artikel juga terhenti sehingga beberapa hari ini isi Borneo Shimbun terbilang berani dalam menyuarakan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa, serta tagihan janji kemerdekaan yang bulan Juli lalu diucapkan pemerintah Jepang.
“ Aneh… “ ucapku kemudian.
“ Aneh, memang. Itu sebabnya kawan-kawan sekarang mendatangi Tuan Kanda. “
“ Buat apa? “
“ Sekadar menanyakan situasi, utamanya tentang perkembangan terakhir Perang Pasifik. “
Aku menghenyakkan diri ke kursi. Sepi menyungkup. Dan dalam sepi itu diam-diam kupandangi wajah Abdis. Lalu tanpa bisa kutahan sederet kenangan pun membuka pintu, lepas bagai kuda menemu padang berumput hijau. Ooo, masa kanak-kanak yang ceria. Bermain rumah-rumahan. Bermain sembunyi-sembunyian. Berceburan ke sungai yang membelah kampung.. Lalu masa-masa remaja yang indah. Berangkat dan pulang sekolah bersama, berboncengan naik sepeda. Mengetam padi di sawah. Baturai pantun[9] sambil baiirik banih[10] di pinggiran tanah huma. Lalu…aahh, seracun getir tiba-tiba menuba, mengeruhkan kenangan, membuatku mengeluh halus.
“ Kenapa, Tun? “ suara Abdis masuk ke telinga, barangkali ia mendengar keluh halusku.
“ Tidak apa-apa…” sahutku cepat.
Abdis memandang lurus ke wajahku. Sejenak tatapan kami bersampokan sebelum aku mengalihkan pandang ke luar jendela. Kulakukan itu karena aku takut dia bisa membaca apa yang meluncas di mataku. Bukankah perasaan kadang bisa terbaca lewat pancaran di mata kita? Untunglah langkah-langkah kaki menyuara, dan Ahmad Basuni, sang pemimpin redaksi, nampak bergegas memasuki kantor.
“ Ada kabar? “ sambut Abdis.
“ Ya. Berita yang mengagetkan sekaligus juga mencemaskan. “ sahut Basuni sambil menhempaskan tubuh ke kursi. “ Menurut Tuan Kanda, tanggal 15 tadi Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Lalu kemarin, Soekarno – Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. “
Kemerdekaan Indonesia? Kami terpana. Menatap Basuni dengan tatapan tak percaya.
“ Kita telah merdeka? “ ucap Abdis seraya mengekspresikan rasa kaget campur gembira ke dalam sebuah siulan panjang.
“ Begitulah menurut Tuan Kanda. “ sahut Basuni meyakinkan. “ Tuan Kanda menyampaikan berita tersebut sambil terisak. Setelah isaknya reda, ia mengancam kami agar berita itu jangan disebarluaskan. “
“ Ancaman itu yang membuat kalian cemas, seperti katamu tadi? “ tebakku.
“ Betul, Tun. Mungkin saja berita itu merupakan jebakan untuk kita dan orang-orang pergerakan lainnya. Kita buta terhadap situasi, sama sekali tak tahu perkembangan terakhir Perang Pasifik yang sebenarnya. “
“ Untuk memastikannya, radio gelap milik Kusasi harus kita operasikan malam ini. “ usulku.
“ Kami juga berpendapat begitu. Sekarang kita pulang saja. Nanti malam, lepas Isya, kita ke rumah Sasi. “
Menunggu malam tiba sungguh merupakan cencangan pedang. Berita tentang kemerdekaan memang menggetarkan sekaligus juga menggelisahkan. Aku mencoba menghindari cencangan pedang waktu dengan jalan mencuci pakaian, membasuh sepeda, dan menyiangi rumput di halaman rumah.
Lepas Isya, di rumah Comis Kusasi di kampung Pandai, kami merubung radio yang suara pelannya disamarkan dengan nyanyian Abdis, lagu fasisme militer yang tiga tahun ini senantiasa dijejalkan ke dalam benak. Dari radio itu akhirnya didapatkan kepastian bahwa Soekarno – Hatta, atas nama bangsa Indonesia, tanggal 17 Agustus tadi, telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Teks Proklamasi Kemerdekaan dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 berhasil pula dicatat secara lengkap.
“ Kemerdekaan adalah hal yang telah kita tunggu selama berabad-abad. “ ujar Abdis dengan wajah sumringah penuh gelora, “ Karenanya berita besar ini harus kita sebar luaskan. “ sambungnya  seraya mengepalkan tangan.
“ Aku setuju saja, “ sahut Basuni, “ Tapi kita harus siap menanggung segala resikonya….”
“ Resiko apalagi? “ tukas Abdis.
“ Ingat, ancaman Tuan Kanda. “
“ Tuan Kanda tak lagi berhak mengurusi tindakan kita. Jepang telah kalah. “
“ Justru karena mereka kalah, Dis. “ sahutku, “ Orang yang kalah punya kecenderungan bertindak kalap. “
“ Sudah, jangan berdebat di sini. Kita bicarakan nanti di kantor. “ Zafry Zamzam menengahi.
Satu demi satu kami meninggalkan rumah Kusasi. Sebagian  berjalan kaki, sebagian lain mengayuh sepeda, menembus malam, mengambil jalan berbeda menuju kantor redaksi. Lalu sekitar pukul 10 malam, rapat redaksi berlangsung. Dinafasi gelora kemerdekaan dan sikap kehatian-hatian, putusan pun diambil. Dengan menisbikan keganasan serdadu Jepang, meniadakan penggalnya leher akibat tebasan pedang samurai atau bolongnya tubuh oleh terjangan peluru, kami sepakat untuk menyabung nasib mempertaruhkan nyawa : menyebarluaskan berita kemerdekaan Indonesia.
Maka pada penerbitan tanggal 20 Agustus 1945 halaman pertama Borneo Shimbun edisi Kandangan memuat teks Proklamasi Kemerdekaan RI dan teks Pembukaan UUD 1945. Kandangan pun geger. Di toko-toko, di warung-warung, di rumah-rumah, di jalan-jalan, pernyataan kemerdekaan menjadi pembicaraan hangat. Bendera-bendera Merah Putih, baik terbuat dari kain maupun kertas minyak, berkibaran di depan rumah. Jika tak punya bendera, orang-orang dengan berbagai cara menggambar bendera Merah Putih di dinding depan rumah.
Kupikir, sukacita itu merupakan hal yang amat wajar. Setelah sekian lama berada dalam belenggu penjajahan, bukankah kini rakyat Indonesia telah menyatakan diri sebagai bangsa yang tak lagi terampas harga dirinya? Setelah melewati hari-hari penuh penindasan, bukankah Pemerintah Negara Indonesia akan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia? Setelah sekian tahun hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan, bukankah kini pemerintah Negara Indonesia bertekad untuk memajukan kesejahteraan umum? Setelah berabad-abad pendidikan disekat oleh diskriminasi, bukankah kini pemerintah Negara Indonesia berkehendak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa?
Air mataku luruh. Aku sendiri tak tahu apa makna tangis itu, sebab seiring dengan kegembiraan dan keterharuan, rumpun getir di hati perlahan mengorakkan lagi bunga luka.
*****

Memang, selalu ada kegetiran pada pagi, kendati udara pagi itu adalah udara sebuah negara merdeka. Selesai shalat Subuh, kubuka jendela, kubiarkan angin dingin merayapi tubuh, menelisiki urat-urat darah, mendinginkan ladang pikiran yang tengah menjadi ajang pertempuran antara keinginan untuk mengingat dan melupakan. Pertempuran itu sungguh menyiksa, terlebih ketika keinginan—ah, bukan keinginan sebenarnya, tetapi keterpaksaan—untuk mengingat akhirnya memperoleh kemenangan.  Panji-panji hitam pun berkibaran, diiringi sorak hantu-hantu berlidah panjang berbuih hijau. Lidah-lidah yang membuat aku merasa amat muak dan tercekik.
Atun, namaku. Lengkapnya, Fajriatun Hasanah. Lahir ketika fajar bulan November menyingsing, ketika mentari menggincui cakrawala, 22 tahun yang lalu. Abah[11] merupakan orang terpandang, seorang pambakal[12] di kampung kami, Kampung Asam Cangkuk,  sekitar 2 kilometer dari Kandangan. Beliau juga merupakan seorang aktivis Partai Indonesia Raya atau Parindra.
Sebagai orang pergerakan, abah selalu menanamkan semangat kebangsaan, semangat untuk bebas dari belenggu penjajahan, kepadaku, juga terhadap anak-anak lain, termasuk Abdis dan kakaknya, Abduh. Malam-malam, selesai shalat Isya, kami melakukan tadarusan Al-Quran di rumah. Selesai tadarusan, abah bicara tentang pentingnya persatuan dan kesatuan, tentang Indonesia yang satu sebagaimana dicetuskan para pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Abah agaknya menaruih harapan besar pada kami sehingga kami bertiga sering dibawanya mengikuti rapat-rapat partai atau pertemuan-pertemuan politik di luar wilayah Kandangan. Dukungan dari Pak Madi, ayah Abduh dan Abdis, juga amat besar, terlebih setelah usia kami menginjak remaja. Abduh dikirim ke tanah Jawa, menuntut ilmu di Pesantren Gontor, sementara Abdis dan aku kemudian di sekolahkan di Madrasah Al Wathoniah Al Islamiyah di Kampung Pandai Kandangan, sekolah yang kemudian lebih dikenal sebagai Sekolah Islam Pandai.
Kebersamaanku dengan Abdis terus berlanjut. Semakin lama kebersamaan itu semakin mengarah kepada sebuah hubungan yang tidak sekadar pertemanan. Sebuah perasaan lain muncul. Rasa sepi jika tidak mendengar tawanya, kelindan impian-impian manis menjelang tidur, tusukan jarum-jarum rindu jika tak ketemu, mungkin itulah yang  bernama cinta. Tak heran kalau aku diam-diam menyimpan Abdis di dalam hati sebagaimana layaknya seorang gadis menyimpan kekasihnya. Sayang sebuah perubahan besar kemudian terjadi, perubahan yang membuat tempat penyimpanan wajah Abdis itu pecah berkeping.
Bermula ketika Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menerjunkan diri ke dalam Perang Pasifik sebagai anggota front ABCD. Putusan itu membuat Jepang menyerbu wilayah Hindia Belanda. Pada tanggal 24 Januari 1942, tentara Jepang berhasil menguasai Balik Papan. Berita itu diterima oleh  para pejabat pemerintahan Belanda di Kandangan dengan penuh rasa takut, terlebih ketika kota Amuntai yang berjarak 55 kilometer dari Kandangan juga diduduki. Kepanikan pun melanda karena sampainya serbuan Jepang ke Kandangan cuma soal waktu. Maka dilakukanlah penghancuran terhadap mesin-mesin pabrik, percetakan, dan fasilitas lainnya, pembumihangusan gudang-gudang karet dan gudang-gudang beras.  Bahkan pada tanggal 7 Februari, jembatan besi yang melintasi Sungai Amandit diledakkan. Tentara Belanda, Polisi, Stadswacht, sama melarikan diri sembari membuang senjata ke sungai. Tak heran kalau sehari kemudian, pasukan Jepang memasuki Kandangan tanpa sedikit pun perlawanan.
Abah dan aku baru saja selesai shalat Asyar ketika sebuah jeep terbuka berhenti di depan rumah. Tiga orang tentara Jepang melompat turun dan berjalan angkuh memasuki halaman. Saat memandang tentara yang berjalan paling depan sebuah kejutan muncul di benakku. Dia kukenali sebagai Shinji, seorang tukang cukur di pasar Kandangan, tukang cukur langganan abah. Sekarang si tukang cukur itu nampak mengenakan seragam Kaigun berpangkat Kapten.
“ Anda ini Shinji? “ ujar abah.
“ Benar, Tuan Saleh. Sejak saat ini Anda harus mencari tukang cukur yang lain. “ sahut Shinji. “ Kecuali kalau yang mau dicukur itu urat leher Tuan. “
Seorang kapten yang menyamar sebagai tukang cukur? Ah, agaknya selama ini ia sengaja disusupkan ke Kandangan untuk mengumpulkan berbagai informasi bagi strategi pemenangan  Jepang. Sebuah penyamaran yang amat berhasil. Tak ada seorang pun di Kandangan, termasuk pihak Belanda, mengira si tukang cukur yang nampak agak bodoh itu ternyata seorang mata-mata.
“ Tuan Saleh seorang pambakal bukan? “ tanya Shinji.
“ Benar, Tuan. “ sahut abah.
“ Harap Tuan beritahukan kepada orang-orang di kampung ini, semua orang tanpa kecuali, untuk berkumpul sekarang juga di dekat jembatan besi. “ ujar Shinji kemudian.
“ Untuk apa, Tuan? “ sahut abah.
“ Jangan tanya, lakukan saja. “ Shinji berucap tegas. “ Semoga kerja sama kita bisa berlanjut, Tuan Saleh. “ sambungnya sambil berbalik meninggalkan kami.
“ Haruskah kita ke situ? “ tanyaku, selepas deru jeep yang melaju.
“ Ya. “ sahut abah. “ Kita tak tahu perubahan macam apa yang bakal terjadi, karenanya kita turuti saja dahulu apa maunya pasukan penakluk Belanda ini. “
Di dekat reruntuhan jembatan, telah banyak orang berkumpul. Berdiri di seberang-menyeberang sungai. Di tanah landai pinggiran sungai, Shinji nampak berdiri, bertolak pinggang.
“ Sekarang kekuasaan berada di tangan kami, balatentara Dai Nippon yang perkasa. “ kata Shinji dengan nyaring, memaklumkan keberadaan mereka. “ Kami datang ke sini sebagai saudara tua bagi kalian., orang-orang yang akan memimpin kalian menuju kebesaran bangsa Asia. Kami mengharapkan kerja sama yang baik. Kami akan merasa amat tidak senang terhadap berbagai pelanggaran. Bagi mereka yang melakukan pelanggaran akan mendapat hukuman berat, bahkan hukuman mati. Kami tidak main-main. Kami akan buktikan hal itu. “ sambungnya.
Shinji kemudian berbicara dalam bahasa Jepang yang tak kumengerti. Kerumunan orang-orang di seberang sungai sejenak tersibak. Tiga orang pejabat Belanda dibawa ke pinggiran sungai dengan tangan terikat. Orang pertama adalah Controleur Hoofd van Plaatselijke. Di belakangnya, Santi de Pareira, Belanda peranakan Spanyol yang menjadi Controleur Landrente. Di belakangnya lagi, Insinyur Ramsdong, Landbouw Consulent Dept. van Financien. Ketiga pejabat itu kemudian dipaksa bersimpuh di depan Shinji.
“ Orang-orang kalian telah melakukan pembumihangusan, perusakan, bahkan meledakkan jembatan ini. Hal itu merupakan penghambatan bagi pergerakaan pasukan Dai Nippon. Maka tidak ada ampunan bagi mereka yang telah berbuat kesalahan terhadap balatentara Dai Nippon. “ kata Shinji sambil mencabut pedang samurainya.
Pedang kemudian terayun. Dalam sekejap mata kepala tiga orang pejabat Belanda di Kandangan itu terpisah dari tubuh, menggelinding ke sungai. Kendati aku sempat memejamkan mata saat pedang berkilat Shinji membuat pancuran darah, telingaku tetap menangkap jerit kematian. Bulu romaku langsung merinding.
Pemenggalan kepala di depan umum itu merupakan awal teror tentara Jepang terhadap penduduk. Berbagai tindak kekerasan dilakukan, termasuk perampasan perhiasan dan pemerkosaan. Tak sedikit pun aku menyangka bahwa tindak kekerasan itu akhirnya sampai juga pada keluarga kami.
Dimulai dengan derum jeep, suatu malam, Shinji dan tiga serdadu Jepang lainnya mendatangi rumah kami. 
“ Anak Tuan Saleh…siapa namanya… Atun ya? “ tanya Shinji.
“ Ya, dia bernama Atun. “ sahut abah.
Shinji tak segera menjawab. “ Dia cantik sekali ya…” katanya. Sesaat ia berhenti berucap, seakan meneliti reaksiku dan abah. “ Saya menginginkannya. ” sambungnya dalam irama lambat.
“ Itu tidak boleh, Tuan. Anak saya sudah ada yang punya…” abah cepat menyahut.
“ Tidak apa. Saya cuma perlu dia dua atau tiga malam saja. “
“ Tidak. “ abah menyahut tegas.
Shinji terkekeh. “ Tuan Saleh nampaknya tidak memahami kebaikan saya selama ini ya sehingga menolak keinginan saya ya “
“ Saya tak berhutang apa-apa kepada Tuan. “
“ Itulah. Tuan sama sekali tak paham ya. Selama ini, saya sama sekali tak mengusik kegiatan-kegiatan Tuan, padahal kegiatan-kegiatan semacam itu merupakan sebuah pelanggaran yang terbilang berat. Tuan dinilai telah melakukan berbagai penghasutan kepada para pemuda di berbagai kampung, menanamkan kebencian terhadap Dai Nippon. Sebenarnya Tuan dapat kehilangan kepala ya karena itu ya, paling tidak dimasukkan ke penjara ya. “ nada suara Shinji bernada ancaman. “ Saya selama ini selalu mengatakan bahwa kegiatan Tuan itu remeh saja, bukan sesuatu yang membahayakan. “
“ Jika saya dianggap bersalah maka Tuan boleh menangkap saya, boleh pula memenggal kepala saya, tapi saya tak akan menyerahkan anak saya. “
Shinji kembali terkekeh. Dia memberi anggukan kepada anak buahnya. Tiga laras karaben kini tertuju ke tubuh abah. “ Tuan Saleh mau menyerahkannya atau tidak bukan soal bagi saya. Saya dapat mengambilnya sendiri ya “
Shinji berjalan ke arahku. Aku berbalik dan hendak berlari ke pintu dapur tetapi serdadu Jepang itu berhasil menangkap tanganku dan menarikku ke arah kamar. Aku meronta dan berteriak-teriak.
“ Lepaskan dia! “ sergah abah.
Shinji membalas sergahan itu dengan kekehnya. Abah menggerung marah, menerkam. Terdengar serentetan tembakan. Tubuh abah terjengkang diterjang peluru, jatuih berdebuk di lantai. Jeritanku kian meninggi. Sayup terdengar abah mengucap dua kalimah Syahadat. Lalu tubuhku terbanting ke ranjang. Semakin kuat aku meronta semakin kuat pula tekanan Shinji.
Setelah segala upaya untuk melepaskan diri habis, aku pun menegaskan kepada diriku sendiri bahwa aku adalah sebongkah batu. Kemauanku, perasaanku, bahkan seluruh perwujudanku, semuanya menjadi batu. Dunia luar kehilangan hubungan dengan dunia dalamku, sehingga apapun aksi yang dilakukan oleh Shinji terhadap diriku tak lagi menimbulkan reaksi.
Saat dunia luar kembali melakukan hubungan dengan dunia dalamku, kutemukan diriku tergolek di atas ranjang. Sehelai kain bahalai menyelimuti tubuhku, mulai dari kaki hingga ke pangkal leher. Sayup telingaku mendengar Surah Yasin dibaca banyak orang di luar kamar. Aku mengerjapkan mata lantaran siluet terhempasnya tubuh abah oleh terjangan peluru karaben. Pastilah Surah Yasin itu dibacakan orang-orang di sekitar tubuh abah yang telah menjadi mayat. Lantas sesuatu yang entah apa menyengat pikiran. Sengatan yang memunculkan wajah Shinji. Wajah yang membuat aku merentak bangun.
Bacaan Surah Yasin sejenak terhenti lantaran semua wajah menoleh ketika aku muncul di pintu kamar. Aku menyapu pandangan orang-orang itu. Entah kenapa pandangan mereka cepat menghindar. Barangkali karena tatapanku terlihat menakutkan. Barangkali juga lantaran pandanganku menyorotkan permintaan belas kasihan.
Tangan Abdis terlihat bergetar memegangi kitab Surah Yasin “ Awalaisal lazi khalaqas samawati wal arda bi qadirin ‘ala ayyakkhliqa mislahum bala wahuwal khallaqul ‘alim..” Abdis meneruskan bacaannya dengan suara bergetar, diikuti oleh suara-suara lain. “ Innama amruhu iza arada syai-an ayyaqula lahu kun fayakun. Fa subhanal lazi biyadihi malakutu kulli syai-iw wa ilaihi turja’un…
Kumandang Surah Yasin berakhir. Ya, Maha Suci Allah yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. Maka kulintaskan pandang ke arah jenazah abah yang terbaring di tengah ruang, diselimuti sehelai bahalai[13]. Lalu orang-orang memberi jalan ketika aku melangkah menuju dapur.
“ Atun, mau kemana? “ tegur Abdis.
“ Ke sumur, aku mau membersihkan diri…” sahutku tanpa menoleh dan tanpa menghentikan langkah.
“ Biar ia kutemani…” ujar acil Iyam, Ibunya Abdis.
Mereka agaknya kuatir aku melakukan bunuh diri dengan menceburkan diri ke sumur. Memang rasanya dengan jalan itu akan selesai segala penderitaanku, penderitaan seorang piatu yang juga merupakan korban perkosaan. Tapi tidak, aku tak akan bunuh diri. Aku ingin terus hidup sebab di hatiku tersimpan dendam yang tak kutahu akankah bisa terlampiaskan atau tidak. Bukankah dendam merupakan hal yang wajar dalam situasiku, sebuah reaksi naluriah terhadap peristiwa yang menimpa?
Di sumur, sebelum mandi, kubersihkan tubuhku dengan tanah tujuh kali dan dengan air tujuh kali, sebagaimana membersihkan anggota tubuh yang dijilat anjing. Bagiku, Shinji memang anjing dari kerak neraka yang entah bagaimana dihadirkan ke dalam hidupku untuk mencabik-cabik diri.
Selama aku membersihkan diri, Acil Iyam tak berkata apa-apa. Dia berdiri memandangi, bersandar pada sebatang pohon durian yang tumbuh tak jauh dari sumur.
“ Engkau harus tabah, Tun. Tabah. “ ucapnya saat aku membilas kain basahan.
“ Tuhan menimpakan penderitaan untuk menguji kita. Jadi, sabar dan tabahlah. ”
Aku tak menanggapi. Berjalan lagi menuju rumah. Selesai mematut diri aku bersimpuh di sisi jenazah abah. Pelan kusingkap bahalai yang menutupi wajahnya. Wajah abah nampak tenang, seperti tengah tidur dan bercengkerama dengan mimpi-mimpi kemerdekaan negeri yang diperjuangkan-nya selama ini. Kututup lagi wajah abah, merapikan bahalai yang menyelimutinya, sebagaimana biasa aku menyelimutinya dari dingin malam. Kini dingin malam itu tak akan lagi mengusiknya, sebab dingin itu berada jauh dalam dirinya. Abah takkan hangat lagi. Matanya yang penuh kasih sayang takkan pernah terbuka lagi untuk menatapku, sebaliknya aku pun takkan pernah lagi melihat sorot mata dan senyum sejuknya.
Pemakaman abah di alkah dekat rumah kuikuti dengan kemurungan yang memberat. Dan kemurungan itu kemudian mengambil tempat lapang di pikiranku. Sebagai korban perkosaan, wajar agaknya kalau aku menjadi orang yang lebih banyak diselimuti oleh pikiran-pikiran murung.. Ada saat-saat di mana kesadaran dan ketidaksadaranku tak bisa tidak kecuali mengulang-ulang mimpi buruk itu. Barangkali ada sesuatu yang mekanis di situ sehingga aku terpaksa mengulang-ulang ingatan dalam tuturan dan tindakan, atau sebaliknya mengulang-ulang untuk menghindar dari ingatan terhadap peristiwa buruk itu.Wajah serdadu Jepang itu, peristiwa itu, agaknya telah tertoreh demikian dalam sebelum aku menjadi batu, meninggalkan bekas yang entah bagaimana selalu mampu melompat ke luar dari timbunan daun waktu, bergentayangan menyusuri dunia yang berwujud jam ini. Sebuah penelusuran yang tidak cuma menghadirkan kembali mimpi buruk tetapi juga selalu melebih-lebihkan sisi-sisi gelapnya.
Maka selalu ada kegetiran pada pagi, karena di situ merupakan awal dari pertemuanku dengan orang-orang yang menyaksikan atau mengetahui kehinaanku, pertemuan dengan para saksi. Bukankah jika tak ada saksi aibku akan terhapus?
“ Lupakan peristiwa itu. Jadilah Atun yang baru. “ ujar Abdis suatu kali.
Kupikir, soalnya bukanlah pada melupakan tetapi terletak pada kemampuan untuk keluar dari prasangka-prasangka negatif terhadap luka sejarah berikut rasa sakit yang muncul darinya. Untuk itu aku harus mampu bersahabat dengan lukaku, dengan rasa maluku, dengan kebencianku terhadap Shinji dan terhadap diriku sendiri. Persahabatan itu memerlukan kedewasaan dan kematangan diri. Akan mampukah sang waktu mendewasakan dan mematangkan diriku?

*****

Kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan. Tapi bagaimana selanjutnya? Teks proklamasi menyatakan bahwa pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Itu berarti bahwa pemindahan kekuasaan akan berlangsung dengan teratur dan lancar. Sementara itu, sikap orang-orang Jepang sekarang lebih bersahabat. Mereka terikat tanggung jawab kepada Sekutu untuk menjaga keamanan dan ketertiban sampai pasukan Sekutu mengambil alih.  Mereka memberi banyak kebebasan pada tokoh-tokoh pergerakan, namun mereka sama sekali tak menunjukan bagaimana seharusnya pemindahan kekuasaan yang diamanatkan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia  itu dilakukan. Baru setelah beberapa bulan aku mengetahui bahwa semua itu merupakan strategi tersendiri dari mereka agar berbagai bentrokan seperti yang terjadi di Jawa bisa dihindarkan. Mereka memakai siasat membuka banyak pintu tetapi mengunci rapat pintu ke ruang utama.
Sikap Jepang yang “bersahabat” dan sikap para tokoh pergerakan yang “menunggu” menyebabkan tidak munculnya upaya-upaya untuk merebut senjata atau untuk mengambil alih kekuasaan dan membentuk pemerintahan. Orang-orang bekas Seinendan, Konan Hukoko Dan, serta Bo Ei Tai Sin Tai, yang pernah mendapat sedikit latihan militer, dengan senang hati kembali ke rumah karena merasa bahagia menikmati keseharian tanpa disiplin militer ala Jepang.
Tanggal 16 September terbetik dua berita penting. Berita pertama tentang kedatangan tentara Sekutu. Konon, dalam sehari-dua ini mereka akan mendarat di lapangan terbang Ulin, Banjarmasin. Berita kedua menyebutkan bahwa pada tanggal 12 September tadi, Kalimantan merupakan satu di antara delapan provinsi yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia. Sebagai Gubernur diangkat Ir. Pangeran Mohammad Noor, berkedudukan sementara di Bandung karena dia juga merupakan Wakil Menteri Perhubungan dan Pekerjaan Umum serta sebagai anggota DPA.
Topik itulah yang menjadi pembicaraan antara aku dan Abdis ketika kami menikmati minuman pada sebuah warung, tak jauh dari kantor redaksi Borneo Shimbun.
“ Sayang koran kita tak lagi bisa terbit. “ kata Abdis. “ Kalau tidak, berita tentang pengangkatan Pangeran Mohammad Noor sebagai Gubernur Kalimantan ini akan menempati halaman pertama, headline. “
“ Akhirnya kita punya pemerintahan sendiri. Punya presiden bangsa sendiri, dan punya gubernur orang Banjar juga. “ sahutku.
“ Tapi beliau masih berkedudukan di Bandung. “
“ Di manapun beliau berkedudukan, untuk sementara ini bukan merupakan hal penting. Hal yang jauh lebih penting adalah kesiapan kita untuk berbenah diri, menyambut zaman baru yang telah berabad-abad kita impikan. “
“ Andai ayahmu masih ada, tentu beliau akan tersenyum lebar. “
“ Ya. “ sahutku sambil mengenangkan senyum abah. “ Tapi aku yakin bahwa di alam sana senyum Abah akan  mengembang amat lebar. Cita-citanya tentang alam kemerdekaan telah tercapai. “
Pembicaraan kami terputus ketika sebuah jeep berisi tiga serdadu Jepang berhenti. Dua serdadu melangkah mendekati kami.
“ Atun, Anda diminta Tuan Kanda untuk ikut bersama kami ke rumah sakit. Sekarang juga. “ kata salah satu serdadu.
Aku tak segera menanggapi. Ah, ada apalagi ini? Apa urusan Tuan Kanda denganku?
“ Untuk apa? “ tanyaku bingung.
“ Ikut saja. Nanti engkau akan tahu sendiri. Silakan…”
“ Aku ikut! “ kata Abdis sambil mengiringiku.
Kami naik ke atas jeep, menuju rumah sakit yang terletak di depan tangsi. Di situ Tuan Kanda telah menunggu dan membawa kami menuju kamar mayat. Di tengah kamar, di atas sebuah dipan terbaring sesosok tubuh yang ditutupi sehelai kain putih. Tanpa bicara Tuan Kanda menarik kain putih sehingga sosok tubuh itu kini terlihat jelas. Aku menggigit bibir. Mayat itu adalah mayat Shinji!
“ Kami menemukannya mengambang di sungai, tersangkut pada tiang jembatan. Kapten Shinji bukan mati karena tenggelam, tetapi karena dibunuh. Lihatlah, empat lubang luka bekas tusukan senjata tajam di tubuhnya itu. “ kata Tuan Kanda.
Tanpa berkedip aku terus memandangi wajah Shinji. Oh, inilah dia wajah yang bertahun-tahun menjeratkan kegetiran pada hidupku. Seraut wajah yang aneh.
Dingin dan kaku karena telah ditolak oleh dunia. Wajah yang riwayatnya telah dihentikan dengan paksa oleh bilah dingin belati.
“ Tahukah engkau siapa yang membunuhnya? “ suara Tuan Kanda menyentakku.
“ Kenapa Tuan bertanya kepadaku? “ aku balas bertanya.
“ Karena saya tahu bahwa Kapten Shinji pernah membuat engkau menderita. Penderitaan yang pastilah berisi simpanan dendam. “
“ Terus terang aku memang menyimpan dendam padanya. Sayang aku seorang wanita. Andai aku lelaki, dia tentu sudah lama mati. “ kataku dengan berani.
“ Engkau bisa saja mengupah orang lain, atau meminta keluargamu yang laki-laki untuk melakukannya. “ desak Tuan Kanda, sudah berupa tuduhan.
“ Tuan tidak bisa menuduh Atun terlibat pembunuhan Kapten Shinji. “ kata Abdis.
“ Terlibat atau tidak, itu soal nanti. Kami akan mengusut kasus ini. “
“ Tuan tak berhak lagi mengusut, melakukan penangkapan, apalagi menjatuhkan hukuman terhadap orang yang dianggap terlibat kasus ini. Tuan tentu tahu bahwa Pasukan Sekutu dalam hitungan jam akan segera tiba. Tuan juga tentu tahu bahwa sekarang kami telah punya pemerintahan sendiri dengan telah diangkatnya seorang gubernur untuk wilayah Kalimantan ini. “ sahutku getas.
Tuan Kanda tak segera menjawab. Agaknya dia terkejut dengan sikap keras yang kami tunjukan.
“ Tuan bukan lagi penguasa kami. Jika Tuan melakukan tindak kekerasan, kami akan melawan. Kami sekarang bangsa merdeka. Boleh dikata kami merupakan bagian dari sang pemenang perang. “ tambah Abdis.
“ Kami permisi, Tuan. “ ucapku. “ Jaga prajurit Tuan, jangan biarkan mereka berkeliaran. Tindakan kalian di masa lalu membuat benih dendam tersemai di mana-mana. Jadi, bukan tidak mungkin kejadian seperti ini berulang. “
Tuan Kanda terpana bagai tonggak kayu. Aku dan Abdis tak mempedulikan-nya lagi, melangkah meninggalkan rumah sakit. Sepanjang jalan, aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Semula aku mengira, setidaknya dalam angan-angan, bahwa dengan berhentinya riwayat wajah itu berhenti pulalah riwayat dunia getir yang berhadapan denganku lalu menguburnya ke dalam sebuah sumur tanpa dasar. Ternyata itu tidak sepebuhnya benar. Kematian Shinji tak memberikan banyak kesan. Tidak rasa puas. Tidak pula rasa lega. Jika ada juga kesan yang kudapat maka pada wajah kaku itu aku merasa dapat menegaskan kehidupanku. Menegaskan bahwa keakananlah yang seharusnya kupikirkan, bukan kelampauan. Penegasan itu kemudian membawaku kepada sebuah kesadaran bahwa aku sendirilah yang selama ini menghidupi dunia getirku. Perkosaan yang dilakukan Shinji telah dilanjutkan oleh diriku terhadap diriku sendiri.
Kesimpulan tersebut membuat langkahku terayun lebih ringan sebab aku telah sampai pada kepastian bahwa untuk mengubur dunia getirku haruslah dilakukan olehku sendiri. Orang lain boleh saja membantu tetapi pemutusannya mutlak padaku.
*****

Tanggal 17 September 1945, tentara Sekutu memasuki Kandangan. Kami menyambutnya dengan sangka baik, menganggapnya sebagai proses dari pemindahan kekuasaan. Tapi baru dua hari menjejakkan kaki, tindakan tentara sekutu itu terlihat mencurigakan. Mereka membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan Jepang, menghimpun bekas pegawai dan simpatisan di masa pemerintahan Belanda, lalu mempersenjatainya. Keadaan itu membuat kaum pergerakan membuka rapat, berkedok upacara keagamaan.
“ Kemarin aku mendengar serombongan tentara itu bicara di pasar. “ kata Abdis. “ Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Belanda. “
“ Sebagian mereka memang orang Belanda. “ sahut Zafry Zamzam. “ Kabar yang kudengar, mereka itu pasukan Netherlands Indies Civil Administration atau NICA. “
“ Apa maksud mereka sebenarnya? “
“ Entahlah, tapi tindakan mereka sungguh mencurigakan. “
“ Mereka harus diingatkan bahwa mereka berada dalam wilayah Republik Indonesia, wilayah negara yang merdeka dan berdaulat, kendati pun belum ada pemerintahan resmi. “ kataku.
“ Tidak cuma itu. Kesadaran masyarakat juga perlu dibangkitkan. Kesadaran bahwa kita adalah warga dari sebuah negara yang telah lepas dari belenggu penjajahan. “ sambung Abdis.
“ Itu harus! Tapi bagaimana caranya? “
“ Kita adakan Pasar Malam. “ usul Syukeri. “ Kegiatan  itu kita beri nama Pasar Malam Kemerdekaan. Di situ nanti kita jelaskan kepada berbagai pihak tentang makna dari proklamasi kemerdekaan itu. “
Semua setuju. Kegiatan semacam itu memang merupakan cara yang tepat untuk mengumpul massa seraya menjelaskan makna kemerdekaan, apalagi Borneo Shimbun telah berhenti terbit karena tak ada lagi pasokan kertas dan dana.
“ Kapan kita laksanakan? “ tanya Arthum Artha.
“ Besok malam, di alun-alun. “ sahut Syukeri. “  Kita minta para pedagang agar berjualan di sana. Kita siapkan berbagai kesenian. Kita pukul kentongan berkeliling , pemberitahuan pada masyarakat tentang adanya kegiatan tersebut. “
Detil rencana pun dibahas. Kami bergerak cepat. Besok malamnya, alun-alun dirubung manusia. Basuni naik ke atas panggung, membacakan Teks Pembukaan UUD 1945. Setelah itu dijelaskannya secara singkat makna dari Proklamasi Kemerdekaan RI.
“ Kini kita adalah bangsa yang merdeka! Bangsa yang berdaulat! Merdeka! Merdeka! “ seru Basuni.
Pekik Merdeka menggelegar di alun-alun, berlanjut dengan sorak sorai yang amat riuh. Kulihat Zafry Zamzam berlari-lari, keliling alun-alun seraya mengibar-ngibarkan bendera Merah Putih.
Tiba-tiba terdengar rentetan tembakan. Tentara Australia dan NICA menembakkan senjatanya ke udara, menyerbu dan membubarkan massa. Benterokan nyaris terjadi, namun untuk menghindari jatuhnya banyak korban panitia pasar malam meminta massa membubarkan diri. Jeep-jeep tentara berseleweran, memutari kota, menggebah massa. Sesekali rentetan tembakan menyuara, utamanya jika di satu tempat terdapat konsentrasi massa yang masih tidak puas dengan pembubaran itu.
Pasar Malam Kemerdekaan yang rencananya berlangsung selama sepuluh hari tak bisa lagi dilangsungkan, dilarang oleh tentara NICA. Suasana yang dalam sebulan terakhir ini terbilang tenang kini mulai diletiki bara.
Bara itu kian memijar saat terdengar kabar bahwa sejak tanggal 1 Oktober 1945, Jenderal Thomas Albert Blamey, Panglima Tentara Auistralia, menandatangani penyerahan kekuasaan Sekutu kepada NICA. Secara bertahap tentara Australia pun meninggalkan Kalimantan Selatan, sementara NICA memantapkan posisinya dengan merekrut bekas KNIL, Kepolisian, pegawai-pegawai sipil, serta mendatangkan tentara dari Balikpapan yang kemudian dikenal sebagai Kompi X.
“ Kita agaknya telah kalah langkah. “ ucapku saat kami menikmati teh di warung yang biasa kami jadikan tempat berkumpul.
“ Ya. “ sahut Abdis, agak lesu. “ Kesadaran kita terhadap perkembangan situasi telah terlambat. Seharusnya sejak dulu kita bergerak untuk merebut senjata-senjata Jepang sehingga ketika situasi jadi seperti sekarang ini kita dapat bertem- pur. “
“ Dengan punya seorang gubernur kita kira soal pemindahan kekuasaan akan berlangsung dengan baik. Siapa yang mengira kalau NICA memboncengi Sekutu? Siapa pula yang mengira kalau Sekutu akhirnya menyerahkan kekuasaan di Kalimantan ini justru kepada NICA? “ kata Zafry.
“ Menyikapi perkembangan ini, apa yang harus kita lakukan? “ suara Abdis bernada keluh.
“ Tetap menunjukan bahwa kita adalah bangsa merdeka. “ sahutku cepat.
“ Caranya? “
“ Mobilisasi massa. “ usul Zafry.
“ Lalu ditembaki NICA seperti saat pasar malam dulu itu? “
“ Biar saja, asal jangan ada korban. Yang penting mereka harus selalu diingatkan bahwa kita punya pemerintahan sendiri, bahwa daerah ini adalah wilayah dari Republik Indonesia. “ kataku.
“ Aku punya beberapa helai kain warna merah putih. Dulu kuambil dari gudang  Kasen Ongko Kai Kabushiki Kaisha. “ kata Arthun. “ Kita jahit itu menjadi lencana merah putih, kita bagi-bagikan lalu kita adakan pawai keliling kota. “
“ Baik, aku setuju. “ ujar Zafry, “ Pawai itu kita namakan Pawai Merah Putih. Waktunya lusa, menjelang tengah hari. “
“ Aku akan hubungi teman-teman. “ kata Abdis sambil beranjak.
“ Engkau bantu aku, Tun. Mengambil kain dan menyerahkannya pada Badraini untuk dijahit. “ ajak Arthum. Badraini adalah seorang penjahit di pasar, di toko bernama Liberty Tailor.
Aku mengangguk. Arthum mengambil sepedanya. Aku naik ke boncengan sepeda itu. Bersama kami menyusuri jalanan, menuju rumah Arthum di kampung Parincahan.
Lusanya, 10 Oktober 1945,  lencana merah putih sebesar 5 cm dibagikan di pasar. Orang-orang dengan penuh semangat menyematkan lencana itu di dada, lalu bergerak perlahan menuju alun-alun. Zafry Zamzam muncul dari bekas kantor Borneo Shimbun, menyerukan yel-yel sambil mengibar-ngibarkan bendera merah putih. Lalu dari arah Teluk Masjid, Abdis muncul diiringi puluhan orang, juga melambai-lambaikan bendera merah putih. Dari arah Simpang Lima, Rusli dan Abdul Wahab muncul beserta rombongannya.
Belum lagi mencapai alun-alun, tentara Australia dan NICA bermunculan, berusaha membubarkan arak-arakan dengan acungan senjata. Kami tak gentar, bersikeras melanjutkan arak-arakan ke alun-alun. Zafry dan Arthum berunding dengan pimpinan tentara itu, sementara massa mulai menampakkan emosinya. Pimpinan tentara Australia menyadari gelagat, mereka akhirnya membolehkan kami mencapai alun-alun untuk mengibarkan bendera merah putih serta menyanyikan lagu Indonesia Raya. Syaratnya, setelah upacara itu arak-arakan harus dibibubarkan.
Maka diiring Indonesia Raya Sang Dwiwarna dinaikkan ke puncak tiang. Angin seakan turut menyanyi, berhembus cukup keras sehingga merah putih berkibaran mengipas cakrawala.
Setelah itu rentetan tembakan ke udara bergema, memaksa massa untuk bubar. Kami pun membubarkan diri. Setidaknya kami merasa bahwa maksud untuk lebih menumbuhkan kesadaran rakyat terhadap kemerdekaan Indonesia kian menggumpal. Buktinya, diam-diam kemudian rakyat di berbagai pelosok mulai menghimpun diri dalam organisasi yang mengarah kepada perjuangan bersenjata. Secara rahasia, di berbagai tempat diadakan latihan-latihan kemiliteran.
Kandangan mulai dikenal sebagai Kota Hantu. Disebut demikian karena sering sekali ditemukan mayat kaki-tangan NICA bergeletakan di jalan-jalan atau mengambang dan hanyut di sungai. Mayat dengan tubuh berhias tusukan atau tebasan senjata tajam. Mayat yang tak diketahui siapa pembunuhnya. Mayat yang oleh orang-orang dikatakan dimatii hantu atau dibunuh hantu.



DUA


Dalam menjalankan tugas yang diemban, Gubernur Kalimantan memibentuk BPOG (Badan Oesaha Pembantoe Goebernoer/Badan Usaha Pembantu Gubernur) yang berkedudukan di Jalan Embong Tanjung 17 Surabaya.. Tetapi perwujudan Kalimantan secara de facto sebagai wilayah dari Republik Indonesia seakan cuma mimpi. Usaha untuk menghijrahkan Gubernur Kalimantan ke Banjarmasin melalui Surabaya gagal total karena terjadinya pertempuran-pertempuran di Surabaya. Kapal yang rencananya akan membawa Pangeran Mohammad Noor tenggelam oleh tembakan meriam Belanda. Pemerintah Kalimantan pun tetap berkedudukan di Bandung.
Akhir tahun 1945, Presiden Soekarno membebastugaskan Pangeran Mohammad Noor dari jabatan Wakil Menteri Perhubungan dan Pekerjaan Umum kerena kementerian tersebut dipecah menjadi dua. Seiring dengan itu Pemerintahan Kalimantan kemudian dipindahkan ke Yogya, menempati kantor di Jalan Pakualaman nomor 2.
Di Kalimantan sendiri kekuasaan Belanda telah melebarkan sayapnya, tertanam semakin kuat. Kandangan, sebagai pusat pemerintahan di Hulu Sungai, telah mutlak mereka kuasai. Perangkat pemerintahan telah tersusun. Tentara dan polisi telah ditambah. Spion-spion berkeliaran. Larangan demi larangan diberlakukan.
Suatu hari di bulan Februari 1946, tersebar pamflet dari NICA. Isinya menyebutkan bahwa barangsiapa menyerahkan Hassan Basry, hidup atau mati, akan mendapatkan hadiah uang. Sedang bagi yang ketahuan menyembunyikan Hassan Basry maka seluruh kampung akan dibakar dan penduduknya ditembak mati.
“ Hassan Basry? “ Abdis menatap nanap pamflet itu.
“ Teman kita di Sekolah Islam dahulu? Yang diburu Belanda karena menulis roman Amanat Ibu? “ tanyaku.
“ Apakah benar Hassan Basry yang itu? “ Abdis balik bertanya.
“ Mungkin saja…” sahutku tak yakin.
“ Jika benar ia, apalagi yang dilakukannya? “
“ Barangkali ia menggalang kekuatan untuk melakukan perlawanan. Misalnya membentuk organisasa kelaskaran…” aku menebak-nebak.
“ Ya, pasti itu. “ ujar Abdis. “ Aku akan menghubungi kawan-kawan untuk mencari keterangan. “
Sepeninggal Abdis, ingatanku melayang ke masa lalu, ke masa ketika kami bersekolah di Sekolah Islam Pandai. Di sekolah itu , suatu hari, aku diperkenalkan Abdis dengan seorang pemuda bernama Hassan Basry.
“ Kenalkan, ini Hassan Basry, temanku dari kampung Padang Batung…” ujar Abdis.
Sekilas kupandangi  pemuda itu. Wajahnya yang tampan dipertegas dengan sorot mata tajam dan dagu yang kukuh, profil seorang lelaki yang punya keprribadian kuat.
“ Engkau tentu Atun, anak Pambakal Asam Cangkuk. “ katanya sambil tersenyum tipis.
Alisku berkerut. “ Dari mana engkau tahu namaku? “ tanyaku kemudian.
Senyum Hassan Basry melebar. “ Abdis sering bercerita tentangmu. Katanya, engkau terbilang sosok wanita masa depan. Menyimpan pemikiran-pemikiran cemerlang dalam keseharian yang sederhana, dan juga….”
“ Cantik lahir batin…” potong Abdis.
Kedua lelaki itu ketawa bersama. Kupikir, wajahku saat itu pastilah bersemu merah..
Abdis agaknya menyadari ketersipuanku. “ Tun, Hassan Basry ini seorang pengarang. “ katanya, mengalihkan topik pembicaraan.
“ Oh ya…”
“ Yaahh, sekadar menuangkan perasaan terhadap negeri yang terjajah ini. “ kata Hassan Basry.
“ Hati-hati saja…” sahutku.
“ Kenapa? “
“ Kurang-kurang pandai menyamarkan, engkau bisa berurusan dengan polisi. Tidak tertutup kemungkinan engkau bakal menjadi penghuni penjara. “
“ Mudah-mudahan tidak. “ sahutnya. “ Aku biasa menggunakan nama samaran. “
Hassan Basry boleh saja bersikap hati-hati, tapi nasib kadang memang enggan berbagi. Beberapa bulan kemudian tersebar desas-desus bahwa Pemerintah Belanda akan menangkap murid madrasah bernama Hassan Basry. Pemuda itu dianggap melanggar persdlect karena menulis sebuah roman yang berjudul Amanat Ibu. Roman berbentuk buku saku setebal 100 halaman yang dicetak oleh Percetakan M.Th. Kandangan itu dinilai bertendensi politik.
“ Bukankah Amanat Ibu itu ditulis oleh Hiba Budi? “ kataku kepada Abdis saat kami bersepeda pulang dari sekolah.
“ Hiba Budi itu nama samaran Hassan Basry. “ sahut Abdis.
“ Jika itu nama samaran, dari mana Belanda tahu kalau penulis sebenarnya adalah Hassan Basry? “
“ Entah, tetapi tentu ada saja orang yang mencoba mengambil muka dan menarik keuntungan…”
“ Tepatnya seorang spion. Lebih tepat lagi seorang pengkhianat bangsa? “
“ Sudah, jangan bicara soal itu lagi, kita akan melewati tangsi tentara. “
Perburuan terhadap Hassan Basry ternyata bukan sekadar desas-desus. Pemerintah Belanda secara resmi melarang buku itu. Pengumuman bahwa siapa yang mempunyai Amanat Ibu agar menyerahkannya kepada pemerintah dipasang di berbagai tempat, disertai ancaman hukuman penjara bagi yang melanggar.Sejak itu kami tak tahu lagi ke mana Hassan Basry. Dia menghilang bagai ditelan bumi.
Dan kini, setelah sekian tahun, nama Hassan Basry tiba-tiba muncul lagi sebagai orang yang tengah diburu-buru Belanda. Apakah benar ia Hassan Basry yang pengarang itu? Atau Hassan Basry yang lain? Aku bertanya-tanya. Dan pertanyaan itu baru terjawab setelah Abdis datang ke rumahku, selepas Isya.
Kami duduk berdua di palatar, menyandar ke dinding. Bulan separo bayang berlayar tenang di langit, menimpakan cahaya lembutnya ke pucuk-pucuk pohonan, ke atap-atap rumah, bercengkerama dengan kerdip pelita.
“ Ia memang tengah menggalang kekuatan…” suara Abdis setengah berbisik.
“ Ia? Siapa? “
“ Hassan Basry. Kata kawan-kawan, organisasi yang dipimpinnya itu bernama Banteng Indonesia, bergerak di wilayah barat Kandangan. Konon, mereka sering mengadakan latihan militer.“
Aku tak menanggapi, menunggunya melanjutkan cerita. Abdis ternyata juga diam sehingga sepi menyelimuti. Cukup lama. Kulihat ia menyulut rokok, mengisapnya beberapa isapan lalu membuang lagi rokok itu. Diam-diam aku merasa kehadirannya kali ini sedikit aneh, seakan ada kegugupan yang berusaha ditekannya dalam-dalam. Setelah menghela dan menghembuskan nafas panjang berkali-kali, dia berkata :
“ Tun, sepanjang sore tadi aku terus berpikir, menimbang-nimbang keadaan.  Sehabis Magrib tadi, aku telah berbicara dengan ayah dan ibu. Aku memutuskan untuk bergabung dengan Hassan Basry…”
Keningku berkerut. “ Apakah itu tidak berbahaya, Dis? “
“ Aku bisa menjaga diri. “ sahutnya yakin.
Sepi lagi. Lama. Bulan menyilam ke balik awan. Gelap mencadar.
“ Sebelum aku pergi, ada yang ingin kuminta padamu. “
“ Kesediaanku untuk menjaga ayah dan ibumu? “ tebakku.
“ Bukan itu. “ sahutnya cepat.
“ Lalu apa? “ kejarku
Dia diam sejenak, menghela nafas panjang lagi. “ Aku ingin engkau mau menungguku…”
Hatiku berdesir. Ke mana arah bicaranya ini? “ Menunggumu? “ ulangku, seakan tak yakin dengan pendengaranku.
“ Ya. Menunggu dan bersahabat dengan waktu sampai tibanya saat aku melamarmu…”
Melamarku? Aku tak mampu bersuara. Hal yang bisa kulakukan cuma meremas-remas ujung baju. Bulan keluar lagi dari balik awan. Berkas cahayanya menimpa wajahku. Oh, lesikah wajahku, atau bersemu dadu? Aku ingat impian-impian masa lalu, impian yang kumusnahkan sendiri setelah perkosaan Shinji. Aku ingat tempat lapang dalam hati dimana aku menyimpan wajahnya, tempat lapang yang kukeping-kepingkan sendiri setelah darah perawanku dipaksa menitik ke alas ranjang oleh Jepang keparat itu.
“ Apakah aku berharga untuk itu, Dis? “ ucapku akhirnya, agak terbata.
“ Setelah perkosaan itu? “
“ Ya. Aku adalah sepah. Aku tak ubahnya kembang lalang, nampak indah di tengah padang, tapi tak indah untuk mengisi jambangan. “
“ Jangan berpikir begitu. Bagiku, engkau tetaplah Atun yang dulu. Wanita yang kugadang-gadang untuk menjadi pendamping dalam merambah belantara kehidupan. “ katanya lembut. “ Bertahun-tahun kupendam perasaan itu, memberimu ruang dan waktu untuk menemukan dirimu kembali. Kini kupikir saat itu sudah tiba, apalagi dendammu sudah kubalaskan. “
Alisku terjungkit. “ Kaubalaskan? “
“ Ya. Aku yang membunuh Shinji. Di dekat jembatan gantung Pabrik Nomura saat dia merusak mesin agar tak bisa dimanfaatkan lagi. “
Kupalingkan wajah ke arahnya. Bersampokan kini tatapan kami. Biasanya, jika bersampokan tatap begini aku selalu akan segera membuang pandang, tapi sekarang kukuatkan hati untuk tak menghindar.
“ Aku berterima kasih engkau telah membunuh Shinji, tapi bukan di situ persoalannya. “ kataku kemudian, tanpa melepaskan tautan pandang. “ Kukatakan saja bahwa sejak lama aku juga mencintaimu, tapi sekarang aku harus berdamai dengan diriku, dengan keadaanku. Aku butuh waktu, Dis. “
“ Itu sudah cukup bagiku. “ sahut Abdis sambil tersenyum. “ Bahwa engkau juga mencintaiku, itu sudah cukup, Tun. Kita memang perlu waktu. Itu sebabnya tadi kutanyakan apakah kau bersedia menunggu dan bersahabat dengan waktu. “
Aku terus menatap matanya yang cerlang, lebih cerlang dari sinar bulan. Lalu sebuah senyum terulas di bibirku. Dan kepalaku rebah ke bahunya.

*****

Zafry Zamzam memintaku untuk membantu mengelola penerbitan sebuah majalah. Majalah yang  terbit setiap sepuluh hari itu edisi perdananya sengaja diterbitkan tanggal 17 Agustus 1946. Zafry memberinya nama Republik. Pada edisi perdana kami kembali memuat Teks Proklamasi Kemerdekaan RI serta susunan kabinet RI pertama. Sesuai misinya, Republik terbilang oposan.
Bagiku, bekerja di Republik memberikan keuntungan tersendiri. Aku bisa membunuh hari-hari setelah kepergian Abdis. Selain itu, dari berita-berita yang masuk, aku dapat mengikuti perkembangan keadaan. Salah satu di antaranya berkenaan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh Gubernur Kalimantan untuk mewujudkan Kalimantan secara de facto menjadi bagian RI melalui pengiriman berbagai ekspedisi lintas laut ke Kalimantan. Ekspedisi putra-putra Kalimantan yang ada di Jawa itu mengalami banyak kegagalan karena ketatnya blokade laut Belanda. Bahkan ekspedisi itu kemudian dimanfaatkan oleh Belanda.
Di Kandangan, berhembus kabar bahwa tentara RI telah mendarat di pantai-pantai bagian selatan Kalimantan, rakyat diminta membantu melalui penghancuran alat-alat perhubungan dan komunikasi NICA. Rakyat pun terpancing, bergerak menghancurkan tiang-tiang telepon dan memutuskan kawat-kawat telegraf. Aksi terbuka yang memang diharapkan NICA itu berakibat fatal. Mereka mengerahkan kekuatan, melakukan pembersihan besar-besaran. Rumah-rumah dibakar, korban pun bergelimpangan. Ratusan lainnya digiring ke tanah lapang, dijemur dan dianiaya. Tokoh-tokoh perjuangan yang selama ini bergerak secara rahasia terbuka kedoknya. Banyak yang ditangkap, sebagian dibuang ke penjara Cipinang.
“ Rakyat bergerak tanpa perhitungan. “ komentar Zafry setelah kejadian itu.    “ Perlawanan ini memerlukan kesatuan komando, bukan bergerak sendiri-sendiri. Sejarah telah mengajarkan bahwa tanpa persatuan dan kesatuan, perlawanan akan cepat dipadamkan. “
Aku tak menanggapi. Pikiranku tengah melayang kepada Abdis. Bagaimana keadaannya sekarang? Terlibat jugakah ia pada berbagai aksi itu? Sudah lebih setahun ia menghilang. Sesekali memang ada kabarnya, disampaikan lewat Rusli yang menjadi pimpinan Persatuan Pemuda Indonesia Kandangan. Rusli agaknya punya hubungan khusus dengan segala aktivitas Hassan Basry.
“ Engkau tengah memikirkan apa, Tun? “ tanya Zafry, kehilangan tanggapan atas ucapannya.
“ Abdis. “ akuku, pendek..
“ Kaupikir ia terlibat dengan aksi itu? “
“ Entahlah. Sudah cukup lama ia tak mengabariku. “
“ Pada Konperensi Persatuan Pemuda Indonesia yang lalu ia juga tak muncul.  Tapi Rusli mengatakan padaku bahwa ia baik-baik saja, lagi bersama Hassan Basry mempersiapkan sesuatu, entah apa. “
Pikiranku melayang ke Konperensi Persatuan Pemuda Indonesia seluruh Kalimantan Selatan yang diadakan di Kandangan tanggal 17 sampai dengan 18 Desember 1946 lalu. Konperensi yang dipimpin Rusli itu sebenarnya sudah mengarah kepada penyatuan seluruh organisasi kelaskaran ke dalam satu komando. Dalam satu rapat rahasia yang diikuti Zafry di kampung Tabihi telah didapat keputusan yang oleh kalangan pejuang dinamakan Deklarasi Tabihi.  Isinya mengangkat Hassan Basry sebagai Pimpinan Umum perjuangan di Kalimantan Selatan, dengan satu syarat setelah mendapat persetujuan dari Pangeran Mohammad Noor, Gubernur Kalimantan. Sebuah syarat yang terbilang hampir tak masuk akal mengingat hubungan dengan Yogya, tempat kedudukan gubernur, merupakan hal yang sukar. Belum lagi diberlakukan, Deklarasi Tabihi itu sudah digoyang berbagai isu. Mula-mula disebutkan bahwa selain yang berasal dari instruksi gubernur maka gerakan rahasia atau organisasi perjuangan dilarang keberadaannya. Lalu muncul pula isu bahwa pemimpin perjuangan hendaknya berasal dari kalangan bangsawan sebagaimana tradisi di Kalimantan. Dan akhirnya isu pendaratan pasukan dari Jawa yang berakibat fatal itu.
“ Aktivitas Hassan Basry juga tak terdengar kabarnya. “ kataku.
“ Aku berbicara dengan Hassan saat di Tabihi dulu itu. “ sahut Zafry Zamzam. “ Katanya, sementara belum kuat dan belum punya banyak senjata api, dia akan menerapkan strategi pasifikasi. Bersikap pasif, menghindarkan aksi, dan lebih menekankan pada pembinaan anggota. “
Aku kembali tak menanggapi. Kuselesaikan pekerjaanku, mengetik tulisan Zafry yang memakai nama samaran Isyah. Setelah ketikan itu selesai dan kuserahkan pada Zafry untuk diserahkan ke percetakan, aku pulang.
Lepas Isya, terdengar ketukan  pelan di pintu. Ketika pintu kubuka, senyum Abdis menerpa mata. Aku terkesima. Dan hening pun menjerat. Duh, lelaki yang tadi menggeliat-geliat membelitkan rusuh kini tegak berdiri. Senyum yang biasa menyelinap-nyelinap di bubungan kelambu kini terlihat lagi. Nyatakah ini? Atau cuma mimpi? Dan tanganku pun terulur, menjamah pipinya, merasakan keberadaannya.
“ Aku bukan hantu, Tun. “ ucapnya, menebak pikiranku. “ Akan kutegaskan keberadaanku. “ sambungnya, setengah bisikan.
Dia pun mengecup ubun-ubunku. Sekecup. Lembut. Aku mengangkat wajah. Barangkali bibirku bergetar. Barangkali mataku memejam. Yang pasti, kerinduanlah namanya, menelisiki rambatan hangat bibirnya di bibirku.
“ Kau nampak agak kurus…” kataku saat kami duduk berdampingan di palatar.
“ Seperti tiang kawat telegraf? “ candanya.
Aku ketawa kecil. “ Kemana saja kau selama ini? “
“ Banyak tempat, bahkan sampai ke Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur. “
“ Bersama Hassan Basry? “
“ Begitulah…”
Dengan suara pelan Abdis bercerita tentang Hassan Basry. Sejak tahun 1939 Hassan Basry ternyata berada di Jawa Timur, melanjutkan pendidikannya di Gontor. Ponorogo. Selesai masa pendidikan itu ia menjadi guru pada Sekolah Menengah Islam Pertama di Malang. Dia juga merupakan anggota Lasykar Syaifullah pimpinan K. H. M. Ilyas di Jombang.
Pada sebuah rapat pemuda Kalimntan di markas BPOG Surabaya,  10 Oktober 1945, Hassan Basry mengusulkan agar realisasi pemerintahan di Kalimantan didahului dengan mengirimkan penyelidik ke Kalimantan, bukan tim ekspedisi atau pasukan tentara. Semangat peserta rapat yang saat itu tengah menggebu menolak usul tersebut. Hassan Basry tetap pada pendiriannya dan bertekad melakukan tugas sukarela sendirian ke Kalimantan.
Melewati dukungan BPOG, Menteri Pertahanan RI membekali Hassan Basry sebuah Surat Keputusan sebagai koordinator perjuangan bersenjata di Kalimantan. Ia pun berangkat ke Kalimantan, menumpang perahu layar Bintang Tolen, mendarat di Banjarmasin tanggal 30 Oktober 1945. Selama di Banjarmasin Hassan Basry melakukan berbagai propaganda antipenjajah. Dan seperti dulu jua kegiatannya tercium oleh Belanda. Dia kembali diburu sehingga mengungsi ke Kandangan. Di sini ia disembunyikan keluarganya secara berpindah-pindah.
Didirikannya organisasi Laskar Syaifullah, melakukan latihan-latihan militer. Suatu saat ia meninggalkan markas, mencoba mencari kontak ke Jawa namun gagal karena tak ada satu pun perahu yang berani menembus blokade laut Belanda. Dia kemudian ke Balikpapan, berupaya membeli senjata pada tentara Australia yang masih ada di sana. Upaya ini juga gagal karena harga senjata demikian mahal dan harus dibayar tunai.
Ketika ia kembali, Laskar Syaifullah telah porak-poranda. Markas dan tempat latihan mereka diserbu Belanda. Banyak yang ditangkap, sebagian lain cerai-berai melarikan diri. Di atas reruntuhan Laskar Syaifullah itu didirikannya lagi organisasi Banteng Indonesia.
“ Terjadi perubahan yang cukup radikal di tubuh Banteng Indonesia. “ kata Abdis. “ Jika pada Laskar Syaifullah lebih ditujukan sebagai penyambut kedatangan tentara dari Jawa maka di Banteng Indonesia diarahkan pada penggalangan kekuatan sendiri untuk melumpuhkan Belanda dengan menggunakan senjata. “
“ Kalian punya senjata? “
“ Ya, beberapa pucuk, juga beberapa granat. “
“ Dari mana dapatnya, Dis? “
“ Itu ada ceritanya sendiri. “ ujar Abdis. “ Bersangkut-paut dengan aktivitas perjuangan pemuda Kalimantan di Jawa. “
“ Bukankah faktor penyeberangan itu yang selama ini menjadi kendala bagi perjuangan mewujudkan pemerintahan di Kalimantan ini? “
Faktor penyeberangan dari Jawa ke Kalimantan, cerita Abdis, menemukan momentum ketika ALRI dalam upaya pengembangannya merencanakan membentuk divisi-divisi bagi wilayah di luar Jawa. Melewati berbagai pembicaraan akhirnya pada tanggal 4 April 1946, bertempat di Hotel Palace, Malang, Laksamana Muda M. Nazir meresmikan berdirinya ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan sekaligus melantik personalianya. Zakaria Madun, pemuda kelahiran kampung Bamban, Kandangan, ditetapkan sebagai komandan divisi dengan pangkat Letnan Kolonel, dan Kepala Stafnya diangkat Firmansyah berpangkat Mayor. Markas divisi mula-mula ada di Lawang, kemudian dipindahkan ke Mojokerto, lalu ke Tuban.
ALRI Divisi IV mengirimkan dua orang letnannya ke Kalimantan. Letnan II Asli Zukhri dan Letnan Muda Mursyid, bertolak dari Surabaya dengan menggunakan perahu yang dimuati gula pasir. Pada sebagian karung gula itu dimasukkan beberapa pucuk senjata. Setel;ah beberapa hari berputar-putar di laut, mereka berhasil menembus blokade Belanda dan mendarat di Taboneo. Dari situ mereka menumpang perahu nelayan menuju Banjarmasin. Sesuai tugas yang diemban, mereka mencari keterangan tentang keberadaan Hassan Basry.
“ Kendati Mursyid merupakan orang kelahiran Kandangan, untuk bertemu dengan Hassan Basry bukanlah soal gampang. Untung saja dia ketemu dengan Hasnan Basuki. “
“ Hasnan? Salah satu pimpinan Persatuan Pemuda Indonesia itu? “
“ Ya, Hasnan Basuki itu  sebenarnya salah satu tokoh kepercayaan Hassan Basry, sengaja ditugaskan untuk berjuang secara legal melalui Persatuan Pemuda Indonesia. “ sahut Abdis.
“ Terus? “
“ Melalui Hasnan, Mursyid bisa bertemu dengan Hassan Basry, tanggal 15 November lalu. Kesepakatan terjalin, Banteng Indonesia dilebur menjadi Batalyon ALRI Divisi IV. Lalu, tanggal 18 November, di Tabat, Haruyan, Letnan II Asli Zukhri, atas nama Panglima ALRI Divisi IV, meresmikan berdirinya Batalyon A ALRI Divisi IV dan melantik Hassan Basry sebagai Komandan Batalyon. Selesai pelantikan itu, Asli Zukhri dan Mursyid meninggalkan Kandangan, berupaya pulang ke Jawa untuk melaporkan keberhasilan misinya. “
“ Kenapa ada inisial A pada nama Batalyon itu? “ aku terus mengejar.
“ ALRI Divisi IV merencanakan membentuk empat batalyon. Batalyon A di Kalimantan Selatan ini. Batalyon B di Kalimantan Barat. Batalyon C di Kalimantan Timur. Dan Batalyon D direncanakan dibentuk di Riau. “
“ Di Riau? Sumatera? “ tukasku.
“ Ya. Di situ terdapat banyak orang yang berasal dari Kalimantan. “
“ Boleh ini kutulis di Republik? “
“ Tidak, Tun. Batalyon ini sifatnya masih rahasia. “
“ Lalu, kenapa engkau masuk kota? “
“ Karena dua hal. “
“ Apa, Dis? “
“ Pertama, kami akan melakukan konsolidasi, berkedok Kongres Pemuda Kalimantan. Untuk ini aku minta bantuanmu. Aku sudah bilang pada Rusli dan Hasnan selaku pimpinan Persatuan Pemuda Indonesia. “
“ Yang Kedua? “
“ Aku rindu padamu, Tun. “ katanya seraya menatap lekat ke wajahku. “  Di pedalaman, malam-malam, aku sering memimpikanmu. “
Aku jengah. Tanganku terulur mencubit lengannya. Abdis merengkuhku ke dalam dekapan. Aku hendak protes, tapi mulutku dipersepi oleh bibirnya, sebuah ciuman panjang yang memang diharap.

*****

Kongres Pemuda Kalimantan berlangsung selama dua hari, tanggal 17 sampai dengan 19 Maret 1947. Sehari sebelum kongres, Abdis menjemputku di kantor Republik.
“ Kita jalan-jalan, Tun…” katanya.
“ Ke mana, Dis? “
“ Pokoknya ikut saja. “
Aku menaiki boncengan sepeda. Abdis mengayuh perlahan, menuju arah ke luar kota. Sepanjang jalan, aku menikmati kebersamaan yang lama hilang. Oh, berapa lamakah sudah tak berboncengan seperti ini? Rasanya aku ingin waktu berjalan lebih pelan dari jalan seekor siput agar kebersamaan semacam ini berjalan panjang.
Kami memasuki kampung Karang Jawa. Abdis membelokkan sepeda ke halaman sebuah rumah.
“ Rumah siapa, Dis? “
“ Ada yang ingin bertemu denganmu di sini. “
“ Siapa? “
Abdis tak menjawab, menyandarkan sepeda dan mengetuk pintu dengan ketuikan berirama, seakan sebuah kode tertentu. Pintu dibuka oleh seorang perempuan tua. Abdis kemudian membawaku masuk, menuju ruang belakang. Di situ seorang pemuda tengah duduk bersila, membaca Republik. Saat majalah diturunkan, nampak wajahnya yang tampan mengorak senyum.
“ Hassan? “ kataku, ragu-ragu.
“ Apa kabar, Tun? “ katanya sambil mengulur tangan.
Aku cepat menjabat tangan itu. Oh, inilah dia manusia yang paling dicari-cari oleh Belanda. Inilah dia sang Komandan Batalyon A ALRI Divisi IV. Hassan Basry.
“ Tulisan Zafry dan tulisanmu sengit sekali menyerang kolonialisme. “ kata Hassan sambil menunjuk Republik.
“ Apa tidak berbahaya engkau ada di sini? Rumah ini cuma sekitar dua kilometer dari Kandangan. “ kataku tanpa mempedulikan ucapannya.
“ Seberbahaya apapun aku harus ada di sini. “ sahut Hassan dengan  enteng.    “ Tertangkap atau bahkan mati adalah resiko perjuangan. “
“ Hal yang tidak boleh terjadi padamu. “ potongku.
Hassan Basry tersenyum. “ Aku akan menjaga diri. “ katanya, penuh keyakinan. “ Nah, Tun, kuminta Abdis membawamu ke sini karena aku hendak minta bantuanmu. “
“ Tak perlu meminta, karena aku merasa bagian dari perjuangan ini. “ aku kembali memotong. “ Katakan saja apa tugasku. “ sambungku dengan memberi tekanan pada kata tugas itu.
“ Wah, andai semua orang sepertimu, tujuan perjuangan ini akan lekas tercapai. “
“ Sudah, tak perlu memuji. “
“ Begini, malam-malam kongres nanti, aku merencanakan akan bertemu dengan tokoh-tokoh pemuda dari beberapa daerah yang sudah kami yakini keberpihakannya. Aku minta engkau membawa pemuda-pemuda itu secara bergantian ke sini. Yaah…seperti orang berkasih-kasihan yang tengah menikmati udara malam. “
“ Cuma itu? “
“ Cuma itu? “ Hassan mengulangi pertanyaanku. “ Apa engkau pikir itu hal yang ringan dan tidak berisiko? Kehormatan dirimu bisa ternodai, Tun. Engkau bisa jadi gunjingan orang karena jalan bersama lelaki yang berganti-ganti. “
Aku cuma tersenyum. Menjadi gunjingan orang bukan hal yang baru. Aku sudah pernah mengalami gunjingan yang jauh lebih buruk : perempuan santapan Jepang.
“ Tidak masalah. “ kataku kemudian. “ Ada lagi? “
“ Itu saja dulu. Aku tak ingin menyita terlalu banyak waktu kebersamaan dengan Abdis. “
Keningku berkerut. Hassan Basry ketawa. “ Abdis sudah bilang padaku bahwa engkau calon istrinya. “
Abdis ganti ketawa. “ Aku sudah minta dia jadi saksi pernikahan kita. “ katanya.
“ Dan aku sudah menyatakan kesediaanku. Insya Allah. “ sambung Hassan.
Aku merengut. Barangkali wajah wanita yang merengut terlihat lucu sehingga kedua lelaki itu kembali ketawa.
“ Ayo kita pulang. “ ajak Abdis kemudian.
“ Merdeka! “ salamku.
“ Merdeka! “ sahut Hassan Basry. Mantap.
Di atas sepeda Abdis menjelaskan rincian rencana yang akan kulakoni. Maka ketika kongres dimulai, ganti-ganti tokoh pemuda dari Banjarmasin, Rantau, Barabai, Amuntai, Tanjung, Kalimantan Tenggara, memboncengku naik sepeda menemui Hassan Basry, mengelindankan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam perjuangan. Kepada para pemuda dari berbagai daerah itu diminta untuk mendirikan pangkalan di tempat mereka berkiprah sebagai basis gerakan yang disusun dan dijalankan serahasia mungkin.
Kongres Pemuda Kalimantan itu sendiri memutuskan untuk membentuk Gabungan Pemuda Pemudi Kalimantan  di bawah pimpinan Rusli dan Hasnan Basuki. Organisasi itu berkedudukan di Kandangan. Juga dibentuk sebuah gerakan kepanduan dengan nama Kepanduan Rakyat Indonesia yang berpusat di Banjarmasin. Keputusan itu berarti bahwa pucuk pimpinan Gabungan Pemuda Pemudi Kalimantan telah dipegang oleh Batalyon A ALRI Divisi IV. Sementara melalui gerakan kepanduan latihan-latihan kemiliteran yang biasa dilakukan secara sembunyi=sembunyi sudah bisa berlangsung dengan mulus di depan mata Belanda.
Jika ada juga hal yang menyakitkan bagiku maka itu adalah berakhirnya kebersamaan dengan Abdis. Abdis harus kembali ke pedalaman, meneruskan kiprahnya bersama Hassan Basry.



TIGA

Hari-hari selanjutnya banyak kejadian yang mengejutkan. Dimulai dengan ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati, perjanjian yang membuat Kalimantan terbuang dari wilayah Republik Indonesia. Menyakitkan memang. Pemerintah Gubernur Kalimantan, yang walaupun secara de facto tak pernah terwujud, kini telah tak ada lagi. Kalimantan telah dibiarkan oleh elit republik untuk berjuang sendiri, berjuang dalam keterpencilan. Kemudian muncul Perjanjian Renville yang kian mengacak-acak keadaan.
Kejadian mengejutkan lain, setelah banyak menyulitkan kedudukan Belanda kini kiprah Batalyon A ALRI Divisi IV tak terdengar lagi beritanya. Organisasi yang mencuat justru adalah Sentral Organisasi Perjuangan/Pemberontakan Indonesia Kalimantan (SOPIK) dengan nama-nama tokoh yang tak dikenal, seperti Said Ali Sayuti, Said Abdul Karim, Banteng Borneo, Atsmawaty, Daeng Lajida. Kemunculan SOPIK membuat Belanda dengan pongah menyatakan bahwa Batalyon A ALRI Divisi IV telah porak-poranda. Dalam waktu tak lama lagi, tandas A. G. Deelman, Resident Borneo Selatan, SOPIK juga akan segera dihabisi.
Kejadian mengejutkan lainnya, berupa kemunculan seorang pemuda di rumahku, selepas Magrib. Kupandangi pemuda bertubuh tegap berkulit hitam itu. Rasanya aku pernah melihatnya, pernah mengenalnya, tapi di mana?
“ Tak mengenaliku lagi, Tun? “ ucapnya.
Keningku berkerut, mencoba mengenalinya.
“ Begitu berubahkah aku? “ ucapnya lagi, kali ini diiring sebuah senyum.
Senyum itu kemudian mengingatkanku pada seseorang. Diakah?
“ Ab…Abduh…” kataku ragu-ragu.
“ Ternyata ingatanmu tidak terlalu majal, Tun. “
Astaga. Berapa tahunkah sudah ia meninggalkan kampung? “ Ah, maaf, Ab, Tanah Jawa telah mengubahmu begitu banyak. “ kataku seraya menjabat tangan kakaknya Abdis itu. “ Kapan kaudatang? “
“ Tadi siang. “ sahutnya.
“ Berapa lama di laut? Bagaimana dengan blokade Belanda? “
“ Lebih setengah bulan. “ sahutnya. “ Setelah berputar-putar di laut, perahu yang kutumpangi akhirnya berhasil menembus blokade Belanda, kendati untuk itu puluhan karung gula yang kupakai sebagai samaran mereka ambil. “
“ Sayang Abdis tak ada. Jika dia ada, kita bisa makan bersama untuk merayakan kepulanganmu. “
“ Tadi ayah menyuruhku berbicara denganmu, mencari jalan untuk bertemu Abdis. “ Dia kemudian merendahkan nada bicaranya. “ Aku membawa pesan khusus untuk Hassan Basry. “
“ Pesan siapa? “ tanyaku dengan kening berkerut.
“ Letnan Kolonel Zakaria Madun. “
Pesan khusus Letnan Kolonel Zakaria Madun untuk Hassan Basry ? Ah, pesan itu tentulah amat penting. Maka tanpa berpikir panjang kubawa Abduh menemui Rusli. Di ruang tamu rumah Rusli kami bertiga duduk berhadapan, sambil menikmati kopi.
“ Perjanjian Linggarjati telah membuat Kalimantan terbuang dari wilayah Republik Indonesia. “ ujar Abduh setelah mengisap rokoknya. “ Perjanjian itu juga telah membuat ALRI Divisi IV di Tuban dibubarkan. “ sambungnya.
“ Dibubarkan? “ tanyaku dengan alis berkerut.
“ Ya, dibubarkan. Mula-mula menjadi Markas Pangkalan IV Pertahanan Kalimantan, kemudian dipindahkan ke Madiun menjadi Mobiele Brigade ALRI. Letnan Kolonel Zakaria Madun menganggap penghapusan itu telah meniadakan usaha perjuangan di Kalimantan. Maka sesaat sebelum penggabungan ke Mobiele Brigade ALRI, Zakaria membuat keputusan untuk memindahkan Komando Markas ALRI Divisi IV ke Kalimantan dan menunjuk Hassan Basry sebagai Panglimanya dengan pangkat Letnan Kolonel. “
“ Tapi itu berarti ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan lepas dari induknya di Jawa karena divisi itu di sana telah dibubarkan…” potong Rusli.
“ Betul. Aku merupakan salah seorang yang ditugasi untuk menjelaskan hal itu kepada Hassan Basry. Komando dan kebijakan tentang ALRI Divisi IV kini sepenuhnya ada pada dirinya. “
“ Sebuah hal yang terlambat. “ ucapku sendu.
Abduh terkejut mendengar ucapanku itu. “ Kenapa, Tun? “ kejarnya.
“ Batalyon A ALRI Divisi IV disini telah porak-poranda. Organisasi yang ada cuma SOPIK, tokoh-tokohnya merupakan orang yang tak dikenal….”
Ucapanku terpotong oleh tawa kecil Rusli. “ Engkau salah, Tun. “ kata Rusli kemudian. “ SOPIK itu sama dengan Batalyon A ALRI Divisi IV. “
“ Maksudmu? “
“ Peralihan nama itu merupakan stategi dari Hassan Basry. Pertama, menyikapi syarat Hammy, pimpinan Batalyon Hizbullah, yang bersedia bergabung asal Batalyon A ALRI Divisi IV meningkatkan statusnya menjadi sebuah divisi. Menurut Hammy, sebuah batalyon tak mungkin bergabung ke batalyon lain.  Hassan Basry setuju. Sambil menunggu keputusan dari Jawa, ia mengusulkan penggabungan itu sementara memakai nama SOPIK.
“ Kedua, menyikapi Perjanjian Renville yang secara moral mengikat Batalyon A ALRI Divisi IV pada diktum tentang gencatan senjata, padahal Belanda terus memberikan tekanan dan melakukan berbagai konsolidasi. Karena itu Batalyon A ALRI Divisi IV sementara dibekukan, diganti dengan SOPIK. Hassan Basry juga menginstruksikan agar semua pimpinan SOPIK memakai nama samaran. Itu sebabnya SOPIK seakan merupakan sebuah organisasi baru dengan orang-orang yang baru pula. “
Sebuah strategi yang brillian, pikirku. Sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampaui.
“ Jika Letnan Kolonel Zakaria Madun telah menyerahkan sepenuhnya komando, wewenang, dan kebijakan, kepada Hassan Basry maka SOPIK sudah tidak diperlukan lagi. “ kata Rusli lagi.
Aku tercenung. Perkembangan semacam ini rasanya berlangsung amat tiba-tiba.
“ Kupikir masih ada hal yang mengganjal, Rus. “ kataku kemudian.                 “ Keberadaan ALRI Divisi IV di sini boleh dibilang dilematis. Di satu pihak kesatuan mereka dinyatakan Belanda sebagai ekstrimis, sementara Pemerintah RI tidak pula menganggap mereka sebagai tentara resmi kendatipun mereka mengaku sebagai bagian dari Angkatan Perang RI. Bukankah induk mereka telah dibubar-kan? “
“ Aku yakin Hassan Basry dan pimpinan lainnya akan dapat menemukan jalan keluarnya. “ Rusli optimistis. “ Nah, Abduh, kapan engkau bisa masuk ke pedalaman untuk bertemu dengan Hassan Basry? “
“ Lebih cepat lebih bagus. “ ujar Abduh. “ Banyak hal yang harus dipikirkan bersama untuk menyikapi keadaan ini. “
“ Nanti malam temui aku. Akan kucoba menyeludupkanmu ke pedalaman. “
Sepanjang jalan pulang, di atas boncengan sepeda, aku asyik dengan pikiranku. Tahapan perjuangan di Kalimantan kini harus mengambil bentuknya sendiri, berjuang secara mandiri. Kami tak bisa lagi mengharap bantuan dari pemerintah RI. Tak bisa pula mengharapkan kedatangan pasukan dari Jawa.

*****

ALRI Divisi IV telah kembali bergerak, membuka kancah pertempuran di berbagai tempat, utamanya di luar kota. Penghadangan-penghadangan konvoi, penyerangan-penyerangan terhadap pos polisi, pembersihan mata-mata, membuat tak lagi ada tempat dan waktu yang aman bagi Belanda. Seluruh pos dikosongkan. Polisi dan tentara ditarik ke kota-kota sehingga terjadi kekosongan pemerintahan.
Residen A. G. Delman membuat sebuah pernyataan : Di hulu Sungai dalam beberapa bulan yang terakhir ini terjadi kerusuhan dengan cara besar-besaran, yang sedari permulaan bulan November yang lalu telah bertambah begitu hebat….Sebagian besar dari pengacauan ini ternyata dengan terang bahwa hal ini dilakukan oleh gerombolan bersenjata modern dan berpakaian uniform, yang bertindak atas nama Republik Yogya, sisanya dilakukan oleh orang penduduk yang ikut-ikutan…Para pembekal banyak yang meninggalkan tempat, sementara yang tetap bertahan lantaran takut tidak berani lagi menjalankan pemerintahan…Pengacauan seterusnya tentu akan memerlukan penangkapan-penangkapan lebih lanjut dan mungkin akan diambil tindakan-tindakan yang lebih keras.
Pernyataan residen itu dibalas ALRI Divisi IV dengan selebaran yang isinya bernada ultimatum : Kepada kaum militer dan polisi Belanda yang berkebangsaan Indonesia, supaya menetapkan/menegaskan pendiriannya ikut Belanda atau memihak Republik. Kepada pegawai sipil supaya tegas-tegas memihak Republik dan mengayomi rakyat. Kepada segenap lapisan di Kalimantan Selatan supaya bersiap-siap dengan disiplin yang tinggi melaksanakan/menyambut kemerdekaan, sesuai Proklamasi 17 Agustus 1945.
Belanda pun jadi kalap. Berbagai penangkapan dilakukan. Bahkan, majalah Republik diberangus. Zafry Zamzam juga ditangkap, dimasukan ke penjara di Banjarmasin. Aku sendiri sempat ditahan dan diinterogasi. Setelah ditahan selama 3 hari aku dibebaskan, namun aku merasa bahwa gerak-gerikku berada dalam pengawasan para spion.. Keadaan itu sungguh tak nyaman. Karenanya, suatu hari di bulan Mei 1949, aku meninggalkan kampung. Menyamar sebagai pedagang sayur, aku bersepeda menuju Karang Jawa, ke rumah di mana dulu aku membawa pemuda-pemuda peserta Kongres Pemuda Kalimantan melakukan pertemuan dengan Hassan Basry. Dari situ aku dibawa ke Kampung Durian Rabung, salah satu markas ALRI Divisi IV. Dan hatiku berdetak kencang ketika dua orang pemuda memyambutku dengan senyum lebar. Abdis dan Abduh.

*****

Markas di kampung Durian Rabung itu dinamakan Kota Seribu Daya, sebuah nama samaran yang bermakna bahwa perjuangan akan dilakukan dengan seribu daya dan upaya agar sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Tahapan ke arah itu akan dilakukan dengan membentuk satu pemerintahan militer yang diistilahkan dengan Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Iklim ke arah itu dinilai sudah amat memungkinkan dengan kosongnya pemerintahan Belanda. Belanda praktis cuma menguasai kota, sementara daerah-daerah di luar kota sudah dalam genggaman ALRI Divisi IV.
Detil pembentukan pemerintahan militer itu diserahkan perumusannya kepada  sebuah panitia yang diberinama Panitia Tujuh. Diketuai oleh Aberani Sulaiman, Kepala Staf ALRI Divisi IV. Anggota lainnya adalah Gusti Aman, Munir alias Pangeran Arya, Hasnan Basuki, Daeng Lajida, Haji Damanhuri, dan Daeng Gidul Tololio.
“ Setelah ini akan banyak perubahan taktik dan strategi dalam divisi. “ kata Abduh sambil mengusap laras karabennya. “ Gusti Aman akan membuat satu pilot project yang bertumpu pada Resimen II. “ sambungnya. “ Kita akan menerapkan konsep Perang Wilayah sebagaimana yang dikembangkan oleh Tentara Republik di Jawa. “

Saat musyawarah dilakukan, yang dihadiri juga oleh Hassan Basry dan para pimpinan ALRI Divisi IV lainnya, muncul kabar bahwa Belanda melakukan serangan dari tiga jurusan. Mengingat pentingnya sasaran yang dituju, Hassan Basry menghindari kontak senjata dan memerintahkan agar berpencar dengan menetapkan Pagat Batu sebagai titik koordinasi selanjutnya.
Penduduk Durian Rabung diungsikan ke tempat aman, sementara pasukan Ibnu Hajar menahan serbuan Belanda untuk juga secara bertahap meninggalkan Durian Rabung.
Setelah keadaan aman, kami berkumpul lagi di Simpang Tiga Pagat Batu. Di situ diputuskan pasukan dibagi menjadi tiga bagian.  Rombongan Hassan Basry akan menuju Ni’ih, sebuah kampung di hulu sungai Amandit, di lembah Pegunungan Meratus. Rombongan Aberani Sulaiman menuju Telaga Langsat melalui Kalinduku, sedang rombongan Gusti Aman juga menuju Telaga Langsat namun mengambil jalan melalui Mandapai. Sementara rombongan Daeng Lajida diinstruksikan untuk melakukan serangan balasan ke tangsi militer di Kandangan.
Sebelum berpisah, Hassan Basry mengamanatkan agar segala sesuatu yang telah diputuskan dalam rapat di Durian Rabung ditindaklanjuti. Jika telah selesai agar dibawa ke Ni’ih untuk mendapat keputusan akhir.
“ Jaga dirimu baik-baik… “ kata Abdis kepada Abduh yang akan ikut rombongan Gusti Aman.
“ Jaga juga diri kalian baik-baik. “ sahut Abduh. “ Jika keadaan menungkinkan aku akan mengusahakan Ayah dan Ibu untuk mengungsi ke daerah yang kita kuasai. “
Kami pun berpisah. Langkahku terayun, menapaki jalan setapak, mengikuti langkah Hassan Basry.

*****

Hari ini tanggal 17 Mei 1949, jelang senja. Ni’ih mulai dilayapi anak-anak kabut. Dingin perlahan membalut, tapi hatiku amat nyaman. Searus hangat yang berasal dari genggaman tangan Abdis mengaliri urat-urat darah. Kami duduk bersisian di atas sebongkah batu besar, di tepian Sungai Amandit. Kaki kami sama berendam di air. Tubuh kami rapat. Ada angin berkesiur, menggeraikan rambut panjangku. Beberapa helai di antaranya berkebaran, pastilah menyentuhi pipi Abdis.
“ Rasanya tak lama lagi perjuangan ini akan mencapai puncaknya. “ ujar Abdis sambil mengusap rambutku.
“ Kuharap juga begitu. “ sahutku, lirih.
“ Dan setelah itu…”
Ucapannya menmgambang maka aku memutiki ujungnya. “ Setelah itu apa, Dis? “
“ Kita menikah. “ ujarnya, lembut. “ Kubayangkan anak-anak kita nanti menyanyikan Indonesia Raya dengan penuh semangat seraya mengenangkan bahwa kedua orang tuanya tetap tegar melewati masa-masa sulit dalam mewujudkan ruang dan waktu bagi generasinya untuk menyanyikan lagu itu tanpa ketakutan. “
Aku ketawa kecil. Disahut ricik air di batu-batu. “ Anak-anak yang manis. “ ujarku kemudian. “ Anak-anak yang mudahan bisa memberi harga bagi belulang para pendahulu yang menjadi tonggak rumah kemerdekaan. “
Pembicaraan kami terputus oleh kemunculan Gusti Aman, Munir dan Hasnan Basuki. Gusti Aman mendatangi kami, sementara Munir dan Hasnan menuju rumah Jalau yang ditempati Hassan Basry.
“ Kalian dari Telaga Langsat? “ tanya Abdis.
“ He-eh. “ sahut Gusti Aman pendek. Dia membuka sepatu dan bajunya lalu menceburkan diri ke sungai.
“ Tak sempat mandi tadi? “ tanyaku.
Gusti Aman ketawa kecil. “ Kami rapat sepanjang malam. Hasilnya,  susunan Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan yang akan dicetuskan melalui sebuah proklamasi. Kami sepakat proklamasi itu harus dicetuskan hari ini, 17 Mei 1949, mengacu pada tanggal 17 proklamasi kemerdekaan kita. “
Terdengar aba-aba untuk berkumpul. Aku dan Abdis cepat beranjak. Di sebuah tanah lapang, kami berbaris rapi. Dari dalam rumah Jalau, Hassan Basry keluar diiringi oleh Munir dan Hasnan.
“ Hari ini, tanggal 17 Mei 1949, kita telah berhasil menyusun sebuah Pemerintahan Darurat RI di Kalimantan Selatan yang kita beri nama Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. “ kata Hassan Basry.         “ Selain menegaskan keberadaan kita, pemerintahan ini merupakan wujud nyata dari usaha tandingan untuk mengimbangi dan sekaligus nanti mengakhiri pemerintahan Belanda di daerah ini. Pemerintahan itu kita wujudkan melalui sebuah proklamasi. “
Hassan Basry memberi anggukan ke arah Munir. Munir mengeluarkan selembar kertas. Sempat kulihat tulisan di kertas itu diketik dengan menggunakan tinta berwarna merah. Suara Munir pun perlahan mengumandang.
Proklamasi. Merdeka! Dengan ini kami rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan, memaklumkan berdirinya Pemerintahan Gubernur Tentara dari ALRI melingkungi seluruh daerah Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Republik Indonesia, untuk memenuhi isi Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Hal-hal yang bersangkutan dengan pemindahan kekuasaan akan dipertahankan dan kalau perlu diperjuangkan sampai tetesan darah yang penghabisan.
Tetap Merdeka!
Kandangan, 17 Mei IV Rep.
Atas nama rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan,
Gubernur Tentara,
Hassan Basry. “
“ Merdeka! Merdeka! “ yel-yel kami menggemuruh menyambut proklamasi itu, menumpangi layapan anak-anak kabut Ni’ih, dan kuharap bisa terdengar ke mana-mana.
Malamnya aku sibuk mengetik, memperbanyak teks proklamasi untuk disebarkan, juga surat-surat lain sehubungan dengan penataan teritorial dan satuan tempur. Gubernur tentara ALRi Divisi IV kini membawahi 3 resimen : Resimen I disebut Komando Militer Daerah Besar Utara, dikomandani Martinus, dengan wilayah meliputi Amuntai, Alabio, Kelua, dan Tanjung, berkedudukan di Amuntai; Resimen II disebut Komando Militer Daerah Tengah, berkedudukan di Kandangan, dikomandani Gusti Aman, dengan wilayah Kandangan, Angkinang, Simpur dan Rantau; Resimen III dinamakan Komando Militer Daerah Besar Pesisir Selatan, meliputi Banjarmasin, Pelaihari dan Martapura, komandannya W. Dharma.
Besoknya, kami semua kembali ke Durian Rabung dengan naik rakit, melaju di antara riam dan batu-batu Sungai Amandit.. Dari Durian Rabung, aku mengambil jalan memutar, pulang ke kampung untuk berupaya menyebarkan teks proklamasi di dalam kota Kandangan..

*****

Kandangan semakin bergolak. Gelanggang pertempuran terbuka kian mendekati kota. Tembakan-tembakan terdengar di luar kota hampir setiap hari, juga di tengah malam, bila pasukan ALRI Divisi IV menyusup. Bahkan mereka kemudian secara sepihak mengumumkan adanya garis demarkasi, 2 kilometer dari pusat kota. Di Karang Jawa, dengan amat mencolok didirikan Markas Komando Militer Daerah Tengah, lengkap dengan papan namanya.
Suatu hari, di minggu ketiga Agustus 1949, tersebar pamflet berupa himbaun
kepada para penduduk kota Kandangan agar segera memasuki wilayah Republik. Mereka yang tetap berada dalam kota dapat dianggap sebagai musuh, terlebih jika orang itu merupakan pegawai pemerintah Belanda. Dalam waktu dekat, ujar pamflet itu, Kandangan akan dibasuh dengan darah Belanda dan para pengkhianat bangsa.
Himbauan itu tertempel di berbagai tempat di dalam kota Kandangan. Di pohon-pohon, di tiang-tiang listrik dan telegraf, di dinding-dinding pertokoan, di warung-warung. Maka penduduk pun ramai-ramai memasuki wilayah Republik. Mereka berjalan kaki, naik sepeda, atau menggunakan gerobak sapi.
Aku tengah bersiap meninggalkan rumah ketika serentetan tembakan terdengar. Lalu suara hiruk-pikuk. Penduduk kampung berlarian.
“ Tun! Belanda kemari! “ seru seseorang tanpa menghentikan larinya.
“ Capat lari, Tun! “ seru yang lain.
Kulepaskan sepeda, bersiap untuk lari, tapi terlambat. Sebuah jeep menderu. Belum sempat jeep itu berhenti dengan baik, beberapa serdadu Belanda berlompatan, menembak ke udara lalu menodongkan senjata ke arahku.
“ Atun! Kamu naik ke jeep! “ perintah seorang serdadu sambil memberi isyarat dengan laras senapannya.
Di bawah todongan senjata aku menaiki jeep. Jeep itu kemudian memutar arah, menderu menuju tangsi.
“ Kenapa kalian menangkapku? “ aku bertanya, berlagak bodoh.
“ Tuan Letnan Mauritz ingin bicara dengan kamu! “
Letnan Mauritz? Wakil Komandan Tentara di Kandangan? Apakah ia telah tahu peranku selama ini? Sesampai di tangsi aku digiring ke sebuah ruangan. Di situ Letnan Mauritz sudah menunggu. Dia mengisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskan asap rokok itu lambat-lambat. Dari balik tirai asap, matanya menelaah ke wajahku.
“ Atun…nama kamu orang Atun bukan? “ tanyanya kemudian.
“ Benar. “ sahutku pendek.
“ Menurut informasi yang aku dapatkan, kamu orang punya hubungan khusus dengan dua orang ekstrimis kakak-beradik yang bernama Abduh dan Abdis. Betulkah itu? “
Aku tak segera menyahut, mencoba mencari arah pertanyaan itu. “ Tidak juga.“ ucapku kemudian. “ Kami cuma tinggal pada kampung yang sama. “
Letnan Mauritz mengangguk-angguk, mengisap rokoknya. melumatkan puntung rokok itu ke asbak, mengganti dengan batang yang baru sekaligus menyulutnya.
“ Dua hari yang lalu kami menerima informasi bahwa para ektrimis ALRI Divisi IV melakukan upacara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, di Mandapai. Dipimpin langsung oleh Hassan Basry.. Kami menyerbu ke situ, tapi itu lapangan sudah kosong. Kami terus mengejar. Dan setelah melewati sebuah pertempuran kecil kami berhasil menangkap itu orang bernama Abduh. “
“ Apa? Abduh tertangkap? “ seruku kaget.
Letnan Mauritz menyeringai. “ Betul. Itu orang sekarang ada dalam tahanan kami. “
“ Tertangkapnya Abduh tak punya hubungan denganku. “
“ Tentu saja punya. “ suara Letnan Mauritz mulai bernada menekan. “ Kamu orang harus membantu kami untuk membuka mulut si Abduh. Satu hal saja yang ingin kami ketahui darinya, yakni di mana Hassan Basry berada. Kamu orang harus bisa mendapatkan informasi itu darinya… “
“ Bagaimana jika aku menolak? “
“ Kamu orang tidak bisa menolak karena kamu orang tak punya pilihan lain. Informasi itu harus kami dapatkan selambatnya besok pagi. Jika tidak maka aku akan mengakhiri hidup kalian, mungkin di tiang gantungan, mungkin pula ditembak. Mengerti? “
Aku tak menjawab. Letnan Mauritz memanggil seorang serdadu KNIL, memerintahkan untuk membawaku ke ruang tahanan. Ruang tahanan itu terdiri dari beberapa sel. Aku dimasukkan ke dalam sebuah sel. Di sebelah selku nampak sesosok tubuh, terbaring di lantai.
“ Abduh…” ucapku lirih.
Sosok itu tak bereaksi. “ Abduh…” panggilku lagi. Masih tak ada reaksi. Pingsankah ia? Atau….? Aku duduk dan menyandarkan punggung ke dinding. Dalam kelam aku mencoba memikirkan situasi yang tengah kuhadapi. Tapi ke manapun pikiranku melayap ke kematian jualah ujungnya. Kematian Abduh. Kematianku sendiri. Atau kematian kami berdua. Tapi apa artinya sebuh kematian? Kematian ibarat pulang ke rumah setelah menempuh sebuah perjalanan. Pendek atau panjang perjalanan itu berada di luar kekuasaan manusia. Jadi tak ada bedanya jika kematian itu datang lebih dini, besok misalnya?
Pikiranku terputus oleh sebuah erang. Cepat aku memandang ke sosok itu. Benar, dia Abduh. Menggeliat menahan sakit.
“ Abduh…” aku mendekat dan memanggilnya.
“ Siapa? “ Abduh menggeliat lagi, lemah sekali. “ Ah, suara itu seperti suara Atun “ sambungnya, seperti bicara pada diri sendiri.
“ Ini benar-benar aku. Atun. “ sahutku “ Tak bisakah kaumelihatku? “
Abduh menatap nanap ke wajahku. “ Bayangmu kabur dalam pandangku, Tun. Darah yang meleleh di pelupuk mataku ini agaknya mulai membeku, mengaburkan pandangku. “
 “ Ah, begitu berat siksa yang menderamu, Ab. “
 “ Tidak apa. Ini resiko perjuangan, Tun. Kenapa engkau ada di sini? “
“ Letnan Mauritz menangkapku senja tadi. “
“ Menangkapmu? Apa yang telah engkau lakukan? “
“ Aku tidak melakukan apa-apa. Mereka menangkapku untuk mendapatkan informasi darimu tentang keberadaan Hassan Basry….”
“ Jangan bicara tentang Hassan Basry. “ Abduh cepat menukas. “ Bicara yang lain saja. “
Aku terdiam, tak tahu harus bicara apa.  “ Bisakah engkau mendekat ke mari agar aku dapat membersihkan darah di wajahmu itu? “ kataku kemudian.
Abduh beringsut, mendekati jeruji yang memisah kami. Setelah sampai dia menyandarkan punggungnya ke dinding. Aku mengeluarkan sapu tangan dan membersihkan darah di wajahnya, tapi tak bisa hilang sepenuhnya lantaran darah kering itu telah melekat ke kulit..
“ Barangkali aku tak bisa menyaksikan pernikahan kalian nanti. “ ucapnya lirih. “ Letnan itu bakal menggantungku besok. “
“ Barangkali juga pernikahan itu tak pernah ada. “ sahutanku, juga terdengar lirih. “ Mereka juga akan menggantungku bersamamu. “
Abduh terdiam. Matanya lekat ke wajahku. Ketika aku balas memandangnya, dia cepat membuang pandang.
“ Ah, agaknya kita akan mati bersama besok di tiang gantungan. “ suaranya membersitkan nada keluh.
“ Takutkah engkau menghadapi sang maut? Akan gemetarkah nanti kakimu saat melangkah menuju tiang gantungan? Atau adakah sesal menampar hatimu? “ tanyaku tajam.
Abduh menggeleng-gelengkan kepala. “ Tiada sesal menampar hati. Tiada pula rasa gentar menghadapi sang maut. Tapi, ah, perasaan gelisah tiba-tiba saja menjeratku. “
“ Hal apa yang menggelisahkanmu? “
“ Tun, andai cuma aku yang harus melangkah ke tiang gantungan maka tak akan ada sebersit pun gelisah hadir dalam dada. Tapi seret sarat kereta duka itu ternyata juga akan melindasmu. Ah, hatiku teriris membayangkan lingkar tali itu menjerat lehermu, membayangkan tubuhmu terayun-ayun meregang nyawa di tiang gantungan. “
“ Jangan membayangkan itu tubuhku. Anggap saja tubuh yang terayun di tali gantungan itu sebagai tubuh seekor binatang. “
Abduh diam.
“ Cobalah untuk tidur. “ kataku. “ Kita harus terlihat gagah besok menuju tiang gantungan itu. “
Abduh tetap diam. Aku sendiri diam-diam heran terhadap diriku sendiri. Rasanya, tak ada sejumput pun rasa takut menghadapi kematian itu.
Sayup kedengaran kokok ayam menyambut fajar. Aku ingin shalat, tapi tak ada mukena, maka aku cuma mengucap zikir.
Abduh menggeliat.
“ Tun…” panggilnya.
“ Ya…”
“ Engkau dengar kokok ayam itu? “
“ Ya, kenapa? “
‘ Sebentar lagi merah fajar merona. Matahari akan terbit. Seiring dengan itu kuku-kuku maut mulai menampakkan diri. “
“ Dengan semangat waja sampai ka putting[14] aku akan melangkah tegak menuju tiang gantungan, menuju ujung perjalananku sambil menikmati hangatnya sinar matahari untuk penghabisan kali. “ ucapku dengan mata menerawang. “ Mataku takkan berkedip saat lingkar tali itu menjerat leherku. Senyumku akan mengembang menyambut sang maut. Akan kuanggap maut itu sebagai sayap-sayap Jibril yang akan membawaku ke haribaan Sang Pencipta. “
“ Berdoalah, lalu zikirlah…” ajaknya.
‘ Ya Allah, jemputlah kami dengan lembut, selembut hinggapnya embun di daun-daun….”
‘ Ya, Allah, semoga hidup kami, bakti kami, dan mati kami, senantiasa berpayung rahmat dan karunia-Mu….”
Perlahan Abduh memanduku mendaraskan Surah Yaasin.

*****

Sebuah tiang gantungan didirikan di tanah lapang di dalam tangsi. Di bawah tiang gantungan ada sebuah bangku kecil. Di atas bangku, tegak tubuh Abduh. Wajahnya memar. Sisa-sisa darah yang mengering menjadikan wajah itu kian kehilangan bentuknya, perwujudan dari orang yang telah mengalami berbagai siksaan. Kendati demikian Abduh terlihat angkuh, dadanya membusung, matanya mencorong memancarkan semangat juang yang tak kunjung padam. Sekilas mata itu menyapu keadaan sekitar kemudian menatap jauh ke arah gunung-gunung yang menghijau. Dan mata itu sama sekali tak berkedip manakala seorang serdadu memasang lingkaran tali gantungan ke lehernya.
Penduduk yang sengaja dikumpulkan di lapangan itu sama menahan nafas. Perempuan dan anak-anak menunduk atau memalingkan wajah, tak hendak melihat adegan itu. Ada kedengaran  lengking tangis bayi dan anak-anak, disusul suara ayah atau ibu mereka yang berusaha meredakan tangis itu. Selebihnya hening. Hening berisi kuku maut yang siap menjemba.
Tak jauh dari tiang gantungan, Letnan Mauritz bertolak pinggang menghadapi tubuhku yang dipaksa bersimpuh. Di belakangku berdiri Sersan De Bruin dan Sersan van Langen. Sesaat kemudian tangan Sersan van Langen bergerak, menjambak rambutku dan mengangkat kepalaku hingga terdongak.
“ Abduh!! “ suara Letnan Mauritz menggelegar, “ Yang aku perlu tahu cumalah di mana saat ini Hassan Basry dan pasukannya berada! “
Abduh tak menyahut, cuma matanya yang mencorong memandang tajam ke arah Letnan Mauritz.
“ Kalau kamu orang tidak juga mau bicara maka kekasih adik kamu ini akan segera mampus! Dan itu berarti kamu oranglah yang membunuhnya! “ sambung Letnan Mauritz sambil mencabut pistolnya dan menempelkan larasnya ke pelipisku.
Abduh tetap diam, perlahan mengalihkan pandang ke arahku. Tatapan kami ketemu. Cuma sekilas, sebab aku cepat menundukkan pandangan. Dari kontak mata sekilas itu aku menemukan bersit kecemasan di mata Abduh, bersit yang mungkin akan meluncas jika tatapan kami lama bertaut. Kupikir aku harus bisa menunjukkan kepadanya bahwa aku tidak takut dengan kematian, bahwa keberadaan dan keselamatan Hassan Basry jauh lebih penting dari nyawaku.
“ Letnan! “ucapku kemudian “ Tak ada gunanya engkau memaksa Abduh buka mulut melalui aku. Baginya, perjuangan untuk mengusir kalian dari Tanah Banjar, perjuangan untuk lepas dari belenggu penjajahan, jauh lebih penting dari ikatan-ikatan kekeluargaan atau ikatan pertemanan. Aku tak punya hubungan darah dengannya. Aku juga bukan kekasih Abdis. Kalau pun benar aku merupakan kekasih Abdis, maka jika aku mati Abdis akan mengerti sikap yang diambil kakaknya untuk tidak buka mulut, sebab Abdis juga adalah seorang pejuang sejati. Bagi mereka,  lebih baik gugur kembang setangkai asal kembang setaman tetap berbunga molek! “
“ Setangkai kembang yang membusuk sebab aku akan membiarkan mayatnya membusuk di tiang gantungan itu! “ geram Letnan Mauritz. Belakang tapak tangannya yang memegang pistol menghantam pelipisku. Aku menyekap jerit, rebah ke samping.
“ Letnan! Dia seorang wanita! “ sembur Abduh.
“ Aku tidak peduli dia wanita atau lelaki. “ Letnan itu kemudian melangkah mendekati Abduh.  “ Ingat, aku punya kesabarann ada batasnya. Jadi, kamu orang harus bicara sebelum batas itu terlampaui. Aku beri kamu orang kesempatan hingga hitungan ke sepuluh! Kalau tidak juga bicara akan aku tembak perempuan itu! “
“ Anjing-anjing Belanda! “ teriak Abduh. “ Seorang pejuang tidak akan berkedip ketika maut menyelinap ke dadanya Darahnya akan merembes ke bumi, menjadi darah dan sumsum bagi para pembela rakyat tertindas, terus menghidupi mereka dari zaman ke zaman! “
“ Satu…”
“ Kalian boleh gantung aku! Kalian boleh tembak dia! Jangan berharap aku buka mulut! “
 “ Dua…”
“ Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa! “ aku berseru sambil bangkit berdiri. “ Dentum senapan dan gelegar meriam tidak akan mampu memadamkan tekad untuk mengusir kalian dari Tanah Banjar tercinta ini! “
“ Tiga…”
“ Enyah kalian! Tanah Banjar tidak memerlukan kalian! Tidak akan kami relakan kaki-kaki jadah kalian menginjak tanah kami! Setiap jengkal tanah ini akan kami rebut dan pertahankan dengan percik darah! “ Abduh berucap penuh semangat.
“ Empat…”
Bisakah aku mengharapkan keajaiban? Misalnya pasukan ALRI Divisi IV tiba-tiba datang menyerbu dan menyelamatkan nyawa kami?
“ Lima…”
Abdis tentu takkan membiarkan kakaknya ditangkap. Dia juga tentu sudah mendengar bahwa aku juga telah ditangkap. Dia pasti datang membebaskan kami. Berapa lamakah waktu yang dibutuhkannya untuk mengorganisir pasukan dan menyerbu ke sini?
“ Enam….”
“ Perjuangan kami tidak sekadar untuk mendapatkan kemerdekaan! “ ucap Abduh. “ Perjuangan kami lebih dari itu! Perjuangan kami adalah jihad! Dunia tak lagi punya arti karena bagi mereka yang berjihad sorgalah ganjarannya ! “
“ Tujuh…”
“ Kami akan bersandaran di paterana-paterana sorga! Dikelilingi para bidadari dan bidadara! Bercengkerama di sungai-sungai sejuk tak bertara! Hidup dalam kebahagiaan yang abadi! “
“ Delapan…”
Terdengar kokangan picu pistol. Abduh mengucap dua kalimah Syahadat, pertanda kesiapannya untuk menyambut datangnya maut. Abdis…Abdis…berapa lama lagi waktu yang kaubutuhkan agar sampai ke sini?
“ Sembilan…”
“ Tunggu! “ seruku. “ Apa imbalannya jika kalian mengetahui di mana keberadaan Hassan Basry? “
Letnan Mauritz menyeringai, mendekatiku dan menempelkan laras pistolnya tepat di antara kedua mataku.
“ Kalian berdua akan aku bebaskan! Itu janjiku! Janji seorang militer! “
“ Atun! Jangan percaya pada mulut manis mereka! Sejarah telah mencatat entah berapa banyak janji-janji manis yang mereka ingkari! “
Aku memandang ke arah Abduh. Ah, bagaimana caranya menyampaikan bahwa aku tengah berupaya menunda waktu sambil berharap pasukan Abdis sempat tiba di sini sebelum eksekusi kami? Menggunakan Bahasa Banjar merupakan hal yang tidak mungkin sebab di antara pasukan Letnan Mauritz ini terdapat juga orang Banjar yang tergiur oleh harta, pangkat dan kedudukan.
“ Aku pegang janji militermu, Letnan. “ kataku. “ Aku akan bicara. Aku tahu di mana saat ini Hassan Basry berada. Abdis pernah memberitahuku di mana persembunyian Hassan Basry bila berada dalam keadaan terdesak. “
“ Bagus, katakan di mana itu orang. “
“ Di hulu sungai….”
“ Dusta! “ teriak Abduh. “ Dia tidak tahu apa-apa, Letnan! “
Letnan Mauritz tak peduli. Dia mendekatkan wajah ke wajahku. “ Di hulu sungai, di daerah….”
“ Maut! “ suara Abduh kembali menggelegar. “ Maut suatau saat akan datang padamu, Letnan! Dan burung-burung bangkai akan menjadikan tubuhmu sebagai mangsa! Mengoyak-ngoyaknya sehingga menjadi serpihan! “
“ Diam! “ gelegar Letnan Mauritz.
“ Engkau tidak akan mendapatkan apa-apa, Letnan! “
“ Diam kataku! “ sergah Letnan Mauritz. “ Atun! Di hulu sungai, di daerah…”
“ Di daerah di mana perasaan terjajah bergejolak, di situ engkau akan menemukan perlawanan! “ tegas Abduh.
Dor! Dor! Tembakan dari pistol Letnan Mauritz. Aku menyekap jerit. Tubuh Abduh terdorong oleh terjangan peluru. Bangku pijakannya terguling. Tubuhnya yang basah darah kini berayun-ayun. Jerit tangis orang-orang kampung kini membahana. Beberapa serdadu melepaskan tembakan ke udara untuk menenangkan mereka.
“ Innalillahi wa inna ilaihi rojiun… “ ucapku sambil memejamkan mata. Kembalilah, wahai jiwa yang tenang, kembalilah ke haribaan-Nya. Aku menggigit bibir, menahan sedu. Mataku panas. Dua lelehan panas mengaliri pipi. Bukan tangis, tapi perihnya menyigi hati. Lalu kegelapan menyambut tubuhku. Gelap sekali.

*****



Aku menggeliat. Di mana aku? Kukerjap-kerjapkan mata untuk mempertegas pandangan. Kutemukan diri di dalam sel kemarin juga. Sendiri. Sebab sel di sebelahku kini kosong. Penghuninya, masihkah terayun di tiang gantungan?
Seorang serdadu, bangsa Indonesia,  menoleh ketika aku bangun dan duduk di lantai.
“ Sudah kalian kuburkah jenazah Abduh? “ tanyaku.
“ Tidak, mayat itu tetap di sana. “
“ Sampai kapan? “
“ Tuan Letnan Mauritz tidak memberikan batas waktu tertentu. “
“ Kalian sama sekali tidak beradab! “ aku menggerung marah. “ Bukankah engkau ini orang Indonesia yang menindas bangsa sendiri karena pangkat dan kekayaan yang dilimpahkan oleh Belanda! “
“ Diam! “ serdadu itu membentak.
“ Apa engkau tersinggung? Engkau tak lebih dari anak jadah yang mengkhianati tanah di mana darah dan tembunimu ditanam! “
“ Diam! Jangan membuat aku lupa diri! “ sergahnya lagi seraya menepuk senapannya.
“ Engkau memang telah lama lupa diri! “ aku tetap memberangsang. “ Kalau engkau sadar akan dirimu, sadar akan kemanusiaanmu, maka engkau tentu telah menurunkan janazah Abduh dan menguburnya baik-baik! “
“ Aku…aku… “ serdadu itu tergagap.
“ Pengecut! “
“ Diam! “ suara dari arah lain. Letnan Mauritz muncul. “ Hentikan kamu punya ocehan! Jangan coba menghasut! “
“ Kalian mengaku diri sebagai bangsa yang besar, bangsa yang telah menjarah berbagai samudera dan benua. Tapi tindakan kalian tak lebih dari kelakuan binatang. Biadab. Amat biadab! Bahkan iblis laknat pun tak berbuat seperti kalian! “
“ Sudah kukatakan bahwa semua ini kulakukan dengan amat terpaksa lantaran kamu orang tak mau mengatakan di mana Hassan Basry berada. “
“ Terkutuk! Kalian halalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Di mana kalian letakkan hukum dan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan? “ aku memberangsang. “ Tuan-tuan militer yang terhormat, “ sambungku dengan nada sinis, “ Kalian tentu tahu bahwa hukum wajib dijunjung tinggi oleh siapa pun. Walau dalam keadaan perang pun ada hukumnya! Dan tidak ada satu pun hukum di dunia ini yang membiarkan mayat terhukum membusuk di tiang gantungan! “
“ Sedikit banyak aku masih menghormati hukum. Jika tidak, kamu sudah kuhajar habis-habisan. “
“ Turunkan mayat Abduh! “
“ Itu tergantung padamu…”
“ Tak ada lagikah tersisa rasa kemanusiaan di hatimu Letnan? “
“ Bukan aku yang menyebabkan mayat Abduh membusuk di situ! Kamu oranglah yang menyebabkannya! Andai kamu mau bicara tentang keberadaan Hassan Basry maka mayat itu tentu sudah dikubur dengan baik, bahkan mungkin tidak akan sampai menjadi mayat! “:
“ Putus nafasku tidak akan kukatakan di mana Hassan Basry berada! “
“ Tadi kamu orang sudah mau bicara! “
“ Dan engkau menembak terlalu cepat! Kini apalagi gunanya aku bicara! Abduh sudah menjadi mayat! “
“ Setidaknya hal itu akan menyelamatkan kamu punya nyawa! “
“ Tembak aku! Tapi jangan harap aku bicara! “
Belum habis gema ucapannya tiba-tiba terdengar serentetan tembakan. Kian lama tembakan-tembakan itu kian riuh. Seorang serdadu berlari mendatangi kami.
“ Para ektrimis menyerbu, Letnan! “
Letnan Mauritz cepat ke luar. Tembakan semakin riuh. Kali ini sudah disertai dengan jerit kematian. Beberapa hari kemudian baru aku tahu bahwa himbauan yang disebar ALRI Divisi IV bukanlah gertak sambal. Mereka melakukan serangan besar-besaran ke Kandangan. Kekuatan penyerangan itu bertumpu pada Batalyon Mobil Divisi dan Pasukan Resimen III. Pasukan bantuan terdiri dari pasukan Batalyon I Kandangan, Polisi Tentara, Pasukan Teritorial Amandit Timur, Amandit Selatan, dan Amandit Utara, serta didukung oleh Palang Merah.
Tiga penjuru kota diblokir. Di selatan oleh pasukan Gusti Aman dan Daeng Lajida. Di utara, pasukan Ibnu Hajar dan Sani Said. Di timur, pasukan Samidrie Dumam dan Setia Budi. Pertempuran hebat berlangsung di dua tempat, tangsi KNIL dan tangsi Polisi NICA. Front kemudian meluas, ke Utara menghadapi pasukan bantuan Belanda yang datang dari Barabai, ke Selatan menghadapi pasukan bantuan Belanda yang datang dari Rantau dan Banjarmasin.
Menjelang senja, Ibnu Hajar dan pasukannya sempat berada di depan pagar kawat berduri tangsi KNIL. Bahkan pada tiang bendera yang ada di dalam tangsi bendera merah putih sempat dinaikkan.
Aku cuma mendengar keriuhan tembakan-tembakan itu. Harapanku Cuma satu, mereka bisa mengambil jenazah Abduh untuk dikubur dengan baik.

*****

Aku ingat benar tanggal itu, tanggal 1 September 1949, tanggal ketika pintu sel dibuka. Seorang serdadu KNIL menggiringku memasuki ruang kerja Kapten Verdijk, Komandan Tentara Belanda di Kandangan.
“ Duduklah Nona Atun. “ kata Kapten Verdijk dari balik mejanya.
Aku duduk di kursi di hadapannya, menunggu tindakan apa lagi yang akan diberlakukan padaku.
“ Hari ini kamu orang akan kami bebaskan. “ katanya.
“ Dibebaskan? “
“ Ya. Tanpa syarat apa-apa. “
“ Kenapa? “
“ Itu semacam kebaikan hati kami yang hendak kami tunjukan pada itu orang bernama Hassan Basry. “
“ Kebaikan hati? “ aku mencemoh. “ Kupikir tentu ada sesuatu di balik ini. “
Dia tak menanggapi ucapanku. “ Silakan. “ katanya. “ Kekasih kamu orang sudah menunggu di depan tangsi. “
Kekasih? Menunggu di depan tangsi? Tertatih aku melangkah. Beberapa serdadu yang berjaga sama sekali tak mempedulikanku. Di luar tangsi, sebuah jeep telah menunggu. Tiga orang beruniform tentara Republik, dengan lambang jangkar di peci dan lencana merah putih di dada, berdiri di sisi jeep. Salah satunya, Abdis.
“ Abdis…” seruku.
Seperti melayang aku berlari, berlabuh dalam dekapannya. Tangisku pecah. Abdis membelai rambutku.
“ Kita pulang….” ajaknya.
Dituntunnya aku menaiki jeep. Jeep melaju menuju Karang Jawa.
“ Saat serangan lalu kami tak bisa masuk tangsi, tapi kami berhasil membawa jenazah Abduh. “ katanya, di antara derum mesin. “ Kami telah menguburnya dengan layak di Karang Jawa. “
“ Kenapa Belanda nampak begitu baik sekarang? “ tanyaku.
“ Mereka menawarkan perdamaian. Kami setuju berunding asal direstui pemerintah RI dan diawasi oleh Komisi Tiga Negara. “ jelas Abdis. “ Besok hari perundingan itu, tempatnya di Munggu Raya. Pemerintah RI sudah mengirimkan Jenderal Mayor Suharjo Harjowardoyo, sementara Komisi Tiga Negara telah pula mengirimkan Kolonel Neals dari Australia. “
Jeep berhenti di depan Markas Komando Militer Daerah Tengah. Aku turun, disambut senyuman dan jabat tangan dari Gusti Aman.
“ Wah, engkau nampak kumal sekali, Tun. “ candanya. “ Mandilah. Sudah berapa hari engkau tidak mandi? “
Aku ketawa kecil. Sejenak mataku menatap bendera merah putih yang berkibar di puncak tiang. Aku mengambil sikap sempurna, lalu memberi hormat. Melihat itu Gusti Aman, Abdis, dan orang-orang yang ada di situ sama bersikap sempurna dan menghormat bendera. Angin seakan mengerti, berhembus lebih kencang, membuat bendera berkibar mega

 

                                                                                              EMPAT

 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Ketika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal cuma tulang diliputi debu
Kenang-kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami telah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa
memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Sajak Chairil Anwar itu entah dibaca oleh siapa, bergema di gedung itu. Sesaat di mataku membayang tubuh abah yang terjungkal oleh terjangan peluru Jepang. Lalu tubuh Abduh yang terayun di tiang gantungan. Ah, berapa banyak jiwa yang telah melayang untuk kemerdekaan negeri ini? Kuhela nafas panjang, mataku menelaah. Kutemukan wajah-wajah tua yang dulu berjuang memanggul senjata. Tubuh-tubuh yang kini ringkih dimakan usia,  terbungkus uniform veteran yang sebagian mengabur warnanya. Di antara wajah-wajah senja itu ada yang kukenal ada pula yang tidak. Yang jelas, di situ tak ada Hassan Basry. Tak ada Gusti Aman. Tak ada Munir alias P. Arya. Tak ada Hammy. Tak ada Daeng Lajida. Tak ada Hasnan. Tak ada Rusli. Juga tak ada Zafry. Mereka telah sama berpulang, menggenapkan bakti mereka bagi pertiwi.
Hari ini, 10 November 2001. Kami berkumpul dan melakukan syukuran atas penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bagi Hassan Basry, lelaki jantan yang kami beri julukan Bapak Gerilya Kalimantan.

Kami cuma tulang-tulang berserakan, tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan,
dan harapan, atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Aku tertunduk. Pelan air mata menggaris lagi pipi. Kusekap isak. Tapi rupanya isak itu masih jua tertangkap oleh telinga Abdis yang duduk di sisiku. Dia menoleh. Lalu jemarinya yang lisut menggenggam kelisutan yang sama di jariku. Ah, dua kutub senja menyatu. Sementara di luar sana Indonesia entah sibuk oleh apa. Kami tidak tahu, kami tidaklagi bisa berkata. Kaulah sekarang yang berkata.


(Ditulis untuk mengenang Hassan Basry,
Pahlawan Nasional dari Kalimantan Selatan)



[1] Sekolah Eakyat 6 Tahun
[2] Olahraga, senam gaya militer
[3] sikap hormat kepada Tenno Heika dengan membungkuk ke arah utara
[4] Hidup, Tenno Heika. Hidup Kekaisaran Nippon Raya. Bahasa kami adalah Bahasa Nippon. Bahasa Asia adalah Bahasa Nippon
[5] Kesatuan-kesatuan pemuda berdasar umur tertentu
[6] Pemerintah setingkat kabupaten
[7] Angkatan Laut Jepang
[8] Bendera kebangsaan Jepang
[9] barbalas pantun
[10] memisahkan butir padi dari tangkai dengan jalan memijak-mijaknya
[11] Ayah
[12] Kepala kampung
[13] kain sarung wanita
[14] baja sampai ke ujung; semboyan di Kalimantan Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar