dewan kesenian hulu sungai selatan

dewan kesenian hulu sungai selatan
logo

Eja Luka

Burhanuddin Soebely



Eja Luka




SATU



Selalu ada saatnya seekor elang yang terbang menjelajah cakrawala mulai enggan mengepak sayap dan merindukan keteduhan sebuah sarang. Selalu akan ada masanya seorang lelaki mulai letih mengayun langkah kembara dan berharap di balik gumpalan anak-anak kabut akan membentang lembah damai berumput hijau, wadah melepas istirah di pinggiran sejuk telaga.

Permulaan surat itu langsung membuat udara Yogya berubah murung: kupu-kupu  hari yang tadi berterbangan dengan ceria di ruang kuliah, di kerindangan pinus dan cemara kampus Bulak Sumur, perlahan menghilang, menyisakan sekumpulan telur berlendir yang dalam proses sekejap bermetamorfosis menjadi ulat, merajut serat-serat udara menjadi kepompong murung, menubuhi kamar asrama dan mengurungku di situ dalam kelambanan waktu yang menyesakkan.

Bunda kadang berharap saat semacam itu datang menghinggapimu sehingga engkau tiba-tiba muncul di halaman, mengetuk pintu rumah, lalu menghambur ke pelukan Bunda. Bukankah sudah tiga tahun engkau tak pulang ke Banjarmasin? Sudah tiga tahun tak engkau pijak rumah kita?

Kurebahkan diri ke dipan. Menatap langit-langit dan membabayangkan rumah tempat tangis pertama retas. Rumah di Banjarmasin itu terbilang besar. Ketika pertama dibeli,  rumah itu merupakan rumah tua berbentuk Gajah Baliku, salah satu tipe rumah tradisional Banjar. Lantai dan tiangnya dari ulin, tapi dindingnya dari papan biasa. Saking tuanya, dinding itu berlubang di sana-sini, dan jika diketuk-ketuk akan terdengar bunyi yang menandakan bagian dalam papan telah membubuk.
Seiring dengan membaiknya ekonomi abah dan bunda, rumah dirombak total, didesain dan dibangunlah rumah beton dengan gaya arsitektur yang menggabungkan cita rasa tradisional Banjar dengan sentuhan modern pada lantai atas dan bagian atap. Kamarnya tujuh, empat di lantai bawah dan tiga di lantai atas. Di lantai bawah, kamar tidur utama ditempati abah  dan bunda; lalu kamar Dik Zaenab; kamar kosong yang disediakan bagi kerabat atau tamu dari kota lain yang menginap; dan di seberangnya kamar Kak Rizky,. Di lantai atas adalah area yang dari sisi kerapian bernilai pas-pasan, sebab di situ kamarku dan kamar Nanang, adik lelakiku. Satu kamar lain dijadikan semacam perpustakaan mini.
Selepas halaman, melintang jalan raya lalu Sungai Martapura. Jonpak sungai, bunyi klotok[1] dan raung speed boat yang berlalu-lalang terdengar sampai ke rumah, menjadi musik khas yang menyigi hari. Sering aku duduk di balkon rumah, menikmati pemandangan, dan merasa bahwa Banjarmasin tidaklah kalah dengan Venisia yang lalu-lalang gondolanya konon merajutkan romantisme tersendiri; apalagi jika subuh tiba, berpuluh-puluh jukung[2] akan berlintasan menyuarakan kecipak dayung yang membelah air, membawa beragam sayuran, berbagai buah dan aneka kue tradisional, meretas subuh dengan kelap-kelip nyala culuk, berkayuh menuju pasar terapung yang menjadi trade mark kota.
Mmhh, rumah itu memang rumah yang nyaman; wadah kehidupan yang sifatnya personal disembunyikan; wadah pemahaman-pemahaman baru terhadap hidup dan kehidupan diendapkan; wadah segalanya bermula, juga luka itu, kesumat itu……

Tiga tahun bukan waktu yang pendek. Dalam hitungan waktu itu, jika ada sebuah luka tentulah ia telah lama mengering dan tak lagi menyisakan rasa nyeri. Tapi, kalau toh masih jua membekas, bukankah masih ada seorang Bunda yang akan berupaya merawat dan memberi obat penawar sehingga laluan hari akan kembali berbunga tawa?
Paman Doblang! Paman Doblang! Kemana larinya anak tercinta, di padang lalang mana, di bukit kapur mana, mengapa tak lari di riba bunda? Paman Doblang! Paman Doblang! Pesanku padanya dengan angin kemarau, ibunya yang tua menunggu di dangau. Kalau lebar nganga lukanya, mulut bunda ‘kan mengucupnya. Kalau kotor warna jiwanya, ibu cuci di lubuk hati.

Surat bunda memang selalu puitik. Kedekatan dengan karya-karya sastra membuat bunda biasa menyitir larik-larik sajak atau kalimat-kalimat dari sebuah novel yang dirasa dapat mewakili perasaannya, seperti kutipan sajak Rendra pada surat ini. Ah,  tiga tahun memang waktu yang panjang. Jauh di dalam hati sebenarnya juga bermekaran bunga-bunga rindu untuk menjenguk lagi rumah tempat tangis pertama retas. Tapi luka itu? Ah, luka itu memang mengering, tapi darah yang terlanjur deras menetes telah berubah wujud menjadi batuan runcing di lekuk dada. Batuan runcing bernama kesumat. Dan karat kesumat itu, rasanya, masihlah belum sepenuhnya terkelupas. Jika dipaksa jua pulang, bertemu dengan wajah-wajah tempat kesumat itu berpangkal, apa yang bakal terjadi? Bagaimana jika yang mencuat kemudian adalah perasaan seorang lelaki yang terbanting harga dirinya?
Perlahan kutarik nafas panjang, melipat surat, memasukkannya ke dalam amplop dan meletakkannya ke bawah bantal. Kupejamkan mata, mencoba meraih lelap  seraya berharap jika bangun nanti sudah berada di luar kepompong murung.

*****

Tidurku sungguh tidak karuan, lelap tidak, jaga pun juga tidak;  potongan-potongan mimpi yang tak menentu seakan berebutan memampangkan diri sehingga menjadi mosaik-mosaik yang kemudian tambah dikacaukan oleh tik-tok-tik-tok yang entah apa. Aku tersentak lalu mengerjap beberapa kali. Suara tik-tok-tik-tok kian kentara, suara yang kemudian kukenali sebagai pantulan bola pingpong. Agaknya anak-anak asrama tengah bermain tenis meja di bawah keteduhan pohon nangka yang tumbuh tak jauh dari kamarku.
Asrama mahasiswa Kalimantan Selatan di Yogya ini terletak di kawasan Jetis, di pinggir jalan raya yang mengarah lurus ke Malioboro. Ada delapan kamar di situ, dua puluh empat orang penghuninya. Tiga kamar di bangunan utama diisi masing-masing dua dipan bertingkat, tiga kamar belakang diisi masing-masing satu dipan bertingkat, paviliun yang diisi dua dipan tanpa tingkat, dan satu kamar—dulunya bekas garasi—diisi dua dipan bertingkat. Tahun pertama dan kedua di Yogya, aku menempati bekas garasi itu.  Tahun ketiga dan keempat pindah ke kamar dengan satu dipan bertingkat. Dan tahun kelima menjadi penghuni paviliun. Ruang ini terbilang nyaman, namun resikonya jika ada tamu atau keluarga anak asrama yang berkunjung dan menginap maka penghuni paviliun harus merelakan tempatnya, tidur beralas kasur cadangan di lantai salah satu kamar lain.
Selama tiga tahun terakhir ini, sudah menjadi kebiasaanku, jika kepompong murung tak jua pergi kuretas ia dengan berjalan kaki. Serat-serat murung akan terkelupas sedikit demi sedikit, berceceran di jalanan hingga habis begitu saja, walaupun itu kadang cuma bersifat kesementaraan. Di Yogya, aku biasa melakukannya di antara seliweran orang-orang yang berlalu-lintas di emperan Malioboro, atau di kesumpekan Pasar Beringharjo. Jika ingin tempat yang lebih lapang, aku akan menapaki tanjakan kawasan Kali Urang, menyusuri jalanan menuju Telaga Nirmolo, sembari mengkhidmati nyanyian hutan pinus, memandangi semarak bunga-bunga liar atau kemesraan Merapi dan Merbabu yang dibalut putih kabut. Rute yang paling sering dijalani adalah pematang sawah dekat rumah mbok Sutinah, tukang masak di asramanya. Rute itu, selain berisi nyanyian daun-daun padi yang berkerisik dicumbu angin sore, akan berujung pada sebuah rumah berlantai tanah berdinding gedek beratap daun tebu yang dihuni Mbah Slamet, ayah Mbok Sutinah. Lelaki bertubuh tinggi tegap berambut perak itu menyimpan banyak hal tak terduga. Bahasa Indonesianya, entah dari mana dia belajar, jauh lebih lancar dibanding Mbok Sutinah. Suara baritonnya terdengar nyaman saat dia mengaji, melafalkan Kalimah-kalimah Allah dengan tajwid yang sempurna. Sering pula suara bariton itu melantunkan irama shalawatan atau menembangkan beragam suluk
  Konon, di masa muda, Mbah Slamet merupakan bagian dari sebuah kelompok macapatan dan shalawatan yang mengiringi Kiai Sholeh berkelana ke pelosok-pelosok Tanah Jawa. Menurut Mbok Nah, Kiai Sholeh merupakan keturunan ke sekian dari seorang murid Sunan Kalijaga; pernah mendirikan pesantren di kawasan Bukit Menoreh. “ Pesantren niku dianggap membahayakan oleh Belanda sehingga diserbu dan dibakar. “ ujar Mbok Nah. “ Kiai Sholeh kemudian membawa sepuluh orang santri terpilihnya berkelana, salah seorangnya ya romo niku. “  Konon pula, dari sepuluh orang murid terpilih itu kini cuma Mbah Slamet yang bersisa, masih bergerak gesit bagi ukuran orang seusianya. 
Perkenalan dengan Mbah Slamet diawali dengan pembicaraan soal wayang. Waktu itu aku tengah menatapi bentangan kulit kambing yang terpajang pada dinding dalam rumah Mbok Nah. Di kulit itu terukir Semar yang nampak sengit di hadapan Arjuna. Sebelah tangan Semar berkacak pinggang, sebelahnya lagi menuding ke wajah Arjuna. Di bawah gambar wayang itu terpahat tulisan beraksara Jawa.
“ Tulisan itu bunyinya ojo dumeh…” ujar Mbah Slamet. Entah sejak kapan dia berdiri di belakangku. Sosoknya mengesankan seorang pendekar. Bercelana komprang warna hitam, berbaju hitam, ikat kepalanya juga hitam, sementara pinggangnya dililit ikat pinggang besar dengan dompet di kanan dan kiri gesper
Ojo dumeh? ”.
“ Ya, artinya jangan mentang-mentang. Itu peringatan Semar kepada Arjuna si lananging jagat, saat Arjuna akan bertapa. Bertapa itukan pada hakikatnya berlatih untuk membersihkan hati, jadi peringatan itu juga tertuju pada kita. Jangan mentang-mentang kuasa lalu berbuat sewenang-wenang; jangan mentang-mentang kaya lalu sombong dan tidak membelanjakan hartanya di jalan Gusti Allah; jangan mentang-mentang jago lalu menindas orang lain; jangan mentang-mentang berilmu lalu angkuh dan menganggap remeh orang lain. Wong Firaun yang amat berkuasa itu saja modar ditelan laut. Qarun yang amat kaya itu amblas ditelan tanah. “
“ Wayang memang mengandung amsal ibarat. “ komentarku.
“ Apa di Banjarmasin ada juga wayang? “
“ Ada, cuma pakemnya kadang tidak sama dengan pakem wayang Jawa. “
“ Pakem itu seperti sungai. Bercabang-cabang, beranting-ranting, kadang bertemu kadang pula berpisah lagi, tapi sumbernya tetap satu yaitu kehidupan. “
“ Tokoh-tokoh dan karakternya juga kadang berbeda, Mbah. Kresna kadang digambarkan berbuat tidak baik pada keluarga Pandawa.  Batara Guru juga begitu, sering bentrok dengan Pandawa. “ ucapku setelah mengisap rokok. “ Kata orang tua-tua, wayang yang berkembang di Tanah Banjar itu adalah wayang yang telah ‘di-Islam-kan’ oleh Sunan Kalijaga, merupakan bagian dari budaya Jawa yang dibawa oleh para prajurit Demak saat membantu Pangeran Samudera mendirikan Kerajaan Banjar, kerajaan pertama Islam di Tanah Banjar. “
Mbah Slamet mengangguk-angguk. “ Cerita apa yang biasa dipertunjukan di sana? “
“ Kebanyakan cerita carangan, cerita yang digubah sendiri, tapi tetap berkisar pada keluarga Pandawa, utamanya mulai zamannya Pandu Dewanata sampai remajanya Angkawijaya. “
“ Jadi sebelum terjadinya Bharatayudha? “
“ Bharatayudha itu puncak, terjadi menjelang kiamat dunia wayang. Jadi mungkin karena itu tak pernah digelar sampai ke sana. Paling tidak, aku tak pernah menyaksikan pergelaran wayang yang menceritakan perang pamungkas itu “ jelasku. “ Ada satu hal yang mungkin menjadi ciri khas cerita carangan wayang Banjar, yakni gonjang-ganjing Amarta atau petaka yang menimpa keluarga Pandawa selalu muncul saat Darmakusuma atau Puntadewa tak berada di tempat. “
“ Pasti itu karena berhubungan dengan jimat Kalimasada. “ tebak Mbah Slamet.
“ Seratus untuk Mbah! “ Aku mengacungkan jempol sehingga Mbah Slamet terkekeh. “ Menjelang akhir cerita, Darmakusuma muncul, baik dengan wujud asli maupun melewati wujud jelmaan, istilah di Banjar itu wayang surup, dan menyelesaikan masalah. “
“ Jadi hakikatnya, gonjang-ganjing muncul karena ketiadaan orang yang memegang Kalimasada, dan persoalan selesai dengan adanya orang atau melewati orang yang memegang Kalimasada. “
“ Seratus lagi untuk Mbah. “
“ Hakikat Kalimasada itu sama saja dengan di Jawakan? Kalimah Syahadat. “
“ Betul lagi! “ pujiku. “ Ada sebuah cerita yang bagiku amat mengesankan.”
“ Bagaimana? “ kejar Mbah Slamet antusias.
“ Saat Arjuna dan Semar membuka hutan di Karang Tumaritis muncul seorang satria yang mengobrak-abrik seluruh keluarga Pandawa. Aria Setyaki, keok. Gatotkaca, keok. Bima, bahkan Arjuna juga keok. Lewat bakaran dupa astanggi menyan putih dipanggillah Hanoman. Hanoman yang tengah bertapa di pertapaan Kendalisada sambil menunggui Gunung Siam yang menindih jasad Rahwana itu datang ke Tumaritis. “
“ Terus? “
“ Perang tanding terjadi. Hanoman akhirnya juga keok. “
“ Terus? “
“ Penasaran dengan itu, Semar kemudian berubah wujud menjadi Sanghiyang Ismaya. Ismaya ternyata juga keok. “
“ Wah! Sakti benar satria itu. “ komentar Mbah Slamet.
“ Tentu saja, para jagoan keok semua. “
“ Terus? “
 “ Lalu muncullah Darmakusuma, padahal Darmakusuma dalam wayang Banjar digambarkan tak pernah berkelahi….”
“ Jadi apa yang dilakukan Darmakusuma? Bicara? “ Mbah Slamet mengejar terus, amat penasaran.
“ Tidak. Dia amati satria itu sejenak, lalu dia menyeKi. Begitu diseKi, satria itu menghilang, yang nampak kemudian adalah jimat Kalimasada. “
Mbah Slamet terkekeh. “ Pantas saja, wong Kalimasada mau dilawan. “
“ Lewat tokoh Darmakusuma, sang dalang kemudian menyampaikan pesan, perlambang-perlambang yang hakikatnya adalah Rukun Islam: tak mengabaikan atau selalu ingat pada Kalimasada; beribadat sesuai tuntutan dan tuntunan agama; menahan nafsu dan mengendalikan diri; bersedekah pada fakir-miskin; dan menyucikan hati. “
“ Hebat…hebat…” gumam Mbah Slamet sambil mengangguk-anggukkan kepala
Dua hari kemudian, sesuai petunjuk Mbok Nah, aku menapaki pematang sawah dan menemukan rumah itu. Kami bertukar kabar sejenak lalu duduk di kursi bambu depan rumahnya, sambil merokok dan menikmati kopi. Suara baritonnya kemudian melantunkan tembang.

Empaning katresnan, Nini

Pan kadi ilining tirta
Anganyahi barang gawe
Ing satindak tandukira
Sayekti karya suka
Lamun dadi seling surup iku
Empaning angkara

Aku merasa bahwa saat menembang pandangan Mbah Slamet sering lekat ke wajahku, seakan tembang itu juga ditujukan untukku dan dia menaksir-naksir seberapa jauh penerimaan terhadap makna tembang tersebut. Mata Mbah Slamet yang tajam terasa menembus jauh ke lekuk dada, membacai apa-apa yang tersembunyi di dalam hati: batuan runcing bekas luka itu, karat kesumat itu.
“ Kau mengerti arti tembang Sekar Asmaradhana tadi? “ tanya Mbah Slamet setelah menghirup kopinya.
“ Tidak seluruhnya. “ sahutku. “ Yang bisa kutangkap cuma beberapa kata. “
Lho, wong wis telung taun di Yogya kok belum lancar bahasa Jawa…”
“ Kami jarang sekali menggunakan bahasa Jawa, Mbah. Di asrama kami menggunakan bahasa Banjar, di kampus menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa cuma digunakan jika membeli sesuatu di warung dekat asrama atau ketika Mbok Yem datang ke asrama. “
“ Siapa itu Mbok Yem? “
Bakul pakaian atau koran bekas. Biasa, anak asrama, kalau kiriman uang  belum datang pakaian pun melayang. “
Mbah Slamet ketawa.
“ Jadi, apa arti tembang itu? “
  Bersemayamnya cinta itu, Dik
Tak ubahnya aliran air
Yang menjadi warna hidup

   Di dalam seluruh gerak-gerikmu

Menyatu hadirkan bahagia
Namun jika menyusup rasa tak tulus
Bersemayamlah angkara….”
“ Mmhh, dalam sekali maknanya. “
Lha iya, wong cinta itu anugerah Gusti Allah, diberikan kepada manusia saat Adam masih berada di sorga. Jadi harus pula diletakkan pada tempat yang betul, dipupuk dan dihidupi dengan ketulusan agar hidup jadi bahagia. Jika diletakkan pada tempat yang salah maka bukan cinta namanya tetapi nafsu angkara, penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, benci, dendam….”
Aku diam, merekam dan mengendapkan ucapan itu.
 “ Nafsu angkara tidak pernah membuat orang bahagia. Semakin dituruti akan semakin jauh orang dari kebahagiaan. “ ujar Mbah Slamet sambil menatap lurus ke mataku.  Aku lagi-lagi merasa bahwa tatapan itu menembus jauh ke lekuk dada. Lama-lama aku merasa tak tahan berada di bawah tatapan semacam itu maka aku pun kemudian melarikan pandang.
“ Jika nafsu angkara itu, eee…misalnya dendam…terlanjur ada….”
“ Hati harus dibersihkan. “ Mbah Slamet memotong ucapanku yang terdengar mengambang.
“ Caranya? “
Istigfar, shalat, berdoa, berserah diri dan selalu ingat kepada Gusti Allah. Alaa bi dzikrillaahii tathma ‘inul qulub, firman Gusti Allah, Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram[3]. “
Kuisap rokok dalam-dalam dan menghembuskan asap lambat-lambat. Apakah pandangan matanya benar-benar menembus lekuk dada dan menemukan batuan runcing kesumat di hatiku sehingga pembicaraannya mengarah ke situ? Ataukah hal ini cuma kebetulan saja? Yang jelas aku merasa menemukan mata air kearifan dalam dirinya. Mata air yang membuatku ringan mengayun langkah ke rumahnya, terlebih jika perasaanku lagi pepat. Padanya pula aku belajar bahasa Jawa sehingga di kalangan anak asrama akulah yang paling lancar menggunakan bahasa itu, terumata bahasa Jawa Kromo Inggil.
Ingatan terhadap Mbah Slamet terputus oleh nada panggil telepon genggam. Malas-malasan tanganku mengambil. Dari Euis Dinahkandi, di Bandung.
Assalamualaikum….”
Waalaikumsalam warahmaullahi wabarakatuh…” suara Euis lembut mmasuki gendang telinga. “ Kapan kamu berangkat? “
Insya Allah besok subuh. “
“ Ingat, jangan sampai terlambat tiba di tempat rendez-vous kita. “
Insya Allah menjelang senja aku sudah tiba di situ. “
Oke, ditunggu. Assalamualaikum….”
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh….”
Kusambar handuk dan melangkah menuju kamar mandi. Lalu selepas shalat Asyar kuhidupkan motor, menderum meninggalkan asrama.

*****

Setelah memarkir motor di halaman rumah Mbok Nah, aku melangkah di pematang sawah, menuju rumah Mbah Slamet. Sampai di situ ternyata Mbah Slamet tidak ada maka aku menelentang di amben bambu depan rumah. Merokok tak berkeputusan, menyembur-nyemburkan asap bagai lokomotif. Surat bunda kali ini entah kenapa menimbulkan gelombang tersendiri. Dunia-dalamku seperti diaduk-aduk. Ibarat gunungan wayang, dunia-dalam itu lagi menarikan sebuah tarian liar, berkelebat-kelebat tak beraturan dalam tempo cepat.
Mbah Slamet kemudian muncul. Agaknya baru pulang dari sawah. Dia tak segera mengusikku. Melepas capingnya, meletakkan peralatan humanya, melangkah masuk rumah. Ke luar lagi membawa dua cangkir kopi, duduk santai di kursi bambu. Menghirup kopi dengan seruputan yang menggodakan janji kenikmatan minuman kental itu.
“ Kopi agar terasa lezat haruslah pahit seperti maut dan hangat seperti cinta. “ ujarnya, merangkai bahasa perlambang yang memang menjadi salah satu ciri khasnya.
“ Cinta tidaklah selalu hangat…” sahutku, seperti berkata pada diri sendiri.
“ Itu karena kau mencintai dengan pamrih. “
“ Pamrih? “
“ Ya, pamrih untuk memiliki. Padahal soal rezeki, maut, jodoh, merupakan hal yang tidak bisa ditebak, wilayah kepunyaan Gusti Allah. “
Aku bangun, duduk di kursi bambu, menghirup kopi. Mbah Slamet mengambil tembakau dan klobotnya dari slepi, melintingnya dalam gerakan lambat lalu menyulutnya dan mengisapnya dalam-dalam. Aroma sengit klobot menguar. Sesaat kemudian suara baritonnya melantunkan tembang. Dalam bungkusan asap rokok aku khidmat mendengari.

   Lahir dan batin, dulu dan kemudian
baik buruk, suka dan duka
sudah nasib manusia, tiada bedanya
takdir Allah yang Mahaagung
siang malam sembah puji senantiasa
jika rahmat tak datang juga
jika belum mencapainya
masih ragu adanya
berterus-teranglah dalam memperolehnya

Selesai menembang, masih dengan gerakan lambat, Mbah Slamet menyalakan lagi api rokoknya yang padam.
“ Suluk itu merupakan gubahan Sunan Bonang….. ” ujarnya, “ Sebuah tembang Dhandanggula bagian dari Suluk Wragul atau Suluk Berang-Berang. “
Aku diam, membuang puntung rokok dan menyulut lagi batang yang baru. Sudah berapa banyak aku merokok hari ini, dalam tempo singkat ini?
“ Kau menganggap dirimu apa, Dam? “ sentak Mbah Slamet. “ Keperkasaan apa yang kau punya sehingga tak dapat menerima apa yang dikaruniakan Gusti Allah kepadamu? “
Alisku berkerut. “ Apa maksud, Mbah? “ tanyaku bingung.
“ Raut wajahmu itu! Kemurunganmu itu! Semua menandakan bahwa kau tak bisa menerima karunia Gusti Allah! Padahal apapun yang kau terima maka itulah yang terbaik bagimu! “
“ Aku memang menyimpan persoalan dalam hati….”
“ Sudah tahu. Soal dendam itukan? Dendam yang kau pelihara bertahun-tahun itukan? “ Mbah Slamet menyahut dengan tajam
Alisku kian terjungkit. Dari mana dia tahu? Seingatku aku tak pernah membicarakan masalahku dengan siapa pun di Yogya ini., tidak dengan Mbok Sutinah, tidak dengan teman seasrama atau teman kuliah, tidak pula dengan teman lain yang biasa bergabung dalam mendaki gunung. Lantas, dari mana dia tahu?
“ Perasaan semacam itu muncul karena kau angkuh, Adam, amat angkuh. “
Lho, kok angkuh? Rasanya aku tak pernah bersikap angkuh terhadap siapapun. “ protesku.
“ Itu menurutmu. “
“ Menurut Mbah, kepada siapa aku bersikap angkuh? “
“ Kepada Gusti Allah. “
“ Wah…” aku kaget, memandang ke arah Mbah Slamet dengan tatapan sengit yang menuntut.
“ Memang wah! “ sahut Mbah Slamet kalem.
“ Buktinya? “
“ Buktinya, kau merasa bahwa segala rencana dan kehendakmu jauh lebih baik dari rencana dan kehendak Gusti Allah, padahal Gusti Allah niku Maha Tahu, Maha Bijaksana. Bukankah sikapmu itu namanya amat angkuh? “
Angkuh kepada Allah? Ya Malik, ya Jabbaar, insan seperti itukah aku selama ini?
“ Gusti Allah tidak pernah menganjurkan dendam. Itu dosa, tidak cuma bisa menghancurkan duniamu tetapi juga bisa menghancurkan akhiratmu….”
“ Wah….” cuma itu yang bisa kuucapkan.
“ Gusti Allah berfirman: dan seandainya kamu melaksanakan apa-apa atau rencana jahat yang ada dalam hatimu ataupun kamu menyembunyikannya niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan apa yang telah kamu perbuat.[4]
Kulenakan kepala ke sandaran kursi. Sayup kedengaran kerisik daun-daun padi. Ada suara perkutut manggung, entah punya siapa, menyambut senja.
“ Kau harus ingat pula pada firman Gusti Allah, boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.[5] Jadi, jika menerima hal yang menurutmu buruk, janganlah sekali-kali berprasangka buruk terhadap Gusti Allah. Jika orang tidak berprasangka baik terhadap Gusti Allah maka orang itu belumlah bertakwa secara penuh dan nyata. “
Ucapan-ucapan Mbah Slamet menyilir ke dalam hatiku, membuat tarian gila gunungan wayang mulai mereda.
 “ Jadi, apa yang harus kulakukan? “
“ Shalat lagi, berdoa lagi, dan berupaya sehabis daya. “
“ Rasanya semua itu sudah kulakukan. “
“ Dan kau merasa Gusti Allah tidak mendengarmu? Tidak mengabulkan doamu? “ sembur Mbah Slamet. “ Adam, Adam, piye kowe iki? Berkacalah pada diri, berkaca. Barangkali saja kau melakukannya tanpa menyerahkan diri sepenuhnya, melakukannya tanpa taubat, sebab setelahnya kau mengeloni lagi dendammu itu! Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya, kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tiada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[6]
Aku tergugu.
“ Hidup ini ramai lalu-lintasnya, kalau tidak waspada akan mengalami petaka. “ suara Mbah Slamet berubah lembut. “ Ketika berjalan, jangan menoleh ke belakang. Jika harus juga menoleh, hendaklah tolehan itu merupakan bagian dari kewaspadaan, bukan bagian yang menghantui perjalanan. Munculnya persoalan adalah hal lumrah dalam kehidupan, tetapi semua cumalah alat dari Gusti Allah agar kita semakin karib dengan-Nya. Wa man yattaqilaah yaj’allahuu makhraja.[7] Dan Dia akan memberikan pertolongan dari tempat yang tiada disangka-sangka, Wa yarzuqhuu min haitsu laa yahtasib.[8]
Matur nuwun, Mbah…” ucapku tulus.
Mbah Slamet tersenyum. “ Yo, wis, pulang sana. Bukankah kau besok akan melakukan perjalanan jauh? 
Ya Allah, bagaimana dia tahu kalau besok aku akan melakukan perjalanan jauh, meninggalkan Yogya menuju Lembah Mandalawangi? Pertanyaan itu berkelebat-kelebat di pikiran saat aku melangkah pulang.

*****

Tanah becek sekali. Sebuah truk terpacak sepi, diam di bawah siraman deras hujan; mesinnya menderum-derum dalam irama dan volume tak beraturan; barangkali karena pedal gas dimain-mainkan oleh sang sopir; barangkali juga karena seperti itulah bahasa universal yang digunakan untuk memanggil para penumpang agar segera naik; penumpang yang akan kembali ke tanah kelahiran; serombongan pengungsi Afghanistan di Iran.
Tanah becek sekali. Di bawah deras hujan kaki-kaki berlarian, juga kaki Baran. Kerudung burka gadis itu tersilak, berkebaran diterpa angin, menampakkan wajah memesona; wajah yang basah, entah oleh hujan entah oleh air mata. Dia berhenti sejenak lantaran sepatunya terlepas, terbenam di lumpur. Seorang pemuda Iran,  Lateef, bergegas mendatangi, membantu mengenakan sepatu itu seraya menatap lekat ke wajah Baran, memanfaat ujung kebersamaan. Tatapan keduanya mengelindan. Baran, kewat satu sentakan halus, mengembalikan letak kerudung burka ke wajahnya, menyisakan sepasang mata yang tak putus membelai wajah si pemuda. Perlahan dia berbalik, melangkah memasuki truk yang menderum membawanya pulang ke Afghanistan.
Visualisasi sederhana dari perpisahan sepasang kekasih yang menjadi klimaks film Baran karya sutradara Iran, Majid Majidi, yang tadi malam diputar di kampus, sarat dengan bahasa simbolik. Barangkali kerudung burka yang kemudian ditutupkan Baran ke wajahnya itu melambangkan kehilangan karena jalan bagi sebuah pertemuan sudah tertutup. Barangkali juga kelindan tatapan di antara tabir itu merupakan harapan yang diyakini tengah menunggu datangnya waktu perjumpaan kembali. Tapi apapun maknanya bukanlah hal penting, sebab potongan adegan perpisahan dua pecinta yang hadir tanpa diundang ke dalam pikiran, saat berada dalam perut kereta jurusan Yogya – Jakarta ini, perlahan melingkupkan suasana khayali, suasana yang memisahkanku dari keadaan sekitar.  Suara-suara hiruk--gemeretak roda kereta, jajaan para pedagang asongan, tawaran para penjual koran, tangisan anak di gendongan, percakapan berbagai bahasa dengan beragam topik bahasan, suara batuk bercampur dengkuran--semuanya menguap dalam sekejap. Aku seperti dibalut bungkus kedap suara sehingga berada pada sebuah keterasingan yang nyaris total. Di keterasingan itu kemudian tercipta sebuah ruang kecil. Dan di ruang kecil itu wajah-wajah memetakan kenangan, lengkap dengan narasinya.

*****

Aku memandangi wajahnya: dagunya yang halus, bibir tipisnya yang nyaris berpisah jika ia bicara, dan matanya yang bersorot lembut menyihir hati. Tatapan kami sejenak mengelindan, memanfaatkan detik-detik akhir kebersamaan Di mata bening Laila nampak melintas kemuraman, melayap tipis seperti gugusan kabut yang mengambang di atas bening telaga. O, kemuraman agaknya merupakan bagian tak terpisahkan ketika jarak dan waktu bersiap menyatakan diri di antara dua pecinta.
“ Kau ingat kemboja putih yang kita tanam di halaman rumahmu bulan lalu? “ suara Laila berwujud desah.
“ Ya, kau menamainya kemboja cinta. “ suaraku juga dalam desah.
“ Aku akan merawatnya baik-baik. Kuharap jika kau pulang nanti kemboja itu sudah berbunga molek. Kita akan duduk di bawahnya, memandangi ricik air Sungai Martapura, dan merangkai mimpi-mimpi. “
Aku tak segera menyahut. Loudspeaker ruang tunggu Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin, menyuarakan sebuah lagu Banjar berirama sendu: lamun tapisah lawan badanku, sahari jangan dibari lupa[9].
“ Hal macam apa yang ada dalam mimpimu itu? “ tanyaku kemudian.
“ Aku memimpikan sebuah rumah sederhana, tetapi berisi kedamaian dan kebahagiaan. Kita duduk bersandingan, menatapi anak-anak kita main boneka atau mobil-mobilan m….”
“ Cuma itu? “
“ Ya, cuma itu. “
“ Kenapa tak memimpikan sebuah rumah mewah berperabotan luks, kemilau berlian dan mobil keluaran terbaru? “
“ Aku tak hendak memimpikan hal yang muluk-muluk. “
“ Inikan cuma mimpi, sebuah damba terhadap hari-hari yang akan datang. Tak ada salahnya memimpikan hal yang muluk-muluk. “
“ Mimpi yang terlalu muluk jika tak kesampaian akan menimbulkan tekanan batin tersendiri. Aku tak hendak bermimpi muluk karena aku menyadari sampai sebatas mana kemampuan kita. “
Diam lagi.  Lirik lagu terdengar makin sendu, suara penyanyinya nyaris berupa sedu: lamun dandaman lawan diriku, kiau ngaranku di angin lalu[10]
“ Kepergianku ke Yogya merupakan permulaan upaya untuk mewujudkan mimpi itu. “
“ Ya, aku tahu. “ sahutnya. “ Aku akan selalu berdoa untuk keberhasilanmu. “
“ Keberhasilan kita. “ ralatku.
Laila berupaya tersenyum. O, senyum dengan mata yang berkabut, alangkah dalam menyigi hati. Loudspeker kini menyuarakan panggilan untuk menaiki pesawat. Kugenggam sejenak jemari Laila lalu berdiri mengambil tas sandang Selebihnya ciuman tangan dan tepukan bahu. Selebihnya lagi lambai-melambai, lambai-melambai. Dan selebihnya lagi adalah bentangan jarak dan waktu.

*****

Gadis itu berdiri di bawah teritisan rumah kamituwo yang dijadikan tempat berhimpun sebelum menapaki Semeru. Barangkali dia lagi mendengari nyanyian gerimis di daun-daun, barangkali juga tengah mengenangkan sesuatu yang entah apa. Cuma, apapun yang dilakukannya, pesona jualah namanya. Lihatlah, tubuhnya yang mencapai ketinggian 170 cm itu dibalut celana training-spaak warna hitam, baju turtle neck dari bahan rajut warna maroon. Kepalanya ditutup dengan kerudung yang diikat ke belakang kemudian ditutup lagi dengan kerudung lain sewarna baju hingga membentuk drapery  di leher. Alisnya tebal serasi dengan lentik bulu matanya sehingga membuat mata itu terlihat teduh. Di antara pipi yang ranum mencuat hidung yang bangir, lalu bibir sensual yang mengelopak mawar, dagu yang halus dan leher yang jenjang. Amboi, keseluruhan garis-garis wajah itu seperti barang antik yang diukir sedemikian rupa sehingga tak ada polesan yang tidak tepat atau lekukan yang salah. Sebuah kecantikan yang menyimpan misteri dalam ketenangan, kepasrahan dan kelembutan; seperti tasik yang tenang; seperti lubuk yang diteduhi rindang pohonan; memancarkan pesona dalam hening cuaca.
Kujabat tangannya. Ah, alangkah halus, alangkah lunak, tapi juga menyusupkan kehangatan. Rasanya ingin aku berlama-lama menggenggam tangan itu.
“ Namaku Adam. Kau? “
“ Euis. Euis Dinahkandi. “
“ Dari Bandung? “
Kok tahu? “
“ Euiskan nama khas wilayah Parahiyangan. “
Sepi sesaat. Rinai gerimis masih menyanyi di dahan dan ranting.
“ Masih kuliah? “ aku bertanya lagi.
“ Masih. “
“ ITB? “
“ Bukan, Unpad. “
“ Fakultas? “
“ Psikologi. Kau sendiri? “
“ Aku di teknik. “
“ UGM? “
Kok tahu? “ balasku.
“ Cuma menebak. Tadi Kang Dadang sempat bilang kau dari Yogya. “ sahutnya.  “ Jurusan apa? “
“ Bandung – Surabaya. “ kelakarku.  Dan bibir sensual mengelopak mawar itu merekah. Amboi, manisnya. Tuhanlah yang tahu mengapa dadaku mengombak kala senyum itu menerpa mata.
“ Sudah pernah mendaki sebelum ini? “
“ Belum. Aku cuma pernah mengikuti Pengembaraan Desember, napak tilas rute gerilya Pak Dirman. “
“ Mmhh, cukuplah modal itu…”
“ Apa jalan ke puncak sana amat berat? “
“ Yang jelas tidak seberat jalan ke puncak Eiger, kita tak perlu takut adanya badai salju atau longsoran tebing. “
“ Kau pernah mendaki Eiger? “ nada suaranya separuh mengejek.
“ Pernah! “ sahutku mantap.
“ Kapan? “ nada mengejeknya kian kentara.
“ Kemarin malam…”
Ketawanya berderai, ditingkahi nyanyian gerimis di daun-daun.
“ Kau pandai ngoceh rupanya…”
“ Barusan ngocehkah aku? “
“ Ya, kaya beo. “
“ Woow, merdu nggak suaranya? “
Kami ketawa bersama. Lalu jaket dipasang, tas punggung disandang, poncho dikenakan. Beriringan kami melangkah, menembus jubah malam, menyibak layapan kabut. Senter cuma bersorot remang, terlebih setelah memasuki jalan setapak yang diapit pohon-pohon raksasa. Guyuran hujan telah membuat batu-batu yang terserak di jalan jadi licin, gampang sekali menggelincirkan kaki. Pada kondisi seperti ini, naluri pendaki gunung harus lebih di kedepankan dibanding pandangan mata, sebab mata bisa menipu:  batu yang terlihat menancap kukuh di jalan ketika dipijak bisa saja cuma batu yang  menempel di tanah lembek sehingga orang pun terpeleset; semak yang terlihat merimbun di sisi jalan menurun bisa pula cuma berakar serabut sehingga jika dijadikan pegangan akan tercabut; sementara naluri pendaki akan lebih pinasti memberi tanda, lebih menjamin kukuh pijakan. Itu bagi pendaki yang berpengalaman, tapi bagi pendaki pemula seperti gadis yang melangkah di depanku ini? Oh, lihatlah, setelah dua jam melangkah, ayunan kakinya mulai terseok, tubuhnya bergoyang-goyang diterjang angin; pastilah tulang-tulangnya menggigil menahan sayatan bilah-bilah dingin.
“ Capek? “ tanyaku.
“ Iya! “ sahutnya, lemah
“ Buka tas punggungmu, biar aku yang bawa….” tawarku.
Kuambil tas punggungnya. Uff! Berat sekali. Apa saja yang dibawanya? Selimut tebal? Rasanya tak mungkin sebab orang seperti Dadang tentu telah mengingatkan barang-barang praktis apa saja yang harus dibawa dan tak menyulitkan pendakian. Benda-benda tetak-bengek kosmetik? Rasanya tak mungkin pula sebab di wajah itu tak nampak polesan kosmetik dan memang tak memerlukannya.
“ Apa ada alasan khusus sehingga ikut pendakian ini? “
“ Tidak ada, cuma kepingin saja. Kebetulan Kang Dadang berencana untuk mendaki dan tak keberatan kalau aku ikut. “
Menjelang Ranu Gumbolo beberapa anggota rombongan muntah-muntah. Berbahaya jika dipaksakan terus melangkah. Maka perjalanan pun dihentikan di Ranu Gumbolo. Kemah-kemah didirikan. Dingin angin kian menyayat. Dan aku ingat lagi pada gadis itu. Bagaimana keadaannya?
Aku melangkah ke kemahnya. Di dalam, empat gadis bergelung di kantong tidur. Euis duduk bersedekap kaki, terlihat amat memelas. Bibirnya putih pias, dagunya gemeletuk, agaknya jaket dan turtle neck­nya belum mampu menahan sayatan dingin.
“ Ganti kaos kakimu dengan yang kering. “ kataku.
Euis mengangguk dan membuka kaos kakinya. Ekor mataku sempat menangkap keputih-mulusan betis itu sebelum kaos tebal kembali membungkus. Kubuka jaket dan mengangsurkan padanya. “ Lapisi jaketmu dengan ini. “ kataku.
“ Kau sendiri? “ dia bertanya, ragu-ragu.
“ Ah, yang lebih dingin dari ini pun pernah kurasakan. “ ucapanku mungkin terdengar sombong, tapi yang kukatakan itu betul. Udara yang lebih dingin dari ini pernah mengurung ketika dulu mendaki Rinjani.
Euis mengenakan jaket tebalku. “ Terima kasih…” ucapnya. Dan senyumnya lagi-lagi merekah mulus bagai kelopak mawar menerima embun dini hari.
“ Kau suka kopi? “
“ Ya, suka…”
“ Akan kuambilkan agar tubuhmu terasa agak hangat….”
Aku melangkah ke kemahku. Untungnya di veldfles masih tersisa air hangat. Kuseduh dua cangkir kopi. Secangkir kuserahkan pada Euis.
“ Cobalah tidur, dengan berhimpitan kalian akan merasa lebih hangat. “ anjurku seraya beranjak ke luar dan menutup pintu kemah rapat-rapat.
Dadang, Bowo dan Andi berupaya menyalakan unggun. Sulit sekali. Diperlukan banyak minyak tanah sampai kayu-kayu basah itu menyala.
“ Euis itu keluarga dekatku, Dam. “ ucap Dadang. “ Ibunya adalah saudara sepupu ibuku. “
“ Naaahh, ucapan Dadang itu bisa dianggap sebagai peringatan. “ sambung Bowo.
“ Peringatan apa, Wo? “ Andi membuka celah untuk sebuah gurau berujung ejekan.
“ Peringatan agar Adam tidak menggoda Hawa. “ sambar Bowo.
Aku cuma senyum, menghirup kopi lalu menyulut rokok.
“ Tapi ucapan Dadang itu bisa juga merupakan kalimat pembuka bagi sebuah penawaran jasa. “ kali ini Anton yang angkat suara.
“ Maksudnya? “ Andi kembali membuka celah.
“ Kalau Anda berminat maka akan ada berbagai kemudahan. Lobi ke atas-ke bawah dan ke kiri-ke kanan akan berlangsung mulus karena kalangan keluarga sendirilah yang jadi liasons officernya. “
Kami ketawa bersama. Gurauan semacam itu berlangsung cukup lama sampai kantuk mendera kami untuk masuk ke kemah masing-masing. Menjelang dini hari, aku terbangun karena keinginan untuk kencing. Begitu ke luar dari kemah, kulihat ada bayangan putih di dekat sisa unggun. Aku mengerjap, mempertegas pandangan. Sosok itu sosok manusia, seorang gadis yang mengenakan mukena. Euis Dinahkandi. Agaknya dia lagi shalat malam, shalat tahajud. Mukenanya berkebaran. Tubuhnya bergoyang-goyang. Pastilah itu karena hembusan angin dan sayatan dingin.
Sehabis kencing, kudekati dia. Euis khusuk bersimpuh, menadahkan tangan, mengucap doa. Ah, demikian khusuknya dia sehingga aku jadi teringat pada pecitraan Rumi tentang bau hati terbakar yang naik ke khadirat Allah melalui doa yang membara.
Tanpa mengusiknya kutambahkan kayu ke unggun, kutuangkan sedikit minyak tanah, api pun hidup kembali, memancarkan kehangatan. Aku duduk di potongan kayu, tak jauh dari unggun. Sambil merokok. Lama.
Euis kemudian menoleh. “ Oh, kau..…” ucapnya. Ada bekas dua garis air di pipinya. Bekas luruhan embun atau guguran air mata?
“ Doamu khusuk sekali…” kataku.
“ Bukankah Allah berfirman, berdoalah pada-Ku, Aku akan menjawabmu….”
  Baik doa maupun sahutan datang dari-Mu
    Mula-mula kau beri hasrat berdoa,
    dan akhirnya Kau juga nemberi imbalan atas doa. “ aku memuisi.
“ Mmhh, itu mathnawi Jalaluddin Rumikan? “
Wah, hebat. Ternyata dia juga mengenal Rumi.
“ Sebenarnya malam ini adalah malam ulang tahunku…” katanya sembari melipat mukena.
“ Oh, ya? Kalau begitu, selamat ulang tahun Euis Dinahkandi, semoga laju hidupmu senantiasa lintasan teduh dan damai. “ ucapku tulus.
“ Terima kasih, Dam…” ucapnya. “ Di ulang tahun kali ini kau orang pertama yang memberi selamat. “
Sorry, tak ada kado apa-apa buatmu. “
“ Kau telah memberi empat kado buatku…” sahutnya sambil tersenyum.
Keningku berkerut. Kapan aku memberikannya?
“ Kado pertama, kau membawakan tas punggungku. Kado kedua, jaketmu ini.. “ katanya sambil menunjuk jaket yang membalut tubuhnya. “ Kado ketiga, kau menghidupkan unggun. Dan kado keempat adalah ucapan selamatmu. Kesemuanya terasa amat berarti bagiku, terlebih karena itu datang dari orang yang baru kukenal beberapa jam lalu. “
“ Aku sungguh merasa tersanjung. Tapi bagiku semua tindakan itu bukanlah pemberian, melainkan kewajiban. “
“ Apa kau masih mau memberikan kado kelima? “
“ Jika hal itu berada dalam batas kemampuanku. Kado berupa apa? “
“ Bercerita tentang pengalaman pendakian. Soalnya, kegiatan ini terasa kian menarik. Petualangan, percandaan, pengakraban diri dengan alam, rasanya memberikan kepuasan tersendiri sekaligus juga memampangkan betapa kerdil kita di antara kebesaran alam ciptaan-Nya. “
Itulah Euis Dinahkandi. Melihat penampilannya, mendengar gaya bicaranya, mengamati sikap hidupnya, memberiku gambaran bahwa ia merupakan seorang gadis yang ditumbuhkan oleh orang-orang berhati lembut yang menghargai hidup sederhana tetapi sanggup memperjuangkannya; gadis yang hidup dan berkembang di bawah payung keluarga sakinah. Keakraban kami terus berlanjut, surat-suratan, telepon-teleponan, bergabung dari satu pendakian ke pendakian lain. Dan kian lama perpisahan kami terasa kian tak nyaman, seperti ada sesuatu yang hilang saat roda-roda kereta mulai bergulir di bentangan rel. Kadang Euis yang mematung di bibir peron sementara aku melambaikan tangan sambil bergayutan di pintu kereta yang perlahan bergerak. Saat lain akulah yang mengarca sementara Euis memetakan senyum di balik buram kaca jendela kereta.

*****



Aku menggeliat lantaran bahu ditepuk-tepuk orang. Petugas pemeriksa tiket menggumamkan kata maaf  berkali-kali.
“ Sudah sampai mana kita? “ tanyaku sambil menyodorkan tiket.
“ Setengah jam lagi masuk Bandung. “ si petugas mengembalikan tiket yang sudah berlubang.
Kusulut rokok. Lalu berusaha mencari sebab kenapa yang melingkup tadi justru  dua buah kenangan itu, kenangan dari gadis yang berbeda dan dari kurun waktu yang berbeda pula. Barangkali karena kenangan tak mengenal jarak dan waktu sehingga sukar dipisahkan antara kenangan dekat dengan kenangan jauh, kenangan lama dengan kenangan baru. Barangkali juga karena kedua kenangan itu berebutan untuk mengekalkan diri, berusaha saling meniadakan antara satu dengan yang lain. Atau barangkali juga karena adegan film Baran itu berbicara tentang perpisahan, tentang sebuah luka yang menyeret orang ke dalam kepompong murung.
Kuhela nafas panjang dan memandang ke luar jendela. Mega-mega hitam berarak di angkasa, alamat hujan bakal turun. Agaknya aku bakal melangkah di bawah hujan untuk mencapai tempat rendez-vous di kawasan Cibodas itu. Kutengok arloji, sudah lewat pukul 14.00. Mudah-mudahan masih sempat mengejar Zuhur di stasiun Bandung. Mudah-mudahan pula tidak terlambat tiba di tempat rendez-vous. Kalau terlambat, pastilah Euis akan cemberut. Gadis itu hendak menyukuri ulang tahunnya di Lembah Mandalawangi..
 
 DUA
 

Kata zodiak, pria Capricornus berada di bawah lambang tanah, dipengaruhi oleh planet Saturnus. Simbol kambing lautnya menunjukkan ketegaran dan kegigihan dalam mendapatkan apa yang diingini; tapi di balik ketegaran dan kegigihan itu, jika berada dalam tekanan dia cenderung menutup diri bahkan minggat berhari-hari sebelum siap lagi menghadapi hari baru, karena itu dia membutuhkan seseorang yang mampu mengayomi dan mendukungya.
Kendati kata zodiak tak sepenuhnya dapat dipercaya, profil kamu nampaknya punya kecenderungan ke arah hal itu. Di antara keceriaanmu, keakrabanmu dalam berkawan, perhatian dan tanggung jawabmu pada berbagai pendakian, ada lapisan-lapisan tertentu yang mengesankan kemurungan; lapisan yang melayap seperti anak-anak kabut di antara cuat pepohonan. Lapisan kemurungan itu akan nampak menebal jika kamu berada dalam kesendirian. Seperti saat di Alun-alun Suryakencana, kawasan Gunung Gede; kamu kutemukan duduk mencangkung di bawah sebatang pohon, sama sekali tak bereaksi ketika aku mendekati. Semula kukira kamu lagi memandangi edelweiss dan aneka bunga yang lagi bersemi, ternyata tidak. Matamu melayap jauh, melewati ujung cakrawala, mengambil wujud lamunan hampa.
Mikirin apa? “ tanyaku.
“ Kehidupan….” ujarmu, tanpa menoleh.
“ Ada apa dengan kehidupan? “
“ Hidup ini sebenarnya indahkan? “
“ Tergantung sudut pandang dan cara menikmatinya. “
“ Kadang aku berpikir bahwa hidup ini seperti wayang berjalan, berputar di  layar yang itu-itu juga. “
Kok sepesimis itu….”
Kulihat kamu tersenyum halus, tapi senyum itu tak beroleh bentuk yang sempurna lantaran tarikan ujung bibirmu mengesankan kepahitan.
“ Ah, kenapa kita bicara seserius ini? Sorry, keindahan Alun-alun Suryakencana ini nampaknya membuat aku sentimentil, seperti remaja patah hati…” kamu ketawa, tapi bagiku ketawa itu sumbang nadanya.
Kamu kemudian mengalihkan topik pembicaraan, menyodorkan lelucon-lelucon politik dan etnik. Ketawamu berderai-derai. Dalam tempo singkat kamu berubah menjadi sosok yang lain. Mulanya, kupikir kemurungan itu cuma hal yang melintas sekejap saja,phal biasa dalam0hidup kuseharia~, biasa toh orang murung lantaran persoalan muncul dan menghada~g tiba-tiba di depannya. Ternyata kemurungan kamu kemurungan yang berkepanjangan, aku melihatnya lagi di Merbabu, di Pangrango.0Bahkan kamu berteriak sekuat suara ketika berada di pinggiran Segara Anakan, kawasan Rinjani,  seakan memuntahkan beban`berat yang menindih dada. Ada apa sebenarnya?
Diperlukan waktu panjang dan kiat khusus untuk menarik ke luar berkas-berkas yang tersembunyi. Itu pun baru berkas biasa yang sebenarnya cuma topik umum bagi sebuah pembicaraan.
Abah merupakan seorang lelaki jangkung dengan postur yang proporsional. “ ujarmu. “ Wajah kukuhnya diimbangi dengan mata yang bersorot lembut dan kumis tipis yang terawat rapi. Wataknya keras, maklum di darahnya mengalir darah Kandangan. “
“ Kandangan? “
“ Satu kota kabupaten di Kalimantan Selatan. “
“ Mmhh, aku tahu kota itu. Aku baru ingat kalau salah seorang Oomku, Oom Subhan, orang Kandangan. “
“ Masak? “
“ Iya, dulu kuliah di ITB, lalu menikah dengan tante Endang, adik Ayahku. Jika kau ke Bandung, kukenalkan kau nanti kepadanya. “
“ Boleh. “
“ Apa ada satu ciri atau sikap hidup khusus dari orang Kandangan? “
“ Kawasan itu dikenali sebagai wilayah orang berwatak keras berdarah panas sehingga di zaman Belanda dulu pernah disebut-sebut sebagai Texas van Borneo. “
Texas? Wah. Di situ, di zaman wild west, kepalan dan senjata merupakan tindak lazim keseharian.  Kisah-kisah tentang Texas Ranger sebagaimana yang diperankan Chuk Norris di serial tayangan sebuah TV dulu telah membuktikannya. Juga kisah Texas Ranger lain macam Napoleo El-Horse.
“ Ibumu? “
“ Bunda, wanita cantik bertubuh semampai dengan sorot mata yang membintang timur. Bunda lahir dan besar di Banjarmasin, tapi jika dirunut ke belakang Bunda juga punya darah Kandangan. “
“ Mereka ketemu di mana? “
“ Yogya, di tahun 1970-an, saat kuliah. Abah di Teknik Sipil Gadjah Mada, Bunda di IKIP Karang Malang. Selesai kuliah, Abah dan seorang kawan kuliahnya yang juga orang Banjarmasin membangun sebuah perusahaan, sementara Bunda menjadi dosen di Universitas Lambung Mangkurat. Dua tahun kemudian abah dan bunda menikah. Dalam perjalanan waktu, lahirlah kami: Kak Rizky, aku, Nanang dan Zaenab.
Kata para kerabat, kelahiran Kak Rizky, sesuai dengan harapan yang dilekatkan pada namanya, dianggap sebagai pembawa rezeki bagi kehidupan keluarga kami, sebab setelah kelahiran itu perusahaan Abah kian sukses dan besar sehingga secara material kehidupan keluarga terus membaik. Kak Rizky sendiri terbilang anak yang baik dan amat berhasil, selalu peringkat satu saat sekolah, lulus dengan cum laude di Fakultas Ekonomi Unlam, dan sekarang bekerja pada sebuah bank di Banjarmasin. “
“ Berapa tahun jarak antara kamu dengan Kakakmu itu? “
“ Tiga tahun. “
“ Sebuah jarak kelahiran yang terbilang ideal….”
 Kamu ketawa, mengisap rokok dan memandangi aneka kembang yang lagi bermekaran.
“ Ayah-Ibumu yang menghendaki kamu kuliah ke Yogya? “
“ Tidak, keinginanku sendiri. “
“ Ada alasan khusus? “
“ Dari Abah dan Bunda aku banyak mendengar cerita tentang Yogya, tentang klenengan andong di jalan-jalan, tentang dentang-denting gamelan yang menyigi hari. Abah bertutur tentang derai-derai pinus dan cemara kampus Bulak Sumur, bundaran boulevard yang sering jadi ajang demonstrasi mahasiswa, keraton peninggalan Kerajaan Mataram, desir-desir alir Kali Code, Malioboro, Pasar Beringharjo, Pasar Burung Ngasem, Sekatenan di Alun-alun Utara, kesejukan Kali Urang, bukit-bukit pasir Parang Tritis.
Bunda yang lebih tertarik pada dunia kesenian bertutur tentang larangan pemerintah terhadap si Burung Merak Rendra untuk berpentas di Yogya; tentang Umar Khayam, Kunto Wijoyo, Bakdi Sumanto, Y.B. Mangunwijaya, Dick Hartoko, Ashadi Siregar; Republik Malioboro yang dipresideni Umbu Landu Paranggi; eksistensi Emha Ainun Nadjib, mendiang Linus Suryadi Agustinus dan Suwarna Pragolapati; pencarian jati diri Korrie Layun Rampan sampai melambungnya Ebiet G. Ade lewat lagu Camelia-nya. Kesemuanya demikian memikat, serupa magnit batang yang kemudian menarik hidupku ke Yogya. “
Nampaknya tak ada yang salah. Sebuah keluarga yang bahagia. Ekonomi yang mendukung. Kehidupan beragama yang bagus (paling tidak, pada kebersamaan di berbagai pendakian kamu tak pernah ketinggalan waktu untuk shalat, tak pernah nakal pada cewek-cewek yang jadi anggota rombongan). Lalu dari mana asalnya kemurungan yang sesekali nampak melintas di wajahmu itu?

*****

Apalah artinya sebuah nama. Sekuntum mawar diberi nama apapun akan tetap menguarkan keharuman. Kalimat William Shakespeare itu tidaklah salah tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Dalam konstalasi kehidupan, nama, ternyata turut merumuskan sesuatu yang amat intim dengan keberadaan: identitas pembeda antara yang satu dengan yang lain, termasuk dalam soal wilayah atau komunitas tertentu. Dengan mengucapkan sebuah identitas kewilayahan, ujar Goenawan Mohamad, seseorang pada dasarnya telah memilih satu pola untuk bereaksi atau bersikap dalam suatu situasi, termasuk dalam hal merasa tersinggung atau bangga, dalam hal kesediaan untuk mati atau menahan diri.
Di Kalimantan Selatan, ujar Oom Subhan, ada sebuah pernyataan kewilayahan yang berbunyi Kandangan Cing-ai! Kalimat pendek itu demikian populer, diturunkan dari waktu ke waktu, dari satu generasi ke generasi lain. Di dalamnya, kendati terkesan bernada arogan tersirat suatu kebanggaan terhadap daerah, kebanggaan terhadap satu komunitas, yang mempunyai ciri dan karakter tersendiri.
“ Kalangan budayawan dan sosiolog berkesimpulan bahwa karakter orang Kandangan itu keras tapi menyimpan kelembutan. “ kata Oom Subhan. “ Dalam bahasa kami, lamun dibaiki salipi di kantung gin dijulung, tapi lamun dijahati saumur janang kaingatan….”
“ Maksudnya? “
“ Kalau kita baik pada orang Kandangan maka dompet di kantong mereka pun akan diserahkan ke kita, tapi kalau kita menjahati maka seumur hidup akan tetap diingat.  Karakter yang lain, terkenal berani dan bertanggung jawab, punya solidaritas yang kental, teguh dalam memegang prinsip, dan meletakkan harga diri di tempat yang tinggi. “
“ Bagaimana jika muncul persoalan yang bersentuhan dengan harga diri? “
“ Jika itu dianggap fatal maka pilihan penutup rasa malu itu cuma dua, yaitu nyawa atau minggat dari kampung. “
“ Bunuh diri? “
“ Tidak, jarang sekali ada orang Kandangan bunuh diri. Yang kumaksud dengan pilihan nyawa itu adalah membunuh atau terbunuh. “
Meletakkan harga diri di tempat yang tinggi. Adakah persoalan yang menyangkut harga diri itu pada kamu?

*****

Dalam alam kekanakanmu, Sungai Martapura diakrabi sebagai tempat bermain sekaligus jalur tantangan. Di situ kamu dan Rizky saling bersimburan air, berterjunan dari atas tebing, berenang dalam berbagai gaya, bertahan di damparan ombak yang ditimbulkan baling-baling kelotok dan speed-boat. Lebar sungai kemudian menjadi tantangan tersendiri terhadap kemampuan renang. Berkali-kali kamu mencoba untuk mencapai tepian seberang tapi tak pernah sampai. Kamu Cuma bisa duduk meratapi diri di atas lanting saat Rizky berhasil mencapai tepian seberang, berteriak-teriak memanggil namamu sambil melambai-lambaikan tangan, lalu berenang balik dan mengolok-olok ketidakmampuanmu. Kamu mengadu. Dan ibumu dengan bijak mengatakan bahwa Rizky itu lebih tua tiga tahun sehingga tenaganya lebih kuat, juga lebih dahulu belajar berenang sehingga lebih terlatih. Kendati uring-uringan kamu bisa mengerti lalu menertawai diri sendiri (tidakkah jauh di dalam hati kamu merasa sebagai seorang pecundang?)
 Ayahmu lain lagi halnya.. Suatu hari, beliau membawamu ke pinggir sungai. Sambil menunjuk ke seberang beliau menanamkan pandangan khas lelaki (terutama lelaki Kandangan yang terkenal keras itu) bahwa impossible is nothing; bahwa kata semacam ‘tidak mungkin’, ‘tidak bisa’ atau ‘tidak berani’ adalah lalang sehelai tempat berselindung para pecundang yang kehilangan elan penjelajahan untuk mengubah keadaan (agaknya pandangan ini mirip ide la creation absurde dalam Le Mythe Sisyphos-nya Albert Camus; suatu hasrat yang tak pernah berhenti dalam mewujudkan cita-cita eksistensial kendati kegagalan demi kegagalan terus menghadang di ujung jalan; tak pernah putus asa dan tak mau dikalahkan oleh absurdnya nasib).
“ Aku pun berlatih terus sampai akhirnya berhasil mencapai tebing seberang, berteriak gembira dan menandak-nandak seperti orang gila. “ kenangmu dengan mata mengimpi. “ Tapi kegembiraan itu tak berlangsung lama. Kak Rizky menantangku berlomba, berenang bolak-balik. Tantangannya kuterima. Celakanya, berpuluh kali lomba aku tak pernah menang; tak pernah bisa menandinginya. “
Kamu berlatih keras lalu ganti menantang tapi Rizky menolak dengan alasan bahwa dia sudah SMA dan telah berhenti mandi di sungai itu. Kendati uring-uringan kamu bisa mengerti lalu menertawai diri sendiri (tidakkah jauh di dalam hati kamu merasa alasan itu cuma kilah agar kamu tetap jadi pecundang?)
Di setiap akhir tahun pelajaran, Rizky senantiasa meraih peringkat pertama di kelasnya, sementara kamu tak pernah lebih dari peringkat tiga. Ibumu dengan bijak mengatakan bahwa sekolah kalian berbeda karenanya kompetisinya pun berbeda; bahwa di sekolah favorit seperti sekolahmu berada di peringkat sepuluh besar sudah merupakan hal  jempolan. Kendati uring-uringan kamu bisa mengerti lalu menertawai diri sendiri (tidakkah jauh di dalam hati kamu merasa kembali jadi pecundang?)
Dulu, kamu mengatakan bahwa pilihan untuk meneruskan kuliah ke Yogya muncul setelah mendengar cerita ayah dan ibumu tentang kota tempat mereka kuliah dulu itu. Mungkinkah pilihan ke Yogya itu merupakan suatu langkah pelarian? Langkah seorang lelaki yang tak ingin hidup di bawah bayang-bayang seseorang? Keminggatan seorang pria Capricornus ketika merasa berada di bawah tekanan perasaan seorang pecundang?
Rizky. Pecundang. Itukah perkara yang kamu sembunyikan? Dari sudut pandang psikologi, persaingan antarsaudara kadang menimbulkan dampak tersendiri yang tersimpan dalam alam ketidaksadaran. Antara dua saudara atau lebih muncul kompetisi dan rasa saling mengiri. Anak yang lebih tua biasa berupaya memenangkan persaingan untuk merebut lagi perhatian dan kasih sayang orang tua yang dianggap telah terbagi dengan adiknya. Sementara pecundang, kata Oom Subhan, merupakan sebuah kata tabu bagi orang Kandangan. Pecundang  adalah aib, dan cuma bisa ditebus dengan dua macam tindakan: kematian lawan atau diri sendiri, atau minggat meninggalkan kampung halaman untuk menutup malu!
Analisis ini nampaknya sudah mengarah pada jalan yang benar, tapi ah…rasanya persoalannya demikian sepele, dan sama sekali tidak berkait dengan soal harga diri yang perlu disikapi dengan tindakan seekstrim itu. Pasti ada hal lain. Hal yang kemudian mengakumulasikan kata ‘pecundang’ sehingga bersintuhan dengan soal harga diri seorang lelaki. Pertanyaannya: hal apakah itu?

TIGA


Harum aroma kopi menguar dari rumah itu. Pintu agaknya sengaja ditutup agar dingin angin tak lela masuk, tapi jendela terbuka, gordennya berkibaran diterpa angin. Sepatu-sepatu jenis hill walking dan tas punggung bergeletakan tak beraturan di pelataran, poncho yang menyisakan basah tersampir di sana-sini. Dari dalam rumah kedengaran serangkaian pembicaraan berseling gelak tawa, mengatasi bunyi hujan yang menimpa atap dan dedaunan.
“ Aku sudah bisa menebak alasan apa yang dikemukakan Adam saat dia datang terlambat nanti…” suara Dadang sayup-sayup sampai ke telingaku.
“ Apa, Dang? “ Itu pasti suara Bowo, pikirku sambil melepas poncho.
Sorry, Euis manis, kereta dari Stasiun Tugu terlambat. Maklumlah…kereta api Indonesia….” Dadang mendramatisir ucapannya dengan suara seperti seorang banci.
Gelak tawa kembali mengumandang. Aku menahan senyum, membuka tali sepatu.
“ Huh! Itu alasan klasik! “ rungut Euis.
“ Klasik memang, tapi lima presiden tidak mampu juga membenahinya. “ kilah Dadang. “ Malah akhir-akhir ini kereta makin sering terlambat dan makin sering kecelakaan. “
“ Kendati kereta memang betul terlambat, Adam takkan lolos dari hukuman. “ tegas Euis.
“ Apa kira-kira hukuman yang tepat untuknya? “ pancing sebuah suara, suara Andi.
“ Disuguhi kopi dan diuruti kaki…” kataku sambil membuka pintu.
Belasan wajah yang memadati ruang tengah rumah itu serentak berpaling ke arahku. Kelompok kami yang anggotanya dari berbagai kota itu nampaknya lengkap hadir.
“ Lapor! “aku melangkah ke hadapan Euis, memberi hormat dengan gaya polisi di film India. “ Adam tiba tepat waktu! “
Ketawa Euis terdengar renyah. “ Silakan duduk, Kopral….” ujarnya sambil menepuk-nepuk ruang di sisinya.
Aku menoleh ke arah Dadang. “ Apa di India ada kopral? “ tanyaku.
Dadang mengangkat bahu dan menggeleng-gelengkan kepala kaya aktor konyol India. “ Nehi…nehi…mohabbatein…Shahrukh Khan he begininini….”
Gelak tawa pecah. Aku kemudian duduk di sisi Euis.
“ Sebagai hadiah ketepatwaktuanku, alangkah berbahagianya kalau Tuanku Dayang Sumbi sendiri berkenan menmyeduhkan kopi. “ kataku pada Euis.
“ Boleh…boleh, tapi bukan untuk direguk. “ sahut Euis sambil merobek plastik kopi three in one.
“ Lalu mau diapakan? “ Andi melambungkan bola di bibir net untuk dismes.
“ Diguyurkan ke kepalanya, biar hangat…”
“ Aduhai, alangkah sadisnya dikau…”
Ngakak lagi. Aku menyeruput kopi dan menikmati jalaran hangat di pembuluh darah. Kukeluarkan bungkus rokok dari saku jaket, mengambil sebatang, menyelipkan ke sela bibir. Euis dengan sigap meraih geretan dan menyalakannya.
“ Hop! Kaya di sinetron aja. “ komentar usil dari Anton.
“ Sayang castingnya tidak pas. “ Bowo cepat menyahut.
“ Tidak pas gimana, Wo? “Andi kembali melambungkan bola.
“ Yaaah, yang satu kaya Sembadra sementara yang satu lagi kaya cakil! “ smes Bowo menghunjam.
“ Naaahh, begitu tuh komentar orang iri. “ balasku. “ Manusia yang satu ini memang sudah amat layak untuk diinapkan di Daarut Tauhidnya Aa Gym! “
Haha-hehe-haha-hehe menyuara lagi. Aku mengalihkan sasaran ke arah Anton yang tubuhnya terlihat agak melar.
“ Ton! Setelah pergantian pemerintahan di republik ini kamu nampaknya kian makmur. “
“ Itulah yang tadi sempat kukuatirkan, Dam. “ sambar Retno, cewek Undip berpostur Shopia Latjuba. “ Badannya yang kian melar itu mungkin akan merepotkan kita. “
Nggak usah kuatir, Non. “ Anton mencoba memblok bola. “ Jika aku kehabisan nafas maka lempar saja ke jurang…”
“ Wow, mubazir itu. “ sambarku. “ Bagusnya dimutilasi lalu dikasihkan pada penghuni kebun binatang! “
Pertemuan antara teman lama yang biasa berbagi rasa di gunung-gunung memang mengasyikkan. Di luar, senja sudah renta tapi hujan belum jua reda.
“ Berangkat kita? “ tawar Frida
“ Nantilah, habis Magrib. “ sahutku. “ Tak baik berjalan waktu Magrib, apalagi di tengah hutan dan gunung. “
“ Saudara, demikian tausiyah dari Kiai Adam yang oleh orang-orang dijuluki sebagai Kiai Sableng. “ Bowo memanfaatkan celah.
Di antara derai tawa, nostalgia pun diungkai: saat merayapi tanjakan berpasir labil Semeru, saat terkurung neraka dingin Rinjani, saat tersaruk-saruk merambahi puncak Merbabu, saat menapaki jalanan berbatu runcing, memanjati cadas terjal dan menggantungkan hidup pada utas tali yang terulur. “ Ingatkah kamu? Ingatkah kamu…? Kau sih waktu itu…” berjahit-berkelindan hingga waktu Magrib tiba. Mereka kemudian berlarian menembus hujan, bertudung poncho, ke pancuran di belakang rumah. Bergantian mengambil wudhu., berlarian lagi bertudung poncho, tertib mengatur saf. Tak perlu kompas untuk menyidik arah kiblat sebab ini bukan kali pertama kami shalat di sini.
“ Kita jama’ Magrib dan Isya. “ ujar Bowo.
 “ Ayo. Imam, Dam…”
Nggak. Anak IAIN tentu lebih bagus bacaan ayatnya. “ sahutku sambil menunjuk ke arah Sofyan.
Azan pun dilantunkan Dadang. Iqamat disuarakan Rahmad. Bersaf-saf kami menghadap-Nya. Mengangkat takbir, memuji kebesaran-Nya. Allahu Akbar.

*****

Jika kau berjalan bertiga maka pilihlah satu sebagai pemimpin, sabda Rasulullah. Bertolak dari kalimat bijak itu, kami sepakat Dadang berjalan di depan. Pengalaman dan pengenalannya terhadap kawasan ini membuatnya amat layak untuk memimpin dan memandu perjalanan. Aku melangkah di urutan akhir, berjarak sekitar 100 meter dari rombongan. Penyapu, itu istilah tugasku. Jika ada anggota rombongan yang kesulitan atau kelelahan, dia boleh berhenti dan menunggu kedatanganku. Jika aku telah sampai di base camp itu artinya tak ada lagi anggota yang tercecer.
Seperti yang diduga Retno, Anton nampak agak kesulitan membawa tubuhnya. Dia berjalan dengan lambat. Beberapa kali ia berpegangan ke batang pohon sebelum menemukan pijakan yang mantap. Langkahnya mulai terseok, pastilah karena berat tas punggung terasa kian berlipat menggelayuti bahu. Aku bergegas mendekati.
Pengin istirahat, Ton? “ kataku.
Nggak usah, Dam. Ntar Retno mengejekku habis-habisan. “ suara Anton patah-patah karena buru nafas.
“ Dia jauh di depan, tak bakalan lihat. “
Anton tetap bersikeras: “ Aku masih kuat, tapi kita melangkah perlahan saja. “
“ Oke, toh tak ada yang perlu kita kejar. “
“ Sehabis pendakian ini aku harus lebih rajin olahraga. “
“ Harus itu,  kalau kau tak ingin Retno terbang ke lain pelabuhan… “ ledekku.
“ Huss! Jangan keras-keras, ntar dia dengar! “
“ Dia dengar juga nggak apa-apa. Kau sih main tarik-ulur terus…”
“ Waktunya belum tepat, Dam! “
“ Sampai kapan? Nanti keburu kiamat. “
“ Kalau kiamat, aku akan kawin dengan bidadari. “
“ Huuu! Memangnya kau yakin masuk sorga? “
Anton mengakak. Menjelang Kandang Batu, hujan kian lebat, bercampur angin kencang, membuat tubuh menggigil dan perut mulai mengeras. Kami pun memutuskan berhenti di Kandang Batu. Berkutatan mendirikan kemah di antara tamparan hujan dan angin kencang.
Kuhembuskan nafas panjang lewat mulut lalu melangkah ke kemah para gadis yang sengaja ditempatkan di tengah lingkaran kemah lain. Di situ, Frida, Tuti, Sarah dan Dina, sudah meringkuk di dalam kantong tidur.
“ Kaos kaki kalian sudah diganti dengan yang kering? “
Mereka tak menyahut, cuma menyembulkan jempol tangan.
“ Kalau ada apa-apa aku di kemah biru. “ ujarku sambil menutup rapat pintu kemah.
Di kemah yang satu lagi, di bawah temaram cahaya emergency-lamp, Emil juga sudah bergelung di kantong tidur. Tak jauh darinya, Retno tengah melepas kaos kaki yang basah. Euis nampak membalurkan balsem dan meregang-regangkan kaki.
“ Kram? “
“ Tidak, cuma untuk melancarkan aliran darah. “ sahut Euis tanpa menghentikan gerakan kakinya. “ Kau mau kopi? Seduh sendiri. Di veldflesku masih ada air hangat. “
Mmhh, alangkah nikmat menyeruput kopi dan menikmati rokok di bawah sungkupan udara sedingin ini.
Sorry, aku tidur duluan…” ucap Retno.
“ Oke, mimpi yang indah, Nona….”
“ Tentang apa misalnya? “
“ Yaah, mungkin tentang adegan kejarlah daku kau kutangkap bersama Anton….”
“ Aahh…” bibir Retno mencibir.
“ Kenapa ah-ah? “
“ Kami cuma teman….” kilahnya.
“ Apa Mbahmu tak mengajarkan soal witing tresno jalaran suko kulino? “
Sableng kowe! “ semburnya seraya membenamkan diri ke dalam kantong tidur.
Aku mengakak, menyeruput kopi dan mengisap rokok dengan satu sedotan panjang sehingga kedengaran bunyi tembakau yang terbakar.
“ Kau punya bakat jadi comblang….” Kata Euis.
“ Tidak juga. “ sahutku. “ Bahkan untuk mencomblangi diri sendiri pun aku tak mampu. “
“ Perlu bantuan? “
“ Aahh…” tanpa sadar aku meniru ucapan Retno.
“ Kenapa ah-ah? “ Euis juga menirukan ucapanku pada Retno tadi.
Aku memilih diam, berpura-pura asyik dengan isapan dan hembusan asap rokok.
“ Dalam dirimu aku kadang melihat dua sosok berbeda, kemurungan yang berbalut keceriaan atau sebaliknya, katakanlah itu semacam tapak langkah yang terayun dalam bayang-bayang angker suatu kenangan pahit….”
“ Kau seperti psikolog saja. “ potongku, asal bicara.
“ Kau lupa kalau aku memang anak psikologi? “ balasnya sembari mengenakan kaos ke kaki. Aku menepuk dahi sendiri, benar-benar lupa kalau gadis itu semester ini bakal menyusun skripsi.
“ Di gunung dan hutan kau memang jago dalam memilih jalan, tetapi dalam kehidupan sehari-hari kau terbilang manusia peragu, padahal papan-papan penunjuk arah tertebar nyata. “
Aku kembali memilih sunyi. Pembicaraan yang seperti menguliti diri ini sebenarnya ingin dihindari, tetapi aku belum menemukan kilah untuk membelokkan arah.
“ Dam…”
“ Ya? “
“ Apa kau menyimpan luka masa lalu? Luka yang tetap membekas hingga ke masa kini? “
Luka masa lalu? O, luka yang menjadi batuan runcing di lekuk dada! O, batuan runcing yang mengait tenunan hari! O, tenunan hari yang robek oleh kesumat! Aku tersedak lantaran gumpalan asap rokok sangkut di tenggorokan. Euis membiarkan saja. Nyanyian hujan di luar kemah juga membiarkan saja.
“ Bolehkah pertanyaan itu sementara ini tak kujawab? “ kataku kemudian.
“ Kenapa? “
“ Kukira, aku perlu waktu. “
Euis tersenyum. O, senyum itu tersembul di bawah tenda bercahaya remang sehingga lekuk bibir itulah yang cemerlang dan pesona jualah namanya yang menisikkan benang.
“ Tak perlu lagi dijawab, sebab penundaan sama artinya dengan pengiyaan. “ ujar Euis. “ Dan itulah kamu, Dam. Seperti kataku tadi, berjalan di bawah bayang-bayang angker suatu kenangan pahit. “
Ibarat panah, analisis Euis menancap telak pada sasaran, menjarah titik paling tersembunyi dalam diri. Maka aku pun kian salah tingkah, mereguk kopi hingga tandas dan memain-mainkan batangan rokok di antara jari-jari.
“ Oke, cukup sampai di sini dulu sesi pertemuan pertama kita….” ujar Euis, bijak menyudahi jarahannya.
Celah yang terbuka itu segera kumanfaatkan untuk segera ke luar dari lingkar mikroskopis : “ Astaga! Apakah kau menganggapku sebagai klien sekaligus pasien? “
Euis tertawa. “ Barangkali saja kasusmu ini menarik untuk jadi bahan kajian pada skripsiku nanti….”
Aku ganti ketawa. “ Jika hal itu terjadi maka kau harus membayar mahal….” kataku sambil beranjak ke pintu kemah.
“ Semahal apa? “ kejar Euis.
“ Amat mahal, sebab tak ternilai dengan uang. “
“ Konkritnya? “
“ Menikah denganku. “
O. kelopak mawar itu melekuk dalam sipu. Dan rona merah di wajahnya datang dari bias cahaya lampukah? Ataukah dari bias sentakan di urat darah?
“ Akan kupertimbangkan. “ ujar Euis kemudian. “ Dan salah satu pertimbangan itu adalah seberapa besar kansmu untuk sembuh dan menyembuhkan diri. Jujur saja, aku tak ingin punya suami kandidat penghuni rumah sakit jiwa. “
Ketawaku masih bersisa saat melangkah meninggalkan kemah itu. Bowo ternyata masih belum tidur ketika aku masuk ke kemah. Lelaki berambut gondrong itu berbaring menelentang, sambil merokok.
“ Kau tidur di sini? “ tanyanya tanpa mengubah posisi.
“ Kalau tidak di sini di mana lagi….” sahutku sambil membuka sepatu.
“ Kukira kau tidur bersama Euis….”
Alisku langsung terjungkit mendengar itu. “ Astaga! Kenapa sih pikiranmu kotor begitu? “
Bowo ketawa. “ Pikiranmu yang kotor, fren, membayangkan yang tidak-tidak. “ balasnya. “ Tidur bersama seorang gadis itu tidak berbahaya…” sambungnya enteng.
Astagfirullah! Eling, Wo, eling! Setan Kandang Batu agaknya sudah mulai merasukimu. “
“ Yang berbahaya itu justru kalau pasangan tersebut tidak tidur. Dalam keadaan sama-sama jaga, survei membuktikan bahwa persentase terciptanya letikan-letikan pijar sangatlah besar, mencapai 99 koma 9 persen, sebab di situ akan terjadi proses yang dinamakan rame ing pamrih rame ing gawe. Betul? “ Bowo menirukan gaya bicara seorang da’i.
Aku ketawa. “ Kau ingat firman Allah itu berbunyi ‘jangan dekati zina’ bukan ‘jangan berzina’. Artinya, apapun proses kebudayaan yang memungkinkan terjadinya zina, sama sekali tidak diperkenankan. Betul? “ balasku.
Bowo juga ngakak. Perlahan kubaringkan tubuh di sisinya. Di saat berbaring itulah baru terasa lungkrahnya tubuh. Betapa tidak, terguncang-guncang lebih delapan jam di kereta, surat bunda, ucapan Mbah Slamet, dan pembicaraan pendek dengan Euis tadi secara psikologis membebani. Bahkan tindihan psikologis itu lebih meletihkan.
“ Menjelang ulang tahun, seorang gadis biasanya berubah jadi sentimentil, terlebih di tempat seperti ini….”
“ Survei membuktikan…..” selaku.
Bowo ketawa sebelum menyodorkan pertanyaan: “ Nah, pertanyaan yang akan mengantarkan Anda ke titik aman adalah bicara apa kalian tadi? “
“ Yaah, hal-hal yang biasa. Memangnya kenapa? “
“ Tak membicarakan hal yang lebih menjurus, misalnya tentang… kemungkinan masa datang? “
“ Mulai lagi, mulai…” rutukku.
“ Aku superserius, Dam. Apa kehidupan hutan dan gunung telah memajalkan intuisi kelelakianmu  sehingga tak mampu menangkapi isyarat-isyarat mercu? “
Aku terdiam. Aku tahu, bagi teman-teman keakrabanku dengan Euis dinilai sebagai keakraban dua sahabat yang tengah mengambil ancang-ancang untuk memasuki wilayah dua pecinta; mendenyarkan isyarat-isyarat mercu, istilah Bowo; memainkan bendera-bendera semaphore, menurut bahasa Retno; membumbungkan isyarat-isyarat asap kaum indian, begitu perumpamaan Dadang.
 “ Apa yang kurang darinya, Dam? Cantik, pintar, anak orang kaya, dan yang lebih utama adalah….shalihah. “ Bowo terus mengusik. “ Aku ingat benar, di Rinjani dulu, kau pernah berkata bahwa wanita dambaanmu adalah wanita yang dunianya tidak cuma berisi mode terkini, bedak, eyeshadow, lipstik atau krim dan lotion ini-itu. Wanita dambaanmu adalah wanita yang bisa diajak bertukar pikiran dan berdebat, bisa diajak bicara tentang bermacam soal, mulai dari buku, novel, puisi, hingga film dan musik. Wanita yang menyenangkan sekaligus menguji intelektual. Menurutmu, wanita seperti itu diperlukan karena hidup harus punya keseimbangan antara tantangan-tantangan intelektual dan kemesraan-kemesraan emosional. Kupikir, semua kriteria yang kau patok itu dipunyai Euis. “
“ Hal yang kau bilang itu betul, Wo, tapi terus terang saja aku memang tengah punya persoalan. Sebuah persoalan yang sebenarnya sederhana saja…”
“ Sesederhana apa? “ Bowo menyela.
“ Sakit hati yang berkarat sehingga jadi kesumat. “
“ Wah, itu bukan soal sederhana, Dam. “
Adam tak menyahut. Matanya nanap ke bubungan kemah. Bowo mengubah posisi tubuh, berbaring miring menghadap Adam. Dia bisa melihat kekosongan di mata Adam. Maka dia menyentuh bahu lelaki itu, sebuah sentuhan seorang sahabat yang ingin mengambil sebagian beban yang menindih.
“ Apa shalatmu, munajatmu, tadarus Quranmu, tak mampu membersihkannya? “
“ Kurasa aku tengah berada pada puncak dari fase pembersihan itu, karenanya saat ini jagat alitku lagi gonjang-ganjing. Gerusan terhadap karat kesumat mendapat perlawanan dari dunia bawah sadar, seperti pertempuran antara Pandawa dan Kurawa di padang Kurusetra. Aku ingin kesumat itu lebih dahulu sirna sebelum aku melangkah memasuki babak kehidupan baru, sebab alangkah tak nyaman memasuki babakan dengan kesumat masih membebani lekuk dada. “
“ Dalam soal seperti ini, akan lebih tepat jika kau bicara dengan Euis. “ sarannya.
“ Kenapa harus Euis? “
“ Karena ia anak psikologi. “
“ Tadi sebenarnya kami sudah mengarah ke situ, Wo, tetapi… aku kemudian menghindar. “
“ Menghindar? Kenapa? “
“ Haruskah aku memampangkan kecerai-beraian diriku padanya? Kepada orang… yang seperti katamu tadi …mendenyarkan isyarat-isyarat mercu? “
“ Kenapa tidak! Kalau kau kuatir pemampangan itu akan membuatnya menilai rendah dirimu maka kau salah. Pemampangan itu justru akan meninggikan harkatmu, sebab kau dengan jujur telah mengakui bahwa kau cuma insan yang dhaif, manusia yang punya sisi lemah namun berani berjuang memperbaikinya untuk meraih kesempurnaan. “
“ Kendati persoalan itu bagi orang lain sepele bahkan layak untuk ditertawakan? Sesuatu yang nampak sederhana tetapi terlanjur kubesar-besarkan sehingga menjadi tusukan psikis yang kemudian menyiksa diriku sendiri. “
“ Tanggapan atau penyikapan seseorang terhadap sebuah persoalan tidaklah selalu sama. Hal yang sepele bagi seseorang belum tentu sepele bagi orang lain.  Mengaku diri sebagai seorang perkasa itu hal mudah, Dam, tetapi mengaku diri sebagai orang yang lemah memerlukan keberanian tersendiri. “
“ Sudah, jangan bicara lagi. Beri aku waktu. “ suara Adam barangkali terdengar memelas.
Bowo tak menyahut. Dia memadamkan lampu. Gelap pun menyungkup. Di luar, hujan menyisakan gerimis, tapi dingin angin tetaplah menyembilu. Adam memejamkan mata, berusaha meraih lelap..Dalam beberapa hari ini agaknya orang-orang seakan berupaya mengulitiku. Bagi bunda, aku agaknya anak hilang yang perlu dipanggil dengan rindu rumah. Bagi Mbah Slamet, aku adalah insan yang perlu pembersihan hati. Bagi Euis, aku merupakan kandidat penghuni rumah sakit jiwa. Jadi kesimpulannya, aku adalah orang bermasalah. Dan masalah itu bergalauan karena aku menggunakan sudut pandang dan cara yang salah dalam menyikapi masalah sehingga tak pernah sampai pada qalbun salim, hati yang damai dan disinari hidayah. Engkau angkuh, Dam, teramat angkuh, bahkan terhadap Gusti Allah, ujar Mbah Slamet kemarin. Astagfirullah. Subhanallah. Maha Suci Allah dari perbuatan zalim terhadap hamba-hamba-Nya.

*****

Ash shalatu khairun minan ‘naum…. “ ujar Bowo sembari menyampirkan handuk ke bahu.
Aku segera bangun, menjumput handuk dan bergegas mengiringi langkah Bowo menuju sungai kecil yang tak jauh dari areal perkemahan. Di jalan kami bersampokan dengan teman-teman yang telah selesai mandi.
“ Bisa tidur tadi malam, Dam? “ tanya Euis.
“ Sedikit. “
“ Ayo, cepat dikit mandinya. Kami tunggu…”
Aku mengangguk, mempercepat langkah. Bbrrr, dingin sekali airnya. Terdengar suara gemeletuk dagu Bowo. Dia berenang pulang-balik untuk memerangi rasa dingin itu.
“ Tidurmu gelisah sekali tadi malam, Dam. “ ujar Bowo sambil menyabuni tubuhnya. “ Kau juga beberapa kali mengigau. “
“ Apa saja yang kukatakan? “
“ Tak mengerti aku, soalnya ceracaumu itu dalam bahasa nenek moyangmu. “
“ Bahasa Banjar? “
“ He-eh.  Yang bisa kumengerti cumalah kau memanggil-manggil Bundamu.  Kau juga menyebut-nyebut….eee….kukira nama orang….Rizky….. dan……Laila. ” Bowo melanjutkan. “ Siapa Rizky dan Laila itu? “
“ Nama kucing…” sahutku cepat, tak hendak memperpanjang pembicaraan, sebab kalau dilayani bisa-bisa nanti waktu Subuh lewat. Kmi menyelam beberapa kali, naik ke tebing sungai, mengganti pakaian, lalu mengambil wudhu. Saf sudah tersusun ketika kami ke luar lagi dari kemah sambil membawa sajadah.
Duh, alangkah nikmat dan khidmat jamaah Subuh di antara kapas-kapas kabut itu. Burung-burung telah bangun, tapi belum beterbangan meninggalkan sarang, cuma sesekali kedengaran cericit mereka. Daun-daun, aneka kembang, rerumputan, jangkrik, belalang, kupu-kupu, capung dan sibar-sibar, masih diam di tempatnya. Agaknya mereka juga tengah shalat, memuji kebesaran dan keagungan-Nya dalam gaya dan bahasa mereka sendiri. Kegelapan malam dan kecerahan siang, sinar matahari dan cahaya bulan, gemercik air dan kerisik dedaunan, bintang di langit dan debu di bumi, batu gunung, pasir gurun dan ombak samudra, semua hewan di darat dan di laut, memuji Dikau, kata Rumi dalam salah satu mathnawinya. Wahai, jika mereka yang tak mengenal Hari Pembalasan, yang tak mengenal sorga dan neraka, yang tak mengenal dosa dan pahala, menghadap dan memuji-Nya, mengapa manusia si makhluk tersempurna dan termulia ini sering melalaikannya?
 
EMPAT


Orang jarang sekali bisa melepaskan diri dari ingatan-ingatan masa remaja. Sebaik atau sejelek apapun perlakuan masa remaja itu akan tetap melekat di hati, serupa parasit yang akar-akarnya menghunjam ke kulit pohon. Dan masa remaja bagi kamu adalah gadis itu. Laila. Lengkapnya, Laila Fakhrianti.
Tuaian penanggalan bersama Laila dimulai sejak lama. Dari kepolosan masa-masa SMP hingga keranuman masa-masa SMU. Kalian berangkat sekolah bersama, pulang bersama, jalan bersama, selalu bersama. Kebersamaan itu perlahan menumbuhkan sesuatu yang lain, cinta.
“ Kata’cinta’ terucapkan lewat sajak yang kamu temukan pada sebuah antologi milik bunda. “ Konyol memang, tapi cinta, seperti kata Kahlil Gibran, senantiasa menemukan jalannya sendiri. “ ujarmu sambil ketawa.
Waktu itu hari sudah hampir senja. Di teras rumah, di kursi kayu, Laila tengah memotong rambutmu. Rambut yang memang agak panjang itu sudah mendapat teguran keras dari Pak Malik, sang kepala sekolah, yang oleh teman-temanmu diberi julukan Terminator lantaran bertubuh tegap berwajah kukuh nyaris tanpa senyum macam Arnold Shcwarzenegger. (Anak SMU di mana-mana memang selalu begitu, memberi julukan pada guru yang mereka senangi atau mereka benci. Di SMU-ku dulu, Pak Sudibyo, guru Bahasa Indonesia, diberi julukan Pak Raden karena berkumis tebal dan Bahasa Jawanya demikian medok.)
Jemari lentik Laila lembut menyusupi helai-helai rambut. Hembusan nafas hangatnya kadang singgah di pipi kadang menerpa ubun-ubun.  Harum parfum menguar. Kamu pun kemudian mengucapkan sajak itu, sajak Kangen-nya Rendra:

Kau tak mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
Kau tak mengerti segala lukaku
karena cinta telah sembunyikan pisaunya
Membayangkan wajahmu adalah siksa
Kesepian adalah ketakutan dan kelumpuhan
Engkau menjadi racun bagi darahku
Apabila aku dalam kangen dan sepi
 itulah berarti:
aku tungku tanpa api


Gerakan tangan Laila sejenak terhenti. “ Kau bagus membaca puisi. “ ucapnya sambil menyisir rambut bagian samping. “ Jika nanti ada lomba baca puisi, kau layak ikut. “
“ Persoalannya bukan pada bagus atau tidaknya aku membaca puisi, tapi pada makna puisi itu. “ sahutmu.
“ Menurutmu apa maknanya? “
“ Ya itu tadi, aku tungku tanpa api…”
“ Lalu? “
“ Maukah kau menjadi api dari tungku itu? “
Tak ada jawaban, tapi cubitan gadis itu di lenganmu adalah selaksa kata “ya” yang tak terucapkan. Sejak itu hari-hari Banjarmasin pun mengelindankan keindahan dan kemanisan tak terpermanai. Apalagi hubungan kalian mendapat restu dari bunda.
“ Aku mengenal Laila sebagaimana aku mengenalmu. “ kata bunda sembari menyungging senyum ke arahmu. “ Dia akan menjadi pasangan yang baik buatmu. Manusia setengah urakan semacammu memerlukan wanita seperti Laila. “
Petamanan hati kamu berbunga molek mendengar pujian bunda. Kamu pun berpikir seperti bunda. Dan menyimpan Laila dalam hati sebagaimana layaknya seorang lelaki menyimpan gadis yang dicintainya.
Selepas SMU, kamu memilih Yogya sebagai wadah menimba ilmu, sementara Laila tetap di Banjarmasin, kuliah di Universitas Lambung Mangkurat. Malam menjelang keberangkatan, kamu berbincang dengan Rizky, menimba pengalamannya menghadapi kehidupan kampus yang tentulah berbeda dengan kehidupan sekolah. Di ujung pembicaraan itu Rizky berucap: “ Konsentrasilah pada pelajaran, Dam. Soal Laila, serahkan padaku. Aku akan menjaganya.” Kamu tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.
“ Menjagakan Laila untukku, itu janji Kak Rizky. Janji seorang lelaki pada lelaki lain. Janji yang kemudian tak tertunaikan. “
“ Tak tertunaikan? “
“ Ya, sama sekali tak tertunaikan. Pada tahun pertama, aku sempat pulang ke Banjarmasin. Dalam setengah bulan di sana, aku mulai menemukan perubahan pada Laila. Menjelang ujung tahun kedua, masa lalu yang tadinya terasa begitu indah perlahan mulai mengejek kekinian. Betapa tidak, jarak Banjarmasin – Yogya ternyata memunculkan ruang berisi kegamangan. Entah bagaimana caranya, Kak Ruzky berhasil menyusup ke dalam hidup Laila. Dan di awal tahun ketiga, berita pun menggelegar : Rizky dan Laila resmi bertunangan. “

Jangan terpukul dengan kenyataan macam ini,  tulis bunda dalam suratnya yang mengabarkan pertunangan itu,  manusia cuma berencana, Tuhan yang menentukan. Dam, jadilah seorang pecinta agung. Pecinta yang bisa memberikan kebahagiaan menyeluruh kepada orang yang dicintai, walaupun kau tak bisa memilikinya. Kebahagiaan dalam taraf yang luhur akan melesat demikian tinggi ke alam yang sifatnya rohaniah sehingga tak lagi terganggu oleh segala tingkah jasmani.
Dalam surat yang lain, bunda menulis : Jangan membenci Rizky, jangan pula mencaci Laila. Segalanya wajar-wajar saja, sederhana saja. Hidup memang sebuah misteri, serangkaian ruang kemungkinan. Tak perlu peristiwa ini didramatisir, tak usah dibesar-besarkan. Bunda dan Abah percaya bahwa kau adalah lelaki sejati, seorang pecinta agung.
“ Banyak lagi yang ditulis bunda, bahkan bunda dan abah menemuiku di Yogya, memberi wejangan langsung. Tapi aku terlanjur luka. Bukan kehilangan Laila yang membuat luka jadi bergaram, tetapi ketegaan perbuatan; seonggok empedu yang dijejalkan ke mulut oleh saudara sedarah-sedaging;  sekucur tuba yang dituangkan oleh orang yang merah darahnya adalah  juga merah darahku. Luka itu mengendap lama kemudian menjadi batuan runcing di lekuk dada, menjelma kesumat. “ wajahmu nampak demikian kelam saat mengucapkan itu.
 “ Kendati tak terucapkan, aku juga menyimpan kekesalan pada abah dan terutama pada bunda. Dalam anggapanku, merekalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap munculnya catastrophe di ujung lakon itu.  Merekalah yang tak mampu menghempang tindakan Kak Rizky. Merekalah yang menggebahku ke wilayah pinggiran, melempangkan jalan Kak Rizky untuk menyunting Laila. Dan mereka pulalah orang terdepan yang memberi restu bagi pertunangan itu. “
Maka tiga tahun sudah kamu tak pulang ke Banjarmasin Waktu-waktu lowong selalu kamu isi dengan langkah kembara, mulai puncak Pangrango sampai puncak Rinjani, mulai hamparan lunak rumputan Alun-alun Suryakencana sampai ke bentangan padang-padang penggembalaan Nusa Tenggara. Kamu jarahi tiap tebing dan ceruk lembah. Kamu pijak tiap tanah tinggi dan pesisir pantai. Kamu susuri ranggas ilalang dan tanah bencah. Kadang bersama teman-teman, kadang pula sendirian. Di kesenyapan hutan-hutan kamu merasa menemukan kedamaian. Di bungkusan putih kabut kamu merasa mendapatkan kebahagiaan. Kamu merasa perkasa pada saat menyadari keterpencilanmu, kekerdilanmu. Kamu merasa punya daya tahan yang tinggi saat mengalami neraka dingin di puncak Rinjani, di saat menyadari betapa rapuh pijakan kaki di keterjalan tebing Semeru, Gede, Pangrango, atau Merbabu.
“ Tiga tahun tak kujenguk rumah. Jika orang rumah rindu padaku silakan datang ke Yogya. Abah, bunda dan dua orang adikku beberapa kali menjeguk, tapi Kak Rizky dan Laila tak pernah muncul. Hal itu kian membesarkan kesumatku. Bayangkan, jangankan meminta maaf atau memohon pengertian, menjenguk untuk mengetahui keadaanku pun tidak. Bukankah itu berarti keberadaanku, harga diriku, telah dikepinggirkan bahkan dinisbikan? “
Ah, inilah dia akumulasi perasaan sebagai pecundang itu. Rizky boleh saja mengalahkanmu dalam soal berenang atau peringkat di sekolah, tapi persoalan cinta bagi kamu adalah persoalan harga diri, harga diri seorang lelaki. Apalagi Rizky telah mengucapkan janji dari seorang lelaki untuk menjaga Laila. Pagar makan tanaman ini bagi kamu adalah sebuah tantangan sekaligus sebuah aib. Dan hal itu, bagi orang Kandangan, tebusannya adalah darah! Tapi haruskah menumpahkan darah Rizky, darah saudara sendiri? Kamu kemudian memilih untuk tak menjenguk kampung halaman. Kamu berkilah dengan waktu. Kamu ingin lebih dahulu mampu berdamai dengan diri sendiri sebelum memulai babakan kehidupan baru. Kamu ingin karat kesumat terkelupas oleh waktu sehingga batin kembali bersih. Dan hal itulah yang selalu kamu pinta dalam munajatmu: agar kamu disampaikan ke kepasrahan sempurna kepada kehendak Allah sehingga tak lagi terganggu oleh berbagai pernik perubahan yang ditinggalkan maupun yang akan disuguhkan sang waktu.

LIMA
Lembah Mandalawangi, malam hari. Bulan bundar di langit, cahayanya terhalang lapisan kabut maka suram. Lidah-lidah api unggun berlenggok perlahan, menebar hangat kepada orang-orang yang duduk mengelilingi. Petikan gitar dan alunan harmonika ceria menyuara. Tapi semua itu cuma semayup sampai padaku dan Euis yang duduk bersisian di depan kemah.
“ Apakah aku tergolong neurosis? “ tanyaku.
“ Tidak juga. Hal itu wajar saja. “ sahut Euis bijak. “ Cuma kamu terlalu mengandalkan logika, padahal logika sering terkunci dalam suatu orbit egosentris. Dan egosentris selalu bertolak dari acuan untuk mendapatkan, bukan untuk memberi. Pandangan dari sudut itu menumbuhkembangkan kesadaran bahwa kamu sudah dilukai sehingga sukar berdamai dengan kenyataan. Kamu merasa berdamai dengan kenyataan itu, menyesuaikan diri dengan kenyataan itu, merupakan suatu kekalahan. Padahal jika kamu memakai juga sudut pandang yang lain maka kamu akan menemukan bahwa semua itu hal yang wajar saja.”
“ Wajar? “
“ Ingat kalau tadi malam di dalam kemah ini kamu bilang pada Retno soal witing tresno jalaran suko kulino? “
“ Kenapa ujar-ujar itu tidak kamu pakai pada dirimu sendiri? “
“ Maksudmu? “
“ Meletakkannya pada konteks Rizky dan Laila. “ kata Euis. “ Mereka sama berada di Banjarmasin. Laila tengah mekar-mekarnya. Kecantikannya mungkin membuat ia menjadi primadona di kampus. Tentulah banyak orang yang merubungnya, bahkan mengejar-ngejarnya. Dia berusaha menghindar dan mencari perlindungan. Perlindungan itu lalu diberikan oleh Rizky. Pada diri Rizky dia menemukan hal-hal yang banyak kesamaannya dengan kamu, sehingga dia merasa nyaman. Pergaulan mereka, kedekatan mereka, wajar saja kalau menumbuhkan rasa cinta. “
“ Tetapi mereka seharusnya ingat padaku….” aku menyela.
“ Dalam psikologi dikenal apa yang dinamakan motivasi, sesuatu yang mendasari proses perbuatan, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri sendiri, tingkah laku yang dimunculkan oleh situasi tersebut, dan tujuan akhir dari perbuatan. Suatu perbuatan dimulai dengan adanya ketidaksetimbangan sehingga muncul kebutuhan untuk meniadakan ketidakseimbangan itu.
“ Ketidaksetimbangan pada Laila muncul karena antara kamu dan dia terbentang jarak. Keadaan ini baginya barangkali menimbulkan ketidakpuasan dan memunculkan kebutuhan. Kebutuhan itu didapatkannya pada Rizky. Kepuasan yang didapatkan membuatnya terperangkap pada konflik yang disebut konflik mendekat-mendekat di mana dia dihadapkan kepada dua tujuan yang sama-sama bernilai positif. Dia mencintai kamu tetapi tak menemukan kenyamanan hidup, sementara Rizky memberikan hal itu. Dia harus memilih. Dalam pilihan itu dia menyublimasi tujuan, mengalihkan tujuan darimu ke Rizky yang mempunyai sifat kurang lebih sama dengan kamu dan mampu memberikan kenyamanan hidup.
“ Rizky sendiri adalah orang yang tengah mencari pendamping hidup, bukan sekadar kekasih. Dan dia menemukan itu pada diri Laila. Dua kebutuhan itu ketemu lalu saling menghidupi. Mereka menyadari sepenuhnya keberadaanmu sehingga jauh di dalam hati mereka menyimpan rasa bersalah. Itu sebabnya mereka tak punya keberanian untuk bertemu dengan kamu. Jadi, secara batin kalian sama terluka, sama tersiksanya. “
Aku diam. Jika kak Rizky dan Laila sama tersiksanya denganku, buat apa lagi aku menghidupi kesumat dalam dada? Bukankah kesumat itu pada dasarnya telah terbayar lunas sebab mereka juga sebenarnya hidup dalam ketidaktenangan?
“ Dengan kata lain, seharusnya tak ada kesumat. “ desahku.
“ Ya, seharusnya. “
“ Tapi aku telah terlanjur. Seorang tua, Mbah Slamet namanya, mengatakan bahwa aku ini amat angkuh, bahkan terhadap Allah, karena ketidakberterimaanku terhadap ketentuan-Nya. “
“ Agaknya dia benar, Dam. Pernahkah kamu mendengar kisah yang ditulis Fariduddin Attar tentang seorang hamba yang menerima hadiah buah dari seorang raja? “
“ Belum…”
“ Seorang raja menghadiahkan buah kepada hambanya. Dia mencicipi buah itu dan mengatakan kelezatannya. Sang raja kemudian meminta sedikit dan memakannya, ternyata rasanya amat pahit. Dia bertanya kenapa buah pahit itu dikatakan demikian lezatnya. Si hamba berkata: ‘ Hamba telah menerima demikian banyak hadiah dari Tuanku, bagaimana mungkin hamba mengeluh hanya karena buah pahit yang satu saja?’[11]
Aku tercenung. Ya, demikian banyak nikmat yang telah dikaruniakan Allah padaku, kenapa aku tak bisa berterima ketika satu kepahitan yang datang? Kenapa aku tak bisa mengambil hikmah dari kepahitan itu? Ah, begitu bebalnya aku, begitu bebalnya.
“ Kamu cuma perlu mengalihkan sudut pandang, dari sudut pandang mendapatkan ke sudut pandang memberi, melepaskan diri dari perangkap logika yang berisi premis dan kesimpulan yang mesti. Kamu boleh saja menganggap telah dizalimi orang, tetapi Allah juga sudah menyediakan satu formula terhadap perbuatan buruk orang itu: ifda’ billati hiya ihsan, balaslah perbuatan buruk orang dengan sikap utama yang lebih baik. Dengan kata lain, perbuatan buruk seseorang hendaklah disikapi sebagai sarana ujian sekaligus ladang amal dari Allah. Dan tidaklah Allah memberikan semua itu kecuali bagi orang-orang yang sabar dan orang-orang yang diberi karunia besar. “
“ Langkah apa yang harus kuambil? “ erangku sambil mencari teduh di matanya. “ Sungguh Euis, aku benar-benar ingin lepas dari ketidaknyamanan ini. Aku sudah letih, letih sekali. “
Euis tersenyum. Jemarinya bergerak membetulkan jurai rambutku yang diacak-acak angin malam. Tanpa melepas tatapan, dia berucap: “ Pertama, berserah diri dan memohon ampun kepada Allah atas ketidakberterimaan kamu terhadap ketentuan-Nya, lalu meminta agar hatimu dijadikan hati yang bersih. Kedua, menelisik masalah langsung ke sumbernya dan menyelesaikannya dengan ketulusan seorang pecinta agung sebagaimana kata orang tuamu. “
“ Jadi aku harus pulang ke Banjarmasin? “
“ Ya, pulang. “ sahut Euis mantap. “ Mohon ampun pada Abah dan Bundamu. Berikan kedamaian dan kebahagiaan kepada Rizky dan Laila. Kedamaian dan kebahagian mereka adalah juga kedamaian dan kebahagiaan kamu. Bukankah kamu hidup untuk menata masa depan, bukan untuk meratapi masa lalu? Tapi jika kamu tak bisa melakukan itu maka aku punya saran bagus buatmu. “
“ Apa? “ kejarku.
“ Beli kain kafan lalu bunuh diri, biar masuk neraka sekalian….” candanya.
Aku ketawa. Lalu melangkah mengiringinya ke dekat unggun api. Bowo dan Rahmad menyisih, memberi ruang. Gitar di tangan Andi menyuarakan irama dangdut. Retno dan Anton tengah berjoget. Dan teriakanku lepas, mengolok-olok goyang pinggul Anton yang seperti bebek berjalan.


*****

Lepas tengah malam, lagu panjang umurnya, panjang umurnya, mengalun dalam koor yang tidak padu, tapi bukan di situ letak nilainya. Lagu itu adalah ungkapan doa dan pernyataan kesadaran terhadap hidup dan kehidupan yang telah dikaruniakan Allah Azza wa Jalla. Doa dari teman-teman yang tawashau bil haqqi wa tawashau bishsabr, teman-teman yang berupaya saling tolong-menolong serta berkeinginan agar rekannya menjadi baik dan semakin baik, menjadi semakin mulia dan selamat di sisi Allah. Pernyataan kesadaran bahwa hidup dan kehidupan yang dikaruniakan-Nya adalah ilmu yang tak habis dibaca, tak habis disyukuri, menjadi air mata dan keringat yang bersatu menjadi doa, dan bagai burung ia terbang membumbung ke hadirat-Nya, mengetuk pintu langit-Nya dengan pumpunan pujian dan harapan, dengan suara yang juga merupakan pemberian-Nya. Bukankah kepada-Nya jualah semua harapan dan kecemasan manusia bersumbu? Dan bukankah kendati Ia telah mengatur jalannya dunia dengan takdir-Nya, Ia ingin memberi kehormatan kepada manusia dengan mengabulkan doanya, sebab Ia pun merindukan doa-doa itu? Bukan cuma orang dahaga yang mencari air, Air pun mencari orang yang dahaga, ujar Rumi.
Wajah Euis nampak sumringah di dekat nyala unggun. “ Di hari yang berbahagia ini, aku ingin membaca sebuah sajak tentang seseorang yang telah memberi begitu banyak bagi hidup dan kehidupanku. “ Tangannya perlahan mengeluarkan kertas terlipat dari kantong jaketnya. Perlahan pula ia membuka lipatan kertas itu lalu menatingnya ke nyala api.
ibu
kalau aku merantau
lalu datang musim kemarau
sumur-sumur-sumur kering
daunan gugur bersama reranting
hanya mata air air matamu ibu
yang tetap lancar mengalir

Sajak Ibu dari D. Zawawi Imron itu tiba-tiba saja membuatku merinding. Bias bulan, desir angin, risik daun, harum edelweis, layapan anak-anak kabut, gemeretak kayu di nyala api, lantun suara sepenuh rasa, semuanya, ya, semuanya, membawaku ke dalam suasana yang mengaduk-aduk perasaan. Di telingaku terngiang lagi dialog di zaman Rasulullah Saw yang pernah dituturkan bunda “
“ Ya Rasul, mana yang lebih dahulu penghormatannya harus saya penuhi? “
Rasul menjawab: “ Ibumu!”
“ Lalu siapa lagi? “ sahabat itu kembali bertanya.
“ Rasul menjawab” “ Ibumu!”
“ Lalu? “
“ Ibumu! “
“ Lalu? “ tanya sahabat itu lagi.
“ Ayahmu! “


kalau aku merantau

di hati ada mayang siwalan
memutikkan sari-sari kerinduan
karena hutangku padamu, ibu
tak kuasa kubayar

Aku menampak wajah bunda: dahi yang berkilat bekas air wudhu, mata yang bersorot lunak memancarkan kasih, sunggingan senyum bermakna sayang. O, betapa sabarnya bunda mengajarkan alif ba ta, merangkai huruf-huruf yang menjuntai berkelok itu; menuntun hafalan Juzz Amma; menerjemahkan bacaan shalat; mendaraskan doa demi doa.

kuhamparkan sajadah dekat sisa unggun api. Kudirikan shalat taubat dua rakaat, lalu duduk bersila bermunajad pada-Nya. Dalam remang sinar bulan kubiarkan tahun-tahun hidupku lepas bergentayangan, kubiarkan pengalaman-pengalaman bangkit bertumpang-tindih; pengalaman yang mengguncang tetapi juga sekaligus menyodorkan keperluan bagi penginsyafan diri terhadap kebutuhan untuk mengerti; pengalaman yang ujungnya menyaripatikan keberadaan di antara takdir buruk dan takdir baik yang hanya membuka rahasianya pada akhir babakan--rahasia yang kadang tidak dimengerti kadang pula sebagian dimengerti. Di situ aku melihat keterpecahan diri, seperti seorang pejalan yang melangkah pulang-balik di antara kekuatan penerimaan dan pengingkaran sehingga akhirnya letih sendiri.
Ya Allah, inilah hamba yang di Hari Alastu dahulu menyahut seruan “Alastu bi-rabbikum” dengan sahutan mantap “bala shahidna”, pernyataan bahwa cuma Engkaulah yang Ada; cuma Engkaulah, Ya Malik, sesembahan hamba; dan cuma puji bagi-Mulah, Ya Khaaliq, detak jantung hamba. Inilah hamba, Ya Rahim, pejalan pencari perigi dan mata air kasih-Mu, berulang memaklumkan inna shalaati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaati lillahi rabbil’alamin semata karena cuma kepada-Mulah, Ya Salaam, semua harapan dan kecemasan berpulang. Tapi inilah juga hamba, Ya Khaafidlu, insan yang ingkar terhadap ladang sayang-Mu, insan yang memelihara pohon kesumat saat pedang menetak, insan yang tak bisa mengembalikan ujian ke gerbang kemuliaan-Mu.
Maka Ya Ghaffaar, ampunilah keingkaran hamba-Mu yang amat daif ini; nampakkanlah rahasia keairan dan rahasia ketanahan hamba, Ya Mudzill, agar sempurna kenistaan dan kefakiran hamba. Khaliskanlah hati hamba, Ya Mushawwir, dari segala apapun selain-Mu; tanamkan cahaya di hati hamba, Ya Nuuru, sehingga yang terkaca di situ cumalah Kamu; terimalah taubatku, Ya Tawwaab, karena samudera ampunan-Mu sungguh tiada bertepi; dan berilah hamba petunjuk, Ya Haadii, sehingga ke mana pun hamba memandang kebesaran dan keagungan-Mu jualah yang terbayang. Kabulkanlah pinta hamba, Ya Mujib, kabulkanlah, kabulkanlah.
Hatiku berulang mendaraskan doa itu. Pada puncaknya, air mataku luruh; bukan tangis, tapi santan perahan rasa. Lalu sebuah suasana misterius yang khayali melingkupi. Aku merasa tubuhku terangkat, sejenak mengawang di ketinggian kemudian dibanting dalam sebuah hempasan keras sehingga tubuhku terasa mengecil dan bergulir menuruti kelandaian yang tak kutahu berakhir di mana. Aku berteriak sekuat suara, tapi itu ternyata cuma gumam dalam dada. Lidahku bergerak-gerak, mengucapkan sesuatu yang tak jelas kata-katanya, tak jelas nadanya, tak jelas bentuknya, tak jelas pula polanya: “ Kami akan…..sesungguhnya kami…….kami sesungguhnya…”  berulang-ulang, berulang-ulang, menjadi ceracau kacau; sementara rasa gamang kian memintal saat tubuh tiba di tubir kelandaian; di bawahku menghadang sebuah benda yang menggantung di udara, seperti kepompong raksasa yang siap menyambut kejatuhanku.
Ceracauku kemudian menemukan kata, dan kata-kata itu kian lama kian menegas, kian lama kian berangkai: Sesungguhnya Kami akan mencoba engkau dengan ketakutan dan kelaparan serta kekurangan kekayaan dan buah pekerjaan. Tetapi memberikan kesabaran kepada mereka yang tetap tabah dan manakala malapetaka menimpa mereka, mereka berkata: “ Sesungguhnya kami adalah milik Tuhan dan kepada-Nya kami kembali.” Merekalah yang dilimpahi rahmat dari Tuhannya. Merekalah yang beroleh bimbingan.[12]
Terdengar kelepak sayap yang besar, entah sayap apa. Mungkinkah itu kelepak sayap malaikat? Lalu dencar cemeti menyuara. Cemeti siapa? Hendak mencambuk siapa? Belum sempat berjawab, sesuatu yang panas dan berat menghantam. Searus rasa sakit tak terpermanai membuatku menyuarakan erang hewani. Tubuhku, seperti bola yang dipukul, deras melewati tubir kelandaian. Dan kepompong raksasa itu menelanku.  Me-ne-lan-ku!
Gelap. Gelap semata. Gelap yang muncul dari kelebatan belantara. Di mana aku? Tersaruk-saruk aku melangkah di antara pohon-pohon raksasa, mencari arah gerbang cahaya.
Ketika membuka mata, aku merasa seperti dilahirkan kembali. Lungkrah, tapi perasaan terasa amat lapang; selapang kupu-kupu yang ke luar dari kepompong lalu berterbangan melayah udara. Kukerjapkan mata, wajah Euis terjaring pada kornea. O, tasik di wajah itu menyungai ke dalam diri, mengalirkan sejuk, membangunkan kemajalan indrawi. Aku mengerjap lagi. Kutemukan kepalaku rebah di pangkuannya. Hangat. Nyaman. Ya Wahhaab, Ya Fattaah, rahmat-Mu kepada hamba sungguh tak ada habisnya, cuma hamba sajalah yang buta dan bodoh sehingga terkadang lupa menyukurinya.
Retno menyodorkan handuk kecil yang dibasahi air suam kuku. Euis perlahan menyeka wajahku yang basah oleh keringat. Hangat. Nyaman.
“ Aku sempat tersesat di belantara…” keluhku sambil terus menimba teduh pada tasik wajahnya.
Euis tersenyum. “ Air, Adam, jika tetap tergenang di suatu tempat akan boyak dan berlumpur, tetapi jika ia mengalir dan bergerak pastilah akan menjadi jernih. Demikian pulalah manusia dan kehidupannya. “
Aku tersenyum. Ya Shamad, Ya Waduud, jika gadis ini yang Kau tentukan untuk jadi sandingan hamba maka pertalikanlah hati kami, sebab rasanya begitu damai dan nyaman rebah di pangkuannya.

*****



Selalu ada saatnya seekor elang yang terbang menjelajah cakrawala mulai enggan mengepak sayap dan merindukan keteduhan sebuah sarang. Selalu akan ada masanya seorang lelaki mulai letih mengayun langkah kembara dan berharap di balik gumpalan anak-anak kabut akan membentang lembah damai berumput hijau, wadah melepas istirah di pinggiran sejuk telaga. Kalimat di surat bunda itu kembali kuingat saat menginjakkan kaki di Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin.
Pada abad ke 16, Banjarmasin dikenal dengan sebutan Banjarmasih, sebuah sebutan untuk wilayah kekuasaan dari Patih Masih atau Oloh Masih. Dalam bahasa Dayak Ngaju, Oloh Masih berarti orang Melayu Jadi Banjarmasih adalah merupakan perkampungan orang Melayu, merupakan bagian dari Negara Daha yang berpusat di kawasan Negara. Catatan sejarah menyebutkan bahwa Patih Masih bersama Patih Balit, Patih Balitung dan Patih Muhur kemudian mengangkat Raden Samudera, sang pewaris Kerajaan Daha yang terbuang, sebagai raja. Keraton pun di bangun dengan cikal bakal rumah Patih Masih.
Pangeran Tumenggung, penguasa Negara Daha, mengerahkan armada sungai untuk menyerbu Banjarmasih. Pertempuran yang terjadi di ujung Pulau Alalak berhasil dimenangkan oleh pasukan Pangeran Samudera. Pertempuran tak berakhir di situ, berlangsung dari waktu ke waktu. Pada puncaknya, pihak Banjarmasih meminta bantuan ke Kerajaan Demak. Demak bersedia membantu dengan syarat jika perang dimenangkan maka rakyat Banjarmasih memeluk agama Islam. Persetujuan diberikan, tentara Demak pun berdatangan, bergabung dengan rakyat Banjarmasih. Pertempuran dengan Negara Daha berlangsung di Jingah Besar, Pangeran Samudera memperoleh kemenangan. Lalu tanggal 24 September 1526, untuk menghindari banyaknya korban, diputuskan pertarungan antarraja. Saat berhadapan dengan Pangeran Tumenggung yang nota bene adalah pamannya sendiri Pangeran Samudera tak sampai hati dan membuang kerisnya. Sikap itu meluluhkan hati sang paman, ia mengalah dan menyerahkan kerajaan kepada Pangeran Samudera. Berdirilah kerajaan pertama Islam di Tanah Banjar, Kerajaan Banjar.
Nama Banjarmasih berubah karena sebutan Belanda. Mula-mula Belanda menyebutnya Bandzeermash, kemudian tahun 1664 menyebutnya Banjarmassingh, lalu Banjarmassing.  Dipertengahan abad ke-19 berubah lagi menjadi Banjarmasin. Begitu pula yang terjadi saat Jepang berkuasa.
Salah satu komoditi yang membuat Belanda berketetapan menguasai Kerajaan Banjar adalah batubara. Tanggal 21 September 1849 Gubernur Jenderal Ruchussen meresmikan pembukaan tambang batubara Oranye Nassau di daerah Pengaron. Tambang batubara inilah sasaran pertama Pangeran Antasari saat mencetuskan Perang Banjar, 28 April 1859.
Kini batubara nampaknya telah jadi komiditi yang lagi naik daun, truk-truk berlalu-lalang di jalanan mengangkut emas hitam itu ke pelabuhan. Untuk mengejar waktu sekaligus memburu duit, saat pulang dari pelabuhan truk kosong itu melaju seperti dikejar hantu. Jadilah ia, konon, pembunuh nomor satu di jalan raya, penyebab angka kecelakaan tertinggi.
“ Dalam sehari mungkin ribuan truk baubara yang diangkut ke pelabuhan. “ ucap sopir taksi yang membawaku dari bandara.
“ Ribuan truk? “
“ Ya, ribuan truk. “
Aku mencoba membayangkan keadaan wilayah penambangan itu. Ah, tanpa penanganan dan reklamasi yang bagus, ditambah dengan kian habisnya hutan-hutan yang ada, kawasan Kalimantan Selatan ini bisa-bisa nanti jadi kawasan padang pasir.
Kulenakan kepala. Sopir memasukkan kaset ke tape. Serangkaian lagu Banjar mengalun. Kusimak lagu itu. Diam-diam aku tersenyum, sebab lagu yang menyambut kepulanganku ke tanah kelahiran ini seolah mengejek:

lamun taganang, si bungas langkar,

 lamun taganang wayah baulit

banyulah mata luruh ka nasi

basaksi marangkai janji
badapat batamu sudah batali
umai badanku, badanku
kusarahakan Illahi Rabbi

kalau terkenang, si cantik manis
kalau terkenang saat bersama
air mata luruh ke nasi
bersaksi merangkai janji
ketika bertemu sudah bertali
aduh badanku, badanku
kuserahkan Illahi Rabbi

Tidakkah kepulanganku ini sama dengan yang digambarkan lirik lagu itu? Sesaat singkat aku akan menampak lagi wajah itu, wajah Laila, yang telah terikat pertunangan dengan Kak Rizky. Kendati aku telah menyiapkan diri sedemikian rupa tak urung dadaku menyenak jua. Aku sengaja meminta taksi berhenti beberapa langkah dari rumah, memberi ruang untuk berbenah sebelum menghadapi beragam kemungkinan yang bakal menjelang.
Mataku waswas menelaah. O, tak banyak yang berubah: halaman yang bersih, taman yang terawat rapi; bunga-bunga yang tumbuh dan berkembang di taman itu tentu telah silih berganti;  tetapi kemboja putih yang lagi berbunga molek itu, ah, ah, tentulah kemboja yang dulu juga; kemboja yang ditanam bersama Laila!
“ Yang kita tanam ini namanya kemboja cinta. “
“ Semoga ia tumbuh dengan baik. “
“ Ya, rimbun dan berbunga molek, seperti cinta kita…”
Lihatlah, kemboja itu kini tumbuh subur: batangnya bercabang-cabang, daunnya merimbun hijau, dan kelopak-kelopak bunga putihnya nampak cerlang dalam remang. Tapi cinta penanamnya? Ah, tak lebih dari kelopak-kelopak yang luruh, kering dan membusuk di jantera waktu.
Mataku sangkut ke teras rumah. Kursi kayu di situ masih kursi yang dulu jua, cuma catnya berubah jadi merah muda. Di kursi itu aku biasa duduk sambil memetik gitar, tentu saja bersama Laila. Dentingan dawai melayah udara, meniti harmoni nada lagu lama Ebiet G. Ade, Untukmu Kekasih. Suara Laila pun lalu menyusup merdu:

 

ingin berjalan berdua

denganmu kekasih
lewati malam setelah usai
hujan gerimis

lelawa jadi luruh
 dengan rumput biru
jemari tangan kita
 lekat jadi satu

Pada bait berikut, suaraku masuk menggantikan suaranya:

pipimu memerah
hasratku merekah
kenapakah waktu
tertinggal jauh

kukatakan padamu
tentang hijau huma
yang bakal kita kerjakan
dengan sederhana

kita segera akrab
dengan sinar pagi
nyanyikan kupu-kupu
hinggap di rambutmu

Pada bait akhir, suara kami menyatu, mengikut ketipak bayu:

tersenyumlah kamu
tertawalah aku
kenapakah waktu
tertinggal jauh

Ah, ah, rasanya seperti baru kemarin peristiwa itu, sebuah rajutan mimpi ketika gitar sepi suara dan senja mulai menua. Laila menyandarkan kepala ke bahuku, angin pun berkesiur membawa harum bau rambutnya.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, menggebah kenangan ke lain cakrawala. O, masa lalu, tetaplah kau jadi gelembung sabun, melintas sekejap kemudian sirna tak berbekas. Kau cuma cuilan kekocakan, hadir untuk diketawai, bukan untuk diratapi, apalagi menghantui.
Kunaiki tangga. Tanganku mengambang sejenak sebelum mengetuk pintu.
Assalamualaikum….  bergetarkah suaraku?
Waalaikumsalam…” bunda menyahut diikuti suara langkah kaki.
Pintu terbuka. Bunda sejenak terpaku. Matanya terbelalak, seakan tak percaya pada kemunculanku.
“ Ya Allah, Adam….” cetusnya seraya meraihku ke dalam pelukan. “ Bah, Adam, Bah….” suara bunda yang memanggil abah tersekat lantaran bercampur isak. Leherku merasakan tetes hangat air matanya. Dan elusan jemari bunda di rambutku adalah penemuan kembali saat-saat hilang yang biasa cuma hadir dalam igauan dan mimpi.
Abah muncul dari ruang keluarga. “ Ho, ho, selamat pulang, petualang. “ ujar abah sambil menepuk-nepuk bahuku.
Aku tersenyum. Petualang? Wah, sebutan itu rasanya pas, sebab selama ini aku memang menjalani petualangan, tidak cuma secara fisik tetapi juga secara psikis.
“ Kenpa sepi? “ tanyaku setelah kami duduk di ruang keluarga. “ Kemana yang lainnya? “
“ Inikan malam Minggu, Dam. “ sahut bunda. “ Adik-adikmu sudah bukan kanak-kanak lagi. Ada yang menculik anak orang, ada yang diculik orang. Sedang Rizky tadi jalan bersama Laila….” bunda mendadak menghentikan bicara, seperti disadarkan oleh sesuatu ketika menyebut soal kak Rizky dan Laila.
Abah batuk-batuk kecil, bunda menggigit bibir. Mata mereka memintas ke wajahku, mengintai reaksiku.
“ Kapan mereka akan kawin? “
Bunda sekejap bertukar pandang dengan abah sebelum menjawab: “ Mungkin dua atau tiga bulan lagi. Bulan depan, persyaratan untuk tidak menikah dari bank tempat Rizky bekerja akan habis.. Setidaknya setelah itu baru pernikahan bisa dilangsungkan. “
“ Bagaimana kuliahmu, Dam? “ abah  cepat mengalihkan topik pembicaraan.
“ Bagus. “ sahutku. “ Insya Allah, semester depan selesai. “
“ Syukurlah. Oh, ya, berapa gunung yang kau taklukkan? “
“ Banyak juga. Ulun telah memijak tanah tertinggi Pulau Jawa dan tanah tertinggi Nusa Tenggara, puncak Semeru dan puncak Rinjani. “
“ Hebat. Untuk menaklukkan itu tentu diperlukan ketangguhan. “ puji abah.
“ Tapi ada hal yang lebih sukar ditaklukkan…”
“ Hal apa? “ sela bunda.
“ Menaklukkan diri sendiri. “
Bunda tercekat lagi. Matanya mencuri-curi pandang ke arah abah. Abah menyulut rokok.
“ Dan kau sudah bisa melakukan itu? “ tanya abah sambil memandang lurus ke arah wajahku.
Ulun harap begitu. Bukankah impossible is nothing…? “
“ Ya. “ cetus abah. “ Itu batas maksimal upaya manusia, lebih dari itu adalah wilayah yang bernama takdir. Tetaplah jadi dirimu, you are what you are, kamu adalah kamu. Kamu adalah apa adanya yang genuine, yang sesungguhnya. “
Aku tersenyum. Menghirup kopi dan menyulut rokok. Telepon genggam menyuarakan nada panggil.
Assalamulaikum. “
“ Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. “ Euis di seberang sana. “ Kamu sudah sampai? “
“ Ya, aku di rumah sekarang. “
“ Sudah ketemu? “
“ Ketemu siapa? “
“ Mantanmu itu….”
“ Kamu jangan main ledek lagi, ah, ntar aku bisa kumat. “ sahutku sambil ketawa.
Euis juga ketawa. “ Sorry, sorry. Boleh tahu alamatmu di Banjarmasin? “
“ Buat apa? Mau ngebom? “
“ Supaya mimpiku tidak sukar mencarimu. “
Aku menyebut alamat rumah.
Udah dulu, ya. Selamat menikmati manisnya empedu. “
“ Nah, mulai lagi…mulai….”
Derai tawa Euis menyusuo ke telinga. “ Assalamualikum. “
Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. “
Barangakali senyumku masih berisa ketika menghirup kopi sehingga pandang bunda menyelidik.
“ Temanmu? “ selidik bunda.
“ Ya. “ sahutku pendek.
“ Gadis? “
“ Apakah ini interogasi? “ candaku.
Abah mengakak, bunda akhirnya juga ketawa. Sebuah motor kedengaran masuk halaman. Sesaat setelah mesin mati, pintu dibuka dan sebuah suara wanita menyapa:
Assalamulaikum….
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. “ sahut kami serempak.
Kualihkan pandang ke pintu. Dan sosok itu nampak kaget, tertegun di ambang pintu. Pancaran panik menggelepar di matanya, geliat resah sangkut di tarikan ujung bibirnya. Laila. Kulihat Kak Rizky berhal sama, cuma dia kemudian lebih dahulu bisa menguasai diri. Dia menggandeng Laila mendatangi kami.
“ Kapan datang, Dam? “ tanya Kak Rizky.
Aku berdiri. “ Baru saja. “ kataku sambil mengulur tangan. Kak Rizky menjabat tanganku sejenak.
“ Apa kabar, La? “ aku juga mengulur tangan ke arah Laila. Dia menjabat tanganku. Kurasakan getar di tangan itu dan searus dingin menyusup dari situ.
“ Baik-baik saja. “ sahutnya tanpa memandang ke wajahku. “ Kau sendiri? “
“ Yah, seperti yang kau lihat. “ sahutku seraya melepaskan genggaman.
“ Kau agak kurus sekarang. “ ujar Kak Rizky.
“ Belum mirip tiang listrikkan? “ selorohku.
Aku berharap seloroh itu menghasilkan tawa, ternyata tidak. Wajah keduanya nampak tegang. Sudut mataku mencuri pandang ke arah Laila. Mmhh, tak banyak yang berubah, kecuali tambah dewasa tentunya. Lantas, ada semacam kerinduan yang tak disadari tiba-tiba lepas bagai kuda liar, kerinduan yang selama ini mungkin terbenam dalam bawah sadar itu meloncat lantaran lepasnya kekang. Aku tak tahu di bagian mana dari hatiku kerinduan semacam itu tertambat.
“ Maaf, ada yang harus kami ambil di kamar. “ kata Kak Rizky sambil memabwa Laila ke dalam kamarnya.
Aku duduk lagi, menghirup kopi lagi, mengisap rokok lagi. Aku telah melihatnya. Aku telah menjabat tangannya. Cukuplah itu. Lalu kutumpas segalanya dengan satu hembusan nafas panjang. Hembusan nafas itu barangkali terdengar agak keras sehingga mata abah dan bunda lekat menyelidik.
“ Oom Masdulhaq titip salam. “ kataku kemudian.
“ Masih kribo dia? “ tanya abah.
“ Sudah tidak lagi, rambutnya sudah mulai memutih. “
“ Sudah berapa anaknya? “ tanya bunda.
“ Tiga. “
Kami sejenak bicara tentang Oom Masdulhaq, tentang Malioboro, tentang Bulak Sumur. Kak Rizky dan Laila tak keluar-keluar lagi. Mengurung diri di kamar. Aku bisa memaklumi keengganan mereka untuk berkumpul dan bicara denganku.
“ Di mana Nanang biasanya malam begini? “ tanyaku.
“ Nanang itu sekarang lagi dirasuki ruh Affandi. “ sahut abah.
“ Melukis? “
“ Begitulah. Malam begini dia biasa di Taman Budaya. Kau mau jalan ke situ? “
“ Ya, sekalian menikmati malam Banjarmasin. “
“ Bawa mobil kalau mau ke situ. “
Ulun naik ojek saja. Sudah lama sekali tak menyetir mobil. “
“ Jangan malam-malam pulangnya. “ kata bunda.
Aku berpamit lalu melangkah ke luar rumah. Udara malam Banjarmasin gerah menyambut. Bulan tak ada. Maka kelam.

*****

Halaman Taman Budaya ternyata disulap jadi kafe.  Di bawah temaram lampu banyak orang lagi menikmati minuman. Satu kelompok musik panting tengah bermain. Bunyi babun, gong dan biola merentakkan irama. Mataku mencari. Di bawah teritisan Gedung Wargasari, Nanang nampak asyik dengan kertas gambarnya. Tanpa suara aku mendekati. Dia sama sekali tak memedulikan kehadiranku, menoleh pun tidak. Jemarinya lincah bergerak di atas kertas.
  Jika begitu saja hasilmu, satu abad pun kau tak akan mampu menyamai Rembrant. “ ejekku.
Ejekan itu membuat ia menoleh. “ Astaghfirullah, Kak Adam….”
Aku tersenyum dan mengacak-acak rambut gondrongnya.
“ Sudah berapa hari kau tak mandi, Nang? “
Nanang mengakak. Tinjunya mampir di lenganku. “ Ulun pikir pian telah jadi Tarzan…”  balasnya.
Kami pindah ke kafe, memesan soft drink. Dia meneliti wajahku.
“ Ada yang aneh dengan wajahku? Rasanya aku tak punya jerawat. “
“ Tiga tahun waktu yang panjang….” ucapnya.
“ Aku terbius langkah kembara. “ sahutku cepat. Aku bisa menebak ke mana arah bicaranya itu. “ Aku ingin melihat dan menjarahi berbagai tempat, mumpung kesempatan terbuka, usia masih muda dan tenaga masih kuat. “
Ulun mengerti, tapi selain kenikmatan langkah kembara itu ulun juga tahu kenapa pian tak pulang. “ ia tetap mendesakkan kalimatnya. “ Pian enggan ketemu Kak Rizky dan Lailakan? “
Aku cuma ketawa, habis mau bilang apa lagi?
“ Ketawa pian itu getir, Kak. “ dia terus mengusik. “ Pian sudah bertemu dengan mereka? “
“ Sudah, tadi di rumah. “
“ Kaku? “
“ Begitulah. Mereka tak mau mempertemukan pandang. “
Nanang menarik nafas panjang. Musik panting terus melagu. Sesekali tepukan tangan menyuara.
Ulun salut. “ katanya lagi.
“ Dalam hal? “
“ Ketegaran untuk berdamai dengan kenyataan. “
“ Nang, dari peristiwa itu terkandung banyak hikmah. Kita akan tambah merasakan adanya kekuasaan di luar diri kita. Kita akan tambah menginsyafi bahwa segala akal, pikiran, rencana dan perhitungan kita, sama sekali tak berarti dibanding kekuasaan Allah. “
Seorang gadis tiba-tiba muncul di sisi kami. Senyumnya lebar terkembang. Dua dekik halus mencuatkan pesona di pipinya. Lesung pipit warisan bunda. Zainab, adik bungsuku.
“ Pulang tak bilang-bilang. “ ucapnya sambil meninju lenganku.
“ Maaf Tuan Putri, surprise itu kadang diperlukan. “
“ Bunda tadi menelepon bahwa pian mungkin di Taman Budaya ini. “ kata Zainab setelah duduk dan memesan minuman.
“ Pacarmu tak diajak ke sini? “ godaku.
“ Ini acara keluarga. “ sahutnya.
Aku mengamati wajahnya. “ Kau kian cantik. “ pujiku.
“ Ya, seperti Dewi Sinta dalam Ramayana, tapi Sinta sakit gigi, “ ledek Nanang.
“ Kau sendiri bagaimana? Tampang berantakan kaya Rahwana disengat tawon tujuh belas kali. “ balas Zainab.
Aku senyum, Nanang mengakak.
“ Naahh, ketawa ngakak itu membuat persis Rahwana. Jika dikasih busana Wayang Gung pasti anak-anak tunggang-langgang ketakutan. “ Zainab mendapat angin untuk menambah ejekan.
“ Sudah…” leraiku. “ Bicara yang lain saja. “
“ Mmhh, sudah ketemu Kak Rizky? “
Ah, pertanyaan yang itu lagi. “ Sudah tadi. “ sahutku.
“ Dia bersama Laila? “ kejarnya.
“ He-eh. “
“ Bagaimana pendapat pian tentang kelakuan Kak Rizky? “
Bagaimana harus menjawab pertanyaan gadis berangkat puber ini? Mulutku jadi gatal untuk merokok. Maka kusulut rokok sekalian mencari antara untuk memikirkan jawaban yang mengena sehingga tak memunculkan gelombang baru.
“ Kupikir wajar-wajar saja sebab cinta adalah kodrat manusia. “ kataku kemudian.
“ Itu ulun tahu. Maksud ulun tepat-tidaknya kelakuan itu. “
“ Tepat atau tidak tergantung dari sudut mana kau menatapnya. “ sepintas nampaknya begitu gampang aku mengucapkan kalimat itu, padahal tiga tahun lamanya aku digasing oleh pencarian makna dari ucapan itu. Membayang wajah Mbah Slamet, lalu wajah Euis, orang-orang yang berjasa besar menuntun ke ujung pencarian itu.
“ Semula ulun merasa hormat pada Kak Rizky, tapi tindakannya kemudian langsung membuat ulun kehilangan respek. Ulun menangis ketika Bunda memberitahu pertunangan Kak Rizky dan Laila. “
Ulun juga begitu, bahkan ulun melakukan hal yang tercela, menghempaskan daun pintu kamar di hadapan Abah dan Bunda. “ tambah Nanang.
“ Hal yang juga membuat ulun heran adalah sikap Laila. Begitu mudah ia berpaling. “
“ Mungkin ia punya persoalan dan pilihan sendiri. “ sahutku. “ Kau juga tak senang dengan Laila? “
Ulun tak tahu. “ ucap Zainab dengan tatapan menerawang. “ Cuma, wanita yang tak punya kesetiaan membuat respek ulun juga hilang. “
Kuhela nafas panjang. Semula kupikir persoalan cuma antara aku, Kak Rizky dan Laila, tapi ternyata dampaknya melebar, membuat jurang di antara keluarga. Bagaimana cara untuk memperbaiki semua ini?
“ Aku telah menganggap persoalan ini selesai. “ kataku kemudian seraya menatap wajah Nanang dan Zainab. “


Dari mini compo mengalun lembut suara Celine Dion, melantunkan sound track film Titanic, My Heart Will Go On. Menjelang refflain, telepon genggam berbunyi. Kukecilkan volume mini compo.
Assalamualaikum…
Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh…” suara Euis terdengar lembut memasuki gendang telinga. “ Lagi ngapain? “
“ Memandangi jompak sungai Martapura. “
“ Sendiri? “
“ Tidak, berdua….”
“ Seorang gadis? “ Euis mengajuk.
“ Seorang wanita. “ ralatku.
“ Siapa? “
“ Celine Dion. “ kubesarkan volume mini compo sejenak.
Ketawa Euis berderai.  “ Mmhh, Titanic…” katanya kemudian. “ Lagi mengenang ketragisan kisah cinta yang diterjang ombak laut atau kisah cinta yang dihempas jompak Sungai Martapura? “ ejeknya.
Aku mengakak. “ Tebakanmu salah tapi juga benar. “ sahutku.
“ Salahnya? “
“ Salah, karena aku tidak mengenang ketragisan cinta. “
“ Lalu, benarnya? “
“ Benar, karena memang aku tengah mengenang sesuatu. “
“ Mengenang apa? “
“ Mengenang kamu…. “
Euis ketawa lagi. “ Mengenang atau membanding? “ ajuknya.
“ Tak perlu perbandingan sebab you are the best of the best….”
“ Simpan dahulu hal yang berbau rayuan seperti itu.  Bagaimana keadaan di rumah? “
“ Kaku, amat kaku. Rasanya seperti ada jarak. Orang-orang berusaha menahan diri, amat berhati-hati jika bicara, barangkali takut membuatku tersinggung. Cuma dengan kedua adikku hubugan itu berlangsung lepas. “
“ Jarak dan kekakuan itu sebenarnya berpangkal pada dirimu. Abah dan Bundamu membuat jarak karena bisa merasakan kegetiran hidupmu selama ini sehingga amat berhati-hati agar luka tak lagi terbuka. Rizky dan Laila membuat jarak membuat jarak karena adanya penggalan masa lalu di mana kamu justru pelaku utamanya.
“ Jadi, jika kamu bisa menunjukkan bahwa segala persoalan telah selesai, menunjukkan bahwa kamu telah menemukan lagi kedirianmu, maka semua orang tak perlu lagi mengambil sikap ekstra hati-hati. Jarak dan kekakuan secara otomatis akan sirna. “
“ Aku memang berencana menyelesaikan semua itu malam ini. “
“ Bagus itu. “


“ Kita bicara, secara terbuka. “ ucap Rizky sambil mematikan CD-player. Celine Dion bungkam seketika.
“ Hari ini kita harus tuntaskan segalanya, “ katanya lagi dengan memberikan tekanan khusus pada kata “tuntas” ,
“ Hal apa lagi yang harus dituntaskan, Kak? “
“ Soal Laila! “ suaranya naik setengah oktaf.
“ Laila? “
“ Ya, Lai-la! “ ejanya.
“ Ada apa lagi dengan Laila? “
“ Kau jangan berlagak bodoh, Dam. “
Kuraih bungkus rokok, menyulutnya sebatang.
“ Hubungan kita sebagai kakak-adik terasa amat kaku, “ Kak Rizky memulai,       “ Aku tidak senang dengan keadaan semacam itu. “
“ Ah, itu cuma perasaanmu saja…”
“ Ini kenyataan! “ potongnya.
Matanya kini menghunjam lurus ke mataku. Sekejap pandangan kami saling lilit. Aku bisa melihat resah berloncatan di mata itu. Dia kemudian membuang pandang ke kejauhan.
“ Engkau sepertinya dirindih perasaan bersalah. “ pancingku.
“ Tidak! “ dia menjawab cepat “ Aku tak merasa bersalah apa-apa. Aku menatap sosok Laila sebagai sebuah pribadi yang utuh. Dia hadir secara keseluruhan, bukan dengan pribadi berbagi, bukan sebagai gadismu, bukan milik siapa pun. “ sambungnya dengan suara yang dimantap-mantapkan, tapi matanya tak bisa menyembunyikan perasaan bersalahnya.
“ Jika demikian halnya, apalagi yang perlu kita persoalkan? “
Dia menghembuskan nafas keras-keras, seperti melepaskan tindihan beban di hati.
“ Apa kau menyimpan dendam kepadaku? Atau kepada Laila? “ suaranya terdengar bergetar, jari-jari tangannya bergerak-gerak membuat ketukan di tembok, ketukan tanpa suara.
“ Pada mulanya ya. “
“ Kau jujur. “
“ Bukankah kau menginginkan kita bicara secara terbuka? “
Dia diam. Kujentikkan abu rokok ke asbak.
“ Aku tak tahu bagaimana caramu nanti, tetapi aku ingin sejak hari ini kekakuan di antara kau, aku dan Laila, harus sirna. Ingat itu! “
Keningku berkerut rapat. Peringatan bernada ancaman itu mendadak saja mendidihkan darahku. Kukerjapkan mata beberapa kali, mengusir mendung yang mulai menutupi kejernihan pikir dan rasa.
“ Sudah kukatakan tadi bahwa itu cuma perasaanmu saja. “
“ Kuperingatkan Adam! “ dia menudingkan telunjuk ke arahku, suaranya naik satu oktaf. Jangan membuat ketenanganku terganggu! “
Ucapan itu serupa minyak disiramkan ke bintik api. Fuii, alangkah egoisnya!  Agaknya dia tak pernah memikirkan bagaimana nestapaku selama tiga tahun ini. Tak pernah terlintas dalam benaknya bagaimana getirnya aku berjuang agar bantingan realita tak memporak-porandakan seluruh hidupku. Kekasih diambil orang, itu hal biasa, esa hilang dua terbilang masih berlaku. Tetapi jika kekasih diambil saudara sendiri merupakan sebuah tikaman tak berampun. Dan sekarang, huh, ia main peringatan, main ancaman pula. Bah!
“ Kau tenang atau tidak bukan urusanku! “ suaraku tanpa sadar ikut naik volumenya. “ Sejak dulu kau tahu bahwa aku paling tak senang ditekan apalagi diancam, terlebih dalam soal seperti ini, soal yang telah kuanggap selesai. Jika aku tidak menganggap soal ini telah selesai maka aku tak akan pulang, sebab sekali aku pulang kemungkinan besar aku akan menantangmu berkelahi! Perbuatanmu dengan Laila sudah cukup. Jangan menambah-nambahnya dengan main tekan main ancam! Atau kau memang hendak mencari-cari soal baru denganku? “
Dia tak menyahut. Tangannya perlahan terkepal. Kuperbaiki posisi kakiku agar bisa bertahan jika dia mendadak melakukan serangan.
“ Tiga tahun aku berusaha menetralisir akibat perbuatan kalian. Tiga tahun lamanya baru aku bisa berdamai dengan kenyataan. Pernahkah hal itu muncul dalam pikiranmu? Dalam bantingan kenyataan itu aku telah menemukan sesuatu yang amat berarti, yaitu kesabaran. Dan berbekal itulah aku pulang. Jadi tak perlu lagi masa lalu itu diungkit agar benteng yang susah payah kubangun tidak rubuh, agar aku tetap waras sehingga tidak lupa bahwa kau adalah kakakku! “
Tangannya yang terkepal nampak bergetar. Tanpa mengalihkan tatapan kumatikan puntung rokok ke asbak dan mengantinya dengan batang yang baru. Lewat isapan demi isapan rokok kucoba menurunkan emosiku, menurunkan didih darah yang mulai merambat ke kepala.
Tangannya yang tergenggam perlahan terbuka. Dia menyusut-nyusut rambut. Wajahnya nampak layu. Tiba-tiba saja aku merasa kasihan padanya. Bukankah tekanan batin yang disandangnya tak lebih ringan dariku? Apalagi kemarin dia menyaksikan kalau adik-adik yang selama ini membuat jarak dengannya terlihat demikian rapat dan akrab denganku.  Dia berusaha menegakkan karismanya sebagai anak sulung. Sayang caranya salah.
Pakai sudut pandang memberi, ujar Euis. Segalanya berpangkal pada dirimu. Jika kamu bisa menunjukkan bahwa persoalan telah selesai, bahwa kamu telah menemukan lagi kedirianmu maka jarak dan kekakuan secara otomatis akan sirna. Kumatikan rokok lalu melangkah mendekati Kak Rizky.
“ Maafkan aku, Kak. “ kataku. “ Tadi aku hampir kehilangan kendali. “
Dia cuma menganggukkan kepala dan menghembuskan nafas panjang.
“ Jangan menganggap kepulanganku sebagai duri dalam daging. “ ujarku sambil melingkarkan tangan ke bahunya. “ Pupuskan prasangka buruk dan hal-hal yang mengganggu ketenanganmu. Mari kita sama mengisi apa-apa yang perlu diisi agar keluarga kita yang bahagia ini tidak retak.”
Kak Rizky menggenggam tanganku yang ada di bahunya. Kurasakan gigil halus di genggaman itu.
“ Aku yang salah, Dam, aku yang salah. “ desahnya. “ Aku juga minta maaf. “
“ Aku berharap kau dan Laila hidup bahagia. Kelak, aku ingin mendengar dan melihat bocah-bocah yang dengan ceria memanggilku Paman dan Om seraya menampakkan gigi-gigi mereka yang masih belum lengkap. “
“ Terima kasih, Dam. Kendati umurmu lebih muda tapi kau lebih dewasa dariku dalam mencermati dan menyikapi kehidupan. “
Kak Rizky melepaskan genggaman tangannya, menepuk bahuku lalu melangkah. Di lenganku bersisa bercak air, air matanya. Kubiarkan pori-pori lenganku mengisapnya.
*****
Matahari sudah melewati kulminasi.  Aku duduk di teras sambil memetik gitar Nanang dalam irama para penjelajah prairi. Udara Banjarmasin yang terasa kian menyengat membuatku merindukan keteduhan pegunungan
Kak Rizky ke luar dari kamarnya. Tangannya membawa kotak catur.
“ Aku ingin tahu apakah kau masih lihay mengatur strategi perang. “ katanya.
“ Jangan coba melawanku, Utut Adianto yang grandmaster itu saja sudah berhasil kukalahkan. “
“ Kapan? “ tanyanya antusias.
“ Pada turnamen dalam mimpi…” selorohku.
Kak Ruzky ketawa renyah. Petak-petak segiempat hitam-putih pun terkembang di atas meja. Dia memainkan buah putih. Berawal dari pembukaan Spanyol varian tertutup, langkah demi langkah dijalankan. Pada langkah ke 18 dia meloncatkan kudanya sebagai persiapan untuik menyerang di sayap raja. Aku segera menggeser menteri, mengancam untuk skak.
Permainan meningkat sengit, penuh komplikasi. Mobil masuk halaman, abah dan bunda kemudian ke luar dari dalamnya.
“ Huuu, pertandingan kandidat dunia. “ tegur bunda melihat kening kami sama berkerut.
Kak Rizky senyum. “ Jangan duduk di sisi Adam. “ cegahnya melihat bunda hendak duduk di sisiku. “ Duduk saja di tengah sini, nanti dia punya alasan kalau kalah. “
“ Apa kau kira kau akan menang? Ancaman menterimu itu tidak berarti apa-apa. “ lanjutku sambil memindahkan benteng ke depan raja.
“ Skak dengan kuda, Ky. “ kata abah.
“ Huuu, jangan coba, gajah di sudut itu telah menyiapkan belalainya, siap meremukkan leher kuda gila…”
“ Biar saja. Bunuh gajah bengkak itu dengan pedang menteri. “
“ Boleh, tapi dari benteng di ujung itu sudah siap panah berapi. “
“ Tangkis dengan menggeser benteng. “
“ Waah, kacau. “ keluh Kak Rizky. “ Bapak dan ibu presiden harap tenang, tak perlu mencampuri urusan Palestina-Israel di jalur Gaza. “
“ Iya, lebih baik memikirkan urusan dalam negeri saja. Misalnya bagaimana caranya agar perut kita tidak kosong dan tenggorokan tidak kering. “ tambahku.
Abah dan bunda ketawa. Ketawa lepas. Agaknya mereka lega menyaksikan keakraban kami. Mana mereka tahu kalau tadi di balkon sana hampir terjadi Bharatayudha. Mama segera memanggil acil Minah, pembantu kami.
“ Tolong buatkan minuman, Cil. “ ucap bunda.
Inggih. “ sahut acil Minah sambil berlalu.
Pertandingan mendekati akhir saat acil Minah membawa empat cangkir es teh. Setelah menghirup minuman, kupandangi papan catur, menganalisis kemungkinan.
“ Remis? “ tawar Kak Rizky.
“ Oke, remis. “ sahutku, soalnya kemungkinan untuk memenangkan papan itu memang telah tertutup.
“ Susun lagi….” Tawar bunda.
Saat pion-pion disusun, sebuah motor masuk halaman. Laila. Rambut panjangnya berberaian diterpa angin.
“ Laila. “ panggil bunda. “ Mari kita saksikan pertandingan kandidat dunia ini. “
Laila cuma mengangguk lalu duduk di sini bunda.
“ Jangan main mata dengan Kak Rizky, kalau dia kalah dia akan punya alasan kehilangan konsentrasi. “ kataku.
Laila menyunggingkan senyum yang tak lengkap.


[1] klotok = perahu bermesin
[2] jukung = perahu
[3] QS ar-Ra’d: 28
[4] QS Al-Baqarah 284
[5] QS Al-Baqarah 216
[6] QS Yunus: 107
[7] QS ath-Thalaq: 2
[8] QS ath-Thalaq : 3
[9] Kalau terpisah dengan badanku, sehari jangan diberi lupa
[10] Kalau rindu dengan diriku, panggil namaku di angin lalu
[11] Mantiqu’t Thair, Musyawarah Burung, Fariduddin Attar
[12] Surah Al-Baqarah, ayat 155-157

Tidak ada komentar:

Posting Komentar